Minggu, 28 Desember 2014

Anak Kami yang ”Aneh” Itu…

Aneh. Setidaknya ini ungkapan yang tersirat di hati kami orangtua (ayah & ibunya), untuk pantas dipilih dari ungkapan lain, semisal ajaib, luar biasa, hebat, atau apalah, untuk mengekspresikan ketidakpercayaan kami terhadap fakta yang terjadi. Ini tentang anak kami Kemal Fasha Bhaskara. Kisahnya begini, anak bungsu dari dua bersaudara ini adalah korban kemajuan peradaban.
Dia pertama menjadi korban diberlakukannya UASBN (Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional) ketika kelas VI sekolah dasar. Ya, tahun 2010 itu untuk pertama kalinya UASBN diterapkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) bagi murid sekolah dasar. Oya, Kemendikbud adalah nama baru setelah masalah ‘kebudayaan’ dikembalikan lagi kepada ‘pendidikan’ sebagai induknya, yang sebelumnya sempat “diceraikan” dan bernama Kementerian Pendidikan Nasional atau disingkat Kemendiknas).
Anehnya. Nah, ini bukti kalau anak kami ini “aneh”. Dia yang memang selalu rangking I mendapat nilai UASBN tertinggi bukan hanya di kelasnya tetapi di sekolahnya, karena kelas VI di sekolahnya ada dua yaitu VI A dan VI B. Cerita tentang rangking, sempat sih rangkingnya “diturunkan” walikelasnya lantaran dia tidak ikut Bimbel sama guru perempuan itu melainkan ikut Bimbel di PRIMAGAMA. Prasangka buruk (su’udzon) saya, ini lantaran karena sentimen guru itu saja, faktanya meski rangkingnya turun di semester ganjil ketika UASBN di semester genap nilainya tertinggi.
Dia jadi korban lagi ketika kelas VIII SMP, waktu itu diberlakukannya Ujian Nasional (UN) dengan variasi soal 10 paket. Berarti sepuluh siswa akan mendapat soal yang berbeda satu sama lain. Maksud pemerintah membuat soal dengan sepuluh variasi tersebut adalah untuk meminimalisasi peluang terjadinya kebocoran soal plus kunci jawaban. Ini tentu saja maksud dan tujuan yang baik. Tapi, faktanya tetap saja terjadi kebocoran dimaksud. Kalau selama oknumnya masih berkeliaran di muka bumi ini, takkan ada habisnya yang namanya persekongkolan terstruktur, sistematis dan masif yang berjenjang dari atas ke bawah, yaitu mulai dari kepala daerah (gubernur, walikota/bupati), kepala dinas pendidikan, dan kepala sekolah.
Ketika hendak masuk SMA dia jadi korban diberlakukannya kuota 50 persen bina lingkungan (biling), yang dipakai walikota di “kota kami” sebagai alat propaganda meraih simpati rakyatnya agar saat nyalon lagi untuk periode jabatan kedua nanti bisa terpilih kembali. Apes memang bagi calon peserta didik baru yang bermodal nilai ebtanas murni (NEM) kecil. Mau tidak mau akan terpental karena kalah bersaing memperebutkan kursi dari 50 persen kuota yang tersisa. Alhasil, pagi mendaftar secara online di SMA Negeri yang tergolong pinggiran, siangnya sudah ketahuan tidak diterima lantaran NEMnya tak kuat bersaing.  
