Selasa, 02 Februari 2021

UI, 71 Tahun

Nahasiswa UI dengan jaket kuningnya (foto: net)

Hari ini, 2 Februari, Universitas Indonesia (UI) genap berusia 71 tahun. Sidang Guru Besar dipimpin Menteri P & K RIS (Menteri Pendidikan & Kebudayaan Republik Indonesia Serikat), Abu Hanifah membahas peleburan Universiteit Indonesia dengan Balai Perguruan Tinggi RI, yang diiringi protes keluar sidang guru-besar Belanda ketika Menteri ketuk palu dan lahirlah Universiteit Indonesia 2/2/1950. Hari lahirnya UI ini diambil dari hari pertama perkuliahan di Jalan Salemba Raya 4. 

Bermula pada 1849, pemerintah kolonial Belanda membangun sebuah sekolah tinggi ilmu kesehatan. Kemudian, sekolah tersebut secara resmi dinamakan sebagai Dokter-Djawa School, sekolah tinggi yang ingin mendalami ilmu kedokteran, tepatnya pendidikan tenaga mantri. Pada 1898, sekolah tinggi tersebut berubah nama menjadi School tot Opleiding van Indische Artsen (School of Mediciene for Indigenous Doctors) atau dikenal juga sebagai STOVIA.

Setelah 75 tahun menjadi tempat pendikan dokter terbaik, pemerintah Belanda membangun Sekolah Kedokteran dengan empat sekolah tinggi lain di beberapa kota di Pulau Jawa. Sekolah tinggi tersebut antara lain, Technische Hoogeschool te Bandoeng (Fakultas Teknik) yang berdiri di Bandung pada 1920, Recht Hoogeschool (Fakultas Hukum) di Batavia pada 1924, Faculteit der Letteren en Wijsbegeerte (Fakultas Sastra dan Kemanusiaan) di Batavia pada 1940. Selanjutnya, Faculteit van Landbouwweteschap (Fakultas Pertanian) di Bogor yang dibangun setahun kemudian.

Lima sekolah tinggi tersebut merupakan pilar dalam menciptakan the Nood-universiteit (Universitas Darurat), yang dibangun pada tahun 1946. Setelah mengalami pergantian nama, Nood-univeesiteit kemudian menjadi Universitas Indonesia pada 1950. Universitas Indonesia secara resmi memulai kegiatan perkuliahannya pada 2 Februari 1950 atau tepat 71 tahun silam. Saat itu, presiden (sekarang rektor) pertamanya yakni, Ir. R.M Pandji Soerachman Tjokroadisoerio.

Selama 171 tahun UI telah mengabdi pada bangsa dan 70 tahun dengan penuh kehormatan menyandang nama bangsa, diharapkan UI dapat turut berkiprah menyelenggarakan pendidikan berkualitas melalui pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi : Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian Masyarakat, terus berkomitmen untuk menjawab tantangan dan permasalahan bangsa.

Pada tahun 2020, Dies Natalis UI mengusung tema ”UI Sebagai Pilar Daya Saing Bangsa”, UI meyakini bahwa pendidikan berkualitas merupakan pilar penopang daya saing bangsa. Untuk itu, UI berkomitmen menyelenggarakan Tri Dharma Perguruan Tinggi berkualitas untuk membangun SDM yang unggul, kompetitif dan turut mampu berkontribusi pada Negara.

Kampus UI yang mentereng di Depok (foto: dok. UI)

Tema Dies Natalis UI tahun 2021 ini adalah ”UI Tangguh Untuk Indonesia Bangkit”. Tema tersebut dipilih karena pada masa pandemi Covid-19, sivitas akademika UI telah berupaya memberikan kontribusi terbaiknya bagi bangsa, seperti pembuatan rekomendasi kebijakan, inovasi, dan upaya pengabdian masyarakat, yang semuanya bertujuan membantu bangsa melewati masa sulit ini.

Serangkaian kegiatan Dies Natalis, akan diselenggarakan pada 2 Februari 2021 dan 23 Februari 2021 di Kampus UI, Depok. Rektor UI Prof. Ari Kuncoro menuturkan, ”Di era revolusi industri 4.0 saat ini, untuk bergerak maju dan cepat di dalam menyiapkan SDM yang unggul dan kompeten, Perguruan Tinggi perlu memperoleh dukungan serta sinergi dan kolaborasi triple helix, salah satunya dunia industri.

