Minggu, 14 Oktober 2012

Ebiet G Ade


Akhir tahun '79 ketika saya masuk Jogja, lagu-lagu Ebiet G Ade dalam album Camellia 1 dan Camellia 2 sedang digandrungi. Kala itu TVRI merupakan pemain tunggal dalam pentas musik di layar kaca. Acara ”Aneka Ria Safari” dan ”Kamera Ria” yang dipandu Eddy Sud dan kemudian Maryati, selalu ditunggu pemirsa.
Cover Undangan untuk para tamu pada konser HUT ke-44 LAMPUNG EKSPRES plus
Dari layar kaca hitam-putih itulah sosok Ebiet bisa saya kenali. Beberapa lagunya secara bergantian menapaki tangga lagu di berbagai radio hingga nangkring di puncak tangga berminggu-minggu, baik oleh radio lokal di Jogja maupun radio Monalisa Jakarta dengan tajuk ”TOP HITS PEKAN INI” yang dipancar-luaskan oleh radio-radio (jaringannya) di seluruh Indonesia. Saya simak lirik per lirik, lagu per lagu, kedengarannya syairnya kok aneh. Saya pun mencoba mencari tahu ini musik yang diusung Ebiet ber-genre apa. Belakangan baru saya pahami liriknya adalah berupa puisi-puisi yang ditulisnya dan tak pernah sekalipun diterbitkannya di surat kabar. Ya, Ebiet mengusung genre musikalisasi puisi.
Penampilan Ebiet G. Ade di konser HUT ke-44 LE di Gedung Pasca Sarjana UBL
Puisi-puisi balada yang remah-remah katanya dipungutinya dari lingkup pergaulannya semasa di SMA Muhammadiyah I Jogja, dan pertemanannya dengan Emha Ainun Nadjib dan lainnya, sungguh puitis. Dari menyimak lagu-lagu Ebiet, membaca puisi-puisi di koran Minggu Pagi, Berita Nasional, Masa Kini, Mingguan Eksponen, Majalah BASIS, koran Sentana, Swadesi (Jakarta), dan lainnya, saya pun mulai lebih mengasah lagi menulis puisi yang sebenarnya mulai sejak bangku SMP tapi hanya tersimpan di lembar-lembar buku harian bahkan di sela-sela buku catatan pelajaran. Di bangku SMA Muhammadiyah II saya tekuni menulis puisi hingga kuliah di sebuah akademi di Jogja dan meneruskan pendidikan doktoral di Malang.
Tahun '80-an itu saya masih mendengar gaung Persada Studi Klub (PSK) yang pernah diasuh oleh penyair Umbu Landu Paranggi (yang oleh pelukis Hardi dijuluki Presiden Malioboro), tapi sosok Umbu sudah lama meninggalkan Jogja dan mukim di Bali. Melalui wadah PSK itulah Umbu mendidik murid-muridnya hingga menjadi penyair besar, di antaranya Emha Ainun Nadjib, Ragil Suwarna Pragolapati, Linus Suryadi Agustinus dan lainnya.
Di radio Retjo Buntung (RB) saya menyimak nama-nama Ahmadun Yosi Herfanda, Tuti Nonka, Ragil Suwarna Pragolapati, Linus Suryadi Agustinus dan lainnya (yang merupakan murid Umbu), puisi-puisi mereka dibacakan, menggelitik saya ikut mengirimkan naskah puisi untuk dipancarkan di udara. Selain Radio RB, saya juga mengirimkan naskah puisi ke Radio Angkatan Muda (RAM) yang kebetulan dekat dengan rumah kost saya di Klitren Lor Gondokusuman.  
