Senin, 23 Februari 2015

Antara Norma dan Kenyataan

Saatnya Aku Belajar Pacaran buku karangan Toge Aprilianto, terutama pada Bab 6 halaman 60 yang berjudul Pacar Ngajak ML, mungkin menimbulkan kecemasan berbagai kalangan. Tidak sekadar orang tua tapi juga para aktivis penjaga moral. Pada dasarnya kecemasan itu wajar dan bahkan memang seharusnya ada pada siapapun.
Tapi, kalau pengetahuan dan ingatan kita kembalikan ke belakang. Tahun 1969, misalnya, di Inggris tercatat 62.000 bayi yang lahir tanpa ayah. Dari sebanyak itu, 1.300 bayi dilahirkan oleh ibu-ibu yang berusia di bawah 20 tahun. Untuk menguak apa gerangan yang terjadi, dilakukanlah penelitian oleh Departemen Kesehatan di sana. Pada tahun 1971, masyarakat Inggris dihebohkan dengan laporan hasil penelitian itu, yang terkenal dengan shock report.
Hasil laporan itu begitu mencemaskan para orang tua. Terjadi kenaikan angka kelahiran bayi tanpa ayah dan menyebar luasnya penyakit kelamin di kalangan remaja. Mendapati kenyataan demikian, tentu saja orang tua mana yang tidak terpukul dan merasakan tekanan mental. Akibatnya, masyarakat Inggris meminta untuk meninjau kembali pendidikan seks yang diberikan di sekolah, dan juga masalah undang-undang yang melegalisasikan aborsi (pengguguran kandungan).
Kehebohan di Tahun 1980-an
Di Negara Barat mungkin hal biasa membicarakan masalah seks dalam perbincangan keluarga di rumah, dan diajarkan di sekolah formal. Tapi, di negara yang normatif seperti Indonesia, masalah seks masih dipandang tabu untuk dibicarakan secara terbuka. Sekolah formal pun belum ada yang memberikan pendidikan seks secara spesifikasi. Hanya SMA di bawah Yayasan Katolik di Jakarta yang terdapat semacam bimbingan yang merupakan pendidikan seks.
Tahun 1981 dalam Seminar Seksologi Nasional I di Bali (tanggal 9-11 Juli 1981), dr. Wimpi Pangkahila (kini Prof. DR. Dr. Wimpi Pangkahila, Sp.And., FACCS. dari Fakultas Kedokteran Universitas Udayana) menyampaikan laporan hasil penelitiannya tentang perilaku seks di kalangan siswa/siswi pada 3 SMA di Bali. Dari angket yang dilakukannya, dr. Wimpi menyatakan bahwa remaja SMA di Bali telah biasa melakukan hubungan seks pranikah. Tentu saja apa yang dikemukakan dr. Wimpi dalam seminar itu begitu menyentak kesadaran dan mencengangkan peserta seminar dan sesudahnya menimbulkan polemik di masyarakat. Betapa tidak, dari 633 responden yang terdiri atas 345 siswa dan 288 siswi, tersingkap fakta 27 persen siswa dan 16 persen siswi pernah berhubungan seks pranikah. 

