Rabu, 27 Juli 2011

Ribuan Ikan Danau Ranau Mati

DANAU RANAU, SRIPO – Ribuan ekor ikan di Danau Ranau, Ogan Komering Ulu (OKU Selatan), sejak awal pekan ini, mati akibat keracunan belerang. Belum diketahui secara pasti lokasi “kebocoran” belerang itu. Namun diperkirakan berasal dari perut bawah Gunung Seminung. Rembesan ini pula kemudian bercampur dengan danau dan meracuni ikan.
Berton-ton ikan yang mati ini mulai ditemukan hari Senin lalu dan puncaknya terjadi Rabu (7/4). Nelayan setempat masih menemukan ikan yang mati, namun hingga Jumat kemarin mulai berkurang bersamaan turunnya hujan yang cukup deras.
“Puncaknya terjadi pada hari Senin dari desa seberang tercatat sedikitnya delapan ketek ikan (1 ton) mati dibawa ke Pasar Bandaragung. Ada juga yang dibawa ke tempat lain,” kata Murshal Arbi (58) warga Desa Bandaragung ketika dihubungi kemarin dari Baturaja.
Murshal mengatakan, desa yang ikut panen ikan ini antara lain Desa Bandaragung, Waycuring, Wayhening, Batuhandak, Nehara, Lakai, Kota Batu Kecamatan Bandingagung. Kemudian Desa Lumbok, Sukabanjar, dan Heniarong (Kabupaten Lampung Barat).
Pria yang berprofesi sebagai wiraswasta ini menuturkan selama tiga hari warga Bandingagungdan sekitarnya “mabuk melihat ikan, Mabok kami dak katik penyingokan lain selain ikan,” kata Murshal seraya menambahkan ikan–ikan dari Danau ranau dijual murah. Ikan mujair dijual Rp5.000/kg padahal pada hari biasanya harganya mencapai Rp15.000/kg.
Gunung Seminung meletus seperti yang terjadi tahun 1933 lalu. Bila belerang sudah mengalir di Danau ranau ditandai dengan air berwarna biru kehitam-hitaman, lalu ikan-ikan mulai menggelepar dan mati. Diakui Murshal ikan-ikan yang mati kena belerang panas ini masih bisa dikonsumsi namun rasanya tidak selezat hari-hari biasa.
Samsudin warga Bandaragung menuturkan, peristiwa serupa pernah terjadi tahun 1997. Ikan mati akibat air danau tercemar belerang panas. Matinya ikan danau ini, disebut warga setempat sebagai bentilehan.

Sriwijaya Post, Sabtu 9 April 2011

Bentilehan

Ya, sejak Gunung Seminung meletus pada Tahun 1933, di kakinya muncul sumber air panas. Dengan munculnya sumber air panas itu kemudian membawa berkah. Pertama, sumber air panas itu akan mengurangi simpanan sumber panas yang mengendap di perut Gunung Seminung. Dengan demikian sejak meletus Tahun 1933 itu Gunung Seminung tidak pernah menampakkan gejala letusan berikutnya, tidak juga mengepulkan asap di puncaknya sebagaimana bisa disaksikan pada puncak Gunung Merapi di Jawa Tengah.
Kedua, saat ini sumber air panas diekploitasi jadi daerah kunjungan wisata. Jadi komoditi bidang pariwisata.
Apakah Gunung Seminung bisa dikategorikan gunung berapi yang masih aktif atau sudah mati, sejauh ini belum ada penjelasan yang bisa dijadikan rujukan untuk menyimpulkannya. Tapi, dengan adanya sumber air panas tersebut, secara periodik akan terjadi munculnya cemaran belerang di Danau Ranau, yang akan membuat ikan-ikan mabuk dan mati, peristiwa ini disebut bentilehan.

Sepanjang ingatan sejak saya masih Sekolah Dasar, beberapa kali saya mengalami langsung peristiwa bentilehan ini. Dengan menggunakan perahu dan tangguk (semacam jaring yang diberi gagang kayu), saya dan teman-teman sibuk memunguti ikan-ikan yang sedang mabuk sehingga saking banyaknya tidak sembarang ikan yang ditemu ditangguk, melainkan dipilih ikan-ikan yang besar-besar dan yang terkenal lezat seperti mujair, palau, sikhan, hakhongan, juga kembuluhan (nama-nama ikan ini ditulis sesuai penamaan oleh masyarakat setempat).

