Senin, 03 September 2012

1000 Fenomena Edisi 3


FENOMENA pulang kampung alias mudik bersama-sama menjelang lebaran tiba-tiba jadi budaya. Dari mana sebenarnya tradisi mudik bermula? Mudik, ternyata berasal dari bahasa Betawi yaitu udik, yang artinya kampung atau desa. Orang Betawi menyebut mudik (menuju udik) untuk kegiatan pulang kampung ketika lebaran hamper tiba.
Secara filosofi, kata udik juga berarti hulu sungai, tempat semua aliran sungai (sumber kehidupan) berawal. Jadi, memang ada kalanya seseorang harus kembali ke daerah asal, sebagai tanda penghargaan dan rasa syukur atas tanah kelahirannya.
Sebenarnya tidak ada hubungan erat antara perintah menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan dengan pulang kampung bersama-sama. Hanya saja, terkait tujuan menjalankan ibadah puasa agar manusia bertakwa dan kembali ke fitrah, menjadikan tradisi mudik disambut begitu antusias melebihi kekhusyukan mengejar pahala puasa yang berlipat ganda dan momen lailatul qadr yang tak semua orang bisa mengalaminya.
Demikian antusiasnya merayakan lebaran dan mudik, mendorong sebagian orang memaksakan diri berjuang untuk mendapatkan ongkos tak peduli harus utang kanan-kiri. Bahkan tak sekadar ongkos, dirasa perlu pula membawa oleh-oleh (buah tangan) untuk kerabat di kampung. Fenomena berani utang demi mudik tentu saja sangat bertentangan dengan tujuan ibadah puasa, yaitu agar kita bisa merasakan apa yang selama ini dirasakan oleh mereka yang hidup dalam serba kekurangan.
Demikian antusiasnya merayakan lebaran dan mudik, mendorong sebagian orang jor-joran belanja baju lebaran, agar penampilan bisa lebih ngejreng setidak-tidaknya setahun sekali. Fenomena untuk tampil wah demikian ini tentu saja tidak sejalan dengan perintah menjalankan ibadah puasa, yaitu mendidik manusia agar bisa menahan diri, dan bisa mengendalikan hawa nafsu. 1)
***
KALAU dikaji lebih dalam fenomena berani utang demi pulang dan demi tampil wah, rasanya peristiwa budaya yang bernama mudik mengalami pergeseran dari makna substansial kepada makna material. Peristiwa mudik telah jadi siklus sebagaimana waktu yang berputar melingkar dari detik awal dan kembali ke detik semula. Begitulah mudik telah menjadi naluri purba, sejauh-jauh orang merantau meninggalkan kampung halamannya, nalurinya untuk kembali ke tanah kelahiran sebagai “ibu kandung kebudayaannya” pasti akan menggelitik hati dan keinginannya. Negasinya, barangsiapa tidak pulang ia akan dicap telah lupa diri, lupa pada asal usul. Dengan demikian orang seperti itu bisa dianggap punya dosa budaya dan memungkinkannya mendapat “siksa budaya” pula.
Idealnya, perintah menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan, adalah agar kita mampu menahan diri. Tapi, alih-alih menjadi reflektif dari menahan diri dalam kontemplasi (puasa) dengan berbagai ibadah tambahan (iktikaf, tadarus, dzikir), Ramadhan justru cenderung melahirkan hiduk pikuk. Sebelum puasa dimulai ada yang merasa perlu mandi kungkum di sungai, ada acara munggahan. Begitu puasa sudah berjalan, ada macam-macam ‘ritual budaya’ baru diciptakan; bukber (buka bersama) dan acara yang diciptakan seolah-olah nyeni, seolah-olah Islami, dan sebagainya.
