Jumat, 30 Juni 2017

Balik

Peta jalan tol Trans-Jawa yang menghubungkan Merak-Banyuwangi

Pada postingan sebelumnya, saya membahas mengenai ’mudik’. Yaitu pulang kampung yang dilakoni para perantau dari desa (kampung) yang bekerja di kota. Mudik hanya bisa dilakoni saat libur lebaran Idul Fitri. Di luar waktu itu, sangat mustahil bisa leluasa pulang. Terkecuali izin yang sifatnya urgensi, misalnya ada anggota keluarga yang wafat atau menikah. Atau mungkin sakit dan dalam perawatan di rumah sakit.
Kendaraan antre untuk naik ke kapal di Pelabuhan Merak, Banten (Foto: Kompas.Com)

Setelah ada ritual (arus) mudik tentu ada pula (arus) balik. Nah, kali ini saya akan mengulik mengenai ’balik’ ini. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ada beberapa pengertian ’balik’, di antaranya; kembali (arahnya), pulang, sisi sebelah belakang. Dalam konteks lebaran, setelah mudik (pulang kampung) usai dilakoni, tentu para pekerja akan balik (kembali) ke arah semula, yaitu tempat mereka bekerja.

Mudik maupun balik para pekerja pada musim libur lebaran tahun 2017 ini jauh mengalami perubahan dibanding tahun 2016. Pasalnya, tahun ini jalan tol yang pada tahun kemarin hanya sampai atau exit di Brebes Timur, maka pada tahun ini sudah ada ruas tambahan dari Brebes Timur hingga Gringsing (Batang). Dengan demikian, kendaraan pemudik tidak lagi mengalami kemacetan di exit tol Brebes Timur (Brexit).
Kendaraan pemudik berderet di jalan tol Cikarang (Foto: Akurat.Com)

Panjang jalan tol ruas Brebes Timur hingga Gringsing ada 110 kilometer. Gringsing-Batang (36 kilometer). Walaupun pada musim mudik dan balik lebaran tahun 2017, statusnya masih jalan fungsional karena belum dilengkapi penerangan, maka hanya digunakan pada siang hari. Saat arus mudik diberlakukan satu arah menuju timur, dan saat arus balik hanya satu arah menuju barat. Meski darurat, cukup memadai untuk mengurai penumpukan kendaraan agar tidak macet.

Ke depan, musim mudik dan balik lebaran tahun yang akan datang, akan semakin nyaman seiring kian menyatunya jalan tol Trans Jawa (Merak-Banyuwangi). Dari Merak hingga Cikampek sejak lama dirasakan nikmatnya jalan tol. Walau harus mengalami macet di jalan pantai utara (pantura) Cikampek-Cirebon, namun dari Palimanan hingga Kanci bisa kembali memacu kendaraan di jalan tol sepanjang 26 kilometer. Tol ini masa pembangunan 1990-1998 dan mulai dioperasikan tahun 1997. Pintu gerbangnya ada di Plumbon, Ciperna dan Kanci (Cirebon).

Memupus Pantura

Setelah jalan tol ruas Cikopo-Palimanan (Cipali) sepanjang 116 kilometer yang mulai dibangun 2011 dan selesai pada 2015, diresmikan pada 13 Juni 2016 mulai dioperasikan pada musim mudik lebaran 2016, praktis kemacetan berjam-jam di jalan pantura tidak akan dirasakan lagi. Jalan tol ini menyambungkan ruas Jakarta-Cikampek dengan ruas Palimanan-Kanci (Palikanci). Pupus sudah jalan pantura, hanya akan tinggal kenangan.

