Kamis, 26 Mei 2011

Tiga Ciri Orang Ikhlas...


Jika ANDA merasakan kekeringan ruhiyah, kegersangan ukhuwah, kekerasan hati, hasad, perselisihan, friksi, dan perbedaan pendapat yang mengarah ke permusuhan, berarti ada masalah besar dalam tubuh ANDA. Dan itu tidak boleh dibiarkan. Butuh solusi tepat dan segera.

Jika merujuk kepada Al-Qur’an dan Sunnah, kita akan menemukan pangkal masalahnya, yaitu hati yang rusak karena kecenderungan pada syahwat. “Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada.” (Al-Hajj: 46). Rasulullah saw. bersabda, “Ingatlah bahwa dalam tubuh ada segumpal daging, jika baik maka seluruh tubuhnya baik; dan jika buruk maka seluruhnya buruk. Ingatlah bahwa segumpul daging itu adalah hati.” (Muttafaqun ‘alaihi). Imam Al-Ghazali pernah ditanya, “Apa mungkin para ulama (para dai) saling berselisih?” Ia menjawab,” Mereka akan berselisih jika masuk pada kepentingan dunia.”

Karena itu, pengobatan hati harus lebih diprioritaskan dari pengobatan fisik. Hati adalah pangkal segala kebaikan dan keburukan. Dan obat hati yang paling mujarab hanya ada dalam satu kata ini: ikhlas.

Kedudukan Ikhlas

Ikhlas adalah buah dan intisari dari iman. Seorang tidak dianggap beragama dengan benar jika tidak ikhlas. Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (Al-An’am: 162). Surat Al-Bayyinah ayat 5 menyatakan, “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus.” Rasulullah saw. bersabda, “Ikhlaslah dalam beragama; cukup bagimu amal yang sedikit.”

Tatkala Jibril bertanya tentang ihsan, Rasul saw. berkata, “Engkau beribadah kepada Allah seolah engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Allah melihatmu.” Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak menerima amal kecuali dilakukan dengan ikhlas dan mengharap ridha-Nya.”

Fudhail bin Iyadh memahami kata ihsan dalam firman Allah surat Al-Mulk ayat 2 yang berbunyi, “Liyabluwakum ayyukum ahsanu ‘amala, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya” dengan makna akhlasahu (yang paling ikhlas) dan ashwabahu (yang paling benar). Katanya, “Sesungguhnya jika amal dilakukan dengan ikhlas tetapi tidak benar, maka tidak diterima. Dan jika amal itu benar tetapi tidak ikhlas, juga tidak diterima. Sehingga, amal itu harus ikhlas dan benar. Ikhlas jika dilakukan karena Allah Azza wa Jalla dan benar jika dilakukan sesuai sunnah.” Pendapat Fudhail ini disandarkan pada firman Allah swt. di surat Al-Kahfi ayat 110.

Imam Syafi’i pernah memberi nasihat kepada seorang temannya, “Wahai Abu Musa, jika engkau berijtihad dengan sebenar-benar kesungguhan untuk membuat seluruh manusia ridha (suka), maka itu tidak akan terjadi. Jika demikian, maka ikhlaskan amalmu dan niatmu karena Allah Azza wa Jalla.”

Karena itu tak heran jika Ibnul Qoyyim memberi perumpamaan seperti ini, “Amal tanpa keikhlasan seperti musafir yang mengisi kantong dengan kerikil pasir. Memberatkannya tapi tidak bermanfaat.” Dalam kesempatan lain beliau berkata, “Jika ilmu bermanfaat tanpa amal, maka tidak mungkin Allah mencela para pendeta ahli Kitab. Jika ilmu bermanfaat tanpa keikhlasan, maka tidak mungkin Allah mencela orang-orang munafik.”

Makna Ikhlas

Secara bahasa, ikhlas bermakna bersih dari kotoran dan menjadikan sesuatu bersih tidak kotor. Maka orang yang ikhlas adalah orang yang menjadikan agamanya murni hanya untuk Allah saja dengan menyembah-Nya dan tidak menyekutukan dengan yang lain dan tidak riya dalam beramal.

Sedangkan secara istilah, ikhlas berarti niat mengharap ridha Allah saja dalam beramal tanpa menyekutukan-Nya dengan yang lain. Memurnikan niatnya dari kotoran yang merusak.

Seseorang yang ikhlas ibarat orang yang sedang membersihkan beras (nampi beras) dari kerikil-kerikil dan batu-batu kecil di sekitar beras. Maka, beras yang dimasak menjadi nikmat dimakan. Tetapi jika beras itu masih kotor, ketika nasi dikunyah akan tergigit kerikil dan batu kecil. Demikianlah keikhlasan, menyebabkan beramal menjadi nikmat, tidak membuat lelah, dan segala pengorbanan tidak terasa berat. Sebaliknya, amal yang dilakukan dengan riya akan menyebabkan amal tidak nikmat. Pelakunya akan mudah menyerah dan selalu kecewa.

