Minggu, 27 November 2011

Hikmah Hijrah

Mengapa Rasulullah SAW sampai harus melakukan hijrah? Karena ingin menghindar dari kekejaman dan penindasan kaum musyrikin Quraisy, yang tidak senang melihat kemajuan dakwah Nabi Muhammad SAW dari hari ke hari semakin banyak pengikutnya. Pesatnya keberhasilan dakwah Rasulullah SAW ini menunjukkan bahwa usaha kaum Quraisy untuk membendung dakwah ini mengalami gatot alias gagal total.
Mendapat pertentangan dan ancaman dari kaum Quraisy di kota Mekah, membuat sahabat Muhammad SAW melakuka hijrah agar dapat memperkokoh kekuatan di tempat yang baru yaitu kota Yatsrib (Madinah). Berita tentang tanah baru yang dijadikan tempat hijrah oleh para sahabat Nabi SAW telah tersebar di kalangan pembesar Quraisy. Ketenangan mereka menjadi terganggu oleh berita itu. Bayang-bayang ketakutan menghantui mereka jika Nabi Muhammad SAW sampai berhasil mendirikan sebuah negara besar yang terdiri dari komunitas-komunitas yang loyal kepadanya. Hal itu tentu akan mengancam kepentingan mereka.
Usaha pencegahan pun dilakukan. Dengan mengadakan pertemuan di sebuah balai yang dikenal dengan Dar An Nadwah, para pembesar musyrikin Quraisy menyusun konspirasi untuk mencari jalan mematahkan kekuatan dakwah Rasulullah SAW yang semakin banyak pengikutnya dari hari ke hari.
Allah Maha Tahu. Dia mengutus Malaikat Jibril untuk memberitahukan kepada Rasulullah SAW perihal konspirasi tersebut. Dan Allah (melalui Malaikat Jibril) menurunkan perintah agar Rasulullah berhijrah saat itu. Nabi Muhammad SAW diizinkan meninggalkan kota Mekah tempatnya lahir dan melakukan dakwah pertama, demi keselamatan jiwa dan nyawanya yang terancam. Malam itu juga Rasulullah berangkat, dan posisi tidurnya digantikan sepupunya Ali Bin Abi Thalib.
Perjalanan hijrah pun dimulai, dengan ditemani sahabat terbaiknya yaitu Abu Bakar Ash-Shiddiq. Rasulullah dan Abu Bakar berangkat ke Yatsrib dengan menempuh jalan yang tidak biasa dilalui orang. Abdullah  bin Uraiqit —dari Bani Du'il— bertindak sebagai penunjuk jalan. Abdullah bin Uraiqit membawa mereka ke arah selatan, kemudian menuju Tihama di dekat pantai Laut Merah. Ketiga orang itu pun terus melakukan perjalanan, siang dan malam, tanpa kenal lelah.
Sebelum berangkat Abu Bakar Ash-Shiddiq mengutus putranya Abdullah bin Abu Bakar untuk jadi mata-mata memantau situasi kota Mekah sepeninggal mereka. Dan informasi itu harus dilaporkan kepada mereka yang menungg di gua Tsur, yaitu tempat persinggahan mereka untuk istirahat selama tiga hari dalam perjalanan hijrah itu. Selain Abdullah bin Abu Bakar, orang yang mengetahui keberadaan Nabi SAW dan Abu Bakar di gua Tsur adalah Aisyah dan Asma binti Abu Bakar, serta pembantu mereka Amir bin Fuhairah.
Keesokan harinya kota Mekah gempar. Para pembesar musyrikin Quraisy bukan main geramnya mengetahui Muhammad SAW telah kabur. Sia-sia sudah usaha mereka melakukan pertemuan mengatur rencana secara rapi untuk menangkap Nabi SAW hidup-hidup. Merasa gagal melakukan penangkapan sendiri, para pembesar musyrikin Quraisy menyebar sayembara, siapa yang berhasil menangkap Nabi SAW dalam keadaan hidup atau mati akan diberi hadiah yang sangat menggiurkan, yaitu 100 ekor unta.
Demi mendengar sayembara menggiurkan itu, Suraqah bin Malik yang mendapat bocoran tentang tempat persembunyian Muhammad SAW, bergegas memacu kudanya untuk menyusul dan jejak Muhammad SAW. Ambisi untuk mendapatkan hadiah itu memacu semangatnya melakukan pengejaran dan terobsesi menangkap Muhammad SAW.
Begitu mendekati posisi keberadaan Muhammad SAW, kaki kudanya berulang kali terperosok ke dalam pasir gurun sehingga membuat Suraqah bin Malik terpelanting jatuh. Itu dialaminya berulang kali, sehingga dia tersadar bahwa itu adalah berkat pertolongan Allah SWT yang memberikan perlindungan kepada Muhammad SAW. Akhirnya dia memutuskan kembali ke kota Mekah dengan tangan hampa.

