Saatnya Aku Belajar Pacaran buku karangan Toge Aprilianto, terutama
pada Bab 6 halaman 60 yang berjudul Pacar
Ngajak ML, mungkin menimbulkan kecemasan berbagai kalangan. Tidak sekadar
orang tua tapi juga para aktivis penjaga moral. Pada dasarnya kecemasan itu
wajar dan bahkan memang seharusnya ada pada siapapun.
Tapi, kalau pengetahuan dan
ingatan kita kembalikan ke belakang. Tahun 1969, misalnya, di Inggris tercatat
62.000 bayi yang lahir tanpa ayah. Dari sebanyak itu, 1.300 bayi dilahirkan
oleh ibu-ibu yang berusia di bawah 20 tahun. Untuk menguak apa gerangan yang
terjadi, dilakukanlah penelitian oleh Departemen Kesehatan di sana. Pada tahun
1971, masyarakat Inggris dihebohkan dengan laporan hasil penelitian itu, yang
terkenal dengan shock report.
Hasil laporan itu begitu
mencemaskan para orang tua. Terjadi kenaikan angka kelahiran bayi tanpa ayah
dan menyebar luasnya penyakit kelamin di kalangan remaja. Mendapati kenyataan
demikian, tentu saja orang tua mana yang tidak terpukul dan merasakan tekanan
mental. Akibatnya, masyarakat Inggris meminta untuk meninjau kembali pendidikan
seks yang diberikan di sekolah, dan juga masalah undang-undang yang
melegalisasikan aborsi (pengguguran kandungan).
Kehebohan di Tahun 1980-an
Di Negara Barat mungkin hal biasa
membicarakan masalah seks dalam perbincangan keluarga di rumah, dan diajarkan
di sekolah formal. Tapi, di negara yang normatif seperti Indonesia, masalah
seks masih dipandang tabu untuk dibicarakan secara terbuka. Sekolah formal pun
belum ada yang memberikan pendidikan seks secara spesifikasi. Hanya SMA di
bawah Yayasan Katolik di Jakarta yang terdapat semacam bimbingan yang merupakan
pendidikan seks.
Tahun 1981 dalam Seminar Seksologi Nasional I di Bali
(tanggal 9-11 Juli 1981), dr. Wimpi Pangkahila (kini Prof. DR. Dr. Wimpi
Pangkahila, Sp.And., FACCS. dari Fakultas Kedokteran Universitas Udayana)
menyampaikan laporan hasil penelitiannya tentang perilaku seks di kalangan
siswa/siswi pada 3 SMA di Bali. Dari angket yang dilakukannya, dr. Wimpi
menyatakan bahwa remaja SMA di Bali telah biasa melakukan hubungan seks
pranikah. Tentu saja apa yang dikemukakan dr. Wimpi dalam seminar itu begitu
menyentak kesadaran dan mencengangkan peserta seminar dan sesudahnya
menimbulkan polemik di masyarakat. Betapa tidak, dari 633 responden yang
terdiri atas 345 siswa dan 288 siswi, tersingkap fakta 27 persen siswa dan 16
persen siswi pernah berhubungan seks pranikah.
Bulan Juli 1982, di kota Bandung, secara tidak formal beberapa pihak mengadakan penelitian, mungkin juga dilakukan secara diam-diam. Penelitian yang dilakukan adalah tentang penyakit kelamin. Hasilnya, dari seluruh responden yang berjumlah 500 orang remaja berusia antara 16-25 tahun, 83 persen di antaranya terkena penyakit kelamin. Betapa dahsyatnya. Dari sinilah gejala sosial yang berhubungan dengan masalah seks kian terbuka. Lebih tepat bila dikatakan sebagai menggejalanya penyalahgunaan seks di kalangan remaja seusia tersebut.
Akhir tahun 1983, Sulistyo Eko,
pelajar SMPP 10 Yogyakarta, menyebar angket seks kepada teman sekolahnya.