Karena itu, bagi seorang dai makna ikhlas adalah ketika ia mengarahkan seluruh perkataan, perbuatan, dan jihadnya hanya untuk Allah, mengharap ridha-Nya, dan kebaikan pahala-Nya tanpa melihat pada kekayaan dunia, tampilan, kedudukan, sebutan, kemajuan atau kemunduran. Dengan demikian si dai menjadi tentara fikrah dan akidah, bukan tentara dunia dan kepentingan. Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagiNya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku.” Dai yang berkarakter seperti itulah yang punya semboyan ‘Allahu Ghayaatunaa‘, Allah tujuan kami, dalam segala aktivitas mengisi hidupnya.

Buruknya Riya

Makna riya adalah seorang muslim memperlihatkan amalnya pada manusia dengan harapan mendapat posisi, kedudukan, pujian, dan segala bentuk keduniaan lainnya. Riya merupakan sifat atau ciri khas orang-orang munafik. Disebutkan dalam surat An-Nisaa ayat 142, “Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat itu) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.”

Riya juga merupakan salah satu cabang dari kemusyrikan. Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya yang paling aku takuti pada kalian adalah syirik kecil.” Sahabat bertanya, “Apa itu syirik kecil, wahai Rasulullah?” Rasulullah saw. menjawab, “Riya. Allah berkata di hari kiamat ketika membalas amal-amal hamba-Nya, ‘Pergilah pada yang kamu berbuat riya di dunia dan perhatikanlah, apakah kamu mendapatkan balasannya?’” (HR Ahmad).

Dan orang yang berbuat riya pasti mendapat hukuman dari Allah swt. Orang-orang yang telah melakukan amal-amal terbaik, apakah itu mujahid, ustadz, dan orang yang senantiasa berinfak, semuanya diseret ke neraka karena amal mereka tidak ikhlas kepada Allah. Kata Rasulullah saw., “Siapa yang menuntut ilmu, dan tidak menuntutnya kecuali untuk mendapatkan perhiasan dunia, maka ia tidak akan mendapatkan wangi-wangi surga di hari akhir.” (HR Abu Dawud)

Ciri Orang yang Ikhlas

Orang-orang yang ikhlas memiliki ciri yang bisa dilihat, di antaranya:

1. Senantiasa beramal dan bersungguh-sungguh dalam beramal, baik dalam keadaan sendiri atau bersama orang banyak, baik ada pujian ataupun celaan. Ali bin Abi Thalib r.a. berkata, “Orang yang riya memiliki beberapa ciri; malas jika sendirian dan rajin jika di hadapan banyak orang. Semakin bergairah dalam beramal jika dipuji dan semakin berkurang jika dicela.”

Perjalanan waktulah yang akan menentukan seorang itu ikhlas atau tidak dalam beramal. Dengan melalui berbagai macam ujian dan cobaan, baik yang suka maupun duka, seorang akan terlihat kualitas keikhlasannya dalam beribadah, berdakwah, dan berjihad.

Al-Qur’an telah menjelaskan sifat orang-orang beriman yang ikhlas dan sifat orang-orang munafik, membuka kedok dan kebusukan orang-orang munafik dengan berbagai macam cirinya. Di antaranya disebutkan dalam surat At-Taubah ayat 44-45, “Orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, tidak akan meminta izin kepadamu untuk (tidak ikut) berjihad dengan harta dan diri mereka. Dan Allah mengetahui orang-orang yang bertakwa. Sesungguhnya yang akan meminta izin kepadamu, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari akhir, dan hati mereka ragu-ragu, karena itu mereka selalu bimbang dalam keragu-raguannya.”

2. Terjaga dari segala yang diharamkan Allah, baik dalam keadaan bersama manusia atau jauh dari mereka. Disebutkan dalam hadits, “Aku beritahukan bahwa ada suatu kaum dari umatku datang di hari kiamat dengan kebaikan seperti Gunung Tihamah yang putih, tetapi Allah menjadikannya seperti debu-debu yang beterbangan. Mereka adalah saudara-saudara kamu, dan kulitnya sama dengan kamu, melakukan ibadah malam seperti kamu. Tetapi mereka adalah kaum yang jika sendiri melanggar yang diharamkan Allah.” (HR Ibnu Majah)

Tujuan yang hendak dicapai orang yang ikhlas adalah ridha Allah, bukan ridha manusia. Sehingga, mereka senantiasa memperbaiki diri dan terus beramal, baik dalam kondisi sendiri atau ramai, dilihat orang atau tidak, mendapat pujian atau celaan. Karena mereka yakin Allah Maha melihat setiap amal baik dan buruk sekecil apapun.

