Jumat, 31 Agustus 2012

1000 Fenomena Edisi 2


Pulang. Kata ini tidak semata menerjemahkan pengertian kembalinya seseorang (atau kita) yang habis bepergian ke tempat asal keberangkatannya. Pulang tidak juga hanya untuk menyatakan kembalinya seseorang (atau kita) ke tempat kita dilahirkan (kampung halaman).
Pulang, bisa juga untuk membahasakan kembalinya seseorang (atau kita) ke asal muasal kehidupan, yaitu ke haribaan Allah swt. Pulang di sini menyimbolkan kematian. Dan, yang namanya kematian tidak ada satu orang pun di muka bumi ini bisa menentukan atau sekadar menebak kapan ia akan datang menghampiri seseorang (atau kita). Tak terkecuali Rasulullah Muhammad saw pun tak memiliki ilmu pengetahuan tentang kematian. Hanya Allah swt Yang Maha Tahu.
Tapi, datangnya ajal atau kematian senantiasa dilingkupi berbagai fenomena. Ada orang yang begitu mengharapkan kematian segera datang menjelangnya karena sudah tak ketahanan menanggungkan sakit yang berkepanjangan, dan merasa begitu bersalah telah menyusahkan keluarganya. Ternyata Allah swt pemilik kekuasaan berekehendak lain, umurnya dipanjangkan. Ini terjadi karena Allah swt sengaja memberi ujian kepada orang-orang yang sesungguhnya dicintai Allah swt. Diberikan cobaan berupa sakit, dengan tujuan memberi kesempatan kepadanya untuk bertobat mengakui segala kesalahan dan memohon ampunan-Nya. Diberikan rasa sakit untuk mengikis dosa-dosa yang pernah diperbuatnya.
Ada orang yang begitu dibutuhkan tenaga dan pikirannya untuk kemaslahatan umat. Begitu dibutuhkan ide-ide segar dan cemerlangnya untuk kemajuan pembangunan dan mengatasi berbagai kesulitan sehingga dapat mengejar ketinggalan. Ternyata Allah swt pemilik hak mutlak kehidupan berkehendak lain, tiba-tiba tersiar kabar orang ini meninggal dunia dalam usia yang masih muda.
Pulang. Inilah perjalanan panjang yang senantiasa kami sekeluarga lakukan saban tahun seusai menyelesaikan ibadah puasa di bulan Ramadhan. Ritual ini  dilakukan oleh kebanyakan orang. Mudik atau pulang kampung, demikian dia dijuluki. Dilakukan baik oleh perorangan dengan kendaraan pribadi atau moda transportasi umum (bus, kereta api, pesawat terbang). Juga dilakukan secara berkelompok berdasar kesamaan profesi, berdasar asal atau tempat tujuan yang sama. Para bakul jamu di Jakarta mudik bareng ke kampung asal mereka Wonogiri difasilitasi oleh perusahaan jamu dengan bus secara gratis. Ini fenomena yang belakangan banyak diikuti oleh berbagai perusahaan untuk membantu kelancaran mudik para karyawannya. Bagi perusahaan besar tidak akan membuat kerugian, malah sebaliknya mendatangkan keuntungan dari sisi lain, yaitu sisi sosial kemasyarakatan. Apalagi perusahaan-perusahaan besar punya program CSR (Corporate Social Responsibility), tanggung jawab sosial  yang harus diejawantahkan dalam wujud nyata berupa kepedulian terhadap sesama secara umum dan masyarakat sekitar perusahaan secara khusus.
Pulang kampung tidak hanya berdampak langsung pada jalinan silaturahmi dengan sanak saudara sendiri, tapi juga dengan para tetangga baik dekat maupun jauh. Demi menyampaikan sembah sungkem kepada orangtua yang sudah sepuh di kampung asal (suami atau istri), orangtua kandung atau mertua. Kebanyakan orang rela menempuhnya dengan berpanas-panas dalam bus kelas ekonomi yang terjebak kemacetan berpuluh-puluh kilometer dan berjam-jam. Atau kereta api kelas ekonomi walaupun lancar dalam menempuh perjalanan tapi sempat merasakan susah payahnya perjuangan mendapatkan tiket dengan antre berdesakan berjam-jam pula.
Tanggal 29 Agustus pukul 19:18:49 saya dapat SMS dari Ghofur di Jogja mengabarkan bahwa ibunda Kotni Rosyidi (teman SMP saya) meninggal dunia pukul 03 Rabu pagi. Padahal Kotni ini baru saja tiba di Jogja Selasa siang sehabis pulang kampung menengok ibunda tercintanya tersebut. Terpaksa (otomatis tentunya) Kotni berangkat kembali pada Rabu pagi itu. Betapa sedihnya sahabat saya itu, suasana arus balik yang padat untuk memperoleh tiket bus pun sulit apalagi pesawat. Dengan terpaksa perjalanan darat ditempuhnya entah pukul berapa berangkat dari Jogja, Kamis sore posisinya baru sampai terminal Rajabasa, dan masih butuh waktu sekitar 6 jam lagi baru nyampai kampung halaman.
Fainna maalusri yusro. Inna maalusri yusro (karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan). Demikian Allah swt menegaskan dalam Q.S. Alam Nasyrah [94] : 5-6. Dalam keadaan genting demikian yakinlah Allah swt tidak akan membiarkan hamba-Nya keleleran di jalan. Niscaya akan diulurkan-Nya kemudahan dalam bentuk bantuan melalui orang lain. Peristiwa seperti ini pernah kami alami tahun 1995 saat bapak mertua wafat, kami sekeluarga masih mukim di Pesisir Utara Lampung Barat. Kabar kami terima malam hari, besok pagi baru berangkat dari Krui sampai Rajabasa sore langsung ada bus siap berangkat ke Bakauheni begitu kami naik langsung berangkat gak pake ngetem lagi. Sampai Bakauheni langsung naik kapal dan berangkat. Di Merak naik bus Sahabat ke Cirebon langsung berangkat dan ngebut sekali, sempat mampir di Bitung Tangerang hanya berhenti sebentar (biasanya ngetem berjam-jam). Sampai di Cirebon transit ke Semarang, dan lanjut ke Solo. Alhasil lancar sampai Pacitan keesokan sorenya. Alhamdulillahirobbil ‘alamin. Demikianlah cara Allah swt menolong hamba-Nya yang ditimpa musibah, dilancarkan jalan.      
Saya tidak tahu persis apakah sebelum (saat) berpamit dengan ibundanya untuk kembali ke Jogja, Kotni menangkap firasat atau tanda-tanda alam bahwa ibundanya memang sudah akan pulang ke haribaan Allah swt.
   Kalau saya pribadi saat berpamitan dengan ayahanda tercinta menangkap firasat bahwa ayah sudah akan pulang. (baca postingan “Mengenang Ayah Tercinta”). Inilah fenomena lain tentang kematian. Betapa misterinya, tak satu orang pun tahu persis kapan akan datang, hanya orang-orang tertentu saja yang akan mendapat firasat atau tanda-tanda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.