Akhirnya
Idulfitri tahun ini terlaksana juga mudik ke kampung halaman istri, Pacitan
(Jawa Timur). Mudik kali ini memang istimewa, karena sudah sekitar 4 tahun kami
tak mudik (terakhir tahun 2007). Jadi mudik tahun ini tidak bisa juga dikatakan
sebagai realitas setahun sekali dalam entitas masyarakat yang menyukai upacara
tahunan itu.
Mudik.
Sebuah kata yang begitu keramat. Bisa dikatakan melebihi ‘keramatnya’ sembah sungkem ke pangkuan ibu dan ayah.
Begitu keramatnya, ada yang rela antre panjang berpanas-panas demi mendapatkan
beberapa lembar tiket untuk mereka sekeluarga besar, ini dilakukan untuk
menghindari apes yang bakal dialami bila kehabisan tiket atau dengan
keterpaksaan harus menebus dengan harga berlipat melalui calo. Rela berdesak-desakan
dalam gerbong kereta yang sudah penuh sesak. Rela berpanas-panas dalam bus
ekonomi yang terjebak kemacetan berjam-jam berpuluh kilometer. Ikhlas menahan haus
dan lapar demi menyempurnakan ibadah shaum
yang ditunaikan meski dibolehkan sebagai hak bagi kaum musafir yang menempuh
perjalanan lebih dari 80 kilometer untuk tidak berpuasa.
Ya,
jangankan mengalaminya sendiri, menyaksikan mereka di layar tivi, kita serasa
terbawa eksotisme suasana mudik yang begitu kuatnya menyaput wajah muram mereka
dengan bayang-bayang keceriaan orangtua dan kerabat di kampung halaman, yang
memang mendambakan kedatangan anak cucu tak peduli bagaimana jalan ditempuh,
kendaraan apa yang ditumpangi. Bahkan tak pernah membayangkan bahwa anak
cucunya menempuh perjalanan begitu jauh dengan menunggang sepeda motor, dengan
risiko luar biasa mencemaskan. Dan manakala di tivi kita saksikan terjadi
kecelakaan yang dialami pengendara sepeda motor, baru kita terhenyak. Betapa mahalnya
harga sebuah upacara yang bernama mudik lebaran. Ada yang tewas sebelum sampai kampung
halaman tujuan. Insiden kecelakaan yang rawan terjadi, apakah menjadi pemicu
kapoknya mereka untuk mudik? Barangkali ada yang keder, tentu saja ada pula tak begitu ambil peduli, toh ini hanya
dilakoni setahun sekali. Bahkan tak sedikit yang tegas mengatakan sama sekali
tidak kapok.
Memang
lain halnya cerita mudik kaum berduit, dengan pesawat komersial perjalanan
antarbandara (keberangkatan dan kedatangan) bisa ditempuh hanya dengan beberapa
menit (berkisar 15-60 menit). Ini perjalanan mudik paling nyaman, tapi kurang
greget, kurang eksotis. Mengapa demikian? Hampir jadi axioma bahwa letak
eksotisnya mudik itu justru di macetnya. Dan untuk urusan macet ini, para
pemudik tidak saja memerlukan tenaga yang terjaga, tapi juga emosi yang harus
lebih dijaga. Bayangkan, di tengah dekapan kemacetan yang panjang berjam-jam berpuluh
kilometer, ada saja hal-hal yang bisa membangkitkan emosi. Pendingin udara dalam
kendaraan pribadi yang mungkin freonnya sudah menipis sehingga kesejukan yang
dihasilkan tidak seberapa dingin. Ditambah penguapan suhu tubuh para penumpang
yang berpuasa sehingga cenderung kurang cairan, akan menambah suasana panas bertambah
panas. Ada pula kendaraan lain yang main serobot selonong boy di kanan atau kiri kendaraan kita, akan memicu
kumparan energi emosi kita berputar kencang, sehingga kalau kita tidak
lekas-lekas melafalkan istighfar,
bisa jadi kata-kata jorok akan terlontar dari mulut kita. Inilah ujian bagi
kesabaran kita. Ujian bagi kecerdasan emosi kita. Bila kita kuat menjaga
ketahanan emosi, bila kita rajin merawat kesabaran, bila kita piawai menata
hati, bila kita cekatan menempatkan diri, artinya kita cerdas secara emosional.
