Ada dua potensi
yang terkandung dalam diri setiap orang. Kelebihan dan kekurangan. Banyak fakta
menunjukkan bahwa potensi kelebihan pada anak tidak bisa berkembang optimal
dikarenakan ada tekanan dari lingkungan di luar dirinya. Terutama orangtuanya
sendiri, lalu teman sepermainan, dan teman di sekolah. Banyak orangtua tidak
menyadari kesalahannya yang mengomunikasikan potensi kekurangan anaknya.
Sehingga potensi kelebihannya terabaikan.
Setiap anak
punya standar kecerdasan masing-masing yang bila diberi ruang untuk berkembang
akan tumbuh dan meningkat, sebab intelegensi
seseorang akan meningkat secara periodik. Tapi, bila di rumah selalu mendapat
tekanan, celaan, dan direndahkan oleh orangtuanya dengan sendirinya intelegensi yang mestinya tumbuh dan
meningkat jadi tertekan pula. Anak yang secara terus menerus digoblok-goblokin,
dibegok-begokin, dianjing-anjingin, dan segala macam penistaan, yakinlah pasti
akan goblok beneran, akan begok beneran, dan akan “seperti anjing” (nggak beneran),
tetap wujudnya manusia tapi perilakunya yang “keanjing-anjingan.” Kenapa bisa
beneran? Karena omongan orangtua tak ubahnya seperti doa. Kalau diomongin baik
sama halnya mendoakan baik, kalau diomongin jelek sama halnya mendoakan jelek.
Yang saya kisahkan
ini menyangkut orang di sekitar lingkungan tempat tinggal (tetangga). Hal ini
saya tulis sama sekali bukan bermaksud mengumbar aib orang lain. Sama sekali
tidak bertujuan mempergunjingkannya. Seperti yang saya singgung di atas, bahwa
omongan orangtua tak ubahnya doa, kisah ini barangkali akan menegaskan
kebenarannya. Dan kisah ini semata-mata ditujukan untuk saling memperkaya pengalaman. Sebab, pengalaman bergaul dengan orang lain sangat penting dalam hidup. Tapi membaca kisah ini dan mempelajari pengalaman orang lain jangan sebatas selesai di situ. Kalau tidak ada transformasi namanya bukan pelajaran.
Transformasi terjadi terjadi jika Anda mau diperkaya oleh orang lain. Dengan menjadikan pengalaman orang lain sebagai guru yang baik, dan menimbulkan self-criticism, dorongan untuk mengkritisi diri sendiri ke arah lebih baik, ke arah lebih bijak.
Transformasi terjadi terjadi jika Anda mau diperkaya oleh orang lain. Dengan menjadikan pengalaman orang lain sebagai guru yang baik, dan menimbulkan self-criticism, dorongan untuk mengkritisi diri sendiri ke arah lebih baik, ke arah lebih bijak.
Inilah kisahnya. Setiap hari si
ibu selalu mengumbar perkataan-perkataan tidak senonoh terhadap anak-anaknya.
Seperti begok, goblok, anjing, dan kampang (julukan untuk anak haram jadah
yang dilahirkan hasil hubungan di luar nikah). Secara tidak langsung, dengan
sendirinya saya mengikuti atau menanti dari hari ke hari apa yang akan terjadi
terhadap anak-anaknya. Ternyata “begok beneran”, “goblok beneran.” Nilai raport
anak-anaknya standar saja, tak ada prestasi yang memuaskan.
Kenyataan ini
membuat saya punya keberanian untuk menulis kisah ini. Omongan si ibu tersebut
akan terekam dalam memori ingatan anaknya dan memberi stimulus di pikiran
anaknya bahwa dirinya begok, bahwa dirinya goblok. Stigma negatif yang
diomongkan ibunya kemarin masih mengiang di telinga si anak, hari ini omongan
yang sama diterimanya lagi. Terus, omongan yang diterimanya hari ini akan
diterimanya ulang besok, lusa, dan seterusnya. Dengan sendirinya dalam memori
ingatan si anak akan tertanam omongan-omongan yang sama secara berulang-ulang,
secara terus menerus, dari hari ke hari.