Bulan Juli 1982, di kota Bandung, secara tidak formal beberapa pihak mengadakan penelitian, mungkin juga dilakukan secara diam-diam. Penelitian yang dilakukan adalah tentang penyakit kelamin. Hasilnya, dari seluruh responden yang berjumlah 500 orang remaja berusia antara 16-25 tahun, 83 persen di antaranya terkena penyakit kelamin. Betapa dahsyatnya. Dari sinilah gejala sosial yang berhubungan dengan masalah seks kian terbuka. Lebih tepat bila dikatakan sebagai menggejalanya penyalahgunaan seks di kalangan remaja seusia tersebut.
Akhir tahun 1983, Sulistyo Eko, pelajar SMPP 10 Yogyakarta, menyebar angket seks kepada teman sekolahnya. Hasilnya telah terjadi kebebasan seks di kalangan siswa tersebut. Lalu, awal 1984, kelompok Diskusi Dasakung meneliti kehidupan sosial masyarakat Yogya, terutama di kalangan pelajar dan mahasiswa. Hasilnya, telah terjadi perilaku kumpul kebo di kalangan mahasiswa. Kelompok ini dibentuk pada 23 September 1983 oleh 10 mahasiswa dari 4 Fakultas di UGM, dikomandani Bambang Sigap Sumantri dan beranggotakan di antaranya Djoko Krisanjoyo, Yohanes S. Widodo, dan Darmaningtyas.
Pertengahan 1984, Pusat Studi Kriminologi (PSK) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) Yogyakarta, juga tergerak mengadakan penelitian tentang “Hubungan Seksual Pranikah” dilakukan di 14 Kantor Urusan Agama (KUA) Kota Yogyakarta. Hasilnya, selama semester I tahun 1984 terjadi 846 proses pernikahan, 223 pasangan yang menikah ternyata sebelumnya telah melakukan hubungan seks. Dan 11 di antaranya dalam keadaan hamil saat dilangsungkannya pernikahan.
Sesudah heboh angket seks pranikah oleh dr. Wimpi Pangkahila, Sulistyo Eko, PSK FH UII, dan kumpul kebo mahasiswa oleh kelompok Diskusi Dasakung di Yogya. Ternyata Semarang seperti tak mau ketinggalan ingin pula memiliki sensasi. Di Ibukota Provinsi Jawa Tengah itu muncul fenomena beredarnya Surat Izin Berpacaran (SIB) dan Surat Izin Mencium (SIM) di kalangan remaja. Tidak diketahui jelas apa motifnya, apakah wujud reaksi atas apa yang terjadi di Yogya, dan untuk menunjukkan bahwa remaja di Semarang pun tak mau “mati gaya”. Entahlah!
Tahun 1990-an (Era Demokrasi)
Awal tahun 1990-an muncul kasus Sekte Children of God (COG), modus-modus yang diajarkan atau materinya adalah kebebasan seks bukanlah hal yang tabu. Dan data statistik menyatakan 60 persen siswi di Jakarta sudah tak perawan lagi. Paham ajaran sekte ini langsung diredam dengan gagahnya oleh para pemuka agama beserta pemerintah. Maklum, di samping penodaan terhadap ajaran Kristen, sekte yang lahir dari Amerika Serikat ini merupakan wahana pembebasan seks tanpa ikatan.
Pendiri COG adalah David Brant Berg di Melrose, Oakland, California. Karena ajaran-ajarannya menjurus dan berbau asusila, cepat menarik para remaja serta anak muda di Indonesia untuk bergabung. Sahdan, dalam waktu yang relatif singkat anggota mereka bertambah banyak. Di Jakarta saja mencapai 5.000 orang. Bahkan di Purwokerto yang terbilang sebagai kota kecil, anggotanya mencapai 200. COG cepat merebak di Indonesia karena kegiatannya meliputi banyak bidang. Antara lain: Bidang Literatur, Musik, Drama, Audio Visual, Kursus Bahasa, dan lain-lain.
Tahun 1996 sebuah penelitian dilakukan di Denpasar Bali, dari 633 siswa-siswi SMA kelas II, sebanyak 155 orang (23,4 persen) memunyai pengalaman hubungan seks, 27 persen siswa dan 18 persen siswi.
Sampai akhirnya Indonesia terpuruk pada krisis ekonomi tahun 1997, yang melahirkan era reformasi tahun 1998. Reformasi bisa memiliki banyak makna, tergantung siapa yang coba menafsirkannya. Reformasi identik dengan suatu perubahan (change), namun perubahan yang memiliki arah (vision) dan membawa manfaat (benefit), jika perubahan tersebut tidak membawa perbaikan, maka tidak layak disebut reformasi.
Fase awal reformasi ini menunjukkan gejala perbaikan, sistem politik lebih demokratis, HAM ditegakkan, industri kreatif menggeliat, pertumbuhan ekonomi signifikan, serta pendapatan perkapita yang makin meningkat dari tahun ke tahun.
Meski demikian, era baru ini bukanlah tanpa ekses, dan mayoritas pencipta efek samping ini ialah pihak-pihak yang menganggap era reformasi ini ialah zaman serba boleh (permisif). Mereka larut dalam euforia kebebasan, tidak ingin diatur dan dibatasi. Budaya permisif inilah yang melahirkan fenomena kebablasan di berbagai bidang, terutama hubungan antara seseorang dengan orang lain.
Tahun 2000-an (Habis Reformasi Terbitlah Pornografi)
Tahun 2000, menurut data www.internetwroldstats.com baru ada sekira 2 juta pengguna internet di Indonesia. Dan pada tahun 2011 diketahui sudah ada 55 juta pengguna. Sungguh terjadi tingkat kenaikan yang sangat signifikan. Angka tersebut menempatkan Indonesia sebagai negara terbesar keempat di Asia dengan jumlah pengguna internet terbanyak di bawah China, India, dan Jepang.
Pada awal tahun 2000-an, di Cirebon berdiri aliran Surga Adn oleh Ahmad Tantowi. Yaitu semacam majelis pengajian di rumahnya. Namun ajaran-ajarannya yang aneh dan dianggap sesat membuat ia pun berkali-kali terusir dari tempat tinggalnya. Namun di tempat terakhir yang ia tempati, di Desa Pamengkang Kecamatan Mundu Kabupaten Cirebon, Tantowi relatif lebih aman dari gangguan masyarakat. Pengikutnya kebanyakan kaum perempuan, yang kemudian dengan bebas bisa digaulinya setelah terhasut bahwa itu adalah bagian dari paham yang diajarkannya.   
Berdasarkan penelitian di berbagai kota besar di Indonesia, sekitar 20 hingga 30 persen remaja mengaku pernah melakukan hubungan seks. Dari sekitar 5 persen pada tahun 1980-an, menjadi 20 persen pada tahun 2000. Begitulah fakta yang terungkap dari hasil penelitian pakar seks juga spesialis Obstetri dan Ginekologi Dr. Boyke Dian Nugraha di beberapa kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Surabaya, Palu dan Banjarmasin. Bahkan di Palu (Sulawesi Tenggara), pada tahun 2000 tercatat remaja yang pernah melakukan hubungan seks pranikah mencapai 29,9 persen.
Tahun 2001 di Medan diperoleh hasil penelitian bahwa 27 persen remaja laki-laki dan 9 persen remaja perempuan pernah melakukan hubungan seks. Antara tahun 2000-2002 dilakukan penelitian oleh LSM Sahabat Anak dan Remaja (SAHARA) Bandung, diperoleh data remaja yang melakukan seks pranikah, 72,9 persen hamil dan 91,5 persen di antaranya mengaku telah menggugurkan kandungan lebih dari satu kali. Data ini didukung beberapa hasil penelitian bahwa terdapat 98 persen mahasiswi Yogyakarta yang melakukan seks pranikah mengaku pernah melakukan aborsi.   
Legalitas Aborsi
Pada tanggal 21 Juli 2014, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi. Dalam PP tersebut pengakhiran kehamilan secara sengaja (aborsi) alias membunuh janin diperbolehkan dengan beberapa syarat antara lain korban perkosaan. “Tindakan aborsi akibat perkosaan hanya dapat dilakukan apabila usia kehamilan paling lama berusia 40 hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir,” bunyi Pasal 31 ayat (2) PP ini.
Sejumlah kelompok yang tidak setuju mempermasalahkan legalisasi praktik aborsi. “Aborsi sama saja dengan menghilangkan hak hidup seseorang. Alasan pelaku adalah korban pemerkosaan, tidak bisa menjadi legitimasi bagi tindakan aborsi,” kata Wakil Ketua Komisi IX DPR, Irgan Chairul Mahfiz, yang dirilis Harian Terbit, Senin (11/8/2014).
Menurut Irgan Chairul Mahfiz, PP ini justru bisa berpotensi menjadi celah untuk melakukan aborsi dengan alasan atau berpura-pura sebagai korban pemerkosaan. “Karena itu, legalisasi aborsi bagi wanita korban pemerkosaan kurang tepat,” ujarnya.
Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang pengguguran kandungan berdasarkan alasan medis, sebenarnya sudah dibuat sejak masa pemerintahan Orde Baru di bawah Presiden Soeharto. Tapi, hingga lengsernya Presiden Soeharto dari tampuk kekuasaan pada 21 Mei 1998, RUU ini tak juga kunjung disahkan. 
Tes Keperawanan
Anggota Komisi D DPRD Jember Habib Isya Mahdi dan Mufti Ali mengusulkan untuk mengeluarkan Raperda Akhlakul Karimah. Usulan ini disampaikan saat rapat koordinasi Badan Legislatif bersama Dinas Pendidikan, Rabu (4/2/2015). Salah satu isi Raperda ini  adalah keperawanan akan dijadikan syarat kelulusan bagi siswi. Alasan usulan tersebut karena, di Jember siswi SMP dan SMA sudah banyak yang melakukan hubungan seksual di luar nikah dan dilakukan secara bebas. “Yang membuat tercengang lagi mereka itu telah berhubungan beberapa kali dengan pasangan yang berbeda,” ujar Habib Isya, anggota Komisi D DPRD Jember dari Partai Hanura kepada detikcom, Jumat (6/2/2015).
