Selasa, 01 November 2011

Upacara yang Bernama ”Mudik Lebaran”

       Akhirnya Idulfitri tahun ini terlaksana juga mudik ke kampung halaman istri, Pacitan (Jawa Timur). Mudik kali ini memang istimewa, karena sudah sekitar 4 tahun kami tak mudik (terakhir tahun 2007). Jadi mudik tahun ini tidak bisa juga dikatakan sebagai realitas setahun sekali dalam entitas masyarakat yang menyukai upacara tahunan itu.
Mudik. Sebuah kata yang begitu keramat. Bisa dikatakan melebihi ‘keramatnya’ sembah sungkem ke pangkuan ibu dan ayah. Begitu keramatnya, ada yang rela antre panjang berpanas-panas demi mendapatkan beberapa lembar tiket untuk mereka sekeluarga besar, ini dilakukan untuk menghindari apes yang bakal dialami bila kehabisan tiket atau dengan keterpaksaan harus menebus dengan harga berlipat melalui calo. Rela berdesak-desakan dalam gerbong kereta yang sudah penuh sesak. Rela berpanas-panas dalam bus ekonomi yang terjebak kemacetan berjam-jam berpuluh kilometer. Ikhlas menahan haus dan lapar demi menyempurnakan ibadah shaum yang ditunaikan meski dibolehkan sebagai hak bagi kaum musafir yang menempuh perjalanan lebih dari 80 kilometer untuk tidak berpuasa.  
Ya, jangankan mengalaminya sendiri, menyaksikan mereka di layar tivi, kita serasa terbawa eksotisme suasana mudik yang begitu kuatnya menyaput wajah muram mereka dengan bayang-bayang keceriaan orangtua dan kerabat di kampung halaman, yang memang mendambakan kedatangan anak cucu tak peduli bagaimana jalan ditempuh, kendaraan apa yang ditumpangi. Bahkan tak pernah membayangkan bahwa anak cucunya menempuh perjalanan begitu jauh dengan menunggang sepeda motor, dengan risiko luar biasa mencemaskan. Dan manakala di tivi kita saksikan terjadi kecelakaan yang dialami pengendara sepeda motor, baru kita terhenyak. Betapa mahalnya harga sebuah upacara yang bernama mudik lebaran. Ada yang tewas sebelum sampai kampung halaman tujuan. Insiden kecelakaan yang rawan terjadi, apakah menjadi pemicu kapoknya mereka untuk mudik? Barangkali ada yang keder, tentu saja ada pula tak begitu ambil peduli, toh ini hanya dilakoni setahun sekali. Bahkan tak sedikit yang tegas mengatakan sama sekali tidak kapok.
Memang lain halnya cerita mudik kaum berduit, dengan pesawat komersial perjalanan antarbandara (keberangkatan dan kedatangan) bisa ditempuh hanya dengan beberapa menit (berkisar 15-60 menit). Ini perjalanan mudik paling nyaman, tapi kurang greget, kurang eksotis. Mengapa demikian? Hampir jadi axioma bahwa letak eksotisnya mudik itu justru di macetnya. Dan untuk urusan macet ini, para pemudik tidak saja memerlukan tenaga yang terjaga, tapi juga emosi yang harus lebih dijaga. Bayangkan, di tengah dekapan kemacetan yang panjang berjam-jam berpuluh kilometer, ada saja hal-hal yang bisa membangkitkan emosi. Pendingin udara dalam kendaraan pribadi yang mungkin freonnya sudah menipis sehingga kesejukan yang dihasilkan tidak seberapa dingin. Ditambah penguapan suhu tubuh para penumpang yang berpuasa sehingga cenderung kurang cairan, akan menambah suasana panas bertambah panas. Ada pula kendaraan lain yang main serobot selonong boy di kanan atau kiri kendaraan kita, akan memicu kumparan energi emosi kita berputar kencang, sehingga kalau kita tidak lekas-lekas melafalkan istighfar, bisa jadi kata-kata jorok akan terlontar dari mulut kita. Inilah ujian bagi kesabaran kita. Ujian bagi kecerdasan emosi kita. Bila kita kuat menjaga ketahanan emosi, bila kita rajin merawat kesabaran, bila kita piawai menata hati, bila kita cekatan menempatkan diri, artinya kita cerdas secara emosional. Insya Allah segalanya dipandang menyenangkan, segalanya dibuat enjoy, tak ada yang merepotkan.
Tentang upacara mudik lebaran yang kami sekeluarga alami kemarin. Dengan menumpang bus Patas AC (sayang yang eksekutif tak kebagian lagi padahal baru tanggal 1 Ramadhan), perjalanan cukup menyenangkan, berangkat pukul 14.30 maghrib sudah di atas kapal fery di pelabuhan Bakauheni dan acara buka puasa dilakoni di atas kapal. Pendingin udara yang nampaknya terawat dengan baik membuat suhu di dalam bus luar biasa dingin, bahkan membuat tulang seperti es batu. Jaket tebal yang telah siaga sepertinya tak mampu beri kehangatan. Perjalanan begitu lancar maklum lewat tol Merak, tak terasa pukul 22.00 bus tiba di gerbang tol Kebun Jeruk, saya terjaga melihat benderangnya ibukota, bus pun merayapi jalan Gatot Subroto terus menuju arah Cikampek. Masuk jalur pantura (pantai utara) akhirnya bus berhenti untuk makan sahur di Subang (Jawa Barat). Semula perjalanan lancar-lancar saja sampai akhirnya terjebak kemacetan di tol Kanci (Cirebon) bersamaan dengan tibanya waktu shalat subuh.
Kemacetan kembali menjebak kami sewaktu melewati jalur Ketanggungan-Bumiayu. Jalan alternatif yang kecil penuh dengan antrean kendaraan dengan kondisi berjalan merayap. Kondisi ini tak menimbulkan masalah mengingat pendingin udara yang nyessss semriwing. Lepas dari jebakan kemacetan, selebihnya perjalanan menyenangkan. Pas adzan maghrib berkumandang perjalanan sedang masuk kota Jogja, jadilah acara buka puasa mengikuti waktu Jogja dan sekitarnya.
Setelah makan malam dengan menu spesial gudek Yu Djum dari jalan Wijilan, dari Jogja perjalanan dilanjutkan dengan menumpang minibus kijang yang telah disediakan keponakan Dedy Kurniawan, begitu melewati jalan Wonosari perjalanan agak tersendat karena dicegat arak-arakan pawai oncor dan lampion dari komunitas Remaja Masjid yang mengumandangkan takbir menyambut Idulfitri 1432 H. Karena kota Jogja adalah basis Muhammadiyah, maka idulfitrinya lebih dahulu dari yang ditetapkan pemerintah RI. Itulah kenapa saat Kementerian Agama RI sedang sidang isbat penentuan jatuhnya 1 Syawal 1432 H bersama para ahli hilal dan rukyat, komunitas muslim dari kalangan Muhammadiyah telah bertakbir keliling dengan membawa oncor dan lampion disertai tetabuhan; terbang, drum, gong, kentongan pring, bahkan ada juga angklung khas jawa barat. Begitu khidmat, begitu syahdu. Ah, Jogja memang istimewa.           