Strategi Hijrah
Jauh hari sebelum melakukan hijrah Nabi SAW terlebih dahulu mengutus duta untuk melakukan uji coba menebar dakwah Islam di kota Yatsrib (Madinah). Duta pertama yang dikirim adalah Mush’ab bin Umair, seorang sahabat nabi dari keluarga konglomerat di kota Mekah yang rela meninggalkan kehidupan mewah demi memperjuangkan Islam. Beliau ditugasi mengajarkan Al-Quran kepada penduduk Yatsrib (Madinah). Karena itu beliau dijuluki Muqri’ Al Madinah.
Perjalanan hijrah Nabi SAW pun berlangsung dengan lancar dan selamat sampai tujuan. Di kota tujuan Yatsrib (Madinah) ternyata suasana penyambutan atas kedatangan Nabi SAW begitu meriah. Orang tua dan muda, kecil dan besar, miskin dan kaya, semuanya keluar untuk meluapkan kegembiraan atas kedatangan sosok yang selama ini mereka rindukan. Mereka sudah lama mendambakan ingin melihat wajah Rasulullah SAW yang diutus untuk menjadi nabi akhir zaman sekaligus nabi penutup para nabi sebelumnya. Hal ini tidak terlepas dari peran besar Mush’ab bin Umair yang telah berhasil menyemaikan syiar Islam kepada penduduk seantero Yatsrib (Madinah).
Dengan berhijrahnya Rasulullah SAW dari kota Mekah ke kota Yatsrib, melahirkan hikmah yang besar. Sejak itu kota Yatsrib diubah namanya menjadi kota Madinah. Dan untuk mengenang peristiwa bersejarah ini, tahun itu dijadikan sebagai permulaan kalender Isalam atau yang kita kenal sekarang ini sebagai kalender Hijriah.