Puncak pencapaian ideal ibadah puasa adalah “kepulangan”, yakni kembali seseorang kepada fitrahnya sebagai manusia tanpa dosa. Itulah sebabnya ibadah puasa ditutup dengan sebuah hari raya yang disbut Idul Fitri (hari kembali menjadi suci). 2)
***
RITUAL kembali ke fitrah, selain untuk mendongkrak kedekatan hamba kepada Tuhannya, juga untuk mendobrak sekat-sekat status sosial kaya-miskin, atasan-bawahan, penguasa-rakyat. Fenomena sosial politik yang disebut open house menghiasi wajah lebaran dari tahun ke tahun. Hampir semua pejabat publik menyelenggarakannya mulai dari presiden, gubernur, bupati, walikota, camat, lurah, politisi, aktivis dan tokoh-tokoh masyarakat lainnya (Dan Nimmo [1989] menyebutnya sebagai aktor politik). Semua memanfaatkan momen lebaran untuk lebih dekat dengan rakyat.
Momen open house begitu dimanfaatkan sebagai sarana komunikasi sosial politik dalam bentuk tindakan karena memiliki ragam dimensi. (1) secara sosial, kegiatan ini merupakan interaksi antarsesama untuk saling memaafkan. (2) secara politis, dijadikan sebagai tolok ukur kredibilitas tokoh politik dan ajang uji loyalitas bawahan terhadap atasan atau pengikut terhadap pemimpinnya.
Menurut Berger dan Luckman (1950:50), dalam open house terdapat tiga momen penting secara simultan. Pertama, proses eksternalisasi dengan dunia sosio politik yang bersifat sui generis. Artinya, setiap aktor politik selalu dituntut untuk terus menerus mengeksternalisasikan eksistensi politiknya melalui ragam aktivitas termasuk open house. Kedua, proses objektivasi. Kegiatan ini merupakan realitas objektif yang lahir dari suatu proses interaksi sosial yang terjadi dalam dunia intersubjektif. Dalam realitas intersubjektif dan proses interaksi sosial inilah maka open house merupakan simbiosis mutualisme dari beragam kepentingan para pihak yang terlibat di dalamnya. Ketiga, proses internalisasi. Dalam proses interaksi sosial sebagaimana disebutkan di atas, fenomena open house pada akhirnya tumbuh dan berkembang menjadi perilaku politik yang berujung pada terciptanya budaya politik yang khas terjadi pada setiap momentum lebaran.
Persoalannya adalah, sebagai sebuah konstruksi realitas sosial politik, dan menganut pemikiran kritis Nourman Fairclough maka pada setiap open house yang diselenggarakan aktor politik, pada saat yang bersamaan juga mencerminkan realitas sosial politik yang lain. Dengan kata lain terdapat realitas sosial politik ikutan di balik fenomena open house.
Realitas sosial politik di balik fenomena open house dapat dikonstruksi sebagai berikut: Pertama, politik teatrikal. Kehidupan politik dalam pandangan sosiolog Erving Goffman disebut sebagai panggung teatrikal drama politik. Open house merupakan panggung depan tempat di mana aktor politik menampilkan peran dan ekspresi diri di hadapan publik. Persoalannya adalah panggung depan sering tidak selaras dengan panggung belakang yang menjadi realitas politik sesungguhnya.
Kedua, motif politik. Sebagai fenomena sosial politik, open house merupakan bagian dari tindakan sosial yang tidak dapat dilepaskan dari tindakan politik. Menganut teori tindakan sosial, maka setiap tindakan sosial tentu memiliki motif sosial termasuk di antaranya adalah motif politik. Politik bisa dimaknai dalam term yang lebih luas sebagaimana dikemukakan oleh David Easton (1957) sebagai politik alokatif yaitu otorisasi nilai-nilai tertentu agar menjadi acuan dalam kehidupan masyarakat. Sedangkan dalam term yang lebih sempit, politik dimaknai sebagai ‘siapa memperoleh apa, kapan dan bagaimana’ sebagaimana pandangan Lasswell (1958). Dalam konteks demikian, maka open house sebagai tindakan sosial yang dilakukan oleh aktor politik, tidak dapat dilepaskan dari motif politik. 