Dengan beroperasinya jalan tol Cipali, maka Jakarta-Palimanan sejauh 189 kilometer tersambung oleh jalan tol. Mereka yang menyeberang dari Pulau Sumatera, begitu kendaraannya keluar dari lambung kapal fery bisa langsung masuk jalan tol Merak-Jakarta. Kemudian bisa dilanjutkan Jakarta-Cikampek (73 kilometer) dan terus disambung ke Cikopo-Palimanan (116 Km), Palimanan-Kanci (26 Km) serta Kanci-Pejagan (35 Km).
Pemudik motor yang berjumlah ribuan selalu jadi pemandangan mengerikan pada arus mudik dan balik lebaran.
(Foto: dok. Kompasiana)

Belum selesai di ruas Palikanci. Perjalanan masih akan dimanjakan jalan tol ruas Pejagan-Brebes, yang pada musim mudik lebaran 2016 mencatatkan sejarah buruknya wajah transportasi negara ini. Para pemudik dicekam horor karena kendaraannya terkunci di satu titik (gridlock) selama 12 jam. Kemacetan sepanjang 20 kilometer itu menciptakan malapetaka dengan 18 korban meninggal dunia akibat kelelahan dan dehidrasi.

Tragedi memilukan itu lalu terkenal dengan sebutan ’Horor Brexit’. Penyebabnya karena selepas Exit Tol Brebes Timur (Brexit) kendaraan dihadapkan pada jalan arteri yang kecil dan tidak mampu menampung ribuan kendaraan yang keluar gerbang. Tidak jauh dari sana ada Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) dan pintu perlintasan kereta api yang setiap 20 menit sekali harus ditutup karena ada kereta yang akan lewat.

Faktor kedisiplinan pengendara motor yang rendah adalah penyebab lainnya. Banyak yang menyerobot antrean lajur menuju SPBU, sehingga lajur yang dapat digunakan satu lajur contra flow (arus balik) menjadi bertambah sehingga mengurangi lajur berlawanan dan membuat arus kendaraan semakin terkunci. Nah, pada lebaran tahun 2017, arus mudik maupun balik keadaannya lancar jaya. Tak ada lagi derita kemacetan berjam-jam. Kalau mudiknya asiik, maka balik pun asiiik. n


Selasa, 27 Juni 2017

Mudik

mudik atau pulang kampung, adalah masa yang ditunggu para perantau yang bekerja di kota untuk kembali bertemu keluarga yang lama ditinggalkan di desa (kampung). 

Pemerintah Orde Baru di bawah Presiden Soeharto mengonsentrasikan pembangunan yang bertumpu hanya pada dua kutub. Pertama, Jabotabek (Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi). Kedua, Gerbangkertosusilo (Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo dan Lamongan). Dampak yang ditimbulaknnya adalah derasnya arus urbanisasi ke sentra industi di kota-kota tersebut. Pergerakan angkatan kerja dari perdesaan menuju perkotaan begitu masif. Praktis jumlah penduduk di kota membeludak sementara di desa mengurang.

Wajah perekonomian perlahan berubah dari agraris menjadi industrialis seiring terjadinya alihfungsi lahan. Sawah-sawah yang tadinya subur dan menghasilkan beratus-ratus ton gabah, yang luasnya berhektar-hektar, perlahan menyusut karena dialihfungsikan menjadi pabrik-pabrik. Pemilik lahan tentulah yang paling diuntungkan karena mendapat banyak uang ganti rugi. Yang rugi tentulah para buruh tani yang biasa menggarap lahan. Mereka kehilangan mata pencaharian. Potensi untuk menghasilkan ratusan ton gabah juga tergerus.

Pola pembangunan ala Orde Baru ini membuat pemerataan sebaran penduduk jadi tidak efektif. Berjibunnya angkatan kerja yang mengais rejeki di pusat-pusat industri seperti Jabotabek (Jabodetabek) dan Gerbangkertosusilo, membuat sektor agraris jadi tidak seksi lagi untuk diakrabi. Menjadi buruh pabrik lebih enak ketimbang menggarap sawah. Bekerja di pabrik, habis bulan dapat gaji. Sementara di sawah, harus menunggu hasil panen laku dijual baru bisa mengantongi duit. Itupun kalau lagi hoki. Acapkali justru kesialan yang diderita. Begitu panen harga anjlok ke titik terendah yang membuat mereka merugi karena modal yang dikeluarkan tidak tertutupi oleh hasil penjualan. Apalagi kalau ada utang sama rentenir yang menalangi modal beli bibit, pupuk dan obat-obatan.