Tujuan dikeluarkannya Perda Akhlakul Karimah, menurut Habib Isya, pihaknya berusaha membentengi agar generasi penerus tidak semakin rusak. “Apalagi Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa (Sabtu, 14/2/2015) juga menyatakan jika saat ini Indonesia dalam situasi darurat pornografi, ini yang membuat pemikiran kita kuat ke arah sana,” tambahnya.
Selain itu menurut Habib, juga diperkuat dengan data dari Rumah Sakit di Jember, di mana sejak 2006 pengidap HIV/AIDS mencapai 1.200 orang, 10 persen di antaranya pelajar dan mahasiswa. “Dari alasan ini butuh upaya agar anak-anak kita bisa kita lindungi, dan Jember harus berani memunculkan suatu upaya untuk menyelamatkan anak-anak kita,” tandasnya.
Minta Maaf
Akhirnya, pimpinan DPRD Kabupaten Jember meminta maaf atas munculnya wacana Perda Akhlakul Karimah oleh dua anggota Dewan di atas, yang di dalamnya memuat usulan adanya tes keperawanan sebagai syarat kelulusan siswi saat Ujian Nasional (UN).
Wakil ketua DPRD Jember, Ayub Junaidi, mengaku sangat kaget saat mendengar berita di sejumlah media adanya wacana tes keperawanan sebagai syarat kelulusan Ujian Nasional, yang diusulkan oleh 2 anggota Dewan (Habib Isya Mahdi dan Mufti Ali) seperti yang diuraikan di atas.
Menurutnya, wacana yang digulirkan oleh anggotanya bukanlah wacana dari DPRD Jember secara kelembagaan. Sebab berdasarkan Permendagri Nomor 1 Tahun 2014, dalam pengajuan sebuah perda ada prosedur yang harus ditaati. “Untuk mengusulkan atau membuat wacana tidaklah mudah dan proses yang harus dilalui sangat panjang, meliputi pengajuan Program Legislatif Daerah (Prolegda), setelah itu akan dibahas oleh Pansus, baru disetujui atau tidak dalam sidang Paripurna,” papar Ayub Junaedi kepada Wartawan, Senin (9/2/2015).
Prabumulih Trend Setter
Jauh sebelum menghebohkan Jember, Dinas Pendidikan (Disdik) Kota Prabumulih, Sumatera Selatan, telah duluan jadi trend setter sehubungan rencananya membuat kebijakan untuk mengetes keperawanan semua siswi sekolah di Prabumulih. Tes tersebut sebagai respons terhadap maraknya kasus siswi sekolah yang berbuat mesum, bahkan diduga melakoni praktik prostitusi. “Kami tengah merencanakan ada tes keperawanan untuk siswi SMA sederajat. Dana tes itu kami ajukan untuk APBD 2014,” kata Kepala Dinas Pendidikan Kota Prabumulih HM Rasyid, Senin (19/8/2013).
HM Rasyid mengakui, rencana Disdik tersebut rentan disalahartikan dan bakal mendapat kecaman pelbagai pihak. Disdik juga sempat takut rencana kebijakan itu bakal dicap melanggar hak asasi para siswi. “Masalah keperawanan adalah hak asasi setiap perempuan. Tapi di sisi lain, kami berharap seluruh siswi tak terjerumus ke hal negatif. Karena itu, kami tetap mewacanakan kebijakan itu untuk digelar tahun depan,” tandasnya.
Faktanya, benar saja rencana Disdik Prabumulih ini mendapat kecaman dari berbagai kalangan. Tak hanya masyarakat, tokoh, pakar pendidikan di daerah setempat, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang saat itu masih jadi Wakil Gubernur DKI Jakarta (kini gubernur) saja ikut prihatin dan merasa kasihan kalau untuk masuk sekolah atau ingin lulus siswi harus dites perawan. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhammad Nuh pun mempertanyakannya. “Untuk apa, sih, dilakukan tes virginity itu? Untuk apa?” kata Nuh di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (20/8/2013).  Dan, hingga berakhirnya tahun 2014 berganti 2015, masalah tes keperawanan di Prabumulih itu tak pernah ada implementasinya di lapangan.
Penyimpangan atau Gaya Hidup?
Secara garis besar, penyebab maraknya seks bebas sekarang ini antara lain:
1.    Kurangnya kasih sayang orang tua. Hal ini menyebabkan anak/remaja akan mencari  kesenangan di luar dan mereka akan bergaul bebas dengan siapa saja yang mereka inginkan dan terkadang mereka mencari teman yang tidak sebaya yang memungkinkan mereka akan terpengaruh dengan apa yang dilakukan orang dewasa.
2.    Perkembangan teknologi. Dampaknya bisa positif dan negatif. Tidak dapat dipungkiri bahwa setiap individu dari kita merasa senang dengan kehadiran produk atau layanan yang lebih canggih dan praktis. Tidak terkecuali teknologi internet yang telah merobohkan batas dunia dan media televisi yang menyajikan hiburan, informasi serta berita aktual. Di era kehidupan dengan sistem komunikasi global, dengan kemudahan mengakses informasi baik melalui media cetak, TV, internet, komik,  media ponsel, dan DVD bajakan yang berkeliaran di masyarakat, tentunya memberikan manfaat yang besar bagi kehidupan kita. Di satu sisi perkembangan iptek yang pesat sangat baik dan penting bagi perkembangan ilmu pengetehuan dan informasi para remaja. Namun, di sisi lain, remaja justru salah mempergunakan kecanggihan teknologi tersebut, mereka menyelewengkan fungsi teknologi yang sebenarnya.
Semua media informasi tersebut menyerbu anak-anak dan dikemas sedemikian rupa sehingga perbuatan seks itu dianggap lumrah dan menyenangkan. Mulai dari berciuman, berhubungan seks sebelum nikah, menjual keperawanan, gonta-ganti pasangan, seks bareng, homo atau lesbi, semuanya tersedia dalam berbagai media informasi
3.    Kurang kokohnya pondasi Agama. Pendidikan agama sebagai pijakan bagi ajaran moral, penting diberikan kepada anak sejak dini. Agar kelak bila mereka tumbuh menjadi remaja sudah memiliki filter untuk membedakan mana yang baik dan buruk bagi dirinya pribadi.
Bila pendidikan agama kurang, para remaja bisa dengan mudah terpengaruh hal-hal yang negatif. Inilah yang menjadi pendorong maraknya kasus seks bebas. Hal ini terkadang tidak terlalu diperhatikan oleh orang tua di rumah sebagai peletak dasar pendidikan. Dan menyerahkan sepenuhnya kepada pihak sekolah.
4.    Pola pikir yang lemah dan konsep diri yang salah. Pola pikir dan konsep diri ini penting dimiliki remaja. Sebab, dengan memiliki pola pikir yang kuat mereka bisa menilai mana yang baik dan buruk, serta bisa menentukan sikap terpengaruh atau tidak terhadap sesuatu yang negatif. Dengan memiliki konsep diri yang tepat, akan menjadikan remaja punya ketegasan dalam bersikap. Misalnya, berani untuk berkata; ”TIDAK” terhadap ajakan untuk melakukan seks bebas.
Konsep diri yang salah membuat remaja tidak punya nilai tawar di hadapan pacarnya. Terutama remaja putri, yang biasanya karena merasa takut diputuskan, maka mau saja menuruti ajakan untuk melakukan hubungan seks. Sekali, dua kali, akhirnya berkali-kali, kemudian menganggapnya sebagai simbol kehidupan yang ’gaul’. Bahkan ada sebagian orang menjalaninya sebagai ’gaya hidup’ dan sudah jadi kebiasaan.
5.    Budaya permisivisme. Serba boleh, menyebabkan lahirnya fenomena kebablasan di berbagai bidang, terutama pergaulan antara seseorang dengan orang lain, umumnya di kalangan remaja yang kian menganggap biasa hubungan seks pranikah.
Bukan Hal yang Baru                    
Kontroversi buku Saatnya Aku Belajar Pacaran karya Toge Aprilianto, bukanlah hal yang baru. Sebelum orang meributkan buku yang di dalamnya ada bagian Bab yang mengulas tentang ”anjuran” melakukan hubungan seks pranikah, ajakan untuk mendekati zina tersirat pada film Buruan Cium Gue (BCG). Kontroversi film BCG meruyak sejak dai kondang KH Abdullah Gymnastiar (Aa Gym) mempersoalkan film tersebut pada 8 Agustus 2004. Bersama MUI, dan berbagai eksponen masyarakat, Aa Gym secara aktif melakukan kampanye agar film itu ditarik dari peredaran. Dengan tegas, pemimpin Pesantren Darut Tauhid Bandung itu menyatakan, bahwa ajakan berciuman di luar nikah adalah sama dengan ajakan untuk berbuat zina. Argumentasi keagamaan Aa Gym sangat mudah dipahami, lugas, dan bernas. Hasilnya, pada tanggal 20 Agustus 2004, film BCG ditarik dari peredarannya. Silahkan mampir di link ini: http://senangkalan.blogspot.co.id/2015/02/toge-aprilianto-dan-masyarakat-yang.html  
Antara Norma dan Kenyataan
Pada mulanya seks itu religius, sakral, dan suci. Karenanya, untuk melakukannya harus melalui proses pernikahan terlebih dahulu. Melakukannya pun secara diam-diam. Kalau pun dibicarakan, hanya terbatas di lingkungan komunitas kecil saja. Kini seks dilakukan dengan diam-diam tapi diumbar di media sosial serta dibicarakan ramai-ramai di media massa. Jadi, secara norma seks itu pada dasarnya sakral. Tapi, kenyataannya, sebagian masyarakat berpandangan lumrah melakukan seks secara bebas.
Masyarakat kita tidak hanya bersandar pada ajaran moral agama sebagai filter, tapi juga dibentengi budaya yang penampangnya berlapis-lapis. Budaya malu, sejatinya sebagai alat paling ampuh dalam meredam berperilaku tidak wajar apalagi asusila, amoral, dan tanpa etika. Budaya takut, juga bisa menyadarkan untuk tidak menebalkan nyali dalam melakukan penyimpangan. Jadi, secara norma agama dan budaya, melakukan sesuatu yang tidak pantas adalah dikategorikan tidak bermoral. Tapi, kenyataannya, kian banyak orang yang mengingkari ajaran agama dan tak peduli budaya.

