Aneh. Setidaknya ini ungkapan yang
tersirat di hati kami orangtua (ayah & ibunya), untuk pantas dipilih dari
ungkapan lain, semisal ajaib, luar biasa, hebat, atau apalah, untuk
mengekspresikan ketidakpercayaan kami terhadap fakta yang terjadi. Ini tentang
anak kami Kemal Fasha Bhaskara. Kisahnya begini, anak bungsu dari dua
bersaudara ini adalah korban kemajuan peradaban.
Dia pertama menjadi korban
diberlakukannya UASBN (Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional) ketika kelas VI
sekolah dasar. Ya, tahun 2010 itu untuk pertama kalinya UASBN diterapkan Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan (Kemendikbud) bagi murid sekolah dasar. Oya, Kemendikbud adalah
nama baru setelah masalah ‘kebudayaan’ dikembalikan lagi kepada ‘pendidikan’
sebagai induknya, yang sebelumnya sempat “diceraikan” dan bernama Kementerian
Pendidikan Nasional atau disingkat Kemendiknas).
Anehnya. Nah, ini bukti kalau anak
kami ini “aneh”. Dia yang memang selalu rangking I mendapat nilai UASBN
tertinggi bukan hanya di kelasnya tetapi di sekolahnya, karena kelas VI di
sekolahnya ada dua yaitu VI A dan VI B. Cerita tentang rangking, sempat sih
rangkingnya “diturunkan” walikelasnya lantaran dia tidak ikut Bimbel sama guru
perempuan itu melainkan ikut Bimbel di PRIMAGAMA. Prasangka buruk (su’udzon) saya, ini lantaran karena sentimen guru itu saja, faktanya meski rangkingnya turun di semester ganjil ketika UASBN
di semester genap nilainya tertinggi.
Dia jadi korban lagi ketika kelas
VIII SMP, waktu itu diberlakukannya Ujian Nasional (UN) dengan variasi soal 10
paket. Berarti sepuluh siswa akan mendapat soal yang berbeda satu sama lain. Maksud
pemerintah membuat soal dengan sepuluh variasi tersebut adalah untuk
meminimalisasi peluang terjadinya kebocoran soal plus kunci jawaban. Ini tentu
saja maksud dan tujuan yang baik. Tapi, faktanya tetap saja terjadi kebocoran
dimaksud. Kalau selama oknumnya masih berkeliaran di muka bumi ini, takkan ada
habisnya yang namanya persekongkolan terstruktur, sistematis dan masif yang berjenjang
dari atas ke bawah, yaitu mulai dari kepala daerah (gubernur, walikota/bupati),
kepala dinas pendidikan, dan kepala sekolah.
Ketika hendak masuk SMA dia jadi
korban diberlakukannya kuota 50 persen bina lingkungan (biling), yang dipakai
walikota di “kota kami” sebagai alat propaganda meraih simpati rakyatnya agar
saat nyalon lagi untuk periode jabatan kedua nanti bisa terpilih kembali. Apes memang
bagi calon peserta didik baru yang bermodal nilai ebtanas murni (NEM) kecil. Mau
tidak mau akan terpental karena kalah bersaing memperebutkan kursi dari 50
persen kuota yang tersisa. Alhasil, pagi mendaftar secara online di SMA Negeri yang tergolong pinggiran, siangnya sudah
ketahuan tidak diterima lantaran NEMnya tak kuat bersaing.
Alhamdulillah dia dapat kursi di
sebuah SMA swasta penyandang kualifikasi Grade A dan letaknya di tengah kota. Bicara
keberuntungan, jelas dia beruntung banget, secara lingkup pergaulan
sekolah di tengah kota begitu adalah nilai tambah (value added) tersendiri. Karena yang bersekolah di SMA itu banyak juga
anak dari kalangan the have. Dan akhirnya
sampai juga dia merasakan diajak plesir oleh kawannya yang punya mobil ke
pantai yang jadi destinasi tersohor di sebuah kabupaten.
Tapi, sebagai siswa baru di SMA
ini, kembali dia menjadi korban. Tatkala pemerintah melalui Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Muhammad Nuh, “memaksakan” diberlakukannya Kurikulum 2013 (K-13) secara
serentak di seluruh jenjang pendidikan di Indonesia. Jadilah dia sejak semester
ganjil kelas X dididik dengan kurikulum yang menekankan pada pendidikan
karakter itu. Positifnya jam pelajaran dipadatkan dan hari belajar dikurangi,
sehingga start belajar pukul 07.15 dan finish pukul 15.00 sejak
hari Senin hingga Jumat, Sabtu-Minggu libur. Negatifnya banyak orangtua menerima
keluhan anaknya yang merasa kelelahan dan kurang semangat.
Anehnya, anak kami ini terlihat enjoy-enjoy
saja. Di rumah kebiasaanya masih seperti sejak kelas I SD, tak pernah belajar,
tak suka baca buku apalagi koran, disuruh baca Quran pun katanya sudah ngaji di
sekolah. ”Iya, itu kan di sekolah, kalau sekolahnya libur berarti ngajinya
libur, maka diganti ngaji di rumah,” kata kami berdua ibunya. Dia bergeming dan ada pembiaran pula dari kami.
Yang penting dia happy. Daripada dipaksa
dia gonduk dalam hati. Yang jelas,
salatnya tak perlu lagi harus diperintah/disuruh-suruh, namun cukup diingatkan
saja “sudah salat belum”.
Anehnya, karena kurikulum baru,
sehingga standar penilaiannya pun seperti anak kuliahan, nilainya berupa huruf
bukan angka. Dan nilai rapornya ternyata bagus tak ada pelajaran yang harus diremedial,
dengan indeks prestasi 3 koma. Padahal kalau dipikir apa iya bisa meraih nilai
yang bagus kalau belajar saja ogah. Kenyataannya,
begitulah yang terjadi. Sehingga komentar kami (saya dan ibunya), “dengan nggak
belajar saja nilai adek bagus, berarti kalau belajar akan lebih bagus lagi”. Dia
masih kami panggil “adek” hingga hari ini.
Aneh lagi, tatkala saat mengurus
surat izin mengemudi (SIM), tes tertulisnya dia lulus namun gagal di praktik. Kata
dia, “nggak masuk akal ujian praktiknya mutar-mutar membentuk angka delapan dan
zig-zag, mana ada orang naik motor di jalan zig-zag”. Nah, dalam hatiku,
ternyata anak ini ekstremnya kayak saya. Dan, ibunya sering melontarkan
ungkapan, “emang anak bapaknya”. Ya… iyalah… emang anak siapa?
Aneh, Ya, setidaknya begitulah anak bungsu kami ini. Menakjubkan, luar biasa, hebat, dahsyat, busyet, kali bisa juga jadi ungkapan menunjukkan kekaguman pada dia.
Aneh, Ya, setidaknya begitulah anak bungsu kami ini. Menakjubkan, luar biasa, hebat, dahsyat, busyet, kali bisa juga jadi ungkapan menunjukkan kekaguman pada dia.