Budaya Mudik

Di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata mudik diartikan sebagai: 1. Berlayar (pergi) ke udik (hulu, sungai, pedalaman); 2. Pulang ke kampung halaman.  Ilmu sosial menafsirkan mudik sebagai pergerakan manusia dari satu daerah ke daerah lain dalam batas wilayah dan waktu tertentu. Mengacu tafsiran demikian, maka pergerakan angkatan kerja dari perkotaan ke desa atau kampung halamannya disaat hari raya Idul Fitri, untuk bersilaturahmi dengan keluarga, yang waktunya dibatasi sejak H-7 sampai H+7 masa libur lebaran, itulah mudiknya para pengais rezeki sebagaimana disinggung di atas.
  
Bila kita mengetikkan kata ’mudik’ di Google, maka ratusan ulasan tentang ’mudik’ akan tampil berderet-deret memenuhi layar gawai atau laptop kita, dari sejarahnya sampai dianggapnya ’mudik’ sebagai budaya yang hanya ada di negara kita dan tak terjadi di negara lain. Bahkan segala hal ihwal melingkupinya pun ada. Misalnya, kemacetan, kecelakaan, keindahan, dan serba-serbinya mulai dari saat arus mudik hingga arus balik.

Dari data realisasi pemudik di Posko Angkutan Lebaran Nasional Terpadu, setiap tahunnya mengalami peningatan. Tahun 2012, terdapat sebanyak 22.069.278 orang pemudik, tahun 2013 meningkat menjadi 22.144.610 orang, tahun 2014 meningkat menjadi 23.088.908 orang, dan pada tahun 2015 meningkat menjadi 23.395.367 orang pemudik. Sedangkan jumlah pemudik tahun 2016, Badan Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Perhubungan Kementerian Perhubungan telah melakukan survey potensi pemudik pada Angkutan Lebaran tahun 2016, diprediksi sebanyak 25.495.591 orang. Faktanya jumlah pemudik tahun 2016 adalah sekitar 17,6 juta orang atau terjadi penurunan dari tahun sebelumnya. Sementara untuk tahun 2017, Indonesia Development and Islamic Studies (IDEAS) memproyeksikan akan ada pergerakan 33 juta pemudik pada musim mudik lebaran tahun ini.

Horor Brexit

Akronim Brexit tiba-tiba begitu populer di Indonesia. Tentu saja maksudnya bukan Britain to Exit ihwal pilihan warga Inggris Raya keluar dari Uni Eropa, tetapi sebutan pendek dari Brebes Exit, yakni jalur keluar atau Gerbang Tol Brebes Timur pada ruas tol Pejagan-Brebes. Kepopuleran Brexit setelah terjadi kemacetan panjang (20 kilometer) selama 12 jam kendaraan para pemudik pada musim mudik lebaran tahun 2016.
suasana macet 20 kilometer selama 12 jam mengular di Brebes Timur Exit (Brexit) pada Jumat, 1 Juli 2016
(Foto: KOMPAS/KRISTIANTO PURNOMO)

Penyebabnya, selain karena volume kendaraan yang sedang melonjak drastis karena semua pemudik menggunakan jalur tersebut, ada beragam faktor yang menyebabkan kemacetan hebat di ruas tol Pejagan-Brebes Timur ‎menuju arah Tegal hingga tertahan di Gerbang Tol Brexit. 
Gerbang Tol Brebes Timur, kondisinya saat terjadi gridlock (Foto: istimewa)

