Matahari Departement Store (Mal Klender) dijarah lalu dibakar, banyak korban terpanggang sia-sia |
10 Mei 1963, Peristiwa kerusuhan di hari Jumat. Konflik antara ‘geng’ yang beranggotakan mahasiswa etnis Tionghoa dan geng mahasiswa non Tionghoa di kampus Institut Teknologi Bandung (ITB). Konflik ini dipicu oleh persaingan memperebutkan bangku kuliah ketika tiba saat pergantian jam mata kuliah. Pergantian jam mata kuliah diikuti pula pergantian ruang kuliah. Hal ini mengharuskan mahasiswa berpindah ruang atau gedung kuliah. Sehingga menciptakan tradisi booking kursi tempat duduk di antara geng-geng mahasiswa. Mahasiswa etnis Tionghoa karena memiliki sepeda motor cenderung lebih cepat sampai ke ruang/gedung tempat pindah kuliah. Hal ini menimbulkan rasa cemburu di kalangan mahasiswa non Tionghoa, sehingga muncullah sentimen rasial.
Pada mulanya sentiment rasial terjadi di kalangan mahasiswa intern ITB, tapi kemudian meluas ke kampus lainnya bahkan ke masyarakat umum. Para penggalang solidaritas anti Cina itu di antaranya adalah Siswono Yudohusodo (mahasiswa ITB yang juga aktivis Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia/GMNI), Dedi Krishna (mahasiswa Kimia Teknik ITB dan anggota Persatuan Mahasiswa Bandung/PMB), Abdul Qoyum Tjandranegara (mahasiswa Kimia Teknik ITB), Muslimin Nasution (mahasiswa Mesin ITB), Parlin Mangunsong (mahasiswa Universitas Padjadjaran/Unpad), Soeripto (mahasiswa Unpad sekaligus aktivis Gerakan Mahasiswa Sosialis/Gemsos) dan Rahman Tolleng (aktivis mahasiswa yang juga kader Partai Sosialis Indonesia/PSI). Tokoh-tokoh ini kemudian mengadakan serangkaian konsolidasi untuk memberikan suatu ‘pelajaran’ kepada mahasiswa-mahasiswa etnis Tionghoa di ITB secara masal.
Kekerasan ‘ala’ mahasiswa ITB itu kemudian menjelma menjadi kerusuhan masal yang mengambil sasaran warga Tionghoa di kota Bandung. Kawasan Dago, Braga, Asia-Afrika, hingga Otista (Jl Otto Iskandardinata) yang memang banyak dihuni warga Tionghoa menjadi sasaran amuk massa. Toko, rumah, dan aset milik etnis Tionghoa dirusak. Huru hara ini merembet ke kota-kota lain di Jawa Barat seperti Sumedang, Tasikmalaya, Cirebon dan yang terparah di Cianjur dan Sukabumi.
Peristiwa ini menimbulkan banyak reaksi. PKI dan kelompok
kiri lainnya dengan segera mengeluarkan pernyataan bahwa peristiwa ini adalah
peristiwa rasialis kontra revolusioner yang didalangi oleh sisa-sisa Masjumi
dan PSI. Demikian juga Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki)
mempunyai pandangan yang sama. Sebaliknya Lembaga Pembinaan Kesatuan bangsa (LPKB)
di bawah pimpinan Sindhunata mengeluarkan selebaran berisi pernyataan bahwa
peristiwa ini disebabkan oleh prilaku orang Tionghoa yang eksklusif dan suka
pamer kemewahan. Sudah tentu para pemimpin Baperki memprotes para pimpinan LPKB
yang dianggap secara provokatif mengipasi kemarahan massa.
Peristiwa ini terjadi tidak lama setelah kunjungan Liu Shao Chi, Presiden RRT (Republik Rakjat Tjina) yang bertujuan mempererat hubungan kedua negara. Kunjungan ini adalah kunjungan kepala negara RRT yang pertama ke Indonesia. Anggota Baperki dan Partindo dikirim ke Cirebon untuk menolong korban kerusuhan dan menyelidiki sebab-sebab kejadian tersebut. Mereka menyimpulkan bahwa kerusuhan ini direkayasa oleh para aktivis PSI dan Masjumi. Mereka menggunakan isi pidato Presiden Soekarno sebagai sinyal bahwa orang Tionghoa adalah musuh golongan Islam. Di dalam pidato tersebut, Presiden Soekarno mengucapkan terima kasih kepada pemerintah RRT yang telah membantu pemerintah Indonesia dalam menumpas pemberontakan PRRI/PERMESTA.