Buku ”Pengakuan Pariyem” karya Linus Suryadi Agustinus, saya baca. Buku ini berupa prosa liris. Ini juga 'menggurui' saya untuk menulis puisi yang mengarah ke prosa. Tanpa ada unsur kesengajaan, tiap menulis selalu saja puisi yang terlahir panjang mengurai hingga beberapa bait yang jumlah barisnya juga berderet-deret.
Ketika hijrah ke Malang tahun 1986 saya tak lagi menyimak RB, dan tak lagi mengirim puisi. Di Malang saya menyadari ternyata sudah lebih dari enam diary berisi catatan-catatan serta puisi-puisi. Lalu saya mulai mengumpulkan puisi-puisi itu dan mengetiknya dengan rapi, alhasil menjelma menjadi tiga manuskrip kumpulan puisi.
Kembali ke Jogja tanpa sengaja membaca di koran KR (tepatnya 16 Oktober 1990), Ragil Suwarno Pragolapati dinyatakan ’hilang’ secara misterius pada 15 Oktober 1990 saat sedang melakukan (semacam) semedi di pantai laut selatan, tepatnya di gua Langse dekat bukit Semar, saat mengadakan pelatihan sastra bersama teman-temannya.
Saya jadi pengoleksi berat album-album Ebiet, sejak Camellia I itu saya ikuti terus sampai terhenyak kok produktivitasnya menurun. Ada apa? Hanya ada single hits sesekali muncul. Ini membuat kerinduan mendayu-dayu. Tapi kenyataanlah yang menjawab tanda tanya ini. Zaman berubah, genre musik bermunculan sejak Dodo Zakaria, Deddy Dhukun, Dian Pramana Putra, Obby Mesakh, Tito Sumarsono, Utha Likumahuwa, Deddy Dores, melahirkan penyanyi-penyanyi anyar seperti Vina Panduwinata, Ruth Sahanaya, Dian Pisesha, Ratih Purwasih, dan kabeh lainnya.
Rindu menatap Ebiet menembang di layar kaca sedikit terobati manakala ada bencana menerpa. ”Untuk Kita Renungkan”, ”Berita Kepada Kawan”, ”Masih Ada Waktu”, adalah lagu-lagu Ebiet yang tak lekang oleh waktu. Akan memancing perasaan kita tersentuh bila mendengarnya sambil menatap korban bencana di layar tivi.
Kesempatan berharga, foto bareng Ebiet G. Ade saat silaturahmi ke kantor LE pada Jumat pagi (12 Oktober 2012) sebagai persiapannya untuk konser di HUT ke-44 LAMPUNG EKSPRES Plus dan HUT ke-63 Buya HMI.
Rindu menatap Ebiet menembang di layar kaca terobati kala ”PAS MANTAB TRANS7” 11 Agustus 2012 menghadirkannya bersama anaknya Adera yang mengikuti jejak ayahnya jadi penyanyi. Rindu menatap Ebiet menembang terpuaskan kala malam Minggu (13 Oktober 2012) di Gedung Kuliah Magister UBL, LAMPUNG EKSPRES plus (korannya masyarakat lampung) menghadirkannya dalam acara resepsi milad ke-44 dan HUT ke-63 Buya HMI. Spesial untuk HUT Buya, Ebiet menghadiahkan lagu 'Saksikan Bahwa Sepi', yang sebelumnya tidak tercatat dalam list lagu yang akan dinyanyikannya, sebagai lagu pamuncak dalam acara yang mengharu-biru malam itu.



