Alkisah, seorang pemuda bernama Tsabit bin Ibrahim pergi meninggalkan Kufah tempat kelahirannya yang merupakan kota tua 170 kilometer di selatan Bagdad. Dia ingin merantau ke kota lain untuk menuntut ilmu. Di tengah perjalanan dia merasa haus dan singgah sebentar di sungai yang airnya jernih. Dia langsung mengambil air dan meminumnya. Tak berapa lama kemudian dia melihat ada sebuah apel yang hanyut terbawa arus sungai, dia pun berusaha mengambilnya dan segera menggigitnya. Namun setelah dia makan segigitan, dia segera berucap “astaghfirullahal ‘adziim.” Tsabit merasa bersalah karena telah memakan apel orang lain tanpa meminta izin terlebih dahulu.
“Apel ini pasti milik seseorang, lancang sekali
aku sudah memakannya. Aku harus mencari siapa pemilik apel ini dan menebusnya,”
gumamnya.
Akhirnya Tsabit menunda perjalanannya menuntut
ilmu dan pergi mencari sang pemilik apel itu. Tak lama berjalan dia sudah
sampai ke rumah pemilik apel. Dia takjub melihat hamparan kebun apel yang
tumbuh subur dan buahnya begitu lebat bertengger di reranting dahan.
“Assalamu’alaikum….”
“Wa’alaikumsalam wr. Wb.” Jawab lelaki tua dari
dalam rumahnya.
Tsabit dipersilahkan masuk dan duduk. Lalu
Tsabit menyampaikan segala sesuatunya tanpa ada yang ditambah-tambahi dan
dikurangi. Bahwa dia telah lancang memakan apel yang terbawa arus sungai.
“Berapa harus aku tebus harga apel ini agar kau
ridlo apel ini aku makan, Pak tua,” tanya Tsabit.
Pak tua itu pun menjawab “tak usah kau bayar
apel itu, tapi kau harus bekerja di kebunku selama 3 tahun tanpa bayaran,
apakah kau mau?”
Tsabit tampak berpikir, karena untuk
segigitan apel dia harus membayar dengan bekerja di kebun bapak itu selama tiga
tahun dan itu pun tanpa digaji. Tapi hanya itu satu-satunya pilihan yang harus
diambilnya agar bapak tua itu ridlo apelnya dia makan.
“Baiklah, Pak. Saya mau,” jawab pemuda itu.
Alhasil Tsabit bekerja di kebun sang
pemilik apel tanpa dibayar. Hari berganti hari, minggu berganti bulan, dan
tahun pun berlalu. Tak terasa sudah tiga tahun dia bekerja di kebun itu. Pada
hari terakhir dia ingin berpamitan pada sang pemilik kebun.
“Pak tua, sekarang waktu bekerja di tempatmu
sudah genap tiga tahun. Apakah sekarang kau ridlo terhadap apelmu yang sudah
aku makan?”
Pak tua itu diam sejenak. Lalu berkata “belum.”
Pemuda itu terhenyak. “Kenapa pak tua. Bukankah
aku sudah bekerja selama tiga tahun di kebunmu?”
“Ya, tapi aku tetap tidak ridlo jika kau belum
melakukan permintaanku lagi.”
“Apa itu pak tua?”
“Kau harus menikah dengan putriku, apakah kau
mau?”
“Ya, aku mau,” jawab pemuda itu.
Bapak tua itu mengatakan lebih lanjut, “tapi
putriku buta, tuli, bisu, dan lumpuh, apakah kau mau?”
Pemuda itu tampak berpikir keras. Bagaimana
tidak, dia akan menikahi gadis yang tidak pernah dikenalnya dan ternyata gadis
itu cacat. Dia buta, tuli, bisu dan lumpuh. Bagaimana dia bisa berkomunikasi
nantinya? Tapi, dia pun ingat kembali dengan segigitan apel yang telah dia
makan. Dan dia pun menyetujui untuk menikah dengan anak gadis bapak tua itu,
demi ridlo yang diinginkannya atas segigitan buah apel yang telanjur
dimakannya.
“Baiklah pak, aku mau,” tegasnya.
Segera pernikahan pun dilaksanakan. Setelah
ijab-kabul selesai sang pemuda itu pun dipersilahkan masuk ke dalam kamar
pengantin di mana sang gadis ditempatkan. Dia terlebih dahulu mengucapkan
salam, dan betapa kagetnya dia ketika mendengar ada balasan dari dalam kamar.
Seketika itu dia berlari menemui bapak tua pemilik kebun apel yang telah resmi
jadi bapak mertuanya.
“Ayahanda… siapakah wanita yang ada di dalam
kamar pengantin itu? Kenapa aku tidak menemukan istriku?”
Pak tua itu tersenyum dan menjawab, “masuklah
nak. Itu kamar pengantinmu dan yang di dalam itu adalah istrimu.”
Pemuda itu tampak bingung. “Tapi, kan ayahanda
mengatakan kalau istriku buta, tuli, bisu, dan lumpuh? Tapi kenapa dia bisa
menjawab salamku?
Pak tua itu kembali tersenyum dan menjelaskan.
“Ya, memang dia buta. Buta dari segala hal yang dilarang Alloh. Dia tuli dari
hal-hal yang tidak pantas didengarnya dan dilarang Alloh. Dia memang bisu. Bisu
dari hal yang sifatnya sia-sia dan dilarang Alloh. Dan dia lumpuh, karena tidak
bisa berjalan ke tempat-tempat yang maksiat.”
Pemuda itu hanya terdiam dan mengucap lirih…
“subhanallah”
Dan pemuda itu pun hidup bahagia dengan anugerah ”kekuatan cinta” dari Alloh Swt pada seorang wanita shalihah yang disuntingnya jadi istri. Meski pada awalnya dia ragu atas keadaan si gadis yang dikemukakan Pak tua, ayahnya. Kurang dari setahun, mereka pun dikaruniai seorang putra yang kelak kemudian menjadi sosok seorang Imam yang tersohor. Dialah Al Imam Abu Hanifah An Nu‘an bin Tsabit.
semoga bisa menginspirasi di hari kasih sayang ini.
Dan pemuda itu pun hidup bahagia dengan anugerah ”kekuatan cinta” dari Alloh Swt pada seorang wanita shalihah yang disuntingnya jadi istri. Meski pada awalnya dia ragu atas keadaan si gadis yang dikemukakan Pak tua, ayahnya. Kurang dari setahun, mereka pun dikaruniai seorang putra yang kelak kemudian menjadi sosok seorang Imam yang tersohor. Dialah Al Imam Abu Hanifah An Nu‘an bin Tsabit.
semoga bisa menginspirasi di hari kasih sayang ini.