Entah kenapa pada puasa hari pertama, istri saya spontan ngajak booking tiket bus Puspa Jaya untuk perjalanan mudik ke Pacitan. Dua bulan lalu datang kabar bahwa ibu yang sudah sepuh terjatuh saat menjemur cucian. Semula ada rencana istri untuk ambil izin dari tugas dan berangkat nengok. Tapi setelah dipantau perkembangan kondisinya, beliau berangsur pulih namun masih sambat sakit-sakit di kaki dan tangan, sehingga untuk berjalan mesti dipapah dan untuk makan mesti disuap. Beruntung, mbak Yul yang mukim di Mojokerta bisa ‘mencuri waktu’ izin dari tugas dan berkesempatan nengok, sehingga bisa meladeni aktivitas ibu. Tapi, yang namanya tugas tak bisa ditinggal lama-lama. Di sisnilah jadi kendala, tatkala mbak Yul hendak pamit pulang ke Mojokerto, semburat wajah ibu menyiratkan perasaan berat untuk ditinggalkan dalam kondisi yang masih lemah dan belum pulih benar itu.
Kondisi ibu ini membuat istri saya ingin cepat-cepat datang masa liburan Idul Fitri agar bisa pulang di samping sowan hari raya, ya juga nengok untuk mengobati rasa kangen dan pingin memastikan kondisi ibu sesungguhnya bagaimana.
Saya jadi teringat peristiwa yang saya alami. Memang terhitung empat tahun kami tak mudik. Ini semacam sudah skenario Allah Subhanahuwata’ala. Pada bulan Ramadhan tahun 2009 ayahanda dibawa oleh ayuk Rus ke Bandarlampung untuk menjalani operasi akibat mampat di sebelah lobang hidungnya yang dipicu sinusitis akut. Karena baru saja ketemu ayah jadinya kami tak memutuskan mudik ke Ranau saat lebaran, dan kebetulan tak juga mudik ke Pacitan, sehingga acara Idul Fitri bisa dirasakan bareng dengan tetangga lingkungan se-RT.
Ketika masuk bulan Ramadhan Tahun 2010, ini yang saya katakana bagian dari skenario Allah Subhanahuwata’ala tadi. Tiba-tiba abang Ari di Indramayu menelepon ngajak pulang ke Ranau saat hari raya nanti, sekiranya tidak mudik ke jawa. Rencana ini bermula dari celetukan Elin, anaknya abang Ari; “Pah, kayaknya dah lama kita nggak pulang ke Ranau, ayo je Pah pulang ke Ranau.” Mendengar celetukan itu, abang tersentak karena yang terlintas dalam pikirannya kondisi yang lagi sulit. Tapi demi menyenangkan hati anak, segala jalan diupayakan agar bisa berangkat.
Dan, Allah Maha Penolong, adalah rezeki untuk mewujudkan keinginan pulang tersebut. Sehingga jadilah kami dua keluarga yang hidup di rantauan pulang bersama untuk kumpul dengan ayah yang sudah sepuh. Di hari-hari akhir saatnya kami hendak kembali (saya sekeluarga ke Bandarlampung dan abang sekeluarga ke Indramayu), saat habis ambil air wudlu di sumur, ayah bilang kalau dirinya hampir terjatuh dan penglihatannya seperti berkunang-kunang. Pikiran kami mungkin ayah kurang darah karena habis menunaikan ibadah puasa sebulan penuh jadi kondisi tubuhnya agak melemah. Sehingga untuk tindakan preventif dipanggillah mantri untuk mengobati beliau. Dan keesokan harinya kami pun pamit pulang.
Baru tiga minggu habis lebaran itu, saya dapat SMS dari keponakan Tina, mengabarkan ayah tiba-tiba kaki dan tangannya sebelah kanan seperti kaku tak bisa digerakkan. Untuk memastikan, saya pun menelepon langsung menanyakan, dan dipastikan ayah terkena stroke. Saya langsung menelepon abang Ari untuk memberitahukan kabar ini, abang segera ke Bandarlampung lalu kami berdua pulang kembali ke Ranau. Upaya pengobatan pun coba dilakukan baik secara medis maupun alternatif. Tapi, lagi-lagi, ini bagian dari skenario Allah Subhanahuwata’ala, bahwa beliau yang dulunya piawai mengobati orang lumpuh (baca: postingan ”Mengenang Ayahanda Tercinta”), akhirnya juga mesti merasakan sendiri bagaimana menjadi orang lumpuh.
Peristiwa berharga yang dapat disimpulkan dari uraian tulisan ini, adalah TERNYATA celetukan anaknya abang Ari yang mengidamkan mudik ke Ranau itu adalah pertanda dari apa yang saya yakini sebagai skenario Allah Subhanahuwata’ala, bahwa itulah RAMADHAN TERAKHIR kami bersama ayah.