Ketiga, relasi kuasa kawula gusti. Dalam filosofi Jawa, para pemangku kuasa diyakini sebagai titisan dewa atau gusti. Dalam pandangan kekuasaan Jawa inilah kawula (rakyat) lah yang harus pro aktif untuk menyatu dengan gusti (raja/penguasa/pemimpin/pejabat) dengan beragam ritual sosial termasuk wajib menghadiri open house. Kondisi psikologi sosial seperti ini nampaknya sengaja dipelihara dan dilanggengkan sehingga menjadi budaya politik kekuasaan.
Keempat, ironi kepemimpinan. Dalam alam demokrasi modern kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat. Oleh karena itu, aktor politik yang seharusnya pro aktif mendatangi rakyat untuk meminta maaf atas dosa-dosa politik yang telah dilakukan. Ironisnya, aktor politik kita hanya aktif mendatangi rakyat pada saat kampanye baik untuk pilpres, pilkada, maupun pemilu. Akan tetapi, setelah kekuasaan berhasil direngkuh semakin jauh dari rakyat, bahkan hanya menunggu sampai rakyat datang tertatih-tatih untuk meminta maaf. 3)
***
GUBERNUR DIY Sri Sultan Hamengkubuwono X menggelar open house untuk member kesempatan masyarakat DIY dan sekitarnya yang ingin bersilaturahmi, pada Jumat, 24 Agustus 2012. Open house Sultan dengan masyarakat digelar mulai pukul 08.30 WIB sampai 11.30 WIB. Diperkirakan ribuan warga berminat memanfaatkan momen sowan kepada ngarsa dalem yang diadakan di Pagelaran Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat ini. Biasanya mereka sudah mulai datang sejak pagi dan rela antre berjam-jam untuk dapat giliran bersalaman dengan Sultan. Karena khawatir ada yang jatuh pingsan akibat kelelahan, panitia menyarankan agar masyarakat sarapan terlebih dahulu. Pihak panitia pun menyiagakan 2 ambulans untuk warga dan 1 ambulans VIP. 4)
***
PULANG kampung adalah upaya menemukan kembali sifat kemanusiaan setelah setahun (bahkan lebih) tinggal bersama orang kota yang cenderung lebih agresif daripada orang kampung. Di kota, manusia bisa jadi serigala bagi manusia lainnya (homo humini lupus), saling cakar lalu tercabik-cabiklah kerukunan. Padahal, dengan berbingkai keragaman kultur mestinya bisa lebih memuliakan harkat dan martabat manusia, karena sebenarnya manusia adalah sahabat bagi manusia lainnya (homo humini socius). Saling asah, saling asih, dan saling asuh di bawah naungan bhinneka tunggal ika. Rumangsa melu handarbeni, wajib melu hangrungkebi, mulat sarira hangrasa wani (merasa ikut memiliki, wajib ikut bertanggung jawab, berani mengoreksi diri sendiri). Ya, fitrah manusia sebagai makhluk sosial, tentu memiliki RASA. Dan rasa itu harus diasah agar peka, agar peduli. Tak akan sehat tanpa menyayangi dan disayangi, tanpa kepedulian dan rasa tanggung jawab yang dijunjung tinggi, serta tahu diri yang selalu dijaga. 5)
***
Referensi:
1). Kompas, Minggu, 12 Agustus 2012
2). Kompas, Selasa, 21 Agustus 2012; “Genetika Pulang” Opini Acep Iwan Saidi.
3). Kedaulatan Rakyat, Jumat Kliwon, 24 Agustus 2012; “Open House”, Analisis Dr M Nurul Yamin (Dosen Komunikasi Islam UMY dan Direktur Konsultan Komunikasi Politik ‘TossComm’ Yogyakarta).
4). Harian Jogja Express, Jumat Kliwon, 24 Agustus 2012.
5). LAMPUNG EKSPRES, Sabtu, 25 Maret 2006; “JALAN DEMOKRASI” Puisi Zabidi Yakub.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.