Untuk menangani Covid-19, tentu saja UI ambil bagian seperti halnya perguruan tinggi lainnya. Di antaranya melakukan riset untuk menemukan dan menciptakan alat penanganan Covid-19. Ada lima  kelompok program konsorsium riset dan produk inovasi, pertama pencegahan (tanaman obat, vaksin dan suplemen, APD, hand sanitizer, disinfectant, mobile hand washer, ozone chamber, public education).

Kedua, skrining dan diagnosis (rapid testearly and late detection berbasis antibodi dan antigen, test kit RT-PCR, mobile laboratory BSL-2). Ketiga, obat-obatan dan terapi (avigan, chloroquine phosphate, pil kina, tamiflu, ivemercifin, serum dari pasien yang sembuh, produksi serum yang mengandung antibodi, mesenchymal stem cell yang dikembangkan oleh Universitas Indonesia).

Keempat, sosial dan humaniora (public response towards Covid-19, government readiness to face Covid-19, employment impact). Kelima, alat kesehatan dan pendukung (ventilator, salah satunya  Covent-20 buatan UI, software data movement, peta geospasial, robot pemberian obat). Hasil riset dan penciptaan penanganan Covid-19 tersebut cukup memberi arti di masa pandemi ini.

Pada 23/2/2021, mata acara yang akan berlangsung di antaranya adalah kegiatan talk show oleh Prof. Dr. rer. nat. Abdul Haris (Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan) dan Saefudin Noer (Direktur Pelindo III), dan Dian Sastro (Seniman), pengumuman penerima penghargaan ”Warga UI Yang Berkontribusi Dalam Penanggulangan Wabah Covid-19”, pengumuman pemenang berbagai lomba, pemberian penghargaan pengelolaan kelas Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) terbaik, dan hiburan musik. (ZY/dbs)

 

 


 

Sabtu, 30 Januari 2021

Hutan Adalah ”Pembuluh Darah”

 Filosofi Masyarakat Timor

Seseorang tidak akan berjuang mati-matian mempertahankan kehijauan lingkungan kalau tidak tahu betul filosofinya. Sebagai orang yang lahir dan dibesarkan di daerah tandus Desa Lelobatan, Mollo Utara, Kabupaten Timor Tengah Selatan, NTT, Aleta Baun yang biasa disapa Mama Aleta, tahu betul bahwa untuk mendapatkan air dibutuhkan sumber yang cukup.

Masyarakat NTT percaya leluhur mereka berasal dari batu, kayu, dan air di sekitar desa mereka. Mereka memegang teguh keyakinan filosofis Oel fani on na, nasi fani on nafus, afu fani on mesa, fatu fani on nuif, mengandung arti bahwa air merupakan darah, hutan adalah pembuluh darah dan rambut, tanah merupakan daging, batu merupakan tulang.


Mama Aleta dan warga masyarakat Mollo Utara, NTT. (foto: Mongabay)

D
engan analogi hutan adalah pembuluh darah, maka hutan yang hijau adalah gudang penyimpan cadangan air, karena itu hutan itu harus dijaga tetap hijau dan jangan sampai dirusak oleh siapa pun. Dengan hutan yang hijau –dalam kaitannya dengan filosofi itu– besar kemungkinannya akan membuat air (darah) segar tersedia cukup banyak.

Berangkat dari filosofi itu, Mama Aleta sangat murka ketika dua perusahaan tambang, PT So’e Indah Marmer dan PT Karya Asta Alam, akan mengeksploitasi bukit batu yang berada di dalam kawasan hutan di desa mereka. Perlawanan Mama Aleta berawal saat pemda NTT memberikan izin kepada dua perusahaan tambang itu pada tahun 1995.

Mama Aleta tak mempedulikan ada pertikaian antarsuku di kampungnya. Atas nama kebersamaan, dia menggalang suara bersama salah satu tetua adat, mendatangi kampung-kampung untuk menyatakan penolakan. Mama Aleta menggunakan pendekatan nonkekerasan (nonviolent) untuk membangkitkan kesadaran warga terhadap kelestarian alamnya.

Mama Aleta mengajak puluhan kaum ibu di tiga suku melakukan aksi protes dengan menenun di celah gunung batu yang akan ditambang. Ibu-ibu dari tiga suku kompak melakukan aksi menduduki area tambang sambil menenun. Aksi tersebut berlangsung selama setahun dan berhasil membuat dua perusahaan tambang marmer berhenti beroperasi.

