Masa sekolah
tahun ajaran 2012/2013 telah berjalan dua pekan. Baru saja para siswa mengikuti
pelajaran beberapa hari, bulan Ramadhan tiba. Belum lagi lapang napas para
orangtua yang merogoh kocek dalam-dalam untuk membayar kebutuhan anak-anak
sekolah/kuliah, harga kebutuhan pokok merambat naik sejak menjelang tibanya
bulan Ramadhan, menambah beban yang bikin pening kepala para orangtua.
Di luar itu
semua, ada yang lebih memusingkan pikiran orangtua, yaitu manakala ada di
antara putra/putrinya tidak diterima di sekolah atau perguruan tinggi negeri.
Sebab dengan bersekolah atau kuliah di swasta, wow bukan main gedenya biaya
yang dibutuhkan. Itulah kenapa banyak orangtua jauh hari menyiapkan diri agar
anaknya menjadi cerdas, di antaranya dimasukkan sekolah favorite atau unggulan
seperti RSBI atau sekolah Global dan Internasional. Sudah itu masih pula
ditambah les di pusat bimbingan belajar bonafide. Yang ‘menjual’ motto:
terdepan, teruji, terbanyak mengantarkan siswa bimbelnya ke perguruan tinggi
papan atas seperti ITB, IPB, ITS, UI, UGM, UNAIR, dll. Di brosur mereka yang
selalu diperbarui tiap tahun ajaran baru, dipampangkan wajah-wajah siswa/i yang
berhasil menembus berbagai perguruan tinggi tersebut lewat jalur undangan atau SNMPTN.
Ya, dengan
memasukkan anak ke sekolah unggulan plus tambahan suplemen bimbingan belajar,
akan menjadikan anak-anak mampu bersaing merebut kursi di perguruan tinggi yang
diimpikan melalui jalur UNDANGAN, SNMPTN, UJIAN MANDIRI, SIMAK atau SWADANA
dan/atau entah apalah istilah lainnya. Betapa ketatnya persaingan memperebutkan
kursi di PTN dambaan, mengingat kuota (daya tampung) yang tersedia dalam suatu
prodi/jurusan sangat terbatas, bila tidak benar-benar menyiapkan diri tentu
saja harus siap menerima risiko ‘gigit jari’ dan hanya jadi penonton kesuksesan
orang lain. Karenanya, siswa harus pandai-pandai memilih fakultas/prodi/jurusan
yang sesuai dengan minat dan bakatnya serta besarnya peluang bisa menembusnya.
Di sini strategi memiliki peranan. Jadi mainkanlah strategi yang memungkinkan
untuk dapat diterima di tempat terbatas itu.
Sedikit membagi
pengalaman. Anak saya Abi Ghifar Rapanza begitu mendambakan FSRD ITB dan setelah browsing website
perguruan tinggi lain yang punya prodi DKV, ketemulah UNS yang akreditasinya A
sehingga dijadikanlah sebagai pilihan kedua. Agak berbau ‘gambling’ memang
menjadikan UNS sebagai pilihan kedua, karena daya tampungnya hanya 15 kursi.
Tapi bagaimana suatu perjalanan akan sampai bila tidak ditapaki. Bagaimana
suatu tujuan akan tercapai bila tidak dicoba. Tibalah saatnya pengumuman, dan
kedua-duanya tak menjanjikan kegembiraan.
Ah, perjuangan
belum selesai karena belum tiba di penghujung perjalanan. Anakku tak serta
merta menyerah, di benaknya berkelindan impian agar bisa jadi ”anak yang mampu
bersaing” (sesuai dengan judul postingan ini). Setelah kembali ‘mengobok-obok’
situs UNS ternyata masih bisa diupayakan menembus ketatnya persaingan melalui
jalur swadana, setelah mengirim sandek mohon restu kepada saya, akhirnya anakku
mendaftar dengan mengajukan nilai tes SNMPTN-nya. Meskipun lagi-lagi dihadapkan
pada ‘perjudian’ nasib karena kuota (daya tampung) yang tersedia hanya 14
kursi, tak menyurutkan nyali anak saya untuk tetap maju ‘bertarung’ dengan
landasan manjadda
wajada. Dalam waktu yang begitu sempit, Selasa (10/7) malam dia mendaftar
online dan besoknya Kamis (11/7) transfer
uang pendaftaran via BTN, lalu Sabtu (14/7) siang pengumuman keluar. Dan
Alhamdulillah dia memang benar-benar jadi “anak yang mampu bersaing” karena
masuk jadi bagian di antara 14 kursi yang tersedia. Dengan berlandaskan pada
ketakwaan kepada Allah swt keberhasilan kudu
diupayakan lewat perjuangan. Wamayyatakillaha yaj’allahu maghroja, wayarzuku minhaysu layahtasib (barang siapa yang bertakwa
kepada Allah swt niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar, dan memberinya
rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya) [Q.S. Ath-Thalaq (65) : 2-3].
