Tahun 1994 tepatnya hari Selasa
tanggal 15 Februari, sehari sehabis orang-orang asyik masyuk merayakan
Valentine’s Day, gelegar hebat mengguncang Liwa (Lampung Barat) berkekuatan 6,5 skala
richter, pusat gempa Sesar
Semangko, Samudra Hindia. Dari situs id.wikipedia.org dinyatakan
hampir semua bangunan permanen di Liwa rata dengan tanah. Tak kurang dari 196
jiwa dari beberapa desa dan kecamatan di Lampung Barat tewas, sementara jumlah
korban yang terluka hampir mencapai 2.000 orang. Rata-rata mereka tewas dan
terluka karena tertimpa reruntuhan bangunan. Jumlah penduduk yang kehilangan
tempat tinggal hampir mencapai 75 ribu. Dampak gempa terasa hingga radius 40
kilometer dari ibu kota Kabupaten Lampung Barat tersebut. Fasilitas umum dan
akses transportasi serta komunikasi lumpuh total. (baca lengkap di https://id.wikipedia.org/wiki/Gempa_bumi_Liwa_1994
Liwa dan sekitarnya memang merupakan
daerah rawan gempa karena kerap terjadi pergesekan dua lempeng, yakni Eurasia
dan Indo Australia. Sejak 1994 secara periodik gempa sering terjadi, Minggu 29 Mei 2011 sekitar pukul 07.00 WIB, gempa
berkekuatan 6,3 skala richter kembali mengguncang sebagian daerah di Kabupaten
Lampung Barat. Menurut Badan Metereologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG),
pusat gempa itu berada pada kedalaman 10 kilometer pada lokasi 6.01 Lintang Selatan dan 103.24 Bujur Timur, sekitar 119 kilometer
Barat Darat Daya Krui. Selasa 23 Agustur 2011 sekitar pukul 03.12 WIB terjadi gempa berkekuatan 6,2 skala richter dengan pusat 140 kilometer Barat Daya Krui atau berlokasi di 6,45 Lintang Selatan 103,91 Bujur Timur dengan kedalaman 10 kilometer.
Peta isoseismal gempa Krui 23 Agustus 2011 |
Gempa berkekuatan 5,9 skala
richter kembali mengguncang Krui, Lampung Barat, pukul 16.18 WIB kemarin (hari
dan tanggal ?). Informasi yang dihimpun
dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Lampung menyebutkan,
gempa tersebut tidak berpotensi menimbulkan tsunami. Pusat gempa berada di laut
dengan kedalaman 25 kilometer atau di 6,60 Lintang Selatan, 103,74 Bujur Timur,
atau 158 km dari barat daya Krui. Gempa terjadi akibat lempeng Indo Australia
menyusut di bawah lempeng Eurasia.
Tahun 2014 tepatnya hari Kamis tanggal 13 Februari, sehari sebelum orang-orang asyik masyuk merayakan Valentine's Day, didahului petir menyambar lalu gelegar Gunung Kelud memancarkan pijar api dan memuntahkan abu vulkanik disertai bebatuan. Gempa Vulkanik yang terjadi pada pukul 22.50 WIB itu kontan membuat warga sekitarnya panik.
Pijar api pada letusan Gunung Kelud |
Ketinggian Awan dari erupsi Sinabung |
Banyaknya korban tewas pada erupsi Merapi, dipengaruhi faktor kesetiaan kepada Mbah Maridjan oleh penduduk setempat. Meski telah diperingatkan berulang kali agar warga turun ke tempat pengungsian yang telah disediakan, namun karena Mbah Maridjan bertahan tidak mau mengikuti anjuran untuk turun, maka sebagian penduduk pun ikut bertahan di kediamannya. Ketika erupsi Merapi makin menjadi dan luncuran awan panas yang oleh penduduk setempat dinamai wedus gembel makin dahsyat menyapu, akhirnya rumah-rumah yang umumnya terbuat dari bangunan semi permanen berupa anyaman bambu tak urung luluh lantah, dan penghuninya tercatat sebagai korban tewas.