Perjuangan Mama Aleta tidak sia-sia, dia menerima penghargaan Goldman Environmental Prize 2013 di San Fransisco, California, Amerika Serikat. Penghargaan ini diberikan tokoh masyarakat dan dermawan, Richard N. Goldman dan istri, Rhoda H. Goldman untuk mendukung orang-orang yang berjuang mempertahankan lingkungan hidup dari ancaman.

Pada pertengahan bulan April 2013 itu mungkin menjadi hari penting bagi Mama Aleta karena dianugerahi Goldman Environmental Prize 2013. ”Saya persembahkan ini bagi orang Mollo, Amanuban, dan Amantun,” kata Mama Aleta dalam pidatonya pada penyerahan penghargaan itu yang berlangsung di San Fransisco, California, Amerika Serikat.

Rabu (25/1/2017) malam, Mama Aleta dianugerahi penghargaan Yap Thiam Hien Award 2016 di Museum Nasional Indonesia. Usai menerima penghargaan, Mama Aleta memberikan kain tenun khas NTT kepada Menteri K LH Dr Ir Siti Nurbaya Bakar MSc, Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri, dan Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki.

Cerita perjuangan Mama Aleta menentang eksploitasi tambang di desanya dengan memanfaatkan aktivitas menenun kain khas NTT sebagai media perlawanan, menjadikan dirinya tampil di halaman 16 harian Kompas (20/2/2017) pada rubrik SOSOK, dengan judul ”Perjuangan Belum Selesai”. Kelestarian hutan harus terus diperjuangan sampai kapan pun.

Penghargaan Yap Thiam Hien diberikan oleh Yayasan Pusat Studi Hak Asasi Manusia kepada orang-orang yang berjasa besar dalam upaya penegakan HAM di Indonesia. Nama penghargaan ini diambil dari nama Yap Thiam Hien, pengacara dan pejuang HAM Indonesia keturunan Tionghoa. Penghargaan ini diberikan setiap tahun pada peringatan hari HAM 10 Desember sejak 1992.

Mama Aleta lahir di Desa Lelobatan, Mollo Utara, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) pada 16 April 1963. Mama Aleta adalah anak ke-6 dari 8 bersaudara yang sejak kecil begitu dekat dan menyatu dengan alam. Sejak kecil, Mama Aleta diajarkan untuk menghormati lingkungan hidup sebagai bagian dari kehidupan.

***

Hutan Adalah Ibu

Upaya perlawanan terhadap eksploitasi hutan Kalimanta dan tanah adat di dalamnya, bukannya tidak ada. Bandi anak Ragai (Apai Janggut) memimpin masyarakat adat Dayak Iban Dusun Sungai Utik, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, untuk melindungi hutan dari penebangan liar dan ulah korporasi. Luas hutan adat ini mencakup 9.452,5 hektar.

Dusun Sungai Utik berada di hulu Sungai Embaloh. Tepatnya, di Dusun Sungai Utik, Desa Batu Lintang, Kecamatan Embaloh. Kabupaten paling puncak di Kalimantan Barat ini merupakan kabupaten konservasi. Letaknya 846 kilometer dari Pontianak, Ibu Kota Kalimantan Barat. Menuju Sungai Utik, masih harus menempuh jarak 75 kilometer ke arah Lanjak.

Apai Janggut bersama Sinta O’ Conor. Sinta O’ Conor adalah gadis keturunan Dayak Ngaju, Kalimantan Tengah dari sebelah Ibunya dan keturunan New Zealand dari sebelah Ayahnya. Dia biasa disapa Sinta, bersama orang tuanya berdomisili di Toronto, Canada. (foto: https://cukelingkumang.com/)

Sungai ini satu dari empat sungai anak Sungai Kapuas. Lokasinya di zona penyangga Taman Nasional Betung Kerihun. Status sebagai Kabupaten Konservasi diperoleh melalui SK Bupati No 144 Tahun 2003. Hutan adat Sungai Utik adalah yang pertama memperoleh sertifikat ekolabel dari Lembaga Ekolabel Indonesia pada 2012. Saat MS Kaban menjabat Menteri Kehutanan.

Utik berarti putih, atau jernih dalam Bahasa Dayak Iban. Airnya yang sebening kaca, menampakkan batu-batu alam di dasarnya. Air hijau zamrud menandakan sungai yang dalam. Masyarakat Dusun Sungai Utik ini juga didapuk sebagai pelestari hutan adat. Berdasar SK Mahkamah Konstitusi No 35/PUU-X/ 2012 tanggal 16 Mei 2013, hutan adat Sungai Utik bukan hutan negara.