Seks adalah gejala psikologis yang bersifat individual. Gejala ini berkesesuaian dengan norma agama dan sosial, manakala hubungan seks dilakukan oleh pasangan yang terikat dalam perkawinan yang sah. Tapi, hubungan seks akan terlepas dari konteks moralitas agama dan sosial, bila dilakukan di luar ikatan perkawinan yang sah. Hal ini dapat disebut sebagai pola perilaku yang khas dalam proses perubahan kebudayaan. Jadi, secara norma seks itu hanya boleh dilakukan oleh pasangan yang terikat perkawinan yang sah, Tapi, kenyataannya, pasangan yang belum diikat tali perkawinan pun biasa melakukannya.

Senin, 16 Februari 2015

Toge Aprilianto dan Masyarakat yang Gamang

Belakangan, masyarakat meributkan buku Saatnya Aku Belajar Pacaran karya Toge Aprilianto, seorang psikolog yang tertarik dalam bidang pendidikan, yang bekerja profesional di antaranya sebagai konsultan, dosen, pembicara terutama tentang diri dan hubungan seseorang dengan orang lain. Buku yang menghebohkan ini diterbitkan tahun 2010 lalu. Setelah selama empat tahun beredar, kenapa baru sekarang diributkan?
tempo.co
Buku setebal 218 halaman ini, memuat judul Bab seperti Pedekate, Pesaing Temen Hobi, Orang Tua, Seks, Patah Hati, serta Mantan. Setiap bab terdiri dari sejumlah kumpulan judul tulisan. Toge misalnya, menggambarkan beberapa situasi dan gaya pacaran anak muda sekarang. Beberapa buku yang pernah ia terbitkan di antaranya Kudidik Diriku Demi Mendidik Anakku, Kurangkul Diriku Demi Merangkul Bahagiaku, Saatnya Melatih Anakku Berpikir, dan Saatnya Aku Belajar Pacaran.
Di antara isi buku Saatnya Aku Belajar Pacaran yang dianggap kontroversi dan tidak pantas dibaca kalangan remaja. Misalnya, ”Sebetulnya, wajar kok kalo pacar ngajak kamu ML (Making Love). Wajar juga kalo kamu ngajak pacarmu ML. Hal itu kan alamiah-naluriah. Jadi, itu justru pertanda kalo kamu dan/atau pacarmu masih punya energi buat terlibat dalam proses reproduksi, yang memang sewajarnya dimiliki oleh tiap makhluk hidup,” (Bab 6 Halaman 60 ”Pacar Ngajak ML”.
Meski oleh (sebagian) masyarakat buku ini (mungkin) dinilai tidak ilmiah dan cenderung menyesatkan. Akan tetapi Toge Aprilianto tidak mendoktrinasikan ajaran untuk melakukan ketidakwajaran dalam berpacaran. Buktinya, Toge dalam tulisannya, menyerahkan pilihan situasi berpacaran itu kepada pembacanya yang dalam salah satu tulisannya, ditujukan ke kalangan remaja atau ABG (anak baru gede).
Apa pun pilihannya, pembaca disarankan untuk memikirkan akibatnya, termasuk pacaran hingga hamil. Bagaimana cara menyikapi ketika pacar lelaki kemudian meninggalkannya atau kabur, serta menghadapi orang tua dalam kondisi seperti itu, Toge menyampaikannya dengan gaya bahasa remaja.
    
