Seperti yang
saya ulas pada bab membentuk anak cerdas dan terkait pula pada bab membentuk
anak sukses. Bahwa cerdas sangat dibutuhkan bila orangtua ingin agar anaknya meraih
kesuksesan. Demikian pula kesuksesan merupakan modal dasar bila orangtua ingin
menyaksikan anaknya merasakan kebahagiaan.
Agar anak
menjadi cerdas secara intelektual, secara emosional, secara spiritual, dan juga tak kalah penting adalah kecerdasan sosial, harus
digerakkan sedini mungkin. Maka peran ibu sebagai guru utama, sebagai sekolah
pertama, sebagai madrasah atau pesantren pertama, demikian besar sumbangsihnya.
Sangat mustahil anak akan mendapat pengajaran yang maksimal bila pengasuhannya diserahkan
kepada PRT atau babysitter. Karena sudah jamak PRT berdasarkan kondisi
pribadinya yang masih berusia remaja, hanya mengetahui pola pengasuhan sejauh menjaga
agar anak (balita) tidak lapar, tidak ngompol, tidak nangis. Sehingga hanya
ibulah yang betul-betul paham kebutuhan anak mulai dari nutrisi sampai perkembangan
fisik dan psikisnya, dan hanya ibu pula yang paham cara memenuhinya.
Di tangan
ibulah pendidikan nonformal dan informal akan didapat si anak. Pendidikan di
tingkat ini dimulai dengan melatih agar anak fasih mengucapkan huruf dan lancar berbicara, mengenal hitungan
secara lisan dengan alat peraga jari jemari atau saat melatih anak melangkah, melompat, atau menaiki tangga dengan disertai hitungan 1, 2, 3, dst, mampu bernyanyi, melatih
keberaniannya, memupuk kepercayaan diri, dan sebagainya. Dengan mendapat pendidikan
awal pada ibunya di rumah seperti itu, kelak bila si anak memasuki usia sekolah
katakanlah PAUD (pendidikan anak usia dini), dia sudah siap dan punya
keberanian.
Dalam hal
melatih keberanian dan memupuk kepercayaan diri anak, orangtua perlu
menciptakan lingkungan yang mendukung, tujuannya agar bibit keberanian dan
percaya diri yang sebenarnya telah ada dalam diri si anak akan tumbuh subur dan
optimal. Potensi berani dan percaya diri tidak akan tumbuh di lingkungan
keluarga (orangtua) yang otoriter dan cenderung mendoktrin, mengekang. Malahan yang
terjadi si anak akan rendah diri (minder), cenderung tertutup (introvert),
tidak punya keberanian (pemalu), dan
tidak percaya diri (pede).
Dengan memberikan pendidikan dini sejak bayi
sampai usia balita (setiap jenjang usianya), berarti orangtua telah mencurahkan
perhatian. Karena, bila anak tercurahi perhatian yang demikian melimpah dri
orangtuanya, maka tindakan anak akan terjaga pada hal-hal yang positif, benar
dan penuh tanggung jawab. Tapi bila anak kurang mendapat perhatian dari
orangtuanya, tidak mustahil anak akan menjadi liar dan amoral. Karena anak yang
kurang mendapat perhatian di dalam rumah, dia akan mencarinya di luar rumah,
dengan jalan melakukan kebebasan dalam mengekspresikan kehendak dan rasa ingin
tahunya berupa tingkah laku yang melampaui batas, sebab dia tidak pernah
mendapat pengajaran kalau yang dilakukannya adalah tindakan tidak terpuji,
tidak berkarakter, dan sesuatu yang menuntut pertanggungjawaban.
Temperamen, Karakter, dan Kepribadian.
Tingkah laku
anak akan dipengaruhi oleh tingkah laku orangtua atau lingkungan di mana dia
dibesarkan. Kalau orangtuanya mendidik anaknya dengan keras, penuh doktrin,
tekanan, celaan. Si anak akan merespons dan cenderung melakukan hal yang sama. Ini merupakan sifat
dasar yang dipengaruhi oleh kode genetika yang diturunkan orangtuanya. Sifat dasar
inilah yang disebut temperamen.
Karakter menurut Pusat Bahasa Depdikbud, adalah bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak. Menurut Takdiroatun Musfiroh (UNY, 2008), karakter mengacu kepada serangkaian sikap (attitude), perilaku (behaviors), motivasi (motivations), dan keterampilan (skill). Anak dituntut untuk memiliki kemampuan memilah mana yang baik dan mana yang buruk. Dan kemampuannya
menempatkan diri. Saat dia mendapat pujian ‘dilambungkan’ perasaannya, dia akan
meresponsnya dengan bersahaja. Tidak harus berubah jadi sombong atau lupa diri. Bentuk respons seperti ini mencerminkan karakter yang
teruji, yang berkualitas. Tapi, manakala ada orang yang perasaannya ‘direndahkan’ kemudian orang itu meresponsnya dengan menunjukkan keputus-asaan lalu mendorong dia untuk melampiaskan kemarahan, melakukan kecurangan, tindakan tidak jujur, bahkan koruptif. Maka tindakannya ini adalah cerminan orang yang berkarakter jelek.
