Rabu, 30 Juli 2014

Saling Memaafkan, Membuat Hati dan Jiwa Tenang

Setelah menunaikan kewajibab berpuasa Ramadhan sebulan penuh, sampailah saatnya merayakan Idul Fitri. Kata idul Fitri terdiri dari ’id dan al-fithr. Kata ’id berasal dari akar yang sama dengan kata-kata ’awdah atau ’awdatun, ’aadah atau ’aadatun dan isti’aadatun. Di mana kesemuanya mengandung makna asal ”kembali” atau ”terulang”. Kata ’aadat wa isti ’aadatun diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi ”adat” dan ”istiadat” yang berarti sesuatu yang selalu akan terulang dan diharapkan akan terus terulang, yakni sebagai ”adat kebiasaan”. Dalam bahasa Arab, hari raya diartikan dengan ‘id, karena ia akan selalu datang kembali berulang-ulang secara periodik setiap tahun.

Sedangkan al-fithr adalah satu akar dengan kata al-fihtrah, yang berarti ”kejadian asal yang suci” atau ”kesucian asal”. Secara kebahasaan, fithrah searti dengan khilqah, yaitu ciptaan atau penciptaan. Alloh sebagai Maha Pencipta adalah makna dari kata al-Khaliq atau al-Fathir. Dalam perkembangannya, istilah al-fithrah kemudian berarti “penciptaan yang suci”.

Dalam pengertian di atas, kata Nurcholis Madjid (2000), semua segi kehidupan seperti makan, minum, tidur dan apa saja yang wajar, tanpa berlebihan, pada manusia dan kemanusiaan adalah fithrah. Semua itu bernilai kebaikan dan kesucian karena semuanya itu berasal dari desain penciptaan Tuhan. Karena itu, berbuka puasa atau “kembali makan dan minum” setelah tadinya berpuasa juga disebut ifthar, yang secara harfiah dapat diartikan “memenuhi fitrah” yang suci dan baik. Dengan perkataan lain, makan dan minum adalah baik dan wajar pada manusia, merupakan bagian dari fitrahnya yang suci. Dari sudut pandang ini dapat dimengerti mengapa Islam tidak membenarkan manusia berusaha menempuh hidup suci dengan meninggalkan hal-hal yang wajar seperti makan, minum, tidur, berumah tangga dan lain sebagainya.

Dalam hadis sahih riwayat al-Bukhari dan Muslim disebutkan bahwa Rasulalloh Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ”Saya mendengar bahwa kamu (Abdullah bin ’Amr bin As) puasa sepanjang siang hari dan bangun untuk selalu salat malam? Benar, Ya Rasulalloh.
Beliau kemudian mengingatkan dengan sabdanya: ”Janganlah berbuat begitu, berpuasalah dan berbukalah, tidurlah dan bangunlah untuk salat malam, karena sesungguhnya bagi tubuhmu ada hak, bagi kedua matamu ada hak, bagi isterimu ada hak dan bagi tamu juga ada hak”.

Hadis di atas menerangkan bahwa segala tindakan manusia yang meninggalkan kewajaran hidup manusia adalah tindakan melawan fitrah. Berangkat dari pemahaman tentang arti Idul Fitri tersebut, dalam perayaan Idul Fitri -setelah selesai berpuasa selama bulan Ramadhan terkandung makna kembali kepada hakikat yang wajar dari manusia dan kemanusiaan, yaitu wajar untuk memenuhi keperluan makan dan minum sampai kembalinya manusia kepada fitrah dalam arti mentauhidkan Alloh Subhanahu wata’ala dan hanya ingin berbuat yang baik dan benar.
Fitrah terkait dengan hanif, artinya suatu sifat dalam diri manusia yang cenderung memihak kepada kebaikan dan kebenaran. Nabi saw bersabda:

الْبِرُّ مَااطْمَأَنَّ إِلَيْهِ الْقَلْبُ ، وَاطْمَأَنَّتْ إِلَيْهِ النَّفْسُ ، وَالْإِثْمُ مَا حَاكَ فِي الْقَلْبِ، وَتَرَدَّدَ فِي الصَّدْرِ

Kebaikan itu adalah sesuatu yang membuat hati dan jiwa merasa tenang, sedangkan dosa adalah sesuatu yang membuat hati gelisah dan menimbulkan kebimbangan dalam dada (HR. Ahmad dan lain-lain. Syekh Al-Albani menilai hadis ini hasan)

Karena itu, idul fitri dapat berarti kembali kepada hati nurani, yang hanya cenderung kepada kebaikan dan kebenaran sesuai dengan fitrahnya. Keadaan ini hanya bisa diraih oleh orang yang benar-benar telah melatih dirinya dengan ibadah puasa selama bulan Ramadan. Nabi Saw bersabda:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Barangsiapa melaksanakan ibadah puasa atas dasar iman dan penuh perhitungan, maka ia akan diampuni dosa-dosanya yang telah lewat (HR. al-Bukhari dan Muslim)

*******

Idul Fitri berarti kembali kepada kesucian. Kesucian, kata Quraish Shihab (1992), adalah gabungan tiga unsur: benar, baik dan indah. Sehingga, seseorang yang ber-idul fitri dalam arti ”kembali ke kesuciannya” akan selalu berbuat yang indah, baik dan benar. Bahkan lewat kesuciannya itu, ia akan memandang segalanya dengan pandangan positif. Ia akan selalu mencari sisi-sisi yang baik, benar dan indah. Mencari yang indah melahirkan seni, mencari yang baik menimbulkan etika dan mencari yang benar menimbulkan ilmu.

Dengan pandangan demikian, ia akan menutup mata terhadap kesalahan, kejelekan dan keburukan orang lain. Kalaupun itu terlihat, selalu dicarinya nilai-nilai positif dalam sikap negatif tersebut. Dan apabila hal itu tak ditemukannya, ia akan memberinya maaf bahkan berbuat baik kepada orang yang melakukan kesalahan.

Karena itu, seiring datangnya Idul Fitri orang dianjurkan untuk saling bermaaf-maafan. Baik secara langsung dengan berjabat tangan atau sekadar mengirim ucapan melalui pesan singkat (SMS) atau status di media sosial (facebook atau twitter). Bila telah saling memaafkan, tentu akan membuat hati dan jiwa tenang karena tak ada lagi ganjalan kesalahan atau dosa terhadap orang lain.  

3 Syawal 1435 H

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.