Konon dulu waktu Soekarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia, tanggal 17 Agustus 1945, bertepatan dengan bulan Ramadhan. Berarti para tokoh bangsa menjelang detik-detk diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia, berjuang penuh dengan tantangan di tengah memenuhi perintah agama untuk menunaikan puasa, namun semangat tetap membara untuk mewujudkan kemerdekaan. Di sini ada pelajaran yang bisa kita petik, yaitu spirit perjuangan untuk menegakkan perintah agama dan mengakhiri belenggu penjajahan. Jadi ada dua hal yang bisa diraih, kemenangan melawan hawa nafsu dan kemenangan terbebas dari tirani kekejaman penjajah lewat tewujudnya kemerdekaan.
Tahun 2011 ini kita memperingati HUT ke 66 Republik Indonesia pas bulan Ramadhan pula. Bulan yang dijuluki penghulunya segala bulan. Bulan yang katanya setan dibelenggu. Bulan yang segala amal baik dilipatgandakan ganjaran pahalanya.
Karena itu semua, maka sangat dianjurkan untuk berlomba-lomba berbuat kebajikan, mengingat dalam bulan Ramadhan dibagi menjadi tiga penggalan sepuluh hari. Sesuai dengan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, ”Bulan Ramadhan adalah bulan yang permulaannya rahmat (awwaluhu rahmah), pertengahannya ampunan (wa awsathuhu maghfiroh), dan akhirnya adalah pembebasan dari api neraka (wa akhiruhu itqun min an-naar).” (HR Ibnu Khuzaimah).
Berdasar hadits di atas dapat disimpulkan bahwa pada sepuluh hari pertama (awal), kita ummat Islam yang menunaikan puasa dan ibadah lainnya, akan diganjar rahmat. Dan, sepuluh hari kedua (pertengahan) akan diberi pengampunan, tentunya kalau kita sungguh-sungguh memanjatkan permohonan kepada Allah Subhanahuwata’ala. Kemudian, sepuluh hari ketiga (terakhir), akan diberi ganjaran terbebas dari siksa api neraka.
Menilik suksesnya perjuangan para tokoh bangsa dalam meraih kemerdekaan, tak lepas dari berkah yang luar biasa dari bulan Ramadhan. Sangat naïf rasanya kalau kita tinggal mengisi kemerdekaan ini dengan bekerja untuk mempersembahkan yang terbaik kepada negara, kok sepertinya tidak punya spirit.
Demikian juga tentang ganjaran yang bisa kita raih dari taat dalam melaksanakan rangkaian ibadah penyerta dari puasa itu sendiri, seyogianya menyepiriti kita untuk lebih giat dan lebih baik dari hari-hari atau bulan-bulan di luar Ramadhan. Kalau kita bisa melaksanakan perintah puasa ini dengan baik dan sempurna, maka kita akan dimasukkan dalam golongan orang-orang yang (lebih) takwa.
Okelah, mungkin secara produktivitas dalam bekerja kita akan mengalami penurunan hasil, tapi secara rohani mestinya ada energi yang akan melecut semangat dalam bekerja sesudah berakhirnya Ramadhan.
Persoalannya bagaimana cara agar energi rohani ini bisa terkumpul dan membesar dalam diri kita, kemudian meletup menjadi pijaran-pijaran semangat untuk lebih meningkatkan produktivitas bekerja dan beribadah? Tentu dengan mengimbangi ibadah puasa dengan ibadah-ibadah lainnya.
Ada sebagian orang hanya melaksanakan ritual puasa saja tanpa diikuti ibadah yang lainnya, seperti; shalat, tadarus, iktikaf, berinfaq, bersedekah, dan lainnya.
Wajah-wajah (seperti) tak Bertuhan
Pada suatu perhelatan acara ulang tahun perkawinan yang bertepatan dengan 17 Agustus dan 17 Ramadhan lalu. Seusai berbuka dengan kue dan minumanan air kemasan gelas, saya bersama dua orang redaktur ambil air wudlu untuk menunaikan shalat maghrib berjamaah di ruang tamu sahibul hajat. Perjalanan menuju tempat di mana kran air berada, melewati meja tempat tersajinya kue dan minuman berbuka, serta tumpukan nasi kotak dari sebuah rumah makan minang. Kerumunan tamu yang berebut nasi kotak begitu sibuk, ada yang cukup ambil satu untuk diri sendiri, ada yang ambil dua, tiga, atau empat sekalian untuk teman samping kiri-kanan duduknya. Akhirnya dalam sekejap tumpukan nasi kotak ludes.
Usai shalat kami bertiga melongo doang, menyaksikan wajah-wajah sumringah dengan tentengan nasi kotak satu, dua, tiga, bahkan empat kotak sekaligus, untuk dijinjing pulang. Dan yang lain sudah pada berdiri di tepi jalan tampak kekenyangan sambil menghisap sigaret. Tapi, di mata saya, wajah-wajah sumringah itu seperti tidak memancarkan aura kedamaian. Betul wajahnya ceria karena kenyang usai nyantap nasi kotak, tapi cahaya spiritual tidak kelihatan terpancar. Yang saya lihat kumpulan wajah-wajah (seperti) tak bertuhan. Wajah-wajah seperti yang dalam surat Al-Maa'un disebut sebagai mendustakan agama. Yaitu orang-orang yang lalai dari shalatnya. Hanya mementingkan kebutuhan jasmani dan mengabaikan kebutuhan rohani.
Bagi orang mukallaf (terbebani hukum) sesungguhnya tertolak puasa mereka, tidak mendapat apa-apa dari puasanya kecuali lapar dan haus. Alasannya, karena shalat adalah salah satu rukun Islam dan tiang agama yang menjadi barometer ibadah dan amal seseorang.
Jika baik shalatnya, maka dianggap baiklah semua amalannya dan jika rusak shalatnya, maka dianggap rusaklah semua amalannya. Bagaimana mungkin kita menjadikan orang yang rusak shalatnya sebagai teman baik apalagi teman kepercayaan.
”Jika mereka bertaubat, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-sauadaramu seagama.” (QS At-Taubah [9] : 11).
Kalau menurut konteks firman Allah Subhanahuwata’ala di atas, berarti orang-orang yang tidak mendirikan shalat itu bukanlah saudara seagama, walaupun sama-sama muslim.
Rasulullah Shallallahu ’alaihi wasallam bersabda: ”Sesungguhnya (batas pemisah) antara seseorang dengan kemusyrikan dan kekafiran adalah meninggalkan shalat.” (HR Muslim, dari Jabir, dalam kitab: Al-Iman).
Betapa pentingnya nilai shalat dalam menetukan pertemanan dan permusuhan. Juga dalam hubungan antara pemimpin dan rakyatnya, diriwayatkan dalam shahih Muslim. Dari Auf bin Malik ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda ”Pemimpin kamu yang terbaik ialah mereka yang kamu sukai dan mereka pun menyukai kamu, serta mereka mendoakanmu dan kamu pun mendoakan mereka, sedangkan pemimpin kamu yang paling jahat adalah mereka yang kamu benci dan mereka pun membencimu, serta kamu melaknati mereka dan mereka pun melaknatimu.” Beliau kemudian ditanya: ”Ya Rasulullah, bolehkah kita memusuhi mereka dengan pedang? Beliau menjawab, tidak selama mereka mendirikan shalat di lingkunganmu.”
Dari cerita ini, kiranya dapat membantu kita menemukan spirit dari ibadah puasa bulan Ramadhan 1432 Hijriah, semoga. Wallahu a’lam bish shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.