Akhir tahun '79 ketika saya masuk Jogja, lagu-lagu Ebiet G
Ade dalam album Camellia 1 dan Camellia 2 sedang digandrungi. Kala itu TVRI merupakan
pemain tunggal dalam pentas musik di layar kaca. Acara ”Aneka Ria Safari” dan ”Kamera
Ria” yang dipandu Eddy Sud dan kemudian Maryati, selalu ditunggu pemirsa.
Cover Undangan untuk para tamu pada konser HUT ke-44 LAMPUNG EKSPRES plus |
Penampilan Ebiet G. Ade di konser HUT ke-44 LE di Gedung Pasca Sarjana UBL |
Tahun '80-an itu saya masih mendengar gaung Persada Studi
Klub (PSK) yang pernah diasuh oleh penyair Umbu Landu Paranggi (yang oleh
pelukis Hardi dijuluki Presiden Malioboro), tapi sosok Umbu sudah lama
meninggalkan Jogja dan mukim di Bali. Melalui wadah PSK itulah Umbu mendidik
murid-muridnya hingga menjadi penyair besar, di antaranya Emha Ainun Nadjib, Ragil Suwarna Pragolapati, Linus Suryadi Agustinus dan
lainnya.
Di radio Retjo Buntung (RB) saya menyimak nama-nama Ahmadun Yosi
Herfanda, Tuti Nonka, Ragil Suwarna Pragolapati, Linus Suryadi Agustinus dan
lainnya (yang merupakan murid Umbu), puisi-puisi mereka dibacakan, menggelitik
saya ikut mengirimkan naskah puisi untuk dipancarkan di udara. Selain Radio RB,
saya juga mengirimkan naskah puisi ke Radio Angkatan Muda (RAM) yang kebetulan
dekat dengan rumah kost saya di Klitren Lor Gondokusuman.
Buku ”Pengakuan Pariyem” karya Linus Suryadi Agustinus, saya
baca. Buku ini berupa prosa liris. Ini juga 'menggurui' saya untuk menulis
puisi yang mengarah ke prosa. Tanpa ada unsur kesengajaan, tiap menulis selalu
saja puisi yang terlahir panjang mengurai hingga beberapa bait yang jumlah
barisnya juga berderet-deret.
Ketika hijrah ke Malang tahun 1986 saya tak lagi menyimak RB,
dan tak lagi mengirim puisi. Di Malang saya menyadari ternyata sudah lebih dari
enam diary berisi catatan-catatan serta puisi-puisi. Lalu saya mulai
mengumpulkan puisi-puisi itu dan mengetiknya dengan rapi, alhasil menjelma
menjadi tiga manuskrip kumpulan puisi.
Kembali ke Jogja tanpa sengaja membaca di koran KR (tepatnya 16
Oktober 1990), Ragil Suwarno Pragolapati dinyatakan ’hilang’ secara misterius pada 15 Oktober 1990 saat sedang melakukan (semacam) semedi di pantai laut selatan, tepatnya di gua
Langse dekat bukit Semar, saat mengadakan pelatihan sastra bersama
teman-temannya.
Saya jadi pengoleksi berat album-album Ebiet, sejak Camellia
I itu saya ikuti terus sampai terhenyak kok produktivitasnya menurun. Ada apa?
Hanya ada single hits sesekali muncul. Ini membuat kerinduan mendayu-dayu. Tapi
kenyataanlah yang menjawab tanda tanya ini. Zaman berubah, genre musik
bermunculan sejak Dodo Zakaria, Deddy Dhukun, Dian Pramana Putra, Obby Mesakh,
Tito Sumarsono, Utha Likumahuwa, Deddy Dores, melahirkan penyanyi-penyanyi
anyar seperti Vina Panduwinata, Ruth Sahanaya, Dian Pisesha, Ratih Purwasih,
dan kabeh lainnya.
Rindu menatap Ebiet menembang di layar kaca sedikit terobati
manakala ada bencana menerpa. ”Untuk Kita Renungkan”, ”Berita Kepada Kawan”, ”Masih
Ada Waktu”, adalah lagu-lagu Ebiet yang tak lekang oleh waktu. Akan memancing
perasaan kita tersentuh bila mendengarnya sambil menatap korban bencana di
layar tivi.
Rindu menatap Ebiet menembang di layar kaca terobati kala ”PAS
MANTAB TRANS7” 11 Agustus 2012 menghadirkannya bersama anaknya Adera yang
mengikuti jejak ayahnya jadi penyanyi. Rindu menatap Ebiet menembang terpuaskan
kala malam Minggu (13 Oktober 2012) di Gedung Kuliah Magister UBL, LAMPUNG
EKSPRES plus (korannya masyarakat lampung) menghadirkannya dalam acara resepsi
milad ke-44 dan HUT ke-63 Buya HMI. Spesial untuk HUT Buya, Ebiet menghadiahkan
lagu 'Saksikan Bahwa Sepi', yang sebelumnya tidak tercatat dalam list lagu yang
akan dinyanyikannya, sebagai lagu pamuncak dalam acara yang mengharu-biru malam itu.
Saksikan
Bahwa Sepi
Dengarlah
suara gemercik air
di balik rumpun
bambu di sudut dusun
Lihatlah
pancuran berdansa riang
Menyapa
batuan, menjemput bulan
Ada
perempuan renta menimba
Terbungkuk
namun sempat senandungkan tembang
Sedang di
balik pagar gadis berdendang
tengah mandi
telanjang
Dengarlah
suara nafas jalanan
di balik
gedung tinggi, di bawah terik
Lihatlah
geriap lalu lalang disapu debu panas
Kasih pun
sirna
Ada
perempuan tua berdandan
bergincu
tebal senandungkan dosa
Sedang di
balik dinding jejaka gelisah
menunggu
saat berkencan
Sangatlah nyata beda antara berdiri di bebukitan sejuk
dengan di bawah terik matahari
Saksikan bahwa sepi lebih berarti dari keriuhan
Saksikan bahwa sepi lebih berarti dari keriuhan
Sangatlah nyata beda antara berdiri di bebukitan sejuk
dengan di bawah terik matahari
Saksikan bahwa sepi lebih berarti dari keriuhan
Saksikan bahwa sepi lebih berarti dari keriuhan