*********

Tahun 1981 dalam Seminar Seksologi Nasional I di Bali (tanggal 9-11 Juli 1981), dr. Wimpi Pangkahila (kini Prof. DR. Dr. Wimpi Pangkahila, Sp.And., FACCS. dari Fakultas Kedokteran Universitas Udayana) menyampaikan laporan hasil penelitiannya tentang perilaku seks di kalangan siswa/siswi pada 3 SMA di Bali. Dari angket yang dilakukannya, dr. Wimpi menyatakan bahwa remaja SMA di Bali telah biasa melakukan hubungan seks pranikah. Tentu saja apa yang dikemukakan dr. Wimpi dalam seminar itu begitu menyentak kesadaran dan mencengangkan peserta seminar dan sesudahnya menimbulkan polemik di masyarakat. Betapa tidak, dari 633 responden yang terdiri atas 345 siswa dan 288 siswi, tersingkap fakta 27 persen siswa dan 16 persen siswi pernah berhubungan seks pranikah.

Bulan Juli 1982, di kota Bandung, secara tidak formal beberapa pihak mengadakan penelitian, mungkin juga dilakukan secara diam-diam. Penelitian yang dilakukan adalah tentang penyakit kelamin. Hasilnya, dari seluruh responden yang berjumlah 500 orang remaja berusia antara 16-25 tahun, 83 persen di antaranya terkena penyakit kelamin. Betapa dahsyatnya. Dari sinilah gejala sosial yang berhubungan dengan masalah seks kian terbuka. Lebih tepat bila dikatakan sebagai menggejalanya penyalahgunaan seks di kalangan remaja seusia tersebut.

Tahun 1983-an, semasa penulis menimba ilmu di Yogyakarta, ada kejadian mengejutkan. Yaitu dipublikasikannya hasil angket seks yang dilakukan Sulistyo Eko, seorang siswa Sekolah Menengah Persiapan Pembangunan (SMPP) 10 yang berlokasi di daerah Muja Muju. Survei itu oleh Akhlis Suryapati, wartawan ”Minggu Pagi” dipublikasikan di surat kabar mingguan milik Kedaulatan Rakyat pada edisi tanggal 9 Januari 1983. Angket itu menunjukkan bahwa bagi 462 pelajar yang mengisi angket, sebanyak 31,6 persen melakukan ciuman pada waktu pacaran, 21,6 persen meraba-raba organ tertentu milik pacarnya, dan 12,7 persen mengaku pernah bersenggama dengan pacarnya itu.
Apa yang terjadi kemudian? Sulistyo Eko dipuji sejumlah kalangan meskipun akhirnya dia harus menerima risiko dikeluarkan dari sekolahnya. Bahkan orang tuanya (Maryoto) merasa bangga dengan apa yang telah dilakukan anaknya itu, meski harus menerima dengan ”pahit” kenyataan Eko dikeluarkan sekolahnya. Sedang Akhlis Suryapati yang memang baru tiga bulan jadi wartawan di mingguan itu, membuat posisinya kurang menguntungkan. Dan dia menjadi korban olok-olok rekan-rekanannya yang mengatai ”wartawan seks.”
Meski terpaksa menyelesaikan sekolahnya di sebuah SMA Swasta yang terkenal sebagai sekolahnya para ”veteran” karena yang belajar di sana adalah mereka yang usianya terbilang uzur. Di antaranya ada pegawai yang ingin sekadar memperoleh selembar ijazah SMA. Tapi, Sulistyo Eko begitu tamat mendapat dispensasi atau fasilitasi dari Rektor IPB, untuk masuk IPB tanpa tes. Kabar terakhir yang penulis ketahui, karena tidak betah mengikuti perkuliahan di IPB, Sulistyo Eko sering ”menyelinap” jadi ”mahasiswa gelap” di kampus UI Salemba. Setelah itu penulis tidak tahu lagi kabarnya.
Dalam rentang waktu sesudahnya (awal 1984), kelompok Studi Dasakung di Yogyakarta mencipta kegemparan baru bagi masyarakat Yogya. Kelompok studi mahasiswa yang terbentuk 23 September 1983 ini beranggotakan 10 orang mahasiswa UGM dari 4 Fakultas, dikomandani Bambang Sigap Sumantri dan beranggotakan di antaranya Djoko Krisanjoyo, Yohanes S. Widodo, Darmaningtyas, dll. Mereka mengkritisi kehidupan sosial masyarakat Yogyakarta, terutama di kalangan pelajar dan mahasiswa.
Kelompok ini membuat survei yang menggambarkan banyak mahasiswa Yogyakarta mempraktikkan kumpul kebo. Yaitu ditemukannya pasangan mahasiswa-mahasiswi yang hidup bersama layaknya suami-istri. Publikasi yang luas hasil survei ini rupanya membuat berang pemerintahan Presiden Soeharto. Terbongkarnya kasus ini, meski oleh kalangan akademisi dianggap positif, tetapi dianggap mencoreng nama baik Yogyakarta sebagai kota pelajar. Kelompok studi ini dihantam kritik bertubi-tubi hingga harus berurusan dengan pihak keamanan lantaran hasil survei tersebut.

