Sabtu, 25 Juni 2011

Mengenang Ayah Tercinta

Hari ini, 25 Juni 2011, tepat satu tahun ayahanda tercinta H. Yakub bin Abdurachman, kembali berpulang ke Rahmatullah, Tuhan pemilik alam semesta, pengatur hidup dan kehidupan, dan penentu takdir.
Setelah menderita stroke selama 7 bulan, akhirnya beliau pun wafat. Beliau menghembuskan nafas terakhirnya hari Jumat sekira pukul 07:50. Suatu kebahagiaan tersendiri bagi kami, karena meninggal dunia  hari Jumat, merupakan salah satu dari tanda-tanda husnul khotimah. Adik beliau H. Kasim bin Abdurachman juga wafat pada hari Jumat pagi, tepatnya tanggal 24 Desember 1982.
Tak pernah terbayang beliau akan menderita stroke. Lantaran kemampuan yang beliau punya, atas izin Allah Subhanahuwata’ala, terhitung beberapa orang yang stroke kembali sembuh setelah beliau obati dengan cara dipijat dan diberi ramuan obat yang beliau racik sendiri. Satu di antara yang pernah diobati beliau adalah adiknya H Kasim tersebut yang juga sempat mengalami kelumpuhan sebelum akhirnya wafat. 
Di masa kecil saya, di saat itu (sekira tahun ’70-an) berobat secara medis ke mantri kesehatan tidak seberapa lazim dilakukan masyarakat. Kebanyakan masyarakat sering datang ke rumah untuk meminta pertolongan beliau menyembuhkan berbagai penyakit. Alhamdulillah berkat Rahmat Allah Subhanahuwata’ala, penyakit demi penyakit dapat sembuh. Sejak itulah beliau mendapat kepercayaan masyarakat banyak untuk dimintai tolong mengobati, ketimbang pergi ke mantri kesehatan apalagi dokter yang kala itu enggan bertugas di Puskesmas, karena belum ada penerangan listrik.
Padahal, cara beliau mengobati begitu tradisional. Obatnya hanya ramuan dari berbagai tumbuhan (umbi-umbian, daun-daunan, cambium kulit kayu, dan air atau getah hasil deresan pada pohon tertentu). Cara pengobatan seperti ini yang sekarang dikenal sebagai pengobatan alternatif.
Cara beliau mendiagnosa penyakit pun, cukup dengan ujung tiga jari telunjuk, tengah, dan manis, ditempelkan pada perut dekat bagian ulu hati. Namun dibacakan doa terlebih dahulu lalu ditiupkan ke ujung jemari itu. Dan, apakah itu sekadar panas dalam, tipus (panas kulik, istilah bahasa Ranau), atau liver (bakhah, kalau menurut istilah Ranau), atau penyakit lainnya dapat beliau simpulkan.
Pernah abang saya diopname di RS Panti Rapih Yogya. Beliau datang, dan setelah beliau ketahui itu tipus, beliau menghendaki agar abang saya dibawa pulang dari RS, dokter di situ pada bingung.
“Kan belum sembuh, Pak!,” kata dokter.
“Saya tanggung jawab,” jawab beliau.
Memang, beliau sudah hapal betul riwayat sakit yang biasa diderita anak-anaknya. Sehingga sebelum berangkat ke Yogya, beliau sudah persiapkan bahan-bahan obat tipus, sehingga sampai di Yogya tinggal meracik dan setelah itu obat diberikan kepada abang saya, suhu badan yang tadinya panas tinggi, langsung turun dan seketika sembuh.
Pernah pula saat beliau yang merasakan demam, pergilah beliau ke rumah Pak Arsyad (sering dipanggil Pak Resad), seorang mantri langganan beliau. Setelah ritual diagnose dan diinjeksi serta diberikan obat-obatan yang harus diminum, beliau bertanya kepada Pak Resad, “apa penyakit saya, Pak?” Pak Resad pun menjawab : “malaria” seraya menyarankan agar dua hari lagi kembali.
Sepulang dari rumah Pak Resad, beliau langsung mengambil daun Capa lalu merebusnya dan meminum air rebusan itu, kontan sembuh. Begitu kembali ke rumah Pak Resad (dua hari kemudian) sesuai saran. Pak Resad mendiagnosa, ternyata sudah tidak ada lagi penyakit itu.
“Sudah sembuh kamu, Kub,” kata Pak Resad.
“Kan Bapak bilang penyakitnya malaria, ya sudah saya ambilkan daun Capa saya rebus dan minum airnya,” jawab beliau.
“Ah, besok-besok nggak mau lagi saya ngasih tahu penyakitnya,” jawab Pak Resad.
Tapi dialog antarkeduanya, sebenarnya dilakukan dengan menggunakan bahasa Palembang, karena bahasa inilah yang biasa dipakai dalam bertutur masyarakat bila berlainan suku (Pak Resad adalah perantau Minang) selain tentunya bahasa Ranau yang sehari-hari dipakai.
Begitulah beberapa cerita tentang bagaimana beliau bisa menyiasati untuk menyembuhkan penyakit secara cepat, ketimbang berlama-lama opname di RS seperti kasus abang saya di atas.       
Sejarah bagaimana beliau mendapat ilmu pengobatan ini, adalah hasil berguru pada bujangan (orang yang ikut bekerja pada beliau saat berkebun tembakau), yang menurut cerita beliau bernama San, entah nama lengkapnya siapa tak jelas.  Yaitu orang jawa yang merantau ke sumatera dan kebertulan ikut ayah sejak sebelum tahun '60-an. Tapi setelah terjadinya peristiwa G-30 S/PKI tahun '65 mamang (demikian biasa dipanggil) San ditangkap karena beliau sempat ikut-ikutan aktivis 'Kaum Tani' binaan PKI, akhirnya mamang San dipenjara dan dengan sendirinya berpisah dengan ayah. Padahal ayah berkali-kali mengingatkan agar mamang San jangan ikut-ikutan kegiatan tersebut.
Tentang berkebun tembakau, ayah adalah orang yang sangat piawai, karena sejak bujang beliau ikut kakek saya merambah hutan di lereng bebukitan semacam Air Ringkeh, Tawan, Pintaan, Pematang, Atar Panjang, Telanani, dan lain-lain.
Di saat belum sekolah pun masa kecil saya begitu akrab dengan getah tembakau. Dan saat itu tembakau Ranau begitu populer bahkan bisa mengalahkan tembakau Deli. Dan pernah menolak permintaan dari bursa lelang tembakau Bremen Jerman, karena tidak bisa memenuhi kuota sebab usaha perkebunan tembakau di Ranau hanya perkebunan berskala kecil, bukan diusahakan secara besar-besaran.
Karena kebiasaan ayah yang sering naik-turun gunung dan senantiasa bekerja mengayun alat-alat pertanian, dan menunggang sepeda baik ke sawah maupun ke kebun, membuat beliau senantiasa gagah perkasa sehingga usianya mencapai 86 atau 89 tahun. Tidak pernah diketahui secara pasti usia beliau ini. Bila merunut cerita beliau, pada saat terjadi gempa bumi tahun 1933 beliau berusia 9 tahun, berarti beliau lahir sekitar tahun 1924, maka saat meninggal beliau berusia 86 tahun. Tapi, Menurut Pakcik Ismail bin Abdurachman (adik beliau), usia ayah adalah 89 tahun. Yang mana yang benar, wallahu ‘alam.