*********
13 Mei 1969, peristiwa kerusuhan di Kuala Lumpur, Malaysia. Dipicu
oleh kemenangan Democratic Action Party (DAP) —partai terbesar golongan
Tionghoa— pada Pemilu yang diadakan 10 Mei di mana Dr Tan Chee Khoon memenangi
kursi dengan kelebihan suara yang besar di kawasan Batu di Selangor. Atas
kemenangannya itu, Dr Tan Chee Khoon meminta izin kepolisian untuk melakukan
pawai kemenangan oleh Partai Gerakan Kebenaran.
Dan secara bersamaan namun tanpa izin kepolisian DAP
(sama-sama partai oposisi) juga mengadakan pawai. Namun, arak-arakan peserta
pawai menyasar ke distrik Melayu Kampong Bahru sambil mengolok-olok kekalahan
Partai UMNO (United Malaysia National Organization) yang menguasai
pemerintahan sebelumnya. Tak ayal, olok-olok terhadap UMNO memicu partai-partai
oposisi yang ikut pawai membuat keonaran, sehingga pecahlah peristiwa 13 Mei
1969.
Itu hanya pelantar belaka. Pemicu sesungguhnya adalah ketidakadilan
yang diperbuat Jepang yang menduduki Tanah Melayu. Jepang menganakemaskan warga
Melayu dan mengabaikan warga keturunan Tionghoa karena memang pernah ada benih
permusuhan antara Jepang dan China yang pernah terlibat peperangan.
Ketidakadilan dalam perlakuan pendudukan Jepang ini melahirkan permusuhan
antara orang-orang Melayu dan China.
*********
12 Mei 1998, peristiwa kerusuhan yang dikenal sebagai
“Tragedi Trisakti”. Pemicunya adalah ketidaksenangan kalangan aktivis mahasiswa
dipilihnya kembali Soeharto menjadi Presiden RI untuk masa jabatan periode
1998-2002 oleh MPR.
Tak terasa dua windu sudah peristiwa 12 Mei 1998 berlalu
meninggalkan jejak sejarah paling kelam di negeri ini. Meninggalkan kenangan
buruk bagi keluarga syuhada Trisakti yang begitu mendambakan buah hati mereka
menggapai cita-cita yang diidamkan. Sejarah tentang gejolak anak bangsa yang
memberontak menuntut reformasi setelah jenuh deformasi.
Kerusuhan yang berlangsung beberapa hari tersebut telah banyak memakan korban jiwa dan materi. Bila dibandingkan dengan kerusuhan-kerusuhan sebelumnya, kerusuhan Mei 1998 merupakan kerusuhan terburuk yang pernah terjadi di Indonesia. Dalam kerusuhan tersebut, menurut TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta), korban meninggal sebanyak 1.217 orang, luka-luka 91 orang, dan hilang 31 orang. 4 orang Mahasiswa Universitas Trisakti tewas ditembak Aparat Militer. Mereka adalah Elang Mulyana Lesmana (19), Hery Hartanto (21), Hendriawan Sie (20), dan Hafidhin Royan (21). Keempat mahasiswa tersebut dikenang sebagai Pahlawan Reformasi.
Kerusuhan rasial di mana etnis Tionghoa diperkosa lalu dibunuh dan harta bendanya dijarah, toko-toko, bank, mal/supermarket dijarah dan dibakar. Tragedi ini menjadi babak baru sejarah Indonesia yang selama 32 tahun dibelenggu pemerintahan Orde Baru. Memang tak bisa dipungkiri, pemerintahan yang telah membuat kehidupan begitu nyaman dengan segala fasilitas subsidi yang diberikan dan harga komoditas yang dikondisikan tidak pernah bergerak naik maupun turun. Stabilitas. Ya, begitu paham yang dianut.
Namun, meski dinyamankan kondisi stabilitas yang terkendali, ketika krisis moneter sejak Juli 1997 yang melanda Thailand, Korea Selatan dan menyebar ke negara lainnya tak urung Indonesia terkena imbas juga. Kondisi harga mulai merambat naik tak terkendali, membuat masyarakat kelimpungan. Lalu, dari sinilah huru-hara dimulai. Krisis moneter itu memicu terjadinya krisis politik di dalam negeri, apalagi ketika Soeharto masih ngoyo untuk naik tahta kekuasaan pada Pemilu 29 Mei 1997.
Menghadapi demonstrasi yang bertubi-tubi dan kerusuhan yang
tidak terkendali atas desakan dari berbagai elemen masyarakat termasuk
tokoh-tokoh politik deklarator Ciganjur saat itu seperti Abdurachman Wahid (Gus Dur), Amien Rais,
Megawati Soekarno Putri, Sultan Hamengkubuwono X, Emha ainun Nadjib (Cak Nun), Nurcholis Madjid (Cak Nur) dan lainnya mendesak Presiden
Soeharto untuk segera turun dari jabatannya guna menghindari kerusuhan yang
lebih besar, Ketua MPR Harmoko yang dua bulan sebelumnya meminta Soeharto untuk
kembali memimpin Republik Indonesia karena alasan bahwa seluruh rakyat
Indonesia masih menginginkan Soeharto untuk memimpin Indonesia, pada saat itu
kembali menarik ucapan bahwa ternyata rakyat Indonesia sudah tidak menginginkan
Soeharto untuk memimpin Indonesia dan mengharap Presiden Soeharto segera lengser
keprabon.