Saksikan Bahwa Sepi

Dengarlah suara gemercik air
di balik rumpun bambu di sudut dusun
Lihatlah pancuran berdansa riang
Menyapa batuan, menjemput bulan

Ada perempuan renta menimba
Terbungkuk namun sempat senandungkan tembang
Sedang di balik pagar gadis berdendang
tengah mandi telanjang

Dengarlah suara nafas jalanan
di balik gedung tinggi, di bawah terik
Lihatlah geriap lalu lalang disapu debu panas
Kasih pun sirna

Ada perempuan tua berdandan
bergincu tebal senandungkan dosa
Sedang di balik dinding jejaka gelisah
menunggu saat berkencan

Sangatlah nyata beda antara berdiri di bebukitan sejuk
dengan di bawah terik matahari
Saksikan bahwa sepi lebih berarti dari keriuhan
Saksikan bahwa sepi lebih berarti dari keriuhan




Merendahkan Hati

Di larut malam buta, David, staf saya merapat menyampaikan tanya, "Pak, barusan Bapak kos saya nagih sewa kamar. Kira kira kalau kasbon bisa nggak ya?" "Bisa," jawabku tegas, sembari menambahkan "kalau ada dananya". Kalau nggak ada dana ya mau gimana lagi.
Seumur-umur bekerja, belum pernah saya mencoba untuk mengajukan kasbon ke perusahaan. Demi membantu David, saya kirim sandek ke Iduy agar bisa membantu merekomendasikan ke kasir kantor, Dian, agar menganggarkan dana yang dibutuhkan David menyelamatkan diri dari 'sumpah serapah' bapak kosnya. Dan kepada David saya informasikan perihal rekomendasi ini, dan menyarankan dia agar besok langsung saja menemui Dian.
Alhamdulillah, ketika keesokan harinya saya tanyakan pada David dapat pinjaman nggak, "udah, Pak," jawabnya. Selamatlah muka sahabat ini dari tatapan sinis bapak kosnya.
Saya tidak menyelidik lebih jauh apakah uang 500 ribu yang dibutuhkannya untuk sewa kos itu dihitung bulanan apa tahunan. Tapi mikir juga, kalau bayar kos 500 ribu perbulan, wah tekor banget dengan gaji yang didapatnya, alangkah sulit ngaturnya. Tapi kalau 500 ribu itu untuk setahun, alangkah murah sewa kos itu. Jadi kepikir kalau tarif kos anakku di Solo 500 ribu sebulan berat juga. Alhamdulillah, masih seperti zaman saya kos di Jogja dulu, tarif kos memang diitung pertahun. Hanya waktu kos di Malang saya menemukan sewa kamar diitung bulanan.
Mengaitkan keikhlasan bekerja di bayar rendah dengan menerima bayaran yang tinggi dari Allah subhanahuwata'ala berupa kesehatan yang senantiasa terjaga. Dan anugerah anak dengan kecerdasan yang membekalinya kemampuan untuk dapat menghadapi tantangan dan melahirkan peluang. Ini membesarkan hati, setidak-tidaknya apa yang diperolehnya dari hasil belajar akan memperkuat posisi tawar bila kelak mencari kerja sandarannya adalah keikhlasan memberi tentu saja dengan bayaran yang tinggi. Membalik kondisi yang selama ini saya khidmati. 
Di akun fesbuk terbaca "Jangan rendahkan dirimu untuk mengharap sesuatu, tapi rendahkan hatimu untuk memberikan sesuatu" Alhamdulillah. Dengan sandaran ketakwaan pada Ilahi Robbi, sebelum tapak kaki melangkah ke luar rumah menuju ke tempat entah (yang sakinah tentunya), selain lafaz basmalah doa yang senantiasa saya baca: "bismillahi majriha wamursaha inna robbi laghofururrohim" Insya Allah langkah akan berkah dan senantiasa dijaga Allah, terhidar dari sekalian bala, jauh dari sekalian musibah, dan tersingkir dari ganguan orang-orang yang (mungkin) berniat jahat. Alhamdulillah yang terjadi senantiasa selamat di perjalanan sampai tiba di tempat kerja, dan juga ketika pulang selamat sampai tiba di rumah.
Orang berkualitas yang dibayar rendah, bagai emas yang diperlakukan seperti kuningan, karena penampilannya buruk. Maka hati-hatilah dengan penampilan Anda. Ini kata Mario Teguh. Tapi, jangan memenjara pikiran untuk fokus memperbaiki penampilan luar sementara di dalam keropos.
Di mata Allah subhanahuwata'ala, tidak ada hamba-Nya yang paling tinggi derajatnya melainkan orang yang paling takwa kepada-Nya. Banyak rekan kerja, secara finansial memosisikan diri mereka sebagai orang yang berkualitas dalam arti tampakan luar. Tunggangan mereka roda empat, mobile yang mereka pakai gonta-ganti tiap ada yang baru. Tapi manakala diukur skala spiritualitasnya yang tampak adalah "wajah-wajah" seperti tidak punya agama, seperti tidak kenal Tuhan, seperti tidak butuh pertolongan Allah, seperti tidak mengharap safaat dari Muhammad sollallahu'alaihiwasallam.
Keroposnya kalbu. Ya, itu virus paling berbahaya yang akan menghadirkan berbagai penyakit. Keroposnya kalbu terjadi bilamana jarang (bahkan sama sekali tidak) mendekatkan diri dengan Rabb. Keroposnya kalbu adalah azab paling mengerikan. Kalau Allah subhanahuwata'ala sudah membutakan hati (kalbu), tidak akan dicurahkan-Nya lagi hidayah, tidak akan didengar-Nya lagi doa. Lebih-lebih bila yang dilakukan adalah sebuah kedzoliman berupa membayar rendah orang-orang yang bekerja untuk dirinya, dan membiarkan keringat orang yang bekerja itu mengering terlebih dahulu baru membayar gajinya. Ini buah bila tidak mengenal Muhammad sollallahu'alaihiwasallam, apalagi mengamalkan sabdanya: "bayarlah upah buruhmu sebelum keringatnya mengering."
Bukhari dan lainnya telah meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda, Allah Ta'ala berfirman;


