Kalau dalam
postingan “Membentuk Anak Cerdas” telah saya kupas masalah faktor-faktor
penentu yang dapat menjadi fondasi apakah anak kita akan cerdas atau tidak.
Maka, dalam postingan kali ini, saya akan coba kupas perihal pembentuk
kesuksesan anak kita.
Sudah barang
tentu setiap orangtua mendambakan anaknya sukses dalam menempuh pendidikan.
Untuk itu, berbagai fasilitas penunjang lancarnya pendidikan diberikan. Dan akan
mudah mewujudkannya bila orangtua punya KEMAMPUAN
dalam segi finansial. Bagi orangtua yang mampu segi ekonominya akan mengusahakan
agar anaknya bisa bersekolah di sekolah favorite semisal RSBI, Sekolah Global,
Sekolah Internasional, atau sekalian dikirim ke luar negeri. Bagi orangtua yang
berkecukupan pun akan mengusahakan anaknya masuk sekolah papan atas, yang
peminatnya selalu membeludak. Nah, bagi orangtua yang ekonominya sedang-sedang
saja bahkan kategori kurang mampu, tentu akan bangga sekali bila anaknya bisa
masuk sekolah negeri (apakah itu SMP, SMA, atau Perguruan Tinggi). Setidak-tidaknya
akan terbantu dari segi biaya, karena bagi siswa di sekolah negeri pemerintah
mengucurkan biaya operasional sekolah (BOS), bahkan ada Kepala Daerah
(Gubernur, Bupati/Walikota) punya kebijakan untuk menggratiskan biaya
pendidikan bagi siswa sekolah negeri. Dan di perguruan tinggi negeri (PTN)
biaya kuliah jauh lebih miring dibanding perguruan tinggi swasta (PTS).
Untuk
mewujudkan dambaan menyekolahkan anak di sekolah favorite tidak cukup hanya
mengandalkan kemampuan ekonomi. Keberhasilan anak bisa menembus ketatnya
persaingan meraih kursi di sekolah unggulan itu kembali terpulang pada
kemampuan otaknya. Artinya, kembali lagi kepada bahasan di postingan “Membentuk
Anak Cerdas.” Sejauh apa usaha-usaha orangtua menciptakan anaknya menjadi
cerdas sehingga mampu bersaing dengan orang lain.
Di samping
faktor-faktor penentu yang telah saya uraikan pada postingan “Membentuk Anak
Cerdas,” ada faktor x yang secara tidak kita sadari diam-diam begitu menentukan
terbentuknya anak cerdas. Dan, kebanyakan orangtua tidak menyadari bahwa hal
inilah yang sebenarnya jadi bandul penggerak semangat anak-anak untuk tekun
menapaki jalan-jalan menuju kecerdasan itu, yaitu PERHATIAN orangtua. Anak tidak cukup hanya dipenuhi segala
fasilitasnya untuk rajin berangkat ke sekolah, misal disediakan kendaraan
berupa sepeda motor atau mobil sekalian. Tanpa curahan perhatian, tanpa siraman
kasih sayang, tanpa interaksi dan jalinan komunikasi yang intens, bahkan
sentuhan secara badani berupa peluk cium. Ada orangtua mengabaikan hal remeh
temeh perihal perhatian ini dengan alasan sibuk bekerja. Bisa jadi masuk akal
dan akan mendapat permakluman, terutama bagi yang hidup di kota besar dan yang
orangtuanya bekerja di luar kota atau luar pulau. Tapi akan mustahil jadinya
bagi orangtua yang berdekatan dengan anaknya tapi bersikap supercuek terhadap
anaknya dengan alasan sudah cukup segala fasilitas yang disediakan akan bisa
menyenangkan anaknya, padahal coba saja bila orangtua (terutama ayah) bersikap
hangat terhadap anak-anaknya, memperlakukan anak sebagai kawan, melonggarkan
jarak agar bisa lebih dekat, tentu akan mudah masuk ke seluk-seluk privasi si
anak. Anak akan terbuka bila orangtua membuka peluang untuk terjadinya
interaksi langsung dalam komunikasi, tapi bila orangtua menutup diri untuk
terjalinnya keakraban tentu saja anak akan tertutup pula menyangkut hal-hal
pribadinya.
Banyak anak
yang karena kurang mendapat perhatian di rumah, dia mencarinya di luar rumah
sehingga hanyut dalam arus pergaulan yang menyesatkan. Berawal dari hanya
mengonsumsi minuman keras terus berlanjut ke narkoba. Berawal dari nyimeng
sampai akhirnya nyabu. Berawal dari hanya coba-coba berlanjut jadi keranjingan.