Firasat Senin Pagi dan Isyarat Pak Tukiyo
Saya bersama abang kembali pulang untuk menengok beliau pada Jumat 11 Juni 2010 karena pada Minggu 13 Juni adalah hari pernikahan nakanda Lediartina. Faktor tugas yang tak bisa ditinggal lama, maka Senin pagi 14 Juni seusai memandikan beliau lalu saya sarapan karena akan kembali ke Bandarlampung, Saat saya berpamitan beliau tak menjawab tapi tatapan beliau begitu tajam menikam. Dalam hati saya bergelayut tanya, kok tatapan ayah seperti ini. Begitu lekat seakan tak mau dilepaskannya. Dan saya pun mencoba membaca bahwa itu tatapan beliau terakhir buat saya.
Benar saja, tepat sebelas hari saya tinggalkan, akhirnya beliau berpulang. Sementara abang memang sengaja tinggal karena akan membawa beliau berobat ke ahli pengobatan alternafif yaitu Pak Tukiyo di Way Kanan Lampung Timur. Ayah dibawa hari Selasa 15 Juni. seusai diobati Pak Tukiyo berpesan kepada abang dan kerabat lainnya yang mengantar agar ayah dibawa kembali ke Way Kanan pada Jumat 25 Juni. 
"Antarkan lagi nanti Jumat 25 Juni, jangan lebih dari sepuluh hari," kata Pak Tukiyo.
Bisa jadi lantaran ilmunya yang mumpuni, Pak Tukiyo sudah bisa "membaca" bahwa ayah sudah dekat dengan ajalnya. Nyatanya benar saja pas sepuluh hari dari tanggal itu, pas pula hari dan tanggal yang dikatakannya yaitu Jumat 25 Juni 2010, ayah berpulang ke Rahmatullah. Dan tepat pula ayah memang diantarkan, tapi bukan ke Way Kanan melainkan ke tempat peristirahatannya yang terakhir. Begitulah tanda-tanda kebesaran Allah Subhanahuwata'ala, diberikan-Nya kepada kita kemampuan untuk membaca isyarat.  

        

    



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.