FENOMENA
pulang kampung alias mudik bersama-sama menjelang lebaran tiba-tiba jadi
budaya. Dari mana sebenarnya tradisi mudik bermula? Mudik, ternyata berasal
dari bahasa Betawi yaitu udik, yang
artinya kampung atau desa. Orang Betawi menyebut mudik (menuju udik) untuk
kegiatan pulang kampung ketika lebaran hamper tiba.
Secara filosofi, kata udik juga berarti hulu
sungai, tempat semua aliran sungai (sumber kehidupan) berawal. Jadi, memang ada
kalanya seseorang harus kembali ke daerah asal, sebagai tanda penghargaan dan
rasa syukur atas tanah kelahirannya.
Sebenarnya tidak ada hubungan erat antara
perintah menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan dengan pulang kampung
bersama-sama. Hanya saja, terkait tujuan menjalankan ibadah puasa agar manusia
bertakwa dan kembali ke fitrah, menjadikan tradisi mudik disambut begitu
antusias melebihi kekhusyukan mengejar pahala puasa yang berlipat ganda dan
momen lailatul qadr yang tak semua
orang bisa mengalaminya.
Demikian antusiasnya merayakan lebaran dan
mudik, mendorong sebagian orang memaksakan diri berjuang untuk mendapatkan
ongkos tak peduli harus utang kanan-kiri. Bahkan tak sekadar ongkos, dirasa
perlu pula membawa oleh-oleh (buah tangan) untuk kerabat di kampung. Fenomena berani utang demi mudik tentu saja sangat
bertentangan dengan tujuan ibadah puasa, yaitu agar kita bisa merasakan apa
yang selama ini dirasakan oleh mereka yang hidup dalam serba kekurangan.
Demikian
antusiasnya merayakan lebaran dan mudik, mendorong sebagian orang jor-joran belanja baju lebaran, agar
penampilan bisa lebih ngejreng
setidak-tidaknya setahun sekali. Fenomena untuk
tampil wah demikian ini tentu saja tidak sejalan dengan perintah menjalankan
ibadah puasa, yaitu mendidik manusia agar bisa menahan diri, dan bisa
mengendalikan hawa nafsu. 1)
***
KALAU dikaji lebih dalam fenomena berani utang demi pulang dan demi tampil wah,
rasanya peristiwa budaya yang bernama mudik mengalami pergeseran dari makna
substansial kepada makna material. Peristiwa mudik telah jadi siklus
sebagaimana waktu yang berputar melingkar dari detik awal dan kembali ke detik
semula. Begitulah mudik telah menjadi naluri purba, sejauh-jauh orang merantau
meninggalkan kampung halamannya, nalurinya untuk kembali ke tanah kelahiran sebagai
“ibu kandung kebudayaannya” pasti akan menggelitik hati dan keinginannya. Negasinya,
barangsiapa tidak pulang ia akan dicap telah lupa diri, lupa pada asal usul.
Dengan demikian orang seperti itu bisa dianggap punya dosa budaya dan memungkinkannya
mendapat “siksa budaya” pula.
Idealnya, perintah menjalankan ibadah puasa
di bulan Ramadhan, adalah agar kita mampu menahan diri. Tapi, alih-alih menjadi
reflektif dari menahan diri dalam kontemplasi (puasa) dengan berbagai ibadah
tambahan (iktikaf, tadarus, dzikir), Ramadhan justru cenderung melahirkan hiduk
pikuk. Sebelum puasa dimulai ada yang merasa perlu mandi kungkum di sungai, ada acara munggahan. Begitu puasa sudah
berjalan, ada macam-macam ‘ritual budaya’ baru diciptakan; bukber (buka
bersama) dan acara yang diciptakan seolah-olah nyeni, seolah-olah Islami, dan sebagainya.