Dari sekadar mabok ringan meracau tak karuan sampai pada akhirnya OD dan sakau
berat. Nah, anak-anak yang terjerat pergaulan sesat inilah yang cenderung
kurang sukses bahkan gagal. Tak sedikit yang karena sering bertukar jarum
suntik akhirnya terinveksi HIV/AIDS, ada pula yang sampai harus mendekam di
penjara karena terlibat perdagangan narkoba, yang tadinya hanya sekadar pemakai
meningkat jadi pengedar karena merasakan nikmatnya dapat limpahan rezeki haram
dari bisnis ilegal ini.
Di samping
perhatian, kesuksesan anak akan mudah diraih bila ada kesesuaian antara hal
yang diidamkan (yang dicita-citakan) dengan POTENSI yang ada pada diri si anak. Dengan adanya kedekatan antara orangtua
dengan anak, akan mudah menelusuri potensi yang ada pada anak. Apa yang disukai
dan biasa dilakukan si anak akan terpantau dengan jelas, misalnya si anak
senang mengutak-atik komputer atau laptop di rumah, bisa jadi anak menyukai
bidang IT. Bila anak rajin memposting tulisan yang dia rangkai dari
kejadian-kejadian di sekitar lingkup pergaulannya sehari-hari entah di sekolah
atau yang dia lihat dan temui di jalan, bisa jadi anak punya potensi untuk jadi
penulis yang berbakat dan bila diasah dan dikembangkan tidak mustahil kelak
jadi tersohor sebagai novelis. Bila si anak senang corat coret di tembok atau
buku catatan pelajaran sekolahnya dipenuhi ilustrasi-ilustrasi menyerupai
kartun, bisa jadi anak memiliki bakat tersembunyi untuk jadi ilustrator bahkan
bisa membuat komik, atau bisa saja gambar yang dibuatnya menyiratkan bakat
untuk jadi pelukis hebat.
Lantas, bila
orangtua sudah bisa menebak-nebak atau menyimpulkan bahwa anaknya berbakat
dalam suatu bidang, apa kira-kira yang harus dilakukan? Tentu saja MENGARAHKAN. Namun sebelumnya harus
menanyakan terlebih dahulu apa betul yang dikira/diduga/ditebak oleh orangtua
itu betul-betul jadi minat dan disenanginya. Bila sudah ditemukan kesesuaian
antara minat/kesenangan/keinginan dengan potensi yang ada pada si anak,
orangtua tak perlu berpikir dua kali untuk mengarahkan anak agar meneruskan ke
jenjang pendidikan selanjutnya yang mengakomodasi bagi tercapainya cita-cita si
anak. Misalnya, perguruan tinggi yang menyediakan fakultas dan program studi
bidang IT, arsitektur dan lanskap, desain grafis, desain interior, art and entertainment, seni patung, seni
kriya, atau seni murni.
FOKUS. Ya, setelah ditemukan kesesuaian antara bakat dan minat, fokuskanlah pilihan agar lebih mudah merancang bagaimana menjalani studi, mudah memilah mana yang harus didahulukan dan mana yang bisa dikesampingkan, apa yang mesti dilakukan dan apa yang bisa ditunda, intinya semua diatur berdasar skala prioritas masing-masing.
Setelah faktor-faktor di atas (kemampuan, perhatian, potensi diri, pengarahan) menyatu dalam satu kesatuan yang saling berkait dan saling menunjang satu sama lain, masih diperlukan satu faktor lagi agar si anak dalam menapaki jalan menuju tercapainya kesuksesan menjadi ternaungi dalam lindungan Allah swt, selalu dicurahi-Nya petunjuk, hingga apa yang diraih akan berkah. Yaitu DOA. Ya, doa orangtua ibaratnya suplemen pembangkit gairah bagi anak. Anak yang senantiasa didoakan orangtuanya akan merasakan ketentraman hati, pikirannya cemerlang dan semangat belajarnya membara. Demikian sebaliknya, anak juga diminta untuk senantiasa memanjatkan doa bagi orangtuanya agar senantiasa sehat sehingga tak menemui halangan dalam bekerja. Saling mendoakan intinya.