Ibrah (Pelajaran Penting)
Banyak pelajaran yang dapat kita petik dari peristiwa hijrahnya Rasulullah SAW dari kota Mekah ke kota Madinah. Di antaranya adalah faktor-faktor yang menjadi sebab diperintahkannya hijrah itu sendiri.
1)       Pentingnya menjaga loyalitas. Dalam hal ini telah ditunjukkan oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq yang setia mengawal perjalanan Muhammad SAW. Dia rela menjadi perisai bagi setiap ancaman dan gangguan yang akan mengadang dan mengamcam keselamatan jiwa dan nyawa Muhammad SAW.
2)       Pentingnya menjaga amanah. Sebelum Muhammad SAW berhijrah terlebih dahulu beliau mengutus Mush’ab bin Umair menjadi duta untuk mengajarkan Al-Quran kepada penduduk Madinah. Atas kepercayaan yang diberikan kepadanya, Mush’ab bin Umair dapat memegang amanah yang diembannya dan melaksanakan tugas dengan penuh tanggung jawab. Artinya dia adalah orang yang memiliki integritas yang tinggi.
3)       Pentingnya menjaga aqidah. Perjalanan hijrah Rasulullah penuh pengorbanan, di antaranya harta dan kota Mekah yang telah lama didiami harus ditinggalkan begitu saja. Sahabat dan relasi dagangnya yang telah terjalin begitu erat dan sama-sama memberi kontribusi dalam keberhasilan bisnis Rasulullah SAW dan Istrinya Saidatina Siti Khadijah, juga ditinggalkan begitu saja. Bahkan yang paling berat adalah harus mempertaruhkan jiwa dan nyawa, dari ancaman kaum musyrikin Quraisy yang berambisi menangkap Muhammad SAW baik secara hidup atau pun mati. Semua itu bukanlah hal yang penting bagi Rasulullah SAW. Bagi beliau yang terpenting adalah menyelamatkan AQIDAH. Menyelamatkan kelangsungan dakwah demi tersebarluasnya syiar Islam.
4)       Terciptanya kedamaian. Kota Madinah yang tadinya terbelenggu konflik internal antara suku Aus dan Khazraj, berubah drastis menuju ke kondisi kondusif setelah Sa’ad bin Mu’adz dan Usaid bin Hudhair yang saat itu menjabat sebagai kepala suku tertarik dengan dakwah yang dilakukan Mush’ab bin Umair. Dan setelah kedatangan Rasulullah SAW keadaan menjadi lebih damai lagi, sehingga penyebaran syiar Islam oleh Rasulullah SAW berlangsung dengan pesat.
5)       Pentingnya menjaga kesucian. Kemunkaran adalah hal yang harus dicegah dan diubah dengan berbagai upaya dan kekuatan. Bila upaya dan kekuatan telah dikerahkan tapi kita tidak bisa mencegah dan mungubah kemunkaran menjadi kebaikan, maka hendaknya kita meninggalkan tempat kemunkaran itu dan berhijrah ke tempat yang mendukung keberlangsungan baik bagi hidup kita maupun bagi agama kita.
6)       Pentingnya manajemen. Meski dalam melakukan dakwahnya Rasulullah SAW senantiasa akan mendapat bimbingan dan pertolongan Allah SWT, namun Rasulullah SAW tetap menerapkan manajemen dalam berdakwah. Beliau membuat program secara matang mulai perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), penerapan (actuating), dan pengawasan (controlling). Meski bisa dipastikan beliau senantiasa akan dilindungi Allah SWT dari hal-hal yang mencelakakan, namun tetap saja beliau menjalankan semua sunnatullah (hukum sebab akibat) sebagai manusia biasa, dalam melakukan dakwah demi keberhasilan syiar Islam.
7)       Pentingnya inovasi. Merasa terancam aktivitas dakwahnya di kota Mekah, Rasulullah SAW mencari inovasi dalam berdakwah agar terus tersiarnya syiar Islam di muka bumi. Merasa tidak memungkinkan dakwah secara aman di kota Mekah, beliau memandang perlu melakukan hijrah ke tempat lain demi tugas kerasulan yang diembannya.
8)       Pentingnya rasa aman dan damai. Sebagai seorang Rasul dan pemimpin umat, Nabi SAW sangat bertanggung jawab dalam menciptakan rasa aman dan damai bagi umatIslam pengikutnya dan anggota masyarakat lainnya [kaum Yahudi dan golongan Paganisme (Watsaniyah)], yaitu agama mayoritas yang mendominasi kota Mekah saat itu. Segala cara beliau upayakan agar tercipta kerukunan antarumat seagama (sesama Muslim) dan antarumat beragama (Muslim dengan Yahudi). Agar sahabat-sahabatnya tidak mendapat tekanan dan provokasi dari dari pihak lain. Setelah sahabat dan anggota keluarganya berhasil selamat meninggalkan kota Mekah, barulah dia sendiri yang keluar.

Dan masih banyak lagi i’tibar atau pelajaran yang dapat dipetik dari peristiwa hijrah. Semoga ulasan singkat ini bisa menjadi penggugah untuk memulai langkah awal menuju yang baik dan yang lebih baik. Amin. 