Jogjakarta

hari ini keganjilan kembali butuh dikaji
sebagian ummat telah mengumandangkan takbir  
sebagian lainnya masih menunggu keputusan sidang isbat
tak mengapa, perbedaan itu rahmat

ada nuansa yang asyik untuk diperhatikan
iring-iringan karnaval oncor dan lampion kelap-kelip
ah, ini yang menegaskan Jogja itu benar-benar istimewa
apa pasal sepertinya ada yang enggan mengakuinya

takbir yang dilantunkan penuh khidmat
menegaskan pula betapa kecilnya kita di hadapan Allah
tapi ego kadang membawa kita ke arena pertentangan
sepertinya kita yang paling benar, yang lainnya salah

pendar oncor dan kelap-kelip lampion
menunjukkan betapa kreatifnya orang Jogja
betapa berkarakternya mereka
local content dihargai dan dipelihara kelestariannya

terasa betul kedamaian dan keramah-tamahan
ah, inikah yang membuat aku selalu rindu Jogja
inikah yang membuat desir-desir di dada bangkit
tiap mendengar lagu KLa Project “Jogjakarta”

malam ini meski perjalanan jadi melambat
akibat iring-iringan karnaval mecegat
tak mengapa, tak terbersit ada keinginan mengumpat
justru hati terharu, anak-anak itu begitu bersemangat

Jalan Wonosari (perjalanan Jogja - Pacitan), Senin, 29 Agustus 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.