Bicara masalah doa. Dalam buku 7 Keajaiban Rezeki, Ippho Santosa memberi tuntunan agar dibuat keselarasan antara doa anak dan doa orangtua (terutama ibu). Ipho Santosa mengilustrasikan ibarat ‘sepasang bidadari’ dan ‘perisai langit.’ Artinya, bila doa anak diselaraskan dengan doa orangtua maka akan mudah meraih kesuksesan. Jangan terjadi misalnya anak sampai berpeluh berdoa agar diterima di ITB sedang ibunya bersimbah air mata mendoakan agar anaknya diterima di UGM. Sungguh nggak nyambung. Dan cenderung akan meletikkan konflik. Bila doa anak terkabul, ibunya akan berkata “padahal ibu mendoakan agar masuk UGM, kok nggak terkabul ya” bila doa ibu yang terkabul si anak yang akan berkata “ibu sih mendoakannya ke UGM, padahal aku nggak sreg,” dan bila tidak terkabul semua tuhan yang disalahkan karena tak mau memperkenankan doa hamba-Nya, padahal katanya Maha Pemberi. Nah, ujung-ujungnya jadi orang yang tidak bisa memahami apa sesungguhnya yang disembunyikan Allah swt di balik kegagalan itu. Bisa jadi Allah swt berkehendak lain, si anak ditakdirkan untuk terhindar dari berbagai kesulitan bila saja kuliah di ITB atau UGM. Dan kesulitan ini akan menghambatnya meraih sukses. Allah swt Maha Pengasih dan Penyayang pada hamba-Nya telah menjanjikan sukses yang mudah diraih tapi tidak harus melalui ITB atau UGM tadi.
Maka, diperlukan faktor berikutnya, yaitu SIKAP. Atas apa yang diraih, apakah keberhasilan atau kegagalan perlu disikapi dengan penuh rasa syukur. Lumrah memang mensyukuri nikmat bila doa dikabulkan, tapi tak ada salahnya bersyukur pula walaupun doa belum dikabulkan-Nya, menerimanya dengan penuh tawakal, berlapang dada, dan legawa. Dan dicari upaya lain, bisa jadi di perguruan tinggi yang lain si anak akan meraih suksesnya. Intinya, bila berhasil bersyukur, bila gagal berlapang dadalah.
Setelah faktor-faktor di atas (kemampuan, perhatian, potensi diri, pengarahan) menyatu dalam satu kesatuan yang saling berkait dan saling menunjang satu sama lain, masih diperlukan satu faktor lagi agar si anak dalam menapaki jalan menuju tercapainya kesuksesan menjadi ternaungi dalam lindungan Allah swt, selalu dicurahi-Nya petunjuk, hingga apa yang diraih akan berkah. Yaitu DOA. Ya, doa orangtua ibaratnya suplemen pembangkit gairah bagi anak. Anak yang senantiasa didoakan orangtuanya akan merasakan ketentraman hati, pikirannya cemerlang dan semangat belajarnya membara. Demikian sebaliknya, anak juga diminta untuk senantiasa memanjatkan doa bagi orangtuanya agar senantiasa sehat sehingga tak menemui halangan dalam bekerja. Saling mendoakan intinya.
Bicara masalah doa. Dalam buku 7 Keajaiban Rezeki, Ippho Santosa memberi tuntunan agar dibuat keselarasan antara doa anak dan doa orangtua (terutama ibu). Ipho Santosa mengilustrasikan ibarat ‘sepasang bidadari’ dan ‘perisai langit.’ Artinya, bila doa anak diselaraskan dengan doa orangtua maka akan mudah meraih kesuksesan. Jangan terjadi misalnya anak sampai berpeluh berdoa agar diterima di ITB sedang ibunya bersimbah air mata mendoakan agar anaknya diterima di UGM. Sungguh nggak nyambung. Dan cenderung akan meletikkan konflik. Bila doa anak terkabul, ibunya akan berkata “padahal ibu mendoakan agar masuk UGM, kok nggak terkabul ya” bila doa ibu yang terkabul si anak yang akan berkata “ibu sih mendoakannya ke UGM, padahal aku nggak sreg,” dan bila tidak terkabul semua tuhan yang disalahkan karena tak mau memperkenankan doa hamba-Nya, padahal katanya Maha Pemberi. Nah, ujung-ujungnya jadi orang yang tidak bisa memahami apa sesungguhnya yang disembunyikan Allah swt di balik kegagalan itu. Bisa jadi Allah swt berkehendak lain, si anak ditakdirkan untuk terhindar dari berbagai kesulitan bila saja kuliah di ITB atau UGM. Dan kesulitan ini akan menghambatnya meraih sukses. Allah swt Maha Pengasih dan Penyayang pada hamba-Nya telah menjanjikan sukses yang mudah diraih tapi tidak harus melalui ITB atau UGM tadi.
Maka, diperlukan faktor berikutnya, yaitu SIKAP. Atas apa yang diraih, apakah keberhasilan atau kegagalan perlu disikapi dengan penuh rasa syukur. Lumrah memang mensyukuri nikmat bila doa dikabulkan, tapi tak ada salahnya bersyukur pula walaupun doa belum dikabulkan-Nya, menerimanya dengan penuh tawakal, berlapang dada, dan legawa. Dan dicari upaya lain, bisa jadi di perguruan tinggi yang lain si anak akan meraih suksesnya. Intinya, bila berhasil bersyukur, bila gagal berlapang dadalah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.