Hasilnya telah terjadi kebebasan seks di kalangan siswa tersebut. Lalu, awal
1984, kelompok Diskusi Dasakung meneliti kehidupan sosial masyarakat Yogya, terutama di
kalangan pelajar dan mahasiswa. Hasilnya, telah terjadi perilaku kumpul kebo di
kalangan mahasiswa. Kelompok ini dibentuk pada 23 September 1983 oleh 10 mahasiswa dari 4 Fakultas di UGM, dikomandani Bambang Sigap Sumantri dan beranggotakan di antaranya Djoko Krisanjoyo, Yohanes S. Widodo, dan Darmaningtyas.
Pertengahan 1984, Pusat Studi
Kriminologi (PSK) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII)
Yogyakarta, juga tergerak mengadakan penelitian tentang “Hubungan Seksual
Pranikah” dilakukan di 14 Kantor Urusan Agama (KUA) Kota Yogyakarta. Hasilnya,
selama semester I tahun 1984 terjadi 846 proses pernikahan, 223 pasangan yang
menikah ternyata sebelumnya telah melakukan hubungan seks. Dan 11 di antaranya
dalam keadaan hamil saat dilangsungkannya pernikahan.
Sesudah heboh angket seks pranikah oleh dr. Wimpi Pangkahila, Sulistyo Eko, PSK FH UII, dan kumpul kebo mahasiswa oleh kelompok Diskusi Dasakung di Yogya.
Ternyata Semarang seperti tak mau ketinggalan ingin pula memiliki sensasi. Di
Ibukota Provinsi Jawa Tengah itu muncul fenomena beredarnya Surat Izin Berpacaran
(SIB) dan Surat Izin Mencium (SIM) di kalangan remaja. Tidak diketahui jelas
apa motifnya, apakah wujud reaksi atas apa yang terjadi di Yogya, dan untuk
menunjukkan bahwa remaja di Semarang pun tak mau “mati gaya”. Entahlah!
Tahun 1990-an (Era Demokrasi)
Awal tahun 1990-an muncul kasus
Sekte Children of God (COG), modus-modus yang diajarkan atau materinya
adalah kebebasan seks bukanlah hal yang tabu. Dan data statistik menyatakan 60
persen siswi di Jakarta sudah tak perawan lagi. Paham ajaran sekte ini langsung
diredam dengan gagahnya oleh para pemuka agama beserta pemerintah. Maklum, di
samping penodaan terhadap ajaran Kristen, sekte yang lahir dari Amerika Serikat
ini merupakan wahana pembebasan seks tanpa ikatan.
Pendiri COG adalah David Brant Berg di Melrose, Oakland, California.
Karena ajaran-ajarannya menjurus dan berbau asusila, cepat menarik para remaja
serta anak muda di Indonesia untuk bergabung. Sahdan, dalam waktu yang relatif
singkat anggota mereka bertambah banyak. Di Jakarta saja mencapai 5.000 orang.
Bahkan di Purwokerto yang terbilang sebagai kota kecil, anggotanya mencapai
200. COG cepat merebak di Indonesia karena kegiatannya meliputi banyak bidang.
Antara lain: Bidang Literatur, Musik, Drama, Audio Visual, Kursus Bahasa, dan lain-lain.
Tahun 1996 sebuah penelitian
dilakukan di Denpasar Bali, dari 633 siswa-siswi SMA kelas II, sebanyak 155 orang
(23,4 persen) memunyai pengalaman hubungan seks, 27 persen siswa dan 18 persen
siswi.
Sampai akhirnya Indonesia terpuruk
pada krisis ekonomi tahun 1997, yang melahirkan era reformasi tahun 1998. Reformasi
bisa memiliki banyak makna, tergantung siapa yang coba menafsirkannya.
Reformasi identik dengan suatu perubahan (change), namun perubahan yang
memiliki arah (vision) dan membawa manfaat (benefit), jika
perubahan tersebut tidak membawa perbaikan, maka tidak layak disebut reformasi.
Fase awal reformasi ini menunjukkan
gejala perbaikan, sistem politik lebih demokratis, HAM ditegakkan, industri
kreatif menggeliat, pertumbuhan ekonomi signifikan, serta pendapatan perkapita
yang makin meningkat dari tahun ke tahun.
Meski demikian, era baru ini
bukanlah tanpa ekses, dan mayoritas pencipta efek samping ini ialah pihak-pihak
yang menganggap era reformasi ini ialah zaman serba
boleh (permisif). Mereka larut dalam euforia kebebasan, tidak ingin
diatur dan dibatasi. Budaya permisif inilah
yang melahirkan fenomena kebablasan di berbagai bidang, terutama hubungan
antara seseorang dengan orang lain.