ثَلاَثَةٌ أَنَا خَصْمُهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ رَجُلٌ أَعْطَى بِي ثُمَّ غَدَرَ , وَرَجُلٌ بَاعَ حُرًّا فَأكَلَ ثَمَنَهُ , وَرَجُلٌ اسْتَأْجَرَ أَجِيْرًا فَاسْتَوْفَى مِنْهُ وَلَمْ يُعْطِهِ أَجْرَهُ
"Tiga jenis (manusia) yang Aku akan menjadi musuhnya kelak pada hari kiamat, yaitu: seseorang yang memberi dengan nama-Ku, kemudian berkhianat, seseorang yang menjual orang yang merdeka (bukan budak), kemudian memakan uangnya, dan seseorang yang mempekerjakan pekerjanya (pegawainya) dan telah menyelesaikan pekerjaannya, tetapi tidak segera dibayar upahnya (gajinya)." 
Ibnu Majah telah meriwayatkan dari Ibnu Umar radhiallahu 'anhuma dan Thabrani meriwayatkan dari Jabi radhaiallahu 'anhu serta Abu Ya'la juga meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda; 
أَعْطُوا الأَجِيْرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ
"Berikanlah upah kepada pekerja sebelum keringatnya kering."
Para ulama telah menganggap bahwa menunda pembayaran gaji pekerja atau tidak memberikannya setelah pekerjaan diselesaikan, termasuk dosa besar berdasarkan ancaman yang sangat dahsyat ini. Karena, penundaan pembayaran dari orang yang kaya merupakan bentuk kedzaliman. 







        