*********

Beberapa fakta di atas setidaknya dapat menggambarkan bahwa sebenarnya tanpa ”diajari” oleh buku kontroversialnya Toge Aprilianto itu pun, realitasnya kehidupan seks di kalangan pelajar dan mahasiswa bukan hal yang baru. Apalagi di era digital saat ini, smartphone beredar secara luas dan setiap saat keluar lagi model terbaru dan lebih canggih dari sebelumnya. Di mana orang dengan mudah mengabadikan diri sendiri dalam berbagai pose, apakah dalam keadaan terbalut busana atau telanjang bulat. Dan ironisnya, melalui berbagai media sosial seperti Facebook, Twitter, Blog, Instagram, Path, Pinterest, Tumblr, Flickr, Google+, LinkedIn, MySpace, dan lainnya. Mereka menyebarluaskan foto selfi atau lagi bermesraan dengan pasangannya.
Atau lebih jauh dari sekadar memotret. Mereka merekam adegan syuuur dengan pasangan dan mengunggah videonya ke YouTube. Sehingga manusia se-jagad raya ini dengan mudah mengunduh dan menontonnya. Ingat kasus video porno antara Nazriel Ilham alias Ariel vokalis band ”Peterpan” yang kini berganti nama menjadi ”NOAH” dengan dua wanita, satu memang kekasihnya (Luna Maya) dan satu lainnya adalah istri orang (Cut Tari). Kasus video panas itu akhirnya menyeret Ariel ke balik terali besi setelah Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bandung pada 21 Januari 2011 memvonis Ariel 3,5 tahun penjara dan denda Rp250 juta. Ariel sempat mengajukan banding dan kasasi atas vonis pengadilan tingkat pertama itu, tapi kedua upaya hukum tersebut ditolak Pengadilan Tinggi Bandung dan Mahkamah Agung.

Atau jauh sebelumnya, video ML dua mahasiswa PTS di Bandung yang diberi judul ”Bandung Lautan Asmara” lebih dulu menggemparkan. Karena itu, begitu video ALC (Ariel-Luna-Cut) muncul, bisa dikatakan tidak terlalu menghebohkan. Walaupun dampak hukumnya lebih mengemuka karena ada pengusutan dari pihak berwajib dan diproses dalam persidangan. Sementara, cewek (mahasiswi) PTS di Bandung yang cantik dan anak pejabat itu konon dikirim ayahnya ke luar negeri, sedang si cowoknya dipecat dari Institut yang berkonsentrasi di bidang Teknologi tersebut.        

*********

Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa mengatakan Indonesia kini harus sadar dan berbenah menyelamatkan generasi muda dari bahaya narkoba dan juga kejahatan seks. Berdasarkan catatannya, Indonesia merupakan surga bagi phaedopilia tertinggi se-Asia. Untuk kejahatan seks, juga tertinggi kedua di dunia. “Dari tahun 2007, kalau kita update dari berbagai media online, Indonesia merupakan surga phaedopilia di Asia. Pengunduh dan pengunggah pornografi nomor satu di dunia,” ujar Khofifah saat sowan ke KH Sholahuddin Wahid, pengasuh Pondok Pesantren Tebu Ireng, Cukir, Jombang, Jawa Timur, Sabtu malam 14 Februari 2015.
Tampaknya, masyarakat kita adalah masyarakat yang gampang gagap dalam menyikapi sesuatu yang mengandung kontroversial. Dalam menerima kenyataan yang dinilai bertentangan dengan norma agama, masyarakat terlihat gamang. Padahal, dalam menulis buku ”Saatnya Aku Belajar Pacaran” itu, Toge Aprilianto, “mungkin” ingin menunjukkan fakta nyata bahwa dewasa ini perilaku remaja dalam menjalin hubungan antarsesama semakin menyimpang dari kaidah etika. Hanya, cara penyampaiannya yang kurang tepat. Memang, tidak sepatutnya disampaikan dengan gaya penulisan seolah-olah mengarahkan remaja untuk melakukan ML. Walaupun, tanpa disadari, tanpa membaca buku itupun, “mungkin” remaja Indonesia di manapun tempat tinggalnya, pada dasarnya sudah biasa melakukannya. Bahkan menjadikannya sebagai ekspresi cinta kasih. 
Masyarakat yang gamang dan hanya memusatkan perhatian pada sosok Toge Aprilianto dan bukunya, tapi menafikan betapa banyak sumber yang ”menginspirasi” remaja untuk ML dengan pacarnya. Hanya dengan mengetikkan keyword yang mengarah kepada hal-hal yang berbau porno di search engine Google, maka akan keluar puluhan ribu situs web yang menunjukkan ke arah suatu hal yang dituju, baik itu Blog atau WordPress yang berisi tulisan dan juga gambar maupun YouTube yang menampilkan adegan (video). Bahkan CD Film Biru dengan mudah dijumpai pada pedagang CD di Kaki Lima, meskipun dengan diam-diam dan rahasia. Jadi, patut digarisbawahi apa yang dinyatakan Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa di atas. Dan dicamkan bahwa realitasnya tidak semata buku Saatnya Aku Belajar Pacaran sebagai sumber penyebab.
Masyarakat yang gamang di tengah situasi kehidupan penuh gempuran budaya asing saat ini, menandakan ketidaksiapan menghadapi perubahan zaman. Coba, kalau dipikir, di era 1980-an dr. Wimpi Pangkahila sudah mendapati kenyataan perilaku menyimpang di kalngan remaja, dan seorang Sulistyo Eko sudah berani mengambil inisiatif untuk menyurvei teman sekolahnya. Dan hasil survei Sulistyo eko itu menyatakan bahwa 12,7 persen responden mengaku pernah bersenggama dengan pacarnya. Bukankah ini menandakan bahwa ML di kalangan anak usia sekolah sudah sejak dulu ada. Lalu, dari survei kelompok Diskusi Dasakung juga menemukan kenyataan bahwa ada perilaku kumpul kebo di kalangan mahasiswa. Artinya, kalau di tahun 1980-an saja sudah ada, apalagi sekarang. Pertanyaannya, apakah masih penting menggugat buku Saatnya Aku Belajar Pacaran dan/atau juga penulisnya Toge Aprilianto? Jangan-jangan nanti akan dicap tidak dewasa dan enggan untuk menyampaikan kebenaran.
Di sisi lain, hal ini justru meneguhkan kedudukan sebagian pihak, terutama yang memiliki kekuasaan, untuk melakukan monopoli atas kebenaran. Kebenaran harus berjalan sesuai versi mereka. Artinya, segala pikiran yang tidak sejalan dengan mereka harus segera dienyahkan. Buktinya, kalau dulu kelompok Dasakung dihantam kritik bertubi-tubi dan harus berurusan dengan pihak berwajib. Maka, kini giliran Toge Aprilianto dilaporkan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) ke Badan Reserse Kriminal Kepolisian Republik Indonesia (Bareskrim Polri), dengan bukti pelaporan bernomor LP/147/II/2015/Bareskrim tertanggal 5 Februari 2015.

Selasa, 10 Februari 2015

Melanggengkan Perkawinan

Memenuhi kriteria kecocokan antarpasangan (suami-istri) saja belum cukup untuk menjamin langgengnya usia sebuah perkawinan. Meski masing-masing pasangan memahami betul konsep perkawinan "samara" mulai dari tujuan perkawinan dibina, bagaimana melakoni kehidupan berumah tangga, terpenuhinya syarat-syarat yang dianggap ideal bagi sebuah perkawinan, serta tercukupinya standar dasar kebutuhan hidup secara materi. Tapi, masih saja ada hal-hal di luar itu yang kemungkinan tanpa disadari akan menjadi pemantik timbulnya perselisihan.