Dihubungkan dengan keinginan istri untuk pulang lebih cepat ke Pacitan, pertama, karena waktu luang yang terbatas jadi diusahakan cepat datang dan agak lambat pergi. Kedua, karena kondisi ibu yang belum pulih benar dan usia beliau yang sudah sepuh. Jadi istri inginnya waktu berkumpul bersama ibu lebih lama, paling nggak seminggu. ”Ya kalau ramadhan tahun depan bisa pulang dan masih ada ibu, siapa tahu ini ramadhan terakhir bersama ibu,” demikian yang terlintas di pikiran istri.
Dan, saya pun mengamini apa yang ada di pikirannya itu, mengingat peristiwa yang saya (kami) alami dengan ayah di Ranau, bertahun-tahun nggak pulang sekalinya pulang itulah ramadhan atau lebaran terakhir bersama ayah.
”Ada dua kenikmatan yang kebanyakan manusia merugi (terhalang dari mendapat kebaikan dan pahala) di dalamnya, yaitu kesehatan dan waktu luang.” (HR. Al-Bukhari No. 6412).
Hadits yang mulia di atas memberikan beberapa faedah kepada kita:
1. Sepantasnya bagi kita memanfaatkan waktu sehat dan waktu luang untuk taqorrub (mendekatkan diri) kepada Allah Subhanahuwata’ala dan mengerjakan kebaikan-kebaikan sebelum hilangnya dua nikmat itu. Karena, waktu luang akan diikuti dengan kesibukan, dan masa sehat akan disusul dengan sakit.
2. Islam sangat memperhatikan dan menjaga waktu. Karena waktu adalah kehidupan, sebagaimana Islam memperhatikan kesehatan badan di mana akan membantu sempurnanya agama seseorang.
3. Dunia adalah ladang akhirat. Maka sepantasnya seorang hamba membekali dirinya dengan takwa dan menggunakan kenikmatan yang diberikan Allah Subhanahuwata’ala untuk taat kepada-Nya.
4. Mensyukuri nikmat Allah Subhanahuwata’ala adalah dengan menggunakan nikmat tersebut untuk taat kepada-Nya. (Bahjatun Nazhirin Syarhu Riyadhis Shalihin, 1/180-181) “Dan ingatlah ketika Rabbmu memaklumkan: ’Sesungguhnya jika kalian bersyukur, pasti Kami akan menambah nikmat itu kepada kalian. Dan jika kalian mengingkari nikmat-Ku, maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih’.” (Al-Quran, Surat Ibrahim, ayat 7).
Kenyataan yang ada, banyak waktu kita berlalu sia-sia tanpa kita manfaatkan dan kita pun tidak bisa memberikan manfaat kepada salah seorang dari hamba-hamba Allah Subhanahu wata’ala. Kita tidak merasakan penyesalan akan hal ini kecuali bila ajal telah datang. Ketika itu seorang insan pun berangan-angan agar ia diberi kesempatan kembali ke dunia walau sedetik untuk beramal kebaikan, akan tetapi hal itu tidak akan didapatkannya.
Terkadang nikmat ini luput sebelum datangnya kematian pada seseorang, dengan sakit yang menimpanya hingga ia lemah untuk menunaikan apa yang Allah Subhanahuwata’ala wajibkan terhadapnya, ia merasakan dadanya sempit tidak lapang dan ia merasa letih. Terkadang datang kesibukan pada dirinya dengan mencari nafkah untuk dirinya sendiri dan keluarganya sehingga ia terluputkan dari menunaikan banyak dari amal ketaatan.
Allah Subhanahuwata’ala berfirman:
“Hingga ketika datang kematian menjemput salah seorang dari mereka, ia pun berkata: ‘Wahai Rabbku, kembalikanlah aku ke dunia agar aku bisa mengerjakan amal shaleh yang dulunya aku tinggalkan’. ” (Al-Mukminun: 99-100)
“Sebelum datang kematian menjemput salah seorang dari kalian, hingga ia berkata: ‘Wahai Rabbku, seandainya Engkau menangguhkan kematianku sampai waktu yang dekat sehingga aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang shalih.’ Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan kematian seseorang apabila telah datang waktunya. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan.” (Al-Munafiqun: 10-11)
Karena itu sepantasnyalah kita pandai-apandai bersyukur atas nikmat yang Allah Subhanahu wata’ala karuniakan (:nikmat rezeki, nikmat sehat, nikmat kelapangan). Manfaatkanlah waktu sehat dan waktu luang untuk bekerja mencari rezeki dan beribadah. Ada rezeki, ada waktu luang, dan kondisi kesehatan yang terjaga, maka akan mudah bagi kita melaksanakan niat untuk bersilaturahmi dengan keluarga yang jauh. Sowan dengan orangtua dan kerabat lainnya. Jangan sampai kita sibuk semata-mata bekerja mencari rezeki, namun lupa beribadah (yang berarti juga lupa mensyukuri nikmat rezeki itu), kalau sudah sibuk berarti tidak punya waktu luang. Berarti tidak bisa bersilaturahmi menengok orangtua dan kerabat.
Sedemikian pentingnya mengisi waktu dengan baik sehingga Al-Quran memiliki satu surat khusus mengenai waktu (Surat Al-Ashr). “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh dan nasehat menasehati supaya menaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran”. (baca: postingan ”Betapa Berharganya Waktu”).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.