Kamis, 14 Februari 2013

Kisah Seorang Pemuda dan Segigitan Apel


Alkisah, seorang pemuda bernama Tsabit bin Ibrahim pergi meninggalkan Kufah tempat kelahirannya yang merupakan kota tua 170 kilometer di selatan Bagdad. Dia ingin merantau ke kota lain untuk menuntut ilmu. Di tengah perjalanan dia merasa haus dan singgah sebentar di sungai yang airnya jernih. Dia langsung mengambil air dan meminumnya. Tak berapa lama kemudian dia melihat ada sebuah apel yang hanyut terbawa arus sungai, dia pun berusaha mengambilnya dan segera menggigitnya. Namun setelah dia makan segigitan, dia segera berucap “astaghfirullahal ‘adziim.” Tsabit merasa bersalah karena telah memakan apel orang lain tanpa meminta izin terlebih dahulu.
“Apel ini pasti milik seseorang, lancang sekali aku sudah memakannya. Aku harus mencari siapa pemilik apel ini dan menebusnya,” gumamnya.
Akhirnya Tsabit menunda perjalanannya menuntut ilmu dan pergi mencari sang pemilik apel itu. Tak lama berjalan dia sudah sampai ke rumah pemilik apel. Dia takjub melihat hamparan kebun apel yang tumbuh subur dan buahnya begitu lebat bertengger di reranting dahan.
“Assalamu’alaikum….”
“Wa’alaikumsalam wr. Wb.” Jawab lelaki tua dari dalam rumahnya.
Tsabit dipersilahkan masuk dan duduk. Lalu Tsabit menyampaikan segala sesuatunya tanpa ada yang ditambah-tambahi dan dikurangi. Bahwa dia telah lancang memakan apel yang terbawa arus sungai.
“Berapa harus aku tebus harga apel ini agar kau ridlo apel ini aku makan, Pak tua,” tanya Tsabit.
Pak tua itu pun menjawab “tak usah kau bayar apel itu, tapi kau harus bekerja di kebunku selama 3 tahun tanpa bayaran, apakah kau mau?”
Tsabit tampak berpikir, karena untuk segigitan apel dia harus membayar dengan bekerja di kebun bapak itu selama tiga tahun dan itu pun tanpa digaji. Tapi hanya itu satu-satunya pilihan yang harus diambilnya agar bapak tua itu ridlo apelnya dia makan.
“Baiklah, Pak. Saya mau,” jawab pemuda itu.
Alhasil Tsabit bekerja di kebun sang pemilik apel tanpa dibayar. Hari berganti hari, minggu berganti bulan, dan tahun pun berlalu. Tak terasa sudah tiga tahun dia bekerja di kebun itu. Pada hari terakhir dia ingin berpamitan pada sang pemilik kebun.
“Pak tua, sekarang waktu bekerja di tempatmu sudah genap tiga tahun. Apakah sekarang kau ridlo terhadap apelmu yang sudah aku makan?”
Pak tua itu diam sejenak. Lalu berkata “belum.”
Pemuda itu terhenyak. “Kenapa pak tua. Bukankah aku sudah bekerja selama tiga tahun di kebunmu?”
“Ya, tapi aku tetap tidak ridlo jika kau belum melakukan permintaanku lagi.”
“Apa itu pak tua?”
“Kau harus menikah dengan putriku, apakah kau mau?”
“Ya, aku mau,” jawab pemuda itu.
Bapak tua itu mengatakan lebih lanjut, “tapi putriku buta, tuli, bisu, dan lumpuh, apakah kau mau?”
Pemuda itu tampak berpikir keras. Bagaimana tidak, dia akan menikahi gadis yang tidak pernah dikenalnya dan ternyata gadis itu cacat. Dia buta, tuli, bisu dan lumpuh. Bagaimana dia bisa berkomunikasi nantinya? Tapi, dia pun ingat kembali dengan segigitan apel yang telah dia makan. Dan dia pun menyetujui untuk menikah dengan anak gadis bapak tua itu, demi ridlo yang diinginkannya atas segigitan buah apel yang telanjur dimakannya.
“Baiklah pak, aku mau,” tegasnya.
Segera pernikahan pun dilaksanakan. Setelah ijab-kabul selesai sang pemuda itu pun dipersilahkan masuk ke dalam kamar pengantin di mana sang gadis ditempatkan. Dia terlebih dahulu mengucapkan salam, dan betapa kagetnya dia ketika mendengar ada balasan dari dalam kamar. Seketika itu dia berlari menemui bapak tua pemilik kebun apel yang telah resmi jadi bapak mertuanya.
“Ayahanda… siapakah wanita yang ada di dalam kamar pengantin itu? Kenapa aku tidak menemukan istriku?”
Pak tua itu tersenyum dan menjawab, “masuklah nak. Itu kamar pengantinmu dan yang di dalam itu adalah istrimu.”
Pemuda itu tampak bingung. “Tapi, kan ayahanda mengatakan kalau istriku buta, tuli, bisu, dan lumpuh? Tapi kenapa dia bisa menjawab salamku?
Pak tua itu kembali tersenyum dan menjelaskan. “Ya, memang dia buta. Buta dari segala hal yang dilarang Alloh. Dia tuli dari hal-hal yang tidak pantas didengarnya dan dilarang Alloh. Dia memang bisu. Bisu dari hal yang sifatnya sia-sia dan dilarang Alloh. Dan dia lumpuh, karena tidak bisa berjalan ke tempat-tempat yang maksiat.”
Pemuda itu hanya terdiam dan mengucap lirih… “subhanallah”
Dan pemuda itu pun hidup bahagia dengan anugerah ”kekuatan cinta” dari Alloh Swt pada seorang wanita shalihah yang disuntingnya jadi istri. Meski pada awalnya dia ragu atas keadaan si gadis yang dikemukakan Pak tua, ayahnya. Kurang dari setahun, mereka pun dikaruniai seorang putra yang kelak kemudian menjadi sosok seorang Imam yang tersohor. Dialah Al Imam Abu Hanifah An Nu‘an bin Tsabit.

semoga bisa menginspirasi di hari kasih sayang ini.