Sebenarnya pendukung Soeharto saat itu sangat besar, namun untuk menghindari adanya korban jiwa dan materi yang semakin banyak, akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998 pukul 09.00 Presiden Soeharto membacakan pidato tentang pengunduran dirinya dan secara konstitusional memberikan jabatan presiden kepada Wakil Presiden BJ Habibie untuk melanjutkan tampuk kekuasaan di Indonesia. Dari pemerintahan Presiden Habibie inilah kemudian reformasi digulirkan dengan agenda-agenda perbaikan di berbagai bidang kehidupan berbangsa baik sosial, politik, ekonomi, pendidikan maupun pertahanan dan keamanan.
Dan, yang paling menyita perhatian dunia adalah keputusan BJ Habibie membuka celah dilaksanakannya "memorandum" bagi rakyat Timor Timur untuk menentukan nasib apakah masih akan tetap bergabung ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) atau mendirikan negara merdeka. Hasil pemungutan suara menentukan mayoritas rakyat Timor Timur menginginkan memisahkan diri dari Indonesia dan mendirikan negara sendiri yang meredeka dan berdaulat. Maka, sejak itu Timor Timur bukan lagi merupakan salah satu provinsi yang ada dalam bagian NKRI.
dari berbagai sumber...
*********
Gema Seribu Bahasa
Mengenang:
Elang Mulya Lesmana, Hery Hertanto,
Hendriawan Sie,
Hafidin Royan.
syuhada
tragedi Trisakti, 12 Mei 1998
juga: M.
Yusuf Rizal dan Saidatul Fitriah
syuhada
tragedi UBL Lampung, September 1997
sewindu sudah
bagi mereka mungkin begitu gampang melupakanmu
tapi tidak bagiku
tiap kali aku lewati
jalan aspal di mana tubuhmu tersungkur
aroma amis darah tercium lagi
tiap kali aku kecup
selongsong peluru yang dulu merebahkan tubuhmu
wangi rambutmu tercium lagi
sewindu sudah
selongsong peluru yang kupungut di depan kampus itu
kusimpan baik-baik
untuk mengenang jejak-jejak yang tertinggal
irama reformasi yang dulu mengalun kencang
kini hanya tinggal gema belaka
karena jalan yang dilaluinya berbelok ke mana-mana
sehingga tidak pernah sampai pada tujuan
sewindu sudah
alangkah cepat waktu menghapus tapak lars itu
dan oknum aparat yang dulu menghempaskan peluru
entah ke mana pergi dan di mana kini
kian jauh dari sentuhan hukum yang menggapai
lunglai
yang tinggal, jejak sejarah yang terluka
kini perihnya kadang terasa
bila pikiran ibumu menziarahi kenangan masa kecilmu
bila sedu sedannya yang tertahan memecah sunyi
tiap kali menyeka beku embun yang menggenangi
bingkai fotomu
dan desis lirihnya lewat angin yang mengusung mimpi
memetakan kembali apa yang diidamkannya
berfoto bersama saat kau diwisuda
dan kau mengabdi bagi ibu pertiwi dengan idealisme
yang tinggi
tapi semua hanya angan yang melayapi sepi
sewindu sudah
mata ibumu membasah jika mengenang lagi:
semua temanmu sudah pada sarjana,
sudah pada bekerja, sudah pada berkeluarga,
tapi juga sudah pada lupa hakikat reformasi yang
diperjuangkan,
karena sudah pada terjebak perangkap birokrasi,
hukum alam; selagi di luar teriak sampai parau,
begitu duduk di belakang meja diam seribu bahasa
apatis terhadap apa yang diperjuangkan saat unjuk
rasa
terpacak diam di ujung kegalauan
getirnya dunia nyata tidak seperti teori yang
diajarkan
apalagi di zaman yang semakin edan ini
sopo
sing ora melu edan ora keduman
sewindu sudah
teman-temanmu coba mengenang lagi perjuangan dulu
akhirnya mereka menertawakan diri sendiri
menertawakan orang-orang yang terus berjuang
orang-orang yang terus merobohkan pagar gedung
dewan
”ah… nanti kalian seperti saya,” desisnya
dulu teriak lantang, kini hanya bisa bungkam
omong kosong reformasi,
bila kehilangan esensi
omong kosong unjuk rasa,
selalu saja ada provokator mengacaukannya
negara milik mahasiswa saat unjuk rasa
selebihnya milik pemerintah yang berkuasa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.