Mendapat ikan yang demikian melimpah, jadinya ikan tak ada harga. Jadinya warga mengolah ikan dengan dibuat ikan salai (ikan asap), sehingga daya tahannya cukup awet.
Begitu tamat SMP saya merantau, dan di rantauan pun masih saja kabar tentang peristiwa bentilehan ini saya terima yang kala itu hanya lewat surat pos. Sekarang, peristiwa bentilehan seperti yang terjadi bulan April silam, kabarnya bisa cepat sampai melalui SMS dan beritanya pun langsung bisa diakses melalui internet ke alamat website surat kabar yang terbit di Palembang.

Selasa, 19 Juli 2011

Melacak Jejak

Setelah lebih 30 tahun saya tak pernah menapak tebing landai yang menghubungkan pangkalan permukiman orang sunda di pesisir danau Ranau, yang lebih beken bagi masyarakat setempat sebagai "Gegahan Jawa" dan permukiman di atasnya yang lebih dikenal sebagai "Umbulan." Pada Selasa, 5 Juli 2011, saya kembali "melacak jejak" di lereng Teba Kelelakan itu, namun tentu saja tak akan terlacak jejak-jejak yang pernah tinggal di sana sekitar 30-an tahun silam. Kini jalan landai di lereng itu telah mulus disemen dan ada juga terap tangga di beberapa tempat yang demikian curam. Adalah PNPM (program nasional pemberdayaan masyarakat) Mandiri, yang memfasilitasi semeniasi jalan setapak itu. Ya, sebuah program andalan pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono, untuk menunjukkan bahwa ada perhatian terhadap masyarakat perdesaan. Tapi, sayangnya program ini juga dimanfaatkan oleh oknum-oknum aparat perdesaan untuk menyelewengkan dana segar yang terkucur. Jadinya acapkali programnya ada namun hasilnya tak ada, atau walaupun ada terkadang tak memberi manfaat berarti bagi masyarakat.
Danau Ranau dibidik dari Teba Kelelakan | 5 JULI 2011
Setelah demikian lama merantau, meski sesekali pulang, demikian lama pula tak mendaki tebing. Wow, meski nafas terengah, tapi fisik ternyata masih kuat menjejak tebing itu. Sekedar jeda menghela nafas, sembari menjepret hamparan Danau Ranau yang terbentang begitu eksotis.
Sayang sekali di hutan yang lebat di lereng itu tak sempat menemukan sosok primata seperti beruk, kera, dan lutung. Beruk (macaca nemestrina) warna bulunya merah kekuning-kuningan atau keemasan dan ekornya pendek. Kera warna bulunya coklat keputih-putihan berekor panjang. Lutung berbadan langsing dan berekor panjang, warna bulunya hitam. Jika dibandingkan dengan kakinya, tangan lutung terbilang pendek dan telapak tangannya tidak berbulu. Ukuran badan antara 40-80 cm dengan berat 5-15 kg. Dan ada satu lagi kalau bahasa Indonesianya apa ya namanya...? Kalau masyarakat di sana menamainya Cecah (warna bulunya putih keabu-abuan dan ekornya juga panjang). 
Beruk dan kera tergolong buas. Pernah saya bersama ibu mengalami dikejar beruk, dulu saat saya SD hendak ke perkebunan kopi, di tengah jalan tiba-tiba seekor beruk yang begitu besar secara mendadak keluar dari balik pohon dadap. Spontan saya bersama ibu langsung balik badan dan lari terbirit-birit. 
Tentang kera, pengalaman saat menunggu sawah yang tanaman padinya mulai mengeluarkan bulir-bulir padi. Rombongan kera menyerbu dari semak belukar, dengan berbekal ketapel saya coba untuk menghalau. Tapi apadaya karena saya sendiri sedang kera itu satu kompi, kewalahanlah saya mengusirnya. Apalagi tingkah kera itu seperti sengaja menggoda saya, diusir di sebelah sini, yang lain menyerbu di sebelah sana, dan mimik mukanya dibuat-buat sehingga menimbulkan kesan agar saya takut dan kalah pada mereka.