Beberapa Unsur yang Berkaitan dengan Perkawinan

1.    Cinta Kasih
Sebuah perkawinan lazimnya dibina berlandaskan cinta kasih di antara sepasang pengantin. Namun, ada juga di luar kelaziman itu, misal terjadinya perkawinan karena dipaksa keadaan, karena si pria menghamili si wanita, padahal di antara keduanya tidak ada hubungan percintaan. Perkawinan seperti ini biasanya disebut marriage by assident (MBA).
Bagi masing-masing orang kriteria cinta kasih itu tidak sama, tergantung sudut pandang masing-masing. Sehingga ada persepsi terjadinya perceraian karena sudah tidak ada rasa cinta kasih pada salah satu atau kedua pasangan suami-istri.
Akan tetapi, ada pula orang mempunyai rasa cinta kasih pada pasangannya yang tak akan padam walaupun dia atau pasangannya itu selingkuh. Kriteria seperti ini memang kekecualian, hanya sedikit dari banyak orang yang bisa punya perasaan atau pandangan seperti ini. Sehingga walaupun pasangannya sudah meninggal dunia, dia tetap bisa bertahan dalam kesetiaannya untuk sendiri hingga akhir hayat.
2.    Tanggung Jawab
Orang yang berani memutuskan memasuki gerbang perkawinan, biasanya sudah merasa mampu memikul beban tanggung jawab. Tanggung jawab tidak saja dituntut pada salah satu, tapi pada kedua pasangan suami-istri, terhadap pasangan dan anggota keluarganya (anak-anak dan keluarga dekatnya).
Anak-anak dan anggota keluarga masing-masing pihak (suami-istri) adalah garis pertahanan utama bagi tegaknya tanggung jawab. Artinya, bila terjadi kegoncangan hubungan antara suami-istri, masih akan selamat oleh ikatan anak-anak dan/atau anggota keluarga masing-masing.
3.    Saling Menghormati dan Memperhatikan
Saling menghormati (mutual respect) dan memperhatikan (caring), adalah unsur yang dapat mempertahankan hidup perkawinan agar masing-masing pihak merasa dihargai dan diperhatikan. Dihargai dalam tindakannya, karena hidup berkeluarga itu, tidak saja tersirat di dalamnya soal saling menunjang secara materi, tetapi banyak pula segi yang tidak dapat diukur dengan materi. Seperti pengorbanan istri/ibu merawat suami/anak-anaknya yang sakit, tidak dapat dinilai dengan materi apapun.
4.    Teman Seperjuangan
Dari awal perkawinan itu dibina, tujuannya untuk memperpanjang hubungan keakraban yang dimulai sejak masa pacaran hingga seumur hidup. Karenanya, untuk mewujudkan itu, rasa kesetiakawanan dari pasangan perlu dibina untuk membesarkan hati pasangan lainnya. Sehingga ada istilah teman seperjuangan (companionship) atau kawan sepanjang hidup.
5.    Kepuasan Seksual
Bagi sebahagian pasangan, masalah seksual dipandang sebagai unsur paling dituntut dicapai kepuasannya. Sehingga akan fatal akibatnya bila masalah seksual tidak terpuaskan. Kalau ada yang merasa kecewa terhadap masalah yang satu ini, bisa jadi akan mencari kepuasan di luar rumah. Apalagi iming-iming tentang pemuas syahwat lelaki ini bisa diperoleh informasinya melalui media sosial secara online.