     

Selasa, 01 November 2011

Upacara yang Bernama ”Mudik Lebaran”

       Akhirnya Idulfitri tahun ini terlaksana juga mudik ke kampung halaman istri, Pacitan (Jawa Timur). Mudik kali ini memang istimewa, karena sudah sekitar 4 tahun kami tak mudik (terakhir tahun 2007). Jadi mudik tahun ini tidak bisa juga dikatakan sebagai realitas setahun sekali dalam entitas masyarakat yang menyukai upacara tahunan itu.
Mudik. Sebuah kata yang begitu keramat. Bisa dikatakan melebihi ‘keramatnya’ sembah sungkem ke pangkuan ibu dan ayah. Begitu keramatnya, ada yang rela antre panjang berpanas-panas demi mendapatkan beberapa lembar tiket untuk mereka sekeluarga besar, ini dilakukan untuk menghindari apes yang bakal dialami bila kehabisan tiket atau dengan keterpaksaan harus menebus dengan harga berlipat melalui calo. Rela berdesak-desakan dalam gerbong kereta yang sudah penuh sesak. Rela berpanas-panas dalam bus ekonomi yang terjebak kemacetan berjam-jam berpuluh kilometer. Ikhlas menahan haus dan lapar demi menyempurnakan ibadah shaum yang ditunaikan meski dibolehkan sebagai hak bagi kaum musafir yang menempuh perjalanan lebih dari 80 kilometer untuk tidak berpuasa.  
Ya, jangankan mengalaminya sendiri, menyaksikan mereka di layar tivi, kita serasa terbawa eksotisme suasana mudik yang begitu kuatnya menyaput wajah muram mereka dengan bayang-bayang keceriaan orangtua dan kerabat di kampung halaman, yang memang mendambakan kedatangan anak cucu tak peduli bagaimana jalan ditempuh, kendaraan apa yang ditumpangi. Bahkan tak pernah membayangkan bahwa anak cucunya menempuh perjalanan begitu jauh dengan menunggang sepeda motor, dengan risiko luar biasa mencemaskan. Dan manakala di tivi kita saksikan terjadi kecelakaan yang dialami pengendara sepeda motor, baru kita terhenyak. Betapa mahalnya harga sebuah upacara yang bernama mudik lebaran. Ada yang tewas sebelum sampai kampung halaman tujuan. Insiden kecelakaan yang rawan terjadi, apakah menjadi pemicu kapoknya mereka untuk mudik? Barangkali ada yang keder, tentu saja ada pula tak begitu ambil peduli, toh ini hanya dilakoni setahun sekali. Bahkan tak sedikit yang tegas mengatakan sama sekali tidak kapok.
Memang lain halnya cerita mudik kaum berduit, dengan pesawat komersial perjalanan antarbandara (keberangkatan dan kedatangan) bisa ditempuh hanya dengan beberapa menit (berkisar 15-60 menit). Ini perjalanan mudik paling nyaman, tapi kurang greget, kurang eksotis. Mengapa demikian? Hampir jadi axioma bahwa letak eksotisnya mudik itu justru di macetnya. Dan untuk urusan macet ini, para pemudik tidak saja memerlukan tenaga yang terjaga, tapi juga emosi yang harus lebih dijaga. Bayangkan, di tengah dekapan kemacetan yang panjang berjam-jam berpuluh kilometer, ada saja hal-hal yang bisa membangkitkan emosi. Pendingin udara dalam kendaraan pribadi yang mungkin freonnya sudah menipis sehingga kesejukan yang dihasilkan tidak seberapa dingin. Ditambah penguapan suhu tubuh para penumpang yang berpuasa sehingga cenderung kurang cairan, akan menambah suasana panas bertambah panas. Ada pula kendaraan lain yang main serobot selonong boy di kanan atau kiri kendaraan kita, akan memicu kumparan energi emosi kita berputar kencang, sehingga kalau kita tidak lekas-lekas melafalkan istighfar, bisa jadi kata-kata jorok akan terlontar dari mulut kita. Inilah ujian bagi kesabaran kita. Ujian bagi kecerdasan emosi kita. Bila kita kuat menjaga ketahanan emosi, bila kita rajin merawat kesabaran, bila kita piawai menata hati, bila kita cekatan menempatkan diri, artinya kita cerdas secara emosional. Insya Allah segalanya dipandang menyenangkan, segalanya dibuat enjoy, tak ada yang merepotkan.
Tentang upacara mudik lebaran yang kami sekeluarga alami kemarin. Dengan menumpang bus Patas AC (sayang yang eksekutif tak kebagian lagi padahal baru tanggal 1 Ramadhan), perjalanan cukup menyenangkan, berangkat pukul 14.30 maghrib sudah di atas kapal fery di pelabuhan Bakauheni dan acara buka puasa dilakoni di atas kapal. Pendingin udara yang nampaknya terawat dengan baik membuat suhu di dalam bus luar biasa dingin, bahkan membuat tulang seperti es batu. Jaket tebal yang telah siaga sepertinya tak mampu beri kehangatan. Perjalanan begitu lancar maklum lewat tol Merak, tak terasa pukul 22.00 bus tiba di gerbang tol Kebun Jeruk, saya terjaga melihat benderangnya ibukota, bus pun merayapi jalan Gatot Subroto terus menuju arah Cikampek. Masuk jalur pantura (pantai utara) akhirnya bus berhenti untuk makan sahur di Subang (Jawa Barat). Semula perjalanan lancar-lancar saja sampai akhirnya terjebak kemacetan di tol Kanci (Cirebon) bersamaan dengan tibanya waktu shalat subuh.
Kemacetan kembali menjebak kami sewaktu melewati jalur Ketanggungan-Bumiayu. Jalan alternatif yang kecil penuh dengan antrean kendaraan dengan kondisi berjalan merayap. Kondisi ini tak menimbulkan masalah mengingat pendingin udara yang nyessss semriwing. Lepas dari jebakan kemacetan, selebihnya perjalanan menyenangkan. Pas adzan maghrib berkumandang perjalanan sedang masuk kota Jogja, jadilah acara buka puasa mengikuti waktu Jogja dan sekitarnya.
Setelah makan malam dengan menu spesial gudek Yu Djum dari jalan Wijilan, dari Jogja perjalanan dilanjutkan dengan menumpang minibus kijang yang telah disediakan keponakan Dedy Kurniawan, begitu melewati jalan Wonosari perjalanan agak tersendat karena dicegat arak-arakan pawai oncor dan lampion dari komunitas Remaja Masjid yang mengumandangkan takbir menyambut Idulfitri 1432 H. Karena kota Jogja adalah basis Muhammadiyah, maka idulfitrinya lebih dahulu dari yang ditetapkan pemerintah RI. Itulah kenapa saat Kementerian Agama RI sedang sidang isbat penentuan jatuhnya 1 Syawal 1432 H bersama para ahli hilal dan rukyat, komunitas muslim dari kalangan Muhammadiyah telah bertakbir keliling dengan membawa oncor dan lampion disertai tetabuhan; terbang, drum, gong, kentongan pring, bahkan ada juga angklung khas jawa barat. Begitu khidmat, begitu syahdu. Ah, Jogja memang istimewa.           