3. Dalam dakwah, akan terlihat bahwa seorang dai yang ikhlas akan merasa senang jika kebaikan terealisasi di tangan saudaranya sesama dai, sebagaimana dia juga merasa senang jika terlaksana oleh tangannya.
Para dai yang ikhlas akan menyadari kelemahan dan kekurangannya. Oleh karena itu mereka senantiasa membangun amal jama’i dalam dakwahnya. Senantiasa menghidupkan syuro dan mengokohkan perangkat dan sistem dakwah. Berdakwah untuk kemuliaan Islam dan umat Islam, bukan untuk meraih popularitas dan membesarkan diri atau lembaganya semata.

sumber: dakwatuna.com

Jumat, 20 Mei 2011

Menundukkan Hati

Melintasi batas antara kebutuhan dan keinginan acapkali membuat perasaan seperti didera dahaga tak kunjung pupus. Ini karena sandaran hanya pada nafsu semata sedang akal dibuat banal. Kebutuhan dan keinginan yang kemunculannya dan kelenyapannya sukar untuk diketahui. Tak mudah dibedakan, seperti halnya usaha memisahkan gema dan suara.
Tapi bila usaha untuk mengasah hati agar senantiasa tunduk pada nafsu terus diupayakan, maka tiap kali muncul gelegak untuk memenuhi apa yang dibutuhkan dan apa yang diinginkan, hati harus mau berkompromi dengan akal. Dan tentu saja akal di sini harus akal sehat, bukan akal yang nakal apalagi akal-akalan.
Menyaksikan apa yang terjadi di negeri yang katanya gemah ripah loh jinawi, tapi kenyataannya negeri yang bubrah ini. Sebagian orang berusaha mati-matian menjaga nama baik (diri pribadi) dan negara yang dicintainya. Tapi, sebagian yang lain berbuat sesuka hati.
Di lorong-lorong sempit dan kumuh, di pasar-pasar yang becek dan amis, orang kecil (wong cilik) memulai hari dengan hati yang bersih dengan harapan meraih rezeki yang bersih pula. Di rumah-rumah mewah orang besar (wong gede) bangun dari tempat tidur yang nyaman di kamar yang berpendingin udara, memulai hari dengan hati yang gelisah dengan harapan jangan sampai salah. Ya, setiap kesalahan yang diperbuat akan berdampak besar. Salah perhitungan usaha rugi, salah mengambil keputusan transaksi hangus, salah dalam bernegosiasi kesepakatan tak tercapai. Alhasil, serba salah serba susah. Akhirnya, agar tak rugi, agar tak kalah, semua strategi dijadikan jurus pamungkas tak peduli culas yang penting dapat mengelabui lawan.
Begitulah kalau hati mati dan akal banal. Akhirnya apa yang terjadi? Para pejabat yang “hilang akal” berbuat sesuka hati dalam memanfaatkan wewenang senyampang berkuasa, korupsi untuk memperkaya diri. Para pensiunan pejabat satu persatu diciduki setelah hasil investigasi menyatakan dirinya sebagai koruptor.  
Lisan melafalkan syahadat untuk bersaksi mengakui Ilahi Robbi dan Muhammad Rasul-Nya yang patut diimani. “Aku bersaksi Tiada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi Nabi Muhammad adalah utusan Allah”. Tapi, hanya sebatas itu. Tak pernah memahami bahwasanya Allah Maha Mengetahui (Yaa ’Aliim), Maha Melihat (Yaa Bashiir), Maha Menyaksikan (Yaa Syahiid).
Syahadat itu, bila dicerna lebih dalam, maka dapat diumpamakan bagai gelas, isinya, dan gelas yang isinya penuh. Bilamana gelas bening, isinya akan tampak bening sedang gelasnya tidak kelihatan. Begitu pula hati seorang mukmin yang merupakan tempat kediaman Tuhan, akan memperlihatkan kehadiran-Nya bilamana hati itu bersih, tulus dan jujur.
Bila memahami hal di atas, maka dalam melakukan apapun seseorang yang telah mengikrarkan syahadat (baca: telah beriman) senantiasa sadar bahwa dia selalu diawasi Tuhan Allah. Dengan demikian selalu mawas diri dan hati-hati dalam bertindak, bertutur kata, dalam artian berperilaku baik. Tak lalai menjalankan perintah agama. “Qalb al-mukmin bait Allah” (Hati seorang mukmin adalah tempat kediaman Allah).
Antara kebutuhan dan keinginan terselip celah begitu sempit. Sehingga acapkali kebutuhan dan keinginan bertukar tempat begitu rupa. Yang tadinya adalah hal yang betul-betul dibutuhkan tapi tak ada keinginan untuk dipenuhi. Sebaliknya, hal yang tadinya sebatas keinginan (angan-angan) tapi malah diupayakan (dengan cara apapun) memenuhinya. Keadaan ini akhirnya melahirkan perilaku konsumtif. Tadinya hanya sekadar berniat “cuci mata” atau window shopping, tapi karena keblinger dan ngiler akhirnya membeli sesuatu yang tak begitu perlu. Dan, malah melupakan sesuatu yang seharusnya dibeli.
Begitulah, kalau diperbudak nafsu. Apa yang diharap tak dapat, apa yang tak disuka malah mendekat. Yang diimpi tak tergapai, apa yang diraih malah tak sesuai. Maka dari itu agar tak tergelincir kita perlu penyangga hati, agar hati tak tunduk di bawah kendali nafsu. Maha Besar Allah yang memiliki sifat melindungi (Yaa Waliyyu), memberi petunjuk (Yaa Haadii). Mohonlah perlindungan dan petunjuk dari-Nya agar hati dan pikiran terjaga pada kebaikan.