Puncak
pencapaian ideal ibadah puasa adalah “kepulangan”, yakni kembali seseorang
kepada fitrahnya sebagai manusia tanpa dosa. Itulah sebabnya ibadah puasa
ditutup dengan sebuah hari raya yang disbut Idul Fitri (hari kembali menjadi
suci). 2)
***
RITUAL kembali ke fitrah, selain untuk mendongkrak
kedekatan hamba kepada Tuhannya, juga untuk mendobrak sekat-sekat status sosial
kaya-miskin, atasan-bawahan, penguasa-rakyat. Fenomena
sosial politik yang disebut open house
menghiasi wajah lebaran dari tahun ke tahun. Hampir semua pejabat publik
menyelenggarakannya mulai dari presiden, gubernur, bupati, walikota, camat,
lurah, politisi, aktivis dan tokoh-tokoh masyarakat lainnya (Dan Nimmo [1989]
menyebutnya sebagai aktor politik). Semua memanfaatkan momen lebaran untuk
lebih dekat dengan rakyat.
Momen open
house begitu dimanfaatkan sebagai sarana komunikasi sosial politik dalam
bentuk tindakan karena memiliki ragam dimensi. (1) secara sosial, kegiatan ini
merupakan interaksi antarsesama untuk saling memaafkan. (2) secara politis,
dijadikan sebagai tolok ukur kredibilitas tokoh politik dan ajang uji loyalitas
bawahan terhadap atasan atau pengikut terhadap pemimpinnya.
Menurut Berger dan Luckman (1950:50), dalam open house terdapat tiga momen penting
secara simultan. Pertama, proses
eksternalisasi dengan dunia sosio politik yang bersifat sui generis. Artinya, setiap aktor politik selalu dituntut untuk
terus menerus mengeksternalisasikan eksistensi politiknya melalui ragam
aktivitas termasuk open house. Kedua, proses objektivasi. Kegiatan ini
merupakan realitas objektif yang lahir dari suatu proses interaksi sosial yang
terjadi dalam dunia intersubjektif. Dalam realitas intersubjektif dan proses
interaksi sosial inilah maka open house
merupakan simbiosis mutualisme dari beragam
kepentingan para pihak yang terlibat di dalamnya. Ketiga, proses internalisasi. Dalam proses interaksi sosial
sebagaimana disebutkan di atas, fenomena open house pada akhirnya tumbuh dan
berkembang menjadi perilaku politik yang berujung pada terciptanya budaya
politik yang khas terjadi pada setiap momentum lebaran.
Persoalannya adalah, sebagai sebuah
konstruksi realitas sosial politik, dan menganut pemikiran kritis Nourman
Fairclough maka pada setiap open house
yang diselenggarakan aktor politik, pada saat yang bersamaan juga mencerminkan
realitas sosial politik yang lain. Dengan kata lain terdapat realitas sosial
politik ikutan di balik fenomena open house.
Realitas sosial politik di balik fenomena open
house dapat dikonstruksi sebagai berikut: Pertama, politik teatrikal. Kehidupan politik dalam pandangan
sosiolog Erving Goffman disebut sebagai panggung teatrikal drama politik. Open house merupakan panggung depan
tempat di mana aktor politik menampilkan peran dan ekspresi diri di hadapan
publik. Persoalannya adalah panggung depan sering tidak selaras dengan panggung
belakang yang menjadi realitas politik sesungguhnya.
Kedua,
motif politik. Sebagai fenomena sosial politik,
open house merupakan bagian dari tindakan sosial yang tidak dapat dilepaskan
dari tindakan politik. Menganut teori tindakan sosial, maka setiap tindakan
sosial tentu memiliki motif sosial termasuk di antaranya adalah motif politik.
Politik bisa dimaknai dalam term yang
lebih luas sebagaimana dikemukakan oleh David Easton (1957) sebagai politik
alokatif yaitu otorisasi nilai-nilai tertentu agar menjadi acuan dalam
kehidupan masyarakat. Sedangkan dalam term yang lebih sempit, politik dimaknai
sebagai ‘siapa memperoleh apa, kapan dan bagaimana’ sebagaimana
pandangan Lasswell (1958). Dalam konteks demikian, maka open house sebagai tindakan sosial yang dilakukan oleh aktor
politik, tidak dapat dilepaskan dari motif politik.