Kepribadian adalah etika di tengah pergaulan, di
tengah-tengah orang banyak. Bagaimana seseorang menunjukkan style-nya bila bergaul, bagaimana harus
tampil, cara berbusana, cara berbicara, cara berinteraksi, cara menyelaraskan hubungan. Hal ini yang saya sebut sebagai kecerdasan sosial.
Karakter yang baik bisa terbentuk bila terpenuhi
5 (lima) faktor berikut, yaitu:
1. Temperamen dasar (dominan, intim, stabil,
cermat),
2. Keyakinan (apa yang dipercayai, paradigma),
3. Pendidikan (apa yang diketahui, wawasan kita),
4. Motivasi hidup (apa yang kita rasakan,
semangat hidup),
5. Perjalanan (apa yang telah dialami, masa lalu
kita, pola asuh dan lingkungan).
Karakter yang
dapat membawa keberhasilan yaitu empati (mengasihi sesama seperti diri
sendiri), tahan uji (tetap tabah dan ambil hikmah kehidupan, bersyukur dalam
keadaan apapun), dan beriman (percaya pada Tuhan).
Ketiga karakter tersebut akan mengarahkan
sesorang ke jalan keberhasilan. Empati akan menghasilkan hubungan yang baik,
tahan uji akan melahirkan ketekunan dan kualitas, beriman akan membuat segala
sesuatu menjadi mungkin. (Ratna Megawangi, 2003:19).
Karakter
yang Dicintai Allah SWT.
Allah SWT
mencintai beberapa karakter dari kepribadian seorang Muslim. Sesuai dengan
dzat-Nya yang Agung, Baik, Mulia, Istimewa, dan sederat sifat baik lainnya,
maka unsur-unsur kebaikan itu menjadi inti dari karakter yang dicintai Allah
swt.
Rasulullah SAW
menunjukkan jalan kepada kita bahwa untuk memiliki karakter yang dicintai Allah
swt, kita harus memenuhi ketentuan berikut ini:
"Katakanlah:
‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah swt, maka ikutilah aku, niscaya Allah
swt akan mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu’. "Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang." (QS. Ali Imran: 31).
Iman kepada
rasul, mengikuti risalahnya, menaati perintahnya, dan menjauhi larangannya
merupakan kunci menjadi pribadi yang dicintai Allah swt. Hal itu karena kegiatan
tersebut menjadi bukti nyata kecintaan dan keberpihakan kita pada sifat-sifat
keagungan, kebaikan, kemuliaan, keistimewaan dan sifat baik lainnya yang
menjadi karakter asli Allah swt.
Rasulullah SAW
menyatakan, "Cintailah Apa yang dicintai oleh Allah swt dan rasul-Nya, dan
bencilah apa yang dibenci oleh Allah swt dan rasul-Nya." (HR. Ahmad).
Umumnya, mereka
yang memiliki karakter tersebut adalah orang-orang yang gemar berbuat baik
(muhsinin), bertaubat (tawwabin), bertakwa (muttaqin) dan berserah diri
(mutawakkilin) kepada Allah swt sebagaimana tersebut dalam fiman-Nya sebagai
berikut:
Pertama,
"Sungguh Allah swt mencintai orang-orang yang berbuat kebajikan."
(QS. Al Baqarah: 195; QS. Ali Imran:134 dan 148; QS. Al Maidah: 13 dan 93).
Muhsinin di sini
adalah orang-orang yang memperbaiki terus amal salehnya, melebihi persyaratan
normalnya, dan meningkatkan nilai dan substansi kebaikannya. Kebaikan mereka
melebihi kebaikan rata-rata manusia dan di luar batas kemanusiaannya.
Kedua,
"Sungguh Allah swt mencintai orang-orang yang bertaubat dan mensucikan
diri." (QS. Al Baqarah: 222). Mereka ini dicintai Allah swt karena
senantiasa berhasrat merubah masa lalu yang buruk menjadi baik, tidak mengulang
kesalahan (dosa) dan menyegerakan diri dalam garis ketuhanan semata-mata karena
takut kepada Allah swt dan berharap ridha-Nya.
Ketiga,
"Sungguh Allah swt mencintai orang-orang yang bertakwa." (QS. Ali
imran: 76; QS. At Taubah: 4 dan 7). Takwa adalah perisai, perhiasan dan bekal paling
baik di dunia. Ketakwaan mencerminkan keimanan dan amal saleh. Iman dan amal
saleh mengantarkan pelakunya ke surga.
Keempat,
"Sungguh Allah swt mencintai orang-orang yang berserah diri." (QS.
Ali Imran: 159). Berserah diri merupakan kegiatan yang senantiasa dilakukan oleh
seorang mukmin setelah menyelesaikan pekerjaan dengan baik dan memenuhi semua
kriteria yang diperlukan sesuai dengan kapasitasnya sebagai manusia.
Berserah diri tersebut menjadi prasyarat
dihasilkannya tujuan sesuai yang diharapkan. Selanjutnya adalah kuasa Allah swt,
Dzat yang mengetahui secara pasti kegaiban yang terdapat dalam proses menuju
hasil dan tujuan. (Dr Muhammad Hariyadi, MA, Republika.co.id.)