Suasana hujan abu di kawasan Jalan Malioboro pascaerupsi Gunung Kelud |
Jauh sebelum Kelud menghadiahi momen Valentine's Day hujan abu untuk Jogja-Solo dan sekitarnya, erupsi Gunung Sinabung di Tanah Karo (Sumatera Utara) telah mendahuluinya. Meski hanya ada 14 korban tewas dan 3 luka-luka, namun letusan Gunung Sinabung yang terjadi Sabtu, 1 Februari 2014 itu membuat 17 ribu warga dari 21 desa di dekat Gunung Sinabung mengungsi.
ring of pink |
Mengapa Valentine's Day selalu identik dengan coklat, mawar, dan warna pink? Entahlah. Saya tidak bisa memberi penjelasan secara detil. Yang, jelas mengapa gempa Liwa terjadi sehari sesudah Valentine's Day dan Gunung Kelud meletus sehari sebelum Valentine's Day? Ini yang harus dicari jawabnya. Setidaknya suasana gelap melanda cakrawala Indonesia akibat hujan abu dari erupsi Sinabung dan Kelud, menjadi bahan pemikiran bahwa jangan hanya suasana terang warna pink dan segar aroma mawar yang mesti dinikmati indera pernapasan kita. Cobalah sesekali nikmati sesaknya bau belerang yang dikirim Sinabung dan Kelud.
Jadikanlah bencana yang melanda sebagai wadah introspeksi, ciptakan ruang sunyi untuk menikmati kesendirian. Mungkin bukan hanya kita yang tidak merayakan Valentine's Day, bisa jadi banyak orang tak merayakannya dan tak menikmati rasa coklat, romantisme warna pink, dan aroma mawar. Tentu, saudara-saudara kita yang dilanda erupsi Sinabung dan Kelud lebih menderita dari kita yang sekedar tak merayakan Valentine's Day tahun ini. Mungkin bukan hanya kita yang tidak punya pasangan. Banyak lajang di luar sana yang melewati momen spesial hari kasih sayang dengan sendiri. Mungkin ada yang kehilangan pasangan akibat bencana Sinabung dan Kelud. Dan bisa jadi, sejak jauh hari mereka telah menyepakati janji untuk merayakan Valentine's Day, tapi apa daya salah satu di antara mereka harus pergi jauh dan tak kembali. Artinya, jangankan merayakan hari kasih sayang berdua, pasangan yang dicinta pun telah tiada.
Berbahagia memang, pasangan Muhammad Ismail dan Ema Pepayosa Br Ginting yang sempat melangsungkan pernikahan di tenda pengungsian Gunung Sinabung. Sedih tentunya, bagi seseorang yang (jangankan menikah) kekasih hati pun hilang untuk selama-lamanya.
Muhammad Ismail sedang melafalkan Ijab Kabul untuk sang pengantin wanita di hadapan penghulu akad nikah |
Pengantin laki-laki, Ismail merupakan pengungsi asal Desa
Gung Pinto, Kecamatan Naman Teran. Sedangkan, Ema berasal dari Desa Biak Nampe,
Kecamatan Munte. Sepasang kekasih ini menjadi pengungsi bersama 644 jiwa atau
170 keluarga lainnya.
Pantauan di lokasi, kedua mempelai duduk berdampingan di
atas tikar di bawah tenda pengungsian yang terbuat dari rangka besi. Pengantin
wanita mengenakan busana dan kerudung berwarna merah, sedangkan mempelai pria
mengenakan kopiah, baju koko dan celana jeans biru. Untuk maharnya, Ismail
menyerahkan sehelai kain sarung merek Wadimor.
"Sudah empat tahun kami dekat. Dulu pernikahan
direncanakan September 2013, tapi dibatalkan karena bencana Sinabung dan belum
berhenti juga. Ya akhirnya niat itu kami laksanakan menikah di pengungsian
saja," kata Ismail.
Setelah mengulang lafaz ijab kabul dua kali, sekitar pukul
11.00 WIB proses pernikahan selesai. Petugas pencatat nikah Kecamatan
Kabanjahe, Muhammad Nur, yang memimpin proses ijab kabul itu juga bertindak
sebagai wali nikah bagi Ema kendati ayah kandungnya Ahmad Joni Muslim juga
hadir di lokasi pernikahan.
Usai nikah, kedua mempelai menyalami semua pihak keluarga
yang hadir. Tak ada makanan dan minuman yang disajikan saat itu, hanya
kebahagiaan terpancar dari seluruh yang hadir. Jika gunung sudah tenang,
mungkin resepsi bisa digelar secara patut. "Meski sudah menikah, kayaknya
kami tetap tinggal di pengungsian sampai Gunung tidak meletus lagi," kata
Ismail lirih. (kabar3.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.