Insya Allah segalanya dipandang menyenangkan, segalanya dibuat enjoy, tak ada
yang merepotkan.
Tentang
upacara mudik lebaran yang kami sekeluarga alami kemarin. Dengan menumpang bus Patas
AC (sayang yang eksekutif tak kebagian lagi padahal baru tanggal 1 Ramadhan),
perjalanan cukup menyenangkan, berangkat pukul 14.30 maghrib sudah di atas
kapal fery di pelabuhan Bakauheni dan acara buka puasa dilakoni di atas kapal. Pendingin
udara yang nampaknya terawat dengan baik membuat suhu di dalam bus luar biasa
dingin, bahkan membuat tulang seperti es batu. Jaket tebal yang telah siaga
sepertinya tak mampu beri kehangatan. Perjalanan begitu lancar maklum lewat tol
Merak, tak terasa pukul 22.00 bus tiba di gerbang tol Kebun Jeruk, saya terjaga
melihat benderangnya ibukota, bus pun merayapi jalan Gatot Subroto terus menuju
arah Cikampek. Masuk jalur pantura (pantai utara) akhirnya bus berhenti untuk
makan sahur di Subang (Jawa Barat). Semula perjalanan lancar-lancar saja sampai
akhirnya terjebak kemacetan di tol Kanci (Cirebon) bersamaan dengan tibanya
waktu shalat subuh.
Kemacetan
kembali menjebak kami sewaktu melewati jalur Ketanggungan-Bumiayu. Jalan alternatif
yang kecil penuh dengan antrean kendaraan dengan kondisi berjalan merayap. Kondisi
ini tak menimbulkan masalah mengingat pendingin udara yang nyessss semriwing. Lepas dari
jebakan kemacetan, selebihnya perjalanan menyenangkan. Pas adzan maghrib
berkumandang perjalanan sedang masuk kota Jogja, jadilah acara buka puasa
mengikuti waktu Jogja dan sekitarnya.
Setelah
makan malam dengan menu spesial gudek Yu Djum dari jalan Wijilan, dari Jogja
perjalanan dilanjutkan dengan menumpang minibus kijang yang telah disediakan
keponakan Dedy Kurniawan, begitu melewati jalan Wonosari perjalanan agak
tersendat karena dicegat arak-arakan pawai oncor
dan lampion dari komunitas Remaja Masjid yang mengumandangkan takbir menyambut
Idulfitri 1432 H. Karena kota Jogja adalah basis Muhammadiyah, maka
idulfitrinya lebih dahulu dari yang ditetapkan pemerintah RI. Itulah kenapa
saat Kementerian Agama RI sedang sidang isbat penentuan jatuhnya 1 Syawal 1432
H bersama para ahli hilal dan rukyat, komunitas muslim dari kalangan
Muhammadiyah telah bertakbir keliling dengan membawa oncor dan lampion disertai tetabuhan; terbang, drum, gong, kentongan pring, bahkan ada juga angklung khas jawa barat. Begitu khidmat,
begitu syahdu. Ah, Jogja memang istimewa.
Jogjakarta
hari ini keganjilan kembali butuh dikaji
sebagian
ummat telah mengumandangkan takbir
sebagian lainnya masih menunggu keputusan sidang isbat
tak mengapa, perbedaan itu rahmat
ada nuansa yang asyik untuk diperhatikan
iring-iringan karnaval oncor dan lampion kelap-kelip
ah, ini yang menegaskan Jogja itu benar-benar istimewa
apa pasal sepertinya ada yang enggan mengakuinya
takbir yang dilantunkan penuh khidmat
menegaskan pula betapa kecilnya kita di hadapan Allah
tapi ego kadang membawa kita ke arena pertentangan
sepertinya kita yang paling benar, yang lainnya salah
pendar oncor
dan kelap-kelip lampion
menunjukkan betapa kreatifnya orang Jogja
betapa berkarakternya mereka
local
content dihargai dan dipelihara kelestariannya
terasa betul kedamaian dan keramah-tamahan
ah, inikah yang membuat aku selalu rindu Jogja
inikah yang membuat desir-desir di dada bangkit
tiap mendengar lagu KLa Project “Jogjakarta”
malam ini meski perjalanan jadi melambat
akibat iring-iringan karnaval mecegat
tak mengapa, tak terbersit ada keinginan mengumpat
justru hati terharu, anak-anak itu begitu bersemangat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.