Alhamdulillah dia dapat kursi di sebuah SMA swasta penyandang kualifikasi Grade A dan letaknya di tengah kota. Bicara keberuntungan, jelas dia beruntung banget, secara lingkup pergaulan sekolah di tengah kota begitu adalah nilai tambah (value added) tersendiri. Karena yang bersekolah di SMA itu banyak juga anak dari kalangan the have. Dan akhirnya sampai juga dia merasakan diajak plesir oleh kawannya yang punya mobil ke pantai yang jadi destinasi tersohor di sebuah kabupaten.
Tapi, sebagai siswa baru di SMA ini, kembali dia menjadi korban. Tatkala pemerintah melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhammad Nuh, “memaksakan” diberlakukannya Kurikulum 2013 (K-13) secara serentak di seluruh jenjang pendidikan di Indonesia. Jadilah dia sejak semester ganjil kelas X dididik dengan kurikulum yang menekankan pada pendidikan karakter itu. Positifnya jam pelajaran dipadatkan dan hari belajar dikurangi, sehingga start belajar pukul 07.15 dan finish pukul 15.00 sejak hari Senin hingga Jumat, Sabtu-Minggu libur. Negatifnya banyak orangtua menerima keluhan anaknya yang merasa kelelahan dan kurang semangat.
Anehnya, anak kami ini terlihat enjoy-enjoy saja. Di rumah kebiasaanya masih seperti sejak kelas I SD, tak pernah belajar, tak suka baca buku apalagi koran, disuruh baca Quran pun katanya sudah ngaji di sekolah. ”Iya, itu kan di sekolah, kalau sekolahnya libur berarti ngajinya libur, maka diganti ngaji di rumah,” kata kami berdua ibunya. Dia bergeming dan ada pembiaran pula dari kami. Yang penting dia happy. Daripada dipaksa dia gonduk dalam hati. Yang jelas, salatnya tak perlu lagi harus diperintah/disuruh-suruh, namun cukup diingatkan saja “sudah salat belum”.
Anehnya, karena kurikulum baru, sehingga standar penilaiannya pun seperti anak kuliahan, nilainya berupa huruf bukan angka. Dan nilai rapornya ternyata bagus tak ada pelajaran yang harus diremedial, dengan indeks prestasi 3 koma. Padahal kalau dipikir apa iya bisa meraih nilai yang bagus kalau belajar saja ogah. Kenyataannya, begitulah yang terjadi. Sehingga komentar kami (saya dan ibunya), “dengan nggak belajar saja nilai adek bagus, berarti kalau belajar akan lebih bagus lagi”. Dia masih kami panggil “adek” hingga hari ini.
Aneh lagi, tatkala saat mengurus surat izin mengemudi (SIM), tes tertulisnya dia lulus namun gagal di praktik. Kata dia, “nggak masuk akal ujian praktiknya mutar-mutar membentuk angka delapan dan zig-zag, mana ada orang naik motor di jalan zig-zag”. Nah, dalam hatiku, ternyata anak ini ekstremnya kayak saya. Dan, ibunya sering melontarkan ungkapan, “emang anak bapaknya”. Ya… iyalah… emang anak siapa?