Faktor pemicu utamanya ada tiga. Pertama, Jalan arteri yang kecil. Selepas Gerbang Tol Brexit kendaraan dihadapkan pada jalan arteri yang kecil dan tidak mampu menampung ribuan kendaraan yang keluar gerbang. Di samping itu, tidak jauh dari sana ada Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) dan pintu perlintasan kereta api yang setiap 20 menit sekali harus ditutup karena ada kereta yang akan lewat.
terjadi gridlock, benar-benar horor ketika belasan korban meninggal (Foto: sisiusaha.com)

Kedua, Faktor kedisiplinan yang rendah. Banyak dari pemudik yang tidak disiplin dengan menyerobot antrean lajur menuju SPBU, sehingga lajur yang dapat digunakan satu lajur contra flow (arus balik) menjadi bertambah sehingga mengurangi lajur berlawanan dan membuat arus kendaraan semakin terkunci.
pantauan udara di Brexit (Foto: Detik.Com)

Ketiga, Petugas di lapangan terlambat melakukan pengalihan arus lalu lintas ke arah Brebes Timur sehingga terjadi stagnansi atau gridlock. Kondisi tersebut mengakibatkan arus lalu lintas macet total dan sulit diurai karena banyak pemudik yang juga sudah berhenti di pinggir jalan karena kelelahan menghadapi kemacetan.
suasana kemacetan saat malam hari (Foto: BERITA SATU.COM)

Akibat yang paling tragis dari tragedi kemacetan di Brexit adalah jatuhnya korban meninggal dunia sebanyak 18 orang. Penyebabnya karena para pemudik kelelahan dan mengalami dehidrasi di tengah cuaca yang panas menyengat sementara sedang menjalankan ibadah puasa. Ada yang karena faktor usia lanjut dan terkena serangan jantung. Memang, tidak semua korban meninggal sebagai akibat langsung tragedi Brexit. Satu pengendara motor meninggal karena menabrak truk yang sedang berhenti di depan sebuah rumah makan. Ada yang karena mobilnya menabrak pohon, ada karena ditabrak kereta api, serta korban tabrak lari oleh pemudik.
 
Antisipasi tak Terulang

Untuk musim mudik lebaran tahun 2017, agar tragedi Brexit tak terulang, pemerintah melakukan sejumlah langkah untuk mengurangi kepadatan lalu lintas di jalur Pantai Utara dan Selatan. Lanjutan ruas tol Pejagan-Brebes diusahakan nyambung ke ruas Brebes-Gringsing yang panjangnya mencapai 110 kilometer. Pada ruas tol Brebes-Gringsing ini pemerintah menyiapkan enam exit, dua di antaranya mengarah ke utara Pantura dan empat exit mengarah ke Selatan.

Tak hanya enam exit tol, pemerintah juga menyiapkan empat flyover di Dermoleng-Ketanggungan, Klonengan-Prupuk, Kretek-Paguyangan dan Kesambi. Pemerintah memang memacu pembangunan ruas tol Brebes-Gringsing berikut enam exit dan empat flyover tersebut karena H-10 atau tanggal 15 Juni 2017 harus sudah selesai untuk diujicoba-operasikan sejak H-7. Sehingga mulai tanggal tersebut para pemudik sudah bisa melewati kota-kota Brebes, Tegal, Pekalongan dan Batang melalui jalan tol. Hanya saja, ruas tol yang dimulai dari Kaligangsa (Brebes) hingga Gringsing (Batang) ini statusnya digunakan secara fungsional khusus untuk musim mudik tahun 2016, karena belum dilengkapi penerangan dan rambu-rambu lainnya, sehingga tidak dipungut biaya alias gratis baik saat mudik maupun balik.  
ribuan kendaraan pemudik melintas di jalan tol fungsional (Brebes Timur-Gringsing sepanjang 110 kilometer) di ruas Pekalongan-batang pada Kamis, 22 Juni 2017. Ruas tol ini hanya dibuka pada siang hari karena belum dilengkapi penernagan jalan dan rambu-rambu lalu lintas (Foto: Tempo.Com)