Ketiga, relasi
kuasa kawula gusti. Dalam filosofi Jawa, para pemangku kuasa diyakini sebagai
titisan dewa atau gusti. Dalam pandangan kekuasaan Jawa inilah kawula (rakyat) lah yang harus pro aktif
untuk menyatu dengan gusti
(raja/penguasa/pemimpin/pejabat) dengan beragam ritual sosial termasuk wajib
menghadiri open house. Kondisi psikologi
sosial seperti ini nampaknya sengaja dipelihara dan dilanggengkan sehingga
menjadi budaya politik kekuasaan.
Keempat,
ironi kepemimpinan. Dalam alam demokrasi modern kekuasaan tertinggi berada di
tangan rakyat. Oleh karena itu, aktor politik yang seharusnya pro aktif
mendatangi rakyat untuk meminta maaf atas dosa-dosa politik yang telah
dilakukan. Ironisnya, aktor politik kita hanya aktif mendatangi rakyat pada
saat kampanye baik untuk pilpres, pilkada, maupun pemilu. Akan tetapi, setelah
kekuasaan berhasil direngkuh semakin jauh dari rakyat, bahkan hanya menunggu
sampai rakyat datang tertatih-tatih untuk meminta maaf. 3)
***
GUBERNUR
DIY Sri Sultan Hamengkubuwono X menggelar open
house untuk member kesempatan masyarakat DIY dan sekitarnya yang ingin
bersilaturahmi, pada Jumat, 24 Agustus 2012. Open house Sultan dengan masyarakat digelar mulai pukul 08.30 WIB
sampai 11.30 WIB. Diperkirakan ribuan warga berminat memanfaatkan momen sowan kepada ngarsa dalem yang diadakan di Pagelaran Kraton Ngayogyakarta
Hadiningrat ini. Biasanya mereka sudah mulai datang sejak pagi dan rela antre
berjam-jam untuk dapat giliran bersalaman dengan Sultan. Karena khawatir ada
yang jatuh pingsan akibat kelelahan, panitia menyarankan agar masyarakat
sarapan terlebih dahulu. Pihak panitia pun menyiagakan 2 ambulans untuk warga
dan 1 ambulans VIP. 4)
***
PULANG
kampung adalah upaya menemukan kembali sifat kemanusiaan setelah setahun (bahkan
lebih) tinggal bersama orang kota yang cenderung lebih agresif daripada orang kampung.
Di kota, manusia bisa jadi serigala bagi manusia lainnya (homo humini lupus), saling cakar lalu tercabik-cabiklah kerukunan. Padahal,
dengan berbingkai keragaman kultur mestinya bisa lebih memuliakan harkat dan
martabat manusia, karena sebenarnya manusia adalah sahabat bagi manusia lainnya
(homo humini socius). Saling asah,
saling asih, dan saling asuh di bawah naungan bhinneka tunggal ika. Rumangsa melu handarbeni, wajib melu
hangrungkebi, mulat sarira hangrasa wani (merasa ikut memiliki, wajib ikut bertanggung jawab, berani mengoreksi diri sendiri). Ya, fitrah manusia sebagai
makhluk sosial, tentu memiliki RASA. Dan rasa itu harus diasah agar peka, agar peduli. Tak akan sehat tanpa menyayangi dan disayangi, tanpa kepedulian
dan rasa tanggung jawab yang dijunjung tinggi, serta tahu diri yang selalu dijaga. 5)
***
Referensi:
1). Kompas, Minggu, 12 Agustus 2012
2). Kompas, Selasa, 21 Agustus 2012;
“Genetika Pulang” Opini Acep Iwan Saidi.
3). Kedaulatan Rakyat, Jumat Kliwon, 24
Agustus 2012; “Open House”, Analisis Dr M Nurul Yamin (Dosen Komunikasi Islam
UMY dan Direktur Konsultan Komunikasi Politik ‘TossComm’ Yogyakarta).
4). Harian Jogja Express, Jumat Kliwon, 24
Agustus 2012.
5). LAMPUNG EKSPRES, Sabtu, 25 Maret 2006; “JALAN
DEMOKRASI” Puisi Zabidi Yakub.