Tentu saja membanggakan punya anak yang mampu bersaing. Dan kami (orangtuanya) sangat mensyukuri dianugerahi anak seperti ini. Keberhasilannya bisa menembus tempat terbatas itu tak lepas dari doa di setiap salat tahajud dan dhuha. Dan keberhasilan ini baru titik awal, baru langkah pertama untuk meraih sukses yang diimpikannya. Tentu, dalam menempuh jalan yang terbentang jauh tak boleh ditapaki secara perlahan dan santai. Harus bergegas dan memetakan target berapa indeks prestasi kumulatif (IPK) yang harus diraih dan berapa lama tugas-tugas perkuliahan harus diselesaikan. Yang jelas, keberhasilan yang telah diraih jangan sampai membutakan mata dan hati, bersyukur sambil terus menghadapi tantangan yang bisa jadi lebih berat daripada sekedar meraih, yaitu mempertahankan kemampuan dalam bersaing.
Tentu saja membanggakan punya anak yang mampu bersaing. Dan kami (orangtuanya) sangat mensyukuri dianugerahi anak seperti ini. Keberhasilannya bisa menembus tempat terbatas itu tak lepas dari doa di setiap salat tahajud dan dhuha. Dan keberhasilan ini baru titik awal, baru langkah pertama untuk meraih sukses yang diimpikannya. Tentu, dalam menempuh jalan yang terbentang jauh tak boleh ditapaki secara perlahan dan santai. Harus bergegas dan memetakan target berapa indeks prestasi kumulatif (IPK) yang harus diraih dan berapa lama tugas-tugas perkuliahan harus diselesaikan. Yang jelas, keberhasilan yang telah diraih jangan sampai membutakan mata dan hati, bersyukur sambil terus menghadapi tantangan yang bisa jadi lebih berat daripada sekedar meraih, yaitu mempertahankan kemampuan dalam bersaing.
Barangkali cerita
ini bisa memberi spirit para pembaca bahwa keberhasilan tidak serta merta jatuh
secara gratis dari langit. Hanya mengharap kemurahan Tangan Tuhan
mengulurkannya kepada tangan yang menengadah berdoa. Bukan berarti doa tidak
penting. Doa (orangtua) hanyalah penambah daya juang bagi anak agar mereka merasa
didampingi (tak merasa sendiri) dalam menggapai impian, dalam mewujudkan
harapan, dalam meraih cita-cita. Karena meski sudah ikut bimbel bukanlah
jaminan bisa segampang membalik telapak tangan menembus ketatnya persaingan
memperebutkan bangku kuliah di PTN.
Kesimpulannya, fokuskan pilihan fakultas,
program studi, dan jurusan yang benar-benar diminati anak kita. Anak mendambakan
urun rembug orangtua dalam menentukan pilihan. Anak nggak boleh ngasal milih,
orangtua gak boleh cuek masa bodo terserah opo karep. Begitu juga orangtua perlu mempertimbangkan
kemampuan finansial, untuk itu antara anak dan orangtua saling mengemukakan
argumen ditempuh jalan tengah untuk menemukan kesepakatan yang arif. Kalau sudah ketemu fakultas, prodi, dan jurusan
yang cocok dan klop pula dengan ketersediaan biaya, jangan abaikan perihal
strategi yang perlu dimainkan agar bisa meraih kursi di PTN impinan. Sekiranya gagal
lewat jalur SNMPTN, jangan putus asa segera cari jalur lainnya yang memang disediakan
oleh perguruan tinggi tersebut, semua tujuannya agar lebih banyak lulusan SMA
yang berpeluang kuliah di PTN dengan biaya yang tidak semahal bila kuliah di
PTS. Pokoknya jangan menyerah kalah sebelum berperang. Tetaplah berjuang dalam kondisi putus asa sekalipun. Kalau semua upaya sudah
dilalui dan ternyata mentok alias gatot (gagal total), banyak-banyaklah
beristighfar, kayaknya ada sesuatu yang kurang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.