Sejak lama, aturan adat di Dusun Sungai Utik mensyaratkan penebangan terbatas di zona pemanfaatan. Setiap kepala keluarga tidak boleh menebang pohon lebih dari 30 batang per tahun. Sebentuk denda ditentukan jika terdapat pelanggaran. Termasuk jika dilakukan desa tetangga. Aturan itu dipegang teguh karena bagi mereka hutan adalah Ibu, berarti harus dijaga dan dihormati.

Sungai Utik airnya bening. Air hijau zamrud menandakan sungai yang dalam. (foto: Rhett Butler/Mongabay) 

Atas filosofi hutan sebagai Ibu, karenanya harus dijaga, masyarakat adat Sungai Utik diganjar penghargaan Equator Award 2019 dari UNDP (United Nations Development Programme) atau Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Penilaian berdasarkan solusi inovatif berbasis alam, untuk mengatasi tantangan perubahan iklim, lingkungan, dan kemiskinan.

”Kami tak pernah pikir ini besar. Ini kami lakukan sesuai yang dianjurkan leluhur. Jaga hutan, artinya menjaga kehidupan,” kata Bandi. Sungai Utik bersama 22 komunitas lokal dan adat seluruh dunia lainnya yaitu berasal dari Benin, Brasil, Kamerun, Ekuador, India, Kenya, Mikronesia, Nigeria, Pakistan, Peru, Tanzania, dan Vanuatu. Pemenang akan menerima US$10.000.

Mereka mendapatkan penghargaan internasional, lantaran komitmen menjaga hutan sebagai sumber penghidupan. ”Orang luar kasi penghargaan kita. Pemerintah sini yang belum peduli,” tukas Bandi anak Ragai, tuai rumah panjai (kepala rumah panjang) Sungai Utik. Usia Bandi diperkitakan sekira 80-an tahun. Tapi sebenarnya, ia tak tahu persis tahun berapa ia lahir.

***

Deforestasi Hutan Kalsel

Banjir di 11 kabupaten/kota di Provinsi Kalsel pada 20/1/2021, memunculkan teka-teki apa penyebabnya. Guna menjawab pertanyaan ini, tim Bareskrim Polri pun diturunkan untuk menggali keterangan BMKG. Berdasarkan pemaparan BMKG, salah satu faktor adalah curah hujan di Kalimantan Selatan saat itu sangat tinggi. Pihak Syahbandar memberikan jawaban nyaris sama. Saat itu, gelombang air sangat tinggi. Ketinggiannya kira-kira dua sampai dua setengah meter.

Foto udara kondisi Desa Alat pascabanjir bandang di Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan, Rabu, 20 Januari 2021. (foto: ANTARA/Muhammad Nova)

Greenpeace Indonesia menyebut bencana banjir Kalsel terjadi karena kerusakan hutan di sekitar Kalimantan yang parah. Mereka menyanggah ucapan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menyebut bahwa banjir terjadi karena cuaca buruk. ”Pernyataan Jokowi hanya menyalahkan curah hujan tentu tak bisa diterima. Karena fakta yang kami punya penyebab banjir tak tunggal,” kata Juru Kampanye Hutan Greenpeace Arie Rompas dalam diskusi daring, Jumat (29/1/2021).

Ia menggunakan pendekatan dua DAS yang ada di sekitar Kalsel. Greenpeace menyebut hutan di sekitar wilayah itu sudah jauh berkurang dibanding 1990. Dari total luas DAS Barito 6,2 juta hektar, tutupan hutannya pada 2019 hanya tinggal 3,5 juta saja atau 49 persen. Adapun DAS Maluka, dari 88 ribu hektare tersisa 0,97 persen tutupan hutan atau seluas 854 hektare saja. Deforestasi dan penggunaan tata guna lahan berkontribusi terhadap terjadinya banjir di Kalsel.

Ia mengatakan deforestasi sejak 1973 hingga saat ini tak terlepas dari komoditas-komoditas dari kayu-kayu alam, sawit, hingga tambang batubara. Dari data Greenpeace, di DAS Barito saja sudah ada 94 konsesi perusahaan kelapa sawit, 19 konsesi HTI, 34 konsesi HPH, dan 354 konsesi tambang. ”Totalnya di DAS Barito ini sudah mengambil 53 persen wilayahnya. Jadi tutupan hutannya sudah sedikit. Di bawah 50 persen, izin konsesinya sudah 53 persen,” kata Arie Rompas.


Rujukan:

-       https://nasional.tempo.co/

-       https://www.mongabay.co.id/

-       https://www.liputan6.com/

-     Dll.