Keberadaan enam exit tol tersebut akan mampu mengurangi beban keluar kendaraan melalui Gerbang Tol Brexit yang pada musim mudik lebaran 2016 lalu menjadi primadona para pemudik. Dengan dibukanya enam exit tol itu juga akan membuat para pemudik punya pilihan masing-masing akan exit di mana. Tidak semata-mata exit tol Brexit sebagaimana tahun 2016 lalu. Pilihannya tergantung mau ke arah mana mereka menuju. Apakah ke Pantura atau ke Selatan.

Mudik Asiiik

Dari data jumlah pemudik yang selalu meningkat setiap tahun dipaparkan di atas, terlihat bahwa mudik yang hanya ada di negara kita dan tak ada di negara lain telah menjadi fenomena yang menarik. Tapi, benarkah di negara lain tak ada tradisi mudik? Bila memperhatikan foto-foto di bawah, tampaknya di Bangladesh juga ada kegitan mudik atau pulang kampung. Dan moda transportasi masal seperti kereta api menjadi pilihan terfavorit.
ini foto dibidik di sebuah stasiun kereta api di Dhaka, Bangladesh pada 23 Juni 2017 lalu (Foto: Reuters)  
mereka rela mengambil risiko besar demi mudik ke kampung halaman (Foto: Reuters)
duduk di atas atap dalam kondisi sangat padat adalah hal biasa di sana (Foto: Reuters)
penumpang berjubel me4nunggu kereta yang akan membawa mereka pulang kampung berlebaran (Foto: Reuters)
bahkan wanita pun berusaha naik ke atas atap (Foto: Reuters)
tak hanya kereta api, kapal laut pun penuh sesak penumpang hingga ke atas atap (Foto: Reuters)
Di Indonesia, mudik dengan kereta api selalu jadi pilihan utama setelah pesawat terbang. Itulah sebab sejak PT. Kereta Api Indonesia (KAI) membuka penjualan tiket online pada H-90 lebaran, dalam hitungan menit bahkan detik semua tiket yang dijual langsung ludes dipesan para calon penumpang yang akan mudik. Bayangkan 90 hari atau tiga bulan sebelum mudik semua tiket yang ditawarkan terjual habis. Bagaimana kalau tidak jadi lebaran?

Mengapa bisa begitu? Tentu saja banyak alasan para pemudik senang menggunakan kereta api. Sudah barang tentu karena bebas macet serta ongkos yang relatif setara dengan pesawat atau bus. Dan kecepatan sampai di tempat tujuan, membuat kereta api jadi kendaraan favorit. Jadi wajar kalau jauh hari sebelum puasa pun penjualan tiket via online diserbu calon penumpang. Mendapatkan tiketnya begitu mudah, cukup dengan aplikasi KAI Acces atau pesan lewat minimarket yang telah ada jalinan kerja sama dengan PT KAI pun bisa.

Apapun moda transportasi yang digunakan, baik mobil pribadi, bus, kereta api atau pesawat, tradisi mudik bisa dijalani dengan berbagai suasana dan rasa. Terjebak macet berjam-jam, konon ada yang menganggapnya di situlah letak asiiiknya mudik. Sehingga suasana macet itu dirasakan dengan enjoy penuh penerimaan. Tak ada gerutu karena memang kondisi batin sedang menjalani ibadah puasa. Sebab gerutu hanya akan mengurangi pahala puasa. Dan, apa pun kondisinya, lancar atau macet, yang jelas mudik dirasa asiiik karena akan bertemu dengan keluarga dan sanak saudara (Ibu, Ayah, Kakak, Adik dan kerabat lainnya) yang telah berpisah jarak, ruang dan waktu, dalam kungkungan rindu. (*)