Penyangga Hati

berat memang, apa yang kau harap tak dapat
apa yang tak kau suka, mendekat
yang kau impi tak tergapai, yang kau raih tak sesuai
aneh memang, apa kehendak tak nampak
apa dipinta tak terbalas
apa sapa tak terjawab
dalam renungan itu keras kau pikirkan
misteri yang tersembunyi dalam kehendak-Nya
sesuatu yang kau maknai bermanfaat
yang kau rasa nikmat, yang kau anggap benar,
yang kau yakini berarti, yang kau harap sekali
sekali-kali tak akan diberikan-Nya
bila menurut-Nya kau tak bisa dipercaya
tak sepenuhnya mampu memegang amanah
tak peduli untuk membagi, tak bisa menjaga
tak tawakal dicoba, tak ikhlas membalas
dan masih kerap dirundung ketakacuhan
meski sekedar menatap membagi muka
pada setiap orang yang kau jumpa
ada sapa, ada salam, ada senyum membuka
dan penyangga hati yang ditegakkan
akan ada curah kemaslahatan
akan ada keselamatan
dalam jalinan kerukunan
semua tergantung kau yang menegakkannya
kau yang menjaga keselarasan itu
terpulang pada hati yang kau sangga
tidak bisa berharap banyak pada mereka
untuk menjadi apa yang kau inginkan
jalan tengah yang menyelamatkan
menjadilah yang dapat memahami bukan dipahami
menjadilah yang dapat mencintai bukan dicintai
menjadilah yang dapat memberi bukan diberi
menjadilah yang dapat mengasihani bukan dikasihani
menjadilah yang dapat menyantuni bukan disantuni
menjadilah yang dapat bersedekah bukan minta sedekah

Bandarlampung, 28 Agustus 2008   
    

Rasa…

Tuhan menciptakan akal untuk memikirkan
Maka renungkanlah ke-Mahaagungan-Nya
Tuhan menciptakan hati untuk meresapi
Maka rasakanlah ke-Mahakasihan-Nya
Tuhan menciptakan rasa untuk mencintai
Maka hanya dengan memberi leluasa menikmati
Tuhan menciptakan kebaikan untuk gembira
Maka jangan lukai hati sehingga timbul kesedihan
Tuhan menciptakan pegangan untuk kebersamaan
Maka janganlah kebencian menjadikan tercerai-berai
Saling mengikat, saling berpegang, jadinya tak rapuh
Saling menjaga, saling mengayomi, jadinya tenteram
Saling mengingatkan, saling memelihara keutuhan
Menyatupadukan, memadupadankan, menyelamatkan
Rasa itulah yang merekatkan, membawa hikmat
      
Maha Agung Tuhan membimbing pikiran pada kebaikan
Mintalah Dia tak akan membelokkan pada keburukan
Dianugerahkan-Nya cahaya untuk menerangi penglihatan
Agar panca indera menangkap ha-hal yang benar
Kebatilan hanya akan tampak bila penglihatan ketlingsut
Melihat dengan tidak benar karena silau pada keduniawian
Kagum pada keindahan dan kenikmatan semu
Maha Agung Tuhan menjaga hati dan pikiran pada kebaikan
Mintalah Dia jangan sampai menjadikan diri lupa ingatan
Dianugerahkan-Nya rasa takut untuk rambu-rambu bagi hati
Agar tak mabuk kemewahan lalu terjerumus pada kenistaan
Siuman setelah mengerti ternyata semua hanya tipuan dunia

Bandarlampung, 15 November 2010