Tahun 2000-an (Habis Reformasi Terbitlah Pornografi)
Tahun 2000, menurut data www.internetwroldstats.com baru ada sekira 2 juta pengguna internet di Indonesia. Dan pada tahun 2011 diketahui sudah ada 55 juta pengguna. Sungguh terjadi tingkat kenaikan yang sangat signifikan. Angka tersebut menempatkan Indonesia sebagai negara terbesar keempat di Asia dengan jumlah pengguna internet terbanyak di bawah China, India, dan Jepang.
Pada awal tahun 2000-an, di
Cirebon berdiri aliran Surga Adn oleh Ahmad Tantowi. Yaitu semacam majelis
pengajian di rumahnya. Namun ajaran-ajarannya yang aneh dan dianggap sesat
membuat ia pun berkali-kali terusir dari tempat tinggalnya. Namun di tempat
terakhir yang ia tempati, di Desa Pamengkang Kecamatan Mundu Kabupaten Cirebon,
Tantowi relatif lebih aman dari gangguan masyarakat. Pengikutnya kebanyakan kaum
perempuan, yang kemudian dengan bebas bisa digaulinya setelah terhasut bahwa itu
adalah bagian dari paham yang diajarkannya.
Berdasarkan penelitian di berbagai
kota besar di Indonesia, sekitar 20 hingga 30 persen remaja mengaku pernah
melakukan hubungan seks. Dari sekitar 5 persen pada tahun 1980-an, menjadi 20
persen pada tahun 2000. Begitulah fakta yang terungkap dari hasil penelitian pakar
seks juga spesialis Obstetri dan Ginekologi Dr. Boyke Dian Nugraha di beberapa
kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Surabaya, Palu dan Banjarmasin.
Bahkan di Palu (Sulawesi Tenggara), pada tahun 2000 tercatat remaja yang pernah
melakukan hubungan seks pranikah mencapai 29,9 persen.
Tahun 2001 di Medan diperoleh
hasil penelitian bahwa 27 persen remaja laki-laki dan 9 persen remaja perempuan
pernah melakukan hubungan seks. Antara tahun 2000-2002 dilakukan penelitian
oleh LSM Sahabat Anak dan Remaja (SAHARA) Bandung, diperoleh data remaja yang
melakukan seks pranikah, 72,9 persen hamil dan 91,5 persen di antaranya mengaku
telah menggugurkan kandungan lebih dari satu kali. Data ini didukung beberapa hasil
penelitian bahwa terdapat 98 persen mahasiswi Yogyakarta yang melakukan seks
pranikah mengaku pernah melakukan aborsi.
Legalitas Aborsi
Pada tanggal 21 Juli 2014, Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor
61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi. Dalam PP tersebut pengakhiran
kehamilan secara sengaja (aborsi) alias membunuh janin diperbolehkan dengan
beberapa syarat antara lain korban perkosaan. “Tindakan aborsi akibat perkosaan
hanya dapat dilakukan apabila usia kehamilan paling lama berusia 40 hari
dihitung sejak hari pertama haid terakhir,” bunyi Pasal 31 ayat (2) PP ini.
Sejumlah kelompok yang tidak
setuju mempermasalahkan legalisasi praktik aborsi. “Aborsi sama saja dengan
menghilangkan hak hidup seseorang. Alasan pelaku adalah korban pemerkosaan,
tidak bisa menjadi legitimasi bagi tindakan aborsi,” kata Wakil Ketua Komisi IX
DPR, Irgan Chairul Mahfiz, yang dirilis Harian
Terbit, Senin (11/8/2014).
Menurut Irgan Chairul Mahfiz, PP
ini justru bisa berpotensi menjadi celah untuk melakukan aborsi dengan alasan
atau berpura-pura sebagai korban pemerkosaan. “Karena itu, legalisasi aborsi
bagi wanita korban pemerkosaan kurang tepat,” ujarnya.