1000 Fenomena Edisi 5

Jadi orang baik-baik dan terkenal saat ini bukan lagi sebuah fenomena. Jadi orang tidak baik justru akan membuatnya semakin terkenal, itulah fenomena yang lagi naik daun sekarang. Dulu di Sumatera Barat, diceriterakan tentang seorang anak bernama Malin Kundang dan ibunya. Kehidupan mereka sangat miskin sehingga timbul niat Malin untuk merantau dengan alasan siapa tahu di tanah rantau dia bisa merubah nasib miskinnya menjadi kaya. Dan, suatu hari dengan menumpang kapal pergilah Malin merantau meninggalkan ibunya yang miskin. Dalam kurun waktu yang lama di perantauan, sosok Malin berubah 180 derajat dari semula miskin menjadi seorang yang kaya raya. Kira-kira dari sinilah asal-muasal "jiwa perantau" menjadi budaya turun temurun dan mendarah daging tertanam dalam diri orang minang.
Suatu masa dengan membawa uang berlimpah, dengan kapal pesiar yang dimilikinya, Malin kembali berlabuh di dermaga tempat dia bermain sewaktu bocah sembari menanam benih angan di benaknya agar suatu waktu kelak memiliki kapal dagang seperti yang dilihatnya bersandar di situ.
Orang kampung pun heboh mengabarkan setengah berteriak sambil berlari ke arah pelabuhan Malin datang... Malin datang... horeee Malin sudah jadi orang kaya. Ya, ini fenomena bila ada sesuatu yang baru akan menimbulkan kehebohan masal.
Terbetiklah kabar itu ke telinga ibunya yang masih dibelit kemiskinan. Ada tanya di benak ibunya, apakah dia Malin anakku? Kalau iya, aku akan ikut menyambutnya! Kalau memang benar seperti yang diteriakkan orang-orang Malin sudah jadi orang kaya, ah... betapa senang hatiku! Begitu gumam lirih yang gemuruh di pikiran ibu Malin, sambil berjalan tertatih ke arah pelabuhan karena usia uzur yang mengikis kekuatan fisiknya.
Sesampai di pelabuhan, betapa kagetnya ibu Malin melihat ada kapal mewah tersandar di dermaga. Dia pun celingukan di tengah kepungan orang ramai yang berkerumun mengelu-elukan Malin. Terseok-seok dia meloloskan tubuhnya yang bungkuk di sela-sela kerumunan massa agar bisa lebih mendekat ke arah Malin.
Sesampai di dekat Malin, ibu Malin menyorongkan tubuh rentanya untuk memeluk Malin sambil berkata lirih, "Malin, aku ibumu, Nak!"
"Cih," jawab Malin. "Nggak mungkin ibuku seburuk ini, sewaktu aku pergi dulu ibuku masih segar bugar, kok sekarang sudah terbungkuk-bungkuk!"
"Benar kok Malin aku ibumu!," jawab ibunya meyakinkan. "Kamu kan perginya lama sekali meninggalkan ibu, ya jelas saja ibu semakin tua dan semakin bungkuk."
Meski orang-orang kampung yang telah mengerumuninya berusaha meyakinkan Malin bahwa ibu tua tersebut adalah benar ibu Malin, tapi Malin masih tetap tidak percaya dan enggan mengakuinya.
Di samping Malin ada seorang wanita cantik yang tak lain adalah istrinya Malin. Wanita ini begitu jijik melihat ibu tua yang mengaku-aku sebagai ibu Malin yang berarti ibu mertuanya. Dia pun bertanya tegas kepada Malin, "apa betul dia ibumu?" "kalau tahu engkau anak orang miskin tak mau aku menikah denganmu," celoteh wanita cantik ini yang membuat Malin ketakutan kalau diusir dan tak mau lagi diaku sebagai suami.
Buru-buru Malin meyakinkan istrinya bahwa ibu tua itu bukanlah ibunya. Ibu Malin mendengar jelas apa yang diucapkan Malin yang mengatakan bahwa dirinya bukan ibu Malin. Kenyataan ini membuat hati ibu tua ini terluka dan sakit bukan kepalang.
Sembari menyingkir dari situ, ibu Malin menahan embun di matanya agar tak tercurah jadi air mata, menahan sengguk di hatinya agar tak pecah menjadi tangis, menahan amarah agar tetap beku jadi kesabaran, menahan rasa gembira melihat Malin telah jadi orang kaya agar air susu yang telah diikhlaskannya menjadi darah daging Malin, tak berubah jadi kebencian.
Tapi, meski ada setumpuk kesabaran tak akan mampu menutup secuil kekecewaan. Apalagi bila kekecewaan itu terungkap dalam bentuk kata-kata umpatan (sumpah). Mengingat kata-kata seorang ibu adalah doa. Dalam kejadian ini, walau ibu Malin berusaha menahan tangis, menahan benci, ternyata ibu Malin tak kuasa menahan kata-kata yang terucap di bibirnya. Tanpa disadarinya dia menyumpahi Malin agar menjadi batu. Dan, terjadilah apa yang diucapkan ibu tua itu, sebagai apa yang didoakannya.
Bila berkunjung ke Sumatera Barat, tepatnya di pantai Air Manis, di sisi laut ada batu menyerupai orang sedang bersujud berkalang tanah. Itu dipercaya sebagai sosok Malin. Lalu, sejak saat itu sampai kini terkenallah hikayat Malin Kundang, si anak yang durhaka terhadap ibu kandungnya.
Fenomena baru. Yang terjadi sekarang siapa yang jadi MALING akan KONDANG. Para koruptor dibuat begitu terkenal oleh stasiun televisi melalui pemberitaan mengenai kasus mereka. Bahkan program infotainment pun mbelasuk-mbelasuk ke sisi-sisi kasus koruptor ini jadi materi tayangannya. Tapi, lagi-lagi fenomena baru. Para koruptor yang wajahnya disorot kamera tv justru tenang saja cengengesan bahkan ketawa semringah sambil melambai-lambaikan tangan seperti tak ada dosa dan beban derita. Karena tingkah polahnya seperti selebriti yang ngetop inilah yang membuat infotainment ikut hiruk pikuk di selasar gedung pengadilan menunggu untuk bisa menangkap wajah koruptor dengan sorot kamera. Sehingga saat ditayangkan program infotainment ini mendulang pukau penonton dan menaikkan ratingnya. haduhhh... haduhhhh. Fenomena! Para koruptor itu, adalah "anak-anak" yang durhaka terhadap IBU PERTIWI.