Minggu, 14 Oktober 2012

1000 Fenomena Edisi 5

Jadi orang baik-baik dan terkenal saat ini bukan lagi sebuah fenomena. Jadi orang tidak baik justru akan membuatnya semakin terkenal, itulah fenomena yang lagi naik daun sekarang. Dulu di Sumatera Barat, diceriterakan tentang seorang anak bernama Malin Kundang dan ibunya. Kehidupan mereka sangat miskin sehingga timbul niat Malin untuk merantau dengan alasan siapa tahu di tanah rantau dia bisa merubah nasib miskinnya menjadi kaya. Dan, suatu hari dengan menumpang kapal pergilah Malin merantau meninggalkan ibunya yang miskin. Dalam kurun waktu yang lama di perantauan, sosok Malin berubah 180 derajat dari semula miskin menjadi seorang yang kaya raya. Kira-kira dari sinilah asal-muasal "jiwa perantau" menjadi budaya turun temurun dan mendarah daging tertanam dalam diri orang minang.
Suatu masa dengan membawa uang berlimpah, dengan kapal pesiar yang dimilikinya, Malin kembali berlabuh di dermaga tempat dia bermain sewaktu bocah sembari menanam benih angan di benaknya agar suatu waktu kelak memiliki kapal dagang seperti yang dilihatnya bersandar di situ.
Orang kampung pun heboh mengabarkan setengah berteriak sambil berlari ke arah pelabuhan Malin datang... Malin datang... horeee Malin sudah jadi orang kaya. Ya, ini fenomena bila ada sesuatu yang baru akan menimbulkan kehebohan masal.
Terbetiklah kabar itu ke telinga ibunya yang masih dibelit kemiskinan. Ada tanya di benak ibunya, apakah dia Malin anakku? Kalau iya, aku akan ikut menyambutnya! Kalau memang benar seperti yang diteriakkan orang-orang Malin sudah jadi orang kaya, ah... betapa senang hatiku! Begitu gumam lirih yang gemuruh di pikiran ibu Malin, sambil berjalan tertatih ke arah pelabuhan karena usia uzur yang mengikis kekuatan fisiknya.
Sesampai di pelabuhan, betapa kagetnya ibu Malin melihat ada kapal mewah tersandar di dermaga. Dia pun celingukan di tengah kepungan orang ramai yang berkerumun mengelu-elukan Malin. Terseok-seok dia meloloskan tubuhnya yang bungkuk di sela-sela kerumunan massa agar bisa lebih mendekat ke arah Malin.
Sesampai di dekat Malin, ibu Malin menyorongkan tubuh rentanya untuk memeluk Malin sambil berkata lirih, "Malin, aku ibumu, Nak!"
"Cih," jawab Malin. "Nggak mungkin ibuku seburuk ini, sewaktu aku pergi dulu ibuku masih segar bugar, kok sekarang sudah terbungkuk-bungkuk!"
"Benar kok Malin aku ibumu!," jawab ibunya meyakinkan. "Kamu kan perginya lama sekali meninggalkan ibu, ya jelas saja ibu semakin tua dan semakin bungkuk."
Meski orang-orang kampung yang telah mengerumuninya berusaha meyakinkan Malin bahwa ibu tua tersebut adalah benar ibu Malin, tapi Malin masih tetap tidak percaya dan enggan mengakuinya.
Di samping Malin ada seorang wanita cantik yang tak lain adalah istrinya Malin. Wanita ini begitu jijik melihat ibu tua yang mengaku-aku sebagai ibu Malin yang berarti ibu mertuanya. Dia pun bertanya tegas kepada Malin, "apa betul dia ibumu?" "kalau tahu engkau anak orang miskin tak mau aku menikah denganmu," celoteh wanita cantik ini yang membuat Malin ketakutan kalau diusir dan tak mau lagi diaku sebagai suami.
Buru-buru Malin meyakinkan istrinya bahwa ibu tua itu bukanlah ibunya. Ibu Malin mendengar jelas apa yang diucapkan Malin yang mengatakan bahwa dirinya bukan ibu Malin. Kenyataan ini membuat hati ibu tua ini terluka dan sakit bukan kepalang.
Sembari menyingkir dari situ, ibu Malin menahan embun di matanya agar tak tercurah jadi air mata, menahan sengguk di hatinya agar tak pecah menjadi tangis, menahan amarah agar tetap beku jadi kesabaran, menahan rasa gembira melihat Malin telah jadi orang kaya agar air susu yang telah diikhlaskannya menjadi darah daging Malin, tak berubah jadi kebencian.
Tapi, meski ada setumpuk kesabaran tak akan mampu menutup secuil kekecewaan. Apalagi bila kekecewaan itu terungkap dalam bentuk kata-kata umpatan (sumpah). Mengingat kata-kata seorang ibu adalah doa. Dalam kejadian ini, walau ibu Malin berusaha menahan tangis, menahan benci, ternyata ibu Malin tak kuasa menahan kata-kata yang terucap di bibirnya. Tanpa disadarinya dia menyumpahi Malin agar menjadi batu. Dan, terjadilah apa yang diucapkan ibu tua itu, sebagai apa yang didoakannya.
Bila berkunjung ke Sumatera Barat, tepatnya di pantai Air Manis, di sisi laut ada batu menyerupai orang sedang bersujud berkalang tanah. Itu dipercaya sebagai sosok Malin. Lalu, sejak saat itu sampai kini terkenallah hikayat Malin Kundang, si anak yang durhaka terhadap ibu kandungnya.
Fenomena baru. Yang terjadi sekarang siapa yang jadi MALING akan KONDANG. Para koruptor dibuat begitu terkenal oleh stasiun televisi melalui pemberitaan mengenai kasus mereka. Bahkan program infotainment pun mbelasuk-mbelasuk ke sisi-sisi kasus koruptor ini jadi materi tayangannya. Tapi, lagi-lagi fenomena baru. Para koruptor yang wajahnya disorot kamera tv justru tenang saja cengengesan bahkan ketawa semringah sambil melambai-lambaikan tangan seperti tak ada dosa dan beban derita. Karena tingkah polahnya seperti selebriti yang ngetop inilah yang membuat infotainment ikut hiruk pikuk di selasar gedung pengadilan menunggu untuk bisa menangkap wajah koruptor dengan sorot kamera. Sehingga saat ditayangkan program infotainment ini mendulang pukau penonton dan menaikkan ratingnya. haduhhh... haduhhhh. Fenomena! Para koruptor itu, adalah "anak-anak" yang durhaka terhadap IBU PERTIWI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.