Rancangan Undang-Undang (RUU)
tentang pengguguran kandungan berdasarkan alasan medis, sebenarnya sudah dibuat
sejak masa pemerintahan Orde Baru di bawah Presiden Soeharto. Tapi, hingga
lengsernya Presiden Soeharto dari tampuk kekuasaan pada 21 Mei 1998, RUU ini
tak juga kunjung disahkan.
Tes Keperawanan
Anggota Komisi D DPRD Jember Habib Isya Mahdi dan Mufti Ali mengusulkan untuk
mengeluarkan Raperda Akhlakul Karimah. Usulan ini disampaikan saat rapat
koordinasi Badan Legislatif bersama Dinas Pendidikan, Rabu (4/2/2015). Salah
satu isi Raperda ini adalah keperawanan
akan dijadikan syarat kelulusan bagi siswi. Alasan usulan tersebut karena, di
Jember siswi SMP dan SMA sudah banyak yang melakukan hubungan seksual di luar
nikah dan dilakukan secara bebas. “Yang membuat tercengang lagi mereka itu
telah berhubungan beberapa kali dengan pasangan yang berbeda,” ujar Habib Isya,
anggota Komisi D DPRD Jember dari Partai Hanura kepada detikcom, Jumat (6/2/2015).
Tujuan dikeluarkannya Perda
Akhlakul Karimah, menurut Habib Isya, pihaknya berusaha membentengi agar
generasi penerus tidak semakin rusak. “Apalagi Menteri Sosial Khofifah Indar
Parawansa (Sabtu, 14/2/2015) juga menyatakan jika saat ini Indonesia dalam
situasi darurat pornografi, ini yang membuat pemikiran kita kuat ke arah sana,”
tambahnya.
Selain itu menurut Habib, juga
diperkuat dengan data dari Rumah Sakit di Jember, di mana sejak 2006 pengidap
HIV/AIDS mencapai 1.200 orang, 10 persen di antaranya pelajar dan mahasiswa. “Dari
alasan ini butuh upaya agar anak-anak kita bisa kita lindungi, dan Jember harus
berani memunculkan suatu upaya untuk menyelamatkan anak-anak kita,” tandasnya.
Minta Maaf
Akhirnya, pimpinan DPRD Kabupaten
Jember meminta maaf atas munculnya wacana Perda Akhlakul Karimah oleh dua
anggota Dewan di atas, yang di dalamnya memuat usulan adanya tes
keperawanan sebagai syarat kelulusan siswi saat Ujian Nasional (UN).
Wakil ketua DPRD Jember, Ayub
Junaidi, mengaku sangat kaget saat mendengar berita di sejumlah media adanya
wacana tes keperawanan sebagai syarat kelulusan Ujian Nasional, yang diusulkan
oleh 2 anggota Dewan (Habib Isya Mahdi dan Mufti Ali) seperti yang diuraikan di atas.
Menurutnya, wacana yang digulirkan
oleh anggotanya bukanlah wacana dari DPRD Jember secara kelembagaan. Sebab
berdasarkan Permendagri Nomor 1 Tahun 2014, dalam pengajuan sebuah perda ada
prosedur yang harus ditaati. “Untuk mengusulkan atau membuat wacana tidaklah
mudah dan proses yang harus dilalui sangat panjang, meliputi pengajuan Program
Legislatif Daerah (Prolegda), setelah itu akan dibahas oleh Pansus, baru
disetujui atau tidak dalam sidang Paripurna,” papar Ayub Junaedi kepada
Wartawan, Senin (9/2/2015).
Prabumulih Trend Setter
Jauh sebelum menghebohkan Jember,
Dinas Pendidikan (Disdik) Kota Prabumulih, Sumatera Selatan, telah duluan jadi trend setter sehubungan rencananya
membuat kebijakan untuk mengetes keperawanan semua siswi sekolah di Prabumulih.
Tes tersebut sebagai respons terhadap maraknya kasus siswi sekolah yang berbuat
mesum, bahkan diduga melakoni praktik prostitusi. “Kami tengah merencanakan ada
tes keperawanan untuk siswi SMA sederajat. Dana tes itu kami ajukan untuk APBD
2014,” kata Kepala Dinas Pendidikan Kota Prabumulih HM Rasyid, Senin
(19/8/2013).