Agar berkatalah
tentang hal-hal yang baik, sudah ada tuntunan berupa sabda Rasulullah saw;
“Berkatalah yang baik-baik. Kalau tidak lebih baik diam.”
Dengan tegas
Allah swt melarang hamba-Nya untuk mengolok-olok, mencela, dan memanggil dengan
panggilan atau julukan yang buruk. [Q.S. Al-Hujurat (49) : 11].
Sekali lagi saya tekankan, pemaparan kisah ini semata-mata untuk memberi pencerahan kepada kita semua. Sufi besar abad ke-10, Al-Junayd, pernah mengungkapkan, the color of the water is the color of its container, makna yang ditangkap bergantung pada kapasitas yang menangkap.
Sekali lagi saya tekankan, pemaparan kisah ini semata-mata untuk memberi pencerahan kepada kita semua. Sufi besar abad ke-10, Al-Junayd, pernah mengungkapkan, the color of the water is the color of its container, makna yang ditangkap bergantung pada kapasitas yang menangkap.
Dia
Menuai Apa yang Dia Tanam
saya menyimpan tanya, apa tak terlintas di pikirannya
kelak dia akan menuai karma dari apa yang dia katakan
kelak dia akan menuai karma dari apa yang dia katakan
segala
sumpah serapah tumpah ruah dalam ucapannya
tentang
nama hewan, dan simbol-simbol predikat buruk
“goblok”,
“begok”, “kampang”, “anjing”, dan lainnya
yang
membuat telinga tak nyaman bila mendengarnya
setiap
hari ucapan-ucapan itu dia umbar secara murah
tanpa
dia sadari perilakunya menista anak sendiri
telah
membentuk karakter anaknya begitu kerdil
anak
itu ternyata tak punya kemampuan berkompetisi
karena
intelegensinya tak berkembang secara baik
sebab
setiap hari dibodoh-bodohï, dibegok-begokï
sehingga
memori otaknya merekam stigma buruk
dan
perlahan melemahkan daya nalar dalam berpikir
hari
ini, tanya yang selama ini saya simpan
terjawab
dengan begitu terang benderang
bahwa
perbuatannya membodoh-bodohkan anaknya
mencaci
maki dengan julukan-julukan keji tak terperi
berhasil
membuat anak-anaknya benar-benar bodoh
perbuatannya
memenjara anaknya dalam rumah
membuat
anaknya rendah diri dalam pergaulan
hari
ini, kenyataan membuatnya begitu terhenyak
setelah
kedua anaknya tak satupun lulus seleksi
anak
perempuannya tak diterima di sekolah perikanan
anak
lelakinya tak di terima di SMP Negeri yang dipilih
begitu
masygul perasaannya menerima kenyataan ini
tapi,
itulah karma yang harus dia terima, mau tidak mau
karma
yang dikutukkannya sendiri lewat ucapannya
saya
memetik pelajaran, bahwa apa yang kita tanam
itulah
yang akan kita petik di masa yang akan datang
bila
bibit yang kita semai bernas dan tumbuh secara baik
diberi
perlakuan dan perhatian yang memenuhi standar
maka
tak mungkin akan menghasilkan buah yang busuk
begitulah,
apa yang dituai sesuai dengan apa yang disemai
hari
ini, ibu itu baru sadar, dia menuai apa yang dia tanam
ini
bukti betapa saktinya pemeo: “ucapan ibu adalah doa”
bila
ibu mengucapkan yang baik-baik, itu ibarat doa baik
pun
bila yang diucapkan jelek, itu ibarat mendoakan jelek
ucapan
ibu baik atau jelek akan terekam di ingatan anak
bila
ucapan baik, kebaikanlah yang akan diingat anak
pun
bila yang diucapkan jelek, itu juga yang diingat anak
sebab
di otak dan hati tak ada saringan bagi kata-kata
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.