Jogjakarta

hari ini keganjilan kembali butuh dikaji
sebagian ummat telah mengumandangkan takbir  
sebagian lainnya masih menunggu keputusan sidang isbat
tak mengapa, perbedaan itu rahmat

ada nuansa yang asyik untuk diperhatikan
iring-iringan karnaval oncor dan lampion kelap-kelip
ah, ini yang menegaskan Jogja itu benar-benar istimewa
apa pasal sepertinya ada yang enggan mengakuinya

takbir yang dilantunkan penuh khidmat
menegaskan pula betapa kecilnya kita di hadapan Allah
tapi ego kadang membawa kita ke arena pertentangan
sepertinya kita yang paling benar, yang lainnya salah

pendar oncor dan kelap-kelip lampion
menunjukkan betapa kreatifnya orang Jogja
betapa berkarakternya mereka
local content dihargai dan dipelihara kelestariannya

terasa betul kedamaian dan keramah-tamahan
ah, inikah yang membuat aku selalu rindu Jogja
inikah yang membuat desir-desir di dada bangkit
tiap mendengar lagu KLa Project “Jogjakarta”

malam ini meski perjalanan jadi melambat
akibat iring-iringan karnaval mecegat
tak mengapa, tak terbersit ada keinginan mengumpat
justru hati terharu, anak-anak itu begitu bersemangat

Jalan Wonosari (perjalanan Jogja - Pacitan), Senin, 29 Agustus 2011