Bagi sebahagian pasangan lainnya, seks hanyalah satu dari sekian unsur yang diperlukan dalam kelanggengan perkawinan. Persepsi kepuasannya pun akan berbeda-beda. Bahkan seiring berjalannya waktu, akan berubah dari zaman ke zaman. Dan mungkin akan berperan lebih penting dalam kehidupan perkawinan di masa mendatang.
6.    Penunjang dalam Masalah Pribadi
Ada pemeo ”di balik kesuksesan seorang lelaki, ada perempuan hebat di belakangnya” Dan hampir semua orang (terutama yang memunyai pasangan) memercayainya. Kekecualian bagi lelaki yang tidak menikah dan dia mencapai kesuksesan, tentu tidak berlaku adagium ini. Maka, sebaiknya ”perempuan hebat” itu adalah istri atau ibu, bukan siapa-siapa apalagi perempuan lain.
Penunjang, adalah unsur yang penting dipunyai setiap pasangan suami-istri. Istri adalah penunjang bagi suaminya, demikian juga sebaliknya. Penunjang dalam hal ini tentu saja yang punya nilai dan tujuan positif, bukan dalam hal negatif yang cenderung menyesatkan. Karena itu, diperlukan kematangan berpikir dari masing-masing pasangan agar bisa membedakan mana positif dan mana negatif.
7.    Ekonomi
Tidak dapat dipungkiri, kebutuhan materi (ekonomi) adalah satu unsur yang tidak terpisah dari unsur lainnya dalam kehidupan berumah tangga. Tanpa materi mustahil kelangsungan hidup dapat dipertahankan, dan suatu usaha dapat dibangun serta dikembangkan sampai mencapai kesuksesan. Dengan materi segala kebutuhan hajat hidup dapat dipenuhi. Seperti sandang, pangan, papan, pendidikan anak, kesenangan/kebahagiaan (rekreasi), dan lainnya.  
8.    Anak Keturunan
Sebagai konsekuensi dari perkawinan akan lahirnya anak keturunan. Hampir semua pasangan suami-istri sangat mengidamkan mendapatkan keturunan. Sehingga, ketika si istri terlambat datang bulan akan disambut suka cita, itu pertanda si istri akan berbadan dua. Dan tak lama kemudian akan hadir si buah hati tercinta. Mendapatkan keturunan tidak saja sebagai konsekuensi dari perkawinan melainkan memang secara naluriah menjadi tujuan perkawinan, yaitu untuk mengembangbiakkan keturunan. Sebagaimana telah difirmankan Alloh Swt dalam Quran Surah An-Nisaa’ [4] : 1 ; ”Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan daripadanya (tulang rusuk lelaki) Alloh menciptakan istrinya, dan daripada keduanya Alloh memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak…”
Mendapat anak tentu akan menggembirakan setiap pasangan suami-istri. Dan orang tua pun berharap anaknya akan tumbuh dan berkembang dengan sehat dan cerdas. Karenanya, orang tua rela berpayah-payah dalam merawat, membesarkan, dan mendidik anak agar patuh dan taat. Atas jerih payah orang tua ini, seyogianya anak memberikan balasan dengan perbuatan yang menggembirakan (menyenangkan) orang tuanya. Orang tua akan sangat murka bila anak tidak bisa membalas budi dengan baik, malah berbuat durhaka dan mengecewakan orang tua.
9.    Salah Paham
Perkawinan adalah perpaduan antara dua pribadi yang berbeda. Pribadi seseorang ditentukan oleh latar belakang keluarga dan budaya, Karena berbeda, tentu lazim terjadinya ketidaksinkronan satu sama lain. Namun, akan salah bila ketidaksinkronan itu berkembang menjadi kesalahpahaman yang meruncing jadi perselisihan pendapat yang berujung timbulnya pertengkaran.
Kesalahpahaman tidak saja dipengaruhi oleh latar belakang keluarga dan budaya (etnis dan bahasa) dari pasangan suami-istri, tapi juga ditentukan tingkat pendidikan, kematangan berpikir, emosional, dan kadar keimanan. ”Perbedaan itu rahmat,” kata orang bijak. Karena itu, syukurilah perbedaan sebagai suatu rahmat dari Tuhan Yang Mahasempurna. Manusia tidak ada yang sempurna, tapi dengan perbedaan yang ada masing-masing pasangan suami-istri dapat mencapai kesempurnaan itu.
10.    Kebahagiaan
Pasangan mana yang tidak ingin bahagia dalam perkawinannya. Semua pasangan pasti menginginkannya, namun tidak semuanya berhasil menggapainya. Buktinya, banyak pasangan yang kandas di tengah jalan, karena tidak bisa melanjutkan pelayaran bahtera rumah tangga. Alasannya? Tak tercapainya kebahagiaan. Sungguh ironis bukan?
Lalu, bagaimana sesungguhnya cara mencapai kebahagiaan itu? Sulit merumuskan jawabannya. Kenapa? Karena setiap pasangan suami-istri punya rumusan dan kriteria masing-masing menyangkut pengertian bahagia. Ada yang memandangnya dari segi terpenuhinya materi, ada yang memandangnya dari segi nonmateri. Jadi, tergantung sudut pandang masing-masing.
Dalam ’Surat Undangan’ biasanya pasangan yang akan menikah mencantumkan tulisan ”Mohon Doa Restu” karenanya, di bagian akhir rangkaian acara Ijab Kabul atau pesta walimah (walimatul urusy), dipanjatkan doa bagi pasangan pengantin. Doa dibacakan oleh seseorang yang ditugasi dan diaminkan seluruh undangan yang hadir, semoga saja seluruh undangan (kecuali yang asyik ngerumpi dan memainkan gadget). Tujuan doa agar pasangan pengantin dapat membina keluarga yang samara, bahagia lahir dan batin, memperoleh keturunan yang soleh dan solehah.
Begitu juga saat para undangan yang rela ngantre, bersalaman dengan pengantin akan mengucapan ’selamat diiringi doa semoga bahagia’. Pasangan pengantin pun menyambut jabat erat itu dengan suka cita serta ucapan terima kasih dan mengaminkan doa. Tapi, kenyataannya, tak semua pasangan memperoleh semuanya sekaligus. Ada yang berlimpah materi tapi tidak bahagia. Ada yang tak kunjung dikaruniai keturunan tapi enjoy-enjoy saja (bahagia yang dikondisikan).
Bahagia itu relatif bagi setiap orang. Sehingga merupakan suatu keadaan relativitas yang dinamis. Ibarat gelombang di lautan, ada kalanya bergelora menggulung-gulung, ada kalanya tenang. Ada waktunya pasang dan ada waktunya surut. Ibarat roda pedati yang berputar, ada masanya di atas dan ada masanya jatuh ke bawah. Ada saatnya merasa bahagia dan ada saatnya lara melanda.
Kalau diumpamakan seperti membeli barang yang ingin dimiliki, maka hendaknya barang itu dirawat agar awet selamanya. Begitulah kehidupan perkawinan, hendaknya dijaga agar langgeng selamnya. Karena itu, untuk mencapai kebahagiaan yang hakiki, harus memberi ruang bagi ketidakbahagiaan sebagai penyeimbang. Dengan cara menjadikan ketidakbahagiaan sebagai bahan introspeksi diri, ada kalanya perlu juga dirasa agar bisa menghayati betapa tidak enaknya kondisi tidak bahagia itu. Dan, di luar diri kita, betapa banyak orang merasakan tidak bahagia itu.
11.    Perceraian
Idealnya, 10 hal di atas seyogianya dimiliki setiap pasangan suami-istri. Tapi, faktanya, tidak semuanya bisa dimiliki atau dicapai dalam perkawinan. Ada unsur-unsur tertentu yang tidak tercapai. Misalnya, masalah keturunan, atau kehidupan seksual. Atau yang urgensi masalah materi ternyata tidak begitu mencukupi, sehingga dirasa belu ideal. Kondisi belum atau tidak ideal itulah yang biasanya menjadi pemicu ketidakbahagiaan. Dan acapkali penyelesaiannya ditempuh dengan cara mengakhiri ikatan perkawinan (bercerai).

Perceraian adalah perkara halal yang sangat dimurkai Alloh. Karenanya, untuk menempuhnya memerlukan pemikiran yang matang, pertimbangan yang akurat, dan dengan jalan atau cara yang baik. Landasan untuk bercerai ada dua:
a.      Atas dasar kesalahan (fault concept), pemutusan ikatan perkawinan terjadi dalam dua bentuk:
1.    Perceraian (divorce) disebabkan oleh karena kesalahan dari salah satu pelaku, seperti adanya kasus perzinaan (adultery), kekejaman (cruelty) dari salah satu terhadap yang lain, sikap tidak bertanggung jawab (desertion) dari salah satu pihak, tidak member nafkah (lahir dan batin) untuk jangka waktu tertentu.
2.    Pembatalan perkawinan (annulment) dapat terjadi karena beberapa sebab: impotensia, kekejaman karena ada gangguan jiwa, penyakit yang tak dapat disembuhkan.
b.      Atas dasar bukan kesalahan (non fault concept): Hal ini diciptakan karena dalam beberapa hal sukar untuk menentukan yang mana sebenarnya yang salah. Konsep ini bertujuan untuk melindungi kedua belah pihak dari saling mencari kesalahan yang akan berakhir dengan permusuhan yang lebih gawat dan tidak baik akibatnya bagi anak-anaknya.