Aneh, Ya, setidaknya begitulah anak bungsu kami ini. Menakjubkan, luar biasa, hebat, dahsyat, busyet, kali bisa juga jadi ungkapan menunjukkan kekaguman pada dia.

Kamis, 04 Desember 2014

Ketika FB Menjadi Berkah

Mark Zukerberg, seperti dikutip Kompas Minggu (15/3/2009) memperkenalkan The FB (namanya saat itu), pada 4 Februari 2004, dari kamarnya di asrama Harvard University. Dengan dibantu beberapa teman, Zukerberg membuat jejaring mahasiswa melalui internet agar dapat saling kenal. Dalam 24 jam, 1.200 mahasiswa Harvard bergabung dan segera jejaring ini menyebar ke kampus lain.
FB kemudian diterjemahkan ke dalam 30-an bahasa, termasuk bahasa Indonesia dan Arab, dan dalam proses penerjemahan ke dalam 60 bahasa lain. Dengan pengguna begitu besar, pada tahun 2007 Microsoft rela membayar 240 juta dollar AS untuk mendapat 1,6 persen saham FB. Ini berarti FB ini bernilai 15 miliar dollar.
”Bila kita ingin berhasil pada abad ini, kita butuh lebih saling berhubungan dan kita butuh lebih mengetahui dari mana orang-orang datang dan kita butuh untuk lebih merasa saling terhubung,” kata Zukerberg (Grown Up Digital, 2009).
Prof BJ Fogg, penyelenggara mata kuliah Psychology of Facebook di Stanford University, menggambarkan bahwa ”Facebook saat ini menang karena menempatkan teman pada posisi terpenting. Cara kita berteman membentuk pengalaman kita di internet. Tidak ada teknologi lebih baik daripada pertemanan kita.”
Keberadaan Facebook (FB) selain membantu orang terhubung kembali dengan teman-teman lamanya satu kelas semasa di sekolah lanjutan atau satu kampus semasa kuliah, atau katakanlah satu sekolah dan satu kampus. Juga membuat orang memiliki banyak teman baru yang, baik strata kelas, status sosial, usia, dan profesi berbeda-beda. Serta membuat orang tergabung dalam sebuah grup (komunitas) yang sengaja diciptakan untuk menghimpun orang-orang dengan kegemaran dan peminatan yang sama.
Namun demikian, tak selamanya FB memberikan semua yang terurai di atas. Contohnya penulis, sejak bergabung pertama di FB pada 3 Juni 2011, sama sekali belum menemukan teman satu kelas di SMA atau di kampus. Penulis seperti kehilangan jejak ke mana mereka saat ini. Agak nelangsa sebenarnya, mengapa teman-teman masa SMA dan kuliah tidak (belum) terlacak satu pun. 
Atau sebenarnya mereka ada di jejaring sosial FB ini. Namun, menggunakan nama yang disamarkan sehingga tidak penulis kenali. Pertanyaannya mengapa mereka harus menggunakan nama samaran? Banyak alasan tentunya. Mungkin demi privasi atau bisa jadi karena ada hal lain yang harus dijaga kerahasiaannya. Tidak ada larangan memang tapi alangkah baiknya pakai nama asli.
Walaupun begitu tak mengapa, toh dengan bergabung ke FB ada nilai tambahnya. Setidaknya memberi kemudahan dalam mengakses informasi seluas-luasnya. Para teman yang membagi sebuah informasi melalui tautan yang mereka share menjadikan sesiapa pun melek akan sesuatu hal yang tidak mereka ketahui sebelumnya. Sehingga jadi tahu dan paham, mungkin juga memberi manfaat.
Pendek kata, apa pun yang teman FB kita atau teman mereka share, kita juga akan tahu dan dapat mengaksesnya. Di sinilah kekuatan FB sebagai sebuah jejaring sosial. Sehingga, baik hal yang positif maupun negatif, dalam bentuk tulisan atau gambar akan mudah diakses karena akan muncul di dinding (linimasa) penggunanya. Kekuatan itu membuat FB menjadi media sosial yang paling banyak penggunanya. 
Kalau ada kekuatan, tentu sebaliknya pasti ada kelemahannya. Kalau memperlakukan FB tidak dengan bijak dan akal sehat, alamat akan menjerumuskan ke dalam jurang malapetaka. Banyak kasus orang tersangkut masalah hukum karena dilaporkan ke aparat berwajib oleh pihak yang dirugikan, setelah mengunggah gambar berbau SARA atau melecehkan individu atau institusi tertentu.
Ya, banyak orang melakukan kebodohan melalui laman FB. Mengunggah status atau gambar yang berpotensi melanggar norma sosial atau hukum positif yang berlaku di masyarakat dan negara. Di antara orang bodoh itu, mungkin penulis sendiri, Anda, mereka, dan siapa pun. Baiklah, kalau kita pernah melakukan kebodohan yang sama, anggap saja sebuah kekhilafan besar yang tak boleh diulang lagi di kemudian hari.

Ketika hari ini FB menjadi berkah bagi banyak orang, mungkin pada awalnya sama sekali tak terlintas di benak Zukerberg apa yang semula hanya diperuntukkannya bagi teman satu kampusnya, berubah menjadi jembatan penghubung umat manusia sedunia. Ya, ketika FB menjadi berkah, berkah itu di antaranya FB bisa mempertemukan orang-orang yang lama terpisahkan ruang dan waktu. Berterima kasih kepada FB, patut dihaturkan.