HM Rasyid mengakui, rencana Disdik
tersebut rentan disalahartikan dan bakal mendapat kecaman pelbagai pihak.
Disdik juga sempat takut rencana kebijakan itu bakal dicap melanggar hak asasi
para siswi. “Masalah keperawanan adalah hak asasi setiap perempuan. Tapi di
sisi lain, kami berharap seluruh siswi tak terjerumus ke hal negatif. Karena
itu, kami tetap mewacanakan kebijakan itu untuk digelar tahun depan,”
tandasnya.
Faktanya, benar saja rencana
Disdik Prabumulih ini mendapat kecaman dari berbagai kalangan. Tak hanya
masyarakat, tokoh, pakar pendidikan di daerah setempat, Basuki Tjahaja Purnama
alias Ahok yang saat itu masih jadi Wakil Gubernur DKI Jakarta (kini gubernur)
saja ikut prihatin dan merasa kasihan kalau untuk masuk sekolah atau ingin
lulus siswi harus dites perawan. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhammad Nuh
pun mempertanyakannya. “Untuk apa, sih, dilakukan tes virginity itu?
Untuk apa?” kata Nuh di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (20/8/2013).
Dan, hingga berakhirnya tahun 2014
berganti 2015, masalah tes keperawanan di Prabumulih itu tak pernah ada
implementasinya di lapangan.
Penyimpangan atau Gaya Hidup?
Secara garis besar, penyebab
maraknya seks bebas sekarang ini antara lain:
1. Kurangnya kasih sayang orang tua. Hal ini menyebabkan
anak/remaja akan mencari kesenangan di
luar dan mereka akan bergaul bebas dengan siapa saja yang mereka inginkan dan
terkadang mereka mencari teman yang tidak sebaya yang memungkinkan mereka akan
terpengaruh dengan apa yang dilakukan orang dewasa.
2. Perkembangan teknologi. Dampaknya bisa positif dan negatif. Tidak
dapat dipungkiri bahwa setiap individu dari kita merasa senang dengan kehadiran
produk atau layanan yang lebih canggih dan praktis. Tidak terkecuali teknologi
internet yang telah merobohkan batas dunia dan media televisi yang menyajikan
hiburan, informasi serta berita aktual. Di era kehidupan dengan sistem
komunikasi global, dengan kemudahan mengakses informasi baik melalui media
cetak, TV, internet, komik, media ponsel,
dan DVD bajakan yang berkeliaran di masyarakat, tentunya memberikan manfaat
yang besar bagi kehidupan kita. Di satu sisi perkembangan iptek yang pesat sangat
baik dan penting bagi perkembangan ilmu pengetehuan dan informasi para remaja. Namun,
di sisi lain, remaja justru salah mempergunakan kecanggihan teknologi tersebut,
mereka menyelewengkan fungsi teknologi yang sebenarnya.
Semua media informasi tersebut menyerbu anak-anak
dan dikemas sedemikian rupa sehingga perbuatan seks itu dianggap lumrah dan
menyenangkan. Mulai dari berciuman, berhubungan seks sebelum nikah, menjual
keperawanan, gonta-ganti pasangan, seks bareng, homo atau lesbi, semuanya
tersedia dalam berbagai media informasi
3. Kurang kokohnya pondasi Agama. Pendidikan agama sebagai pijakan
bagi ajaran moral, penting diberikan kepada anak sejak dini. Agar kelak bila
mereka tumbuh menjadi remaja sudah memiliki filter untuk membedakan mana yang
baik dan buruk bagi dirinya pribadi.
Bila pendidikan agama kurang, para remaja bisa
dengan mudah terpengaruh hal-hal yang negatif. Inilah yang menjadi pendorong maraknya
kasus seks bebas. Hal ini terkadang tidak terlalu diperhatikan oleh orang tua di
rumah sebagai peletak dasar pendidikan. Dan menyerahkan sepenuhnya kepada pihak
sekolah.
4. Pola pikir yang lemah dan konsep diri yang salah. Pola pikir dan
konsep diri ini penting dimiliki remaja. Sebab, dengan memiliki pola pikir yang
kuat mereka bisa menilai mana yang baik dan buruk, serta bisa menentukan
sikap terpengaruh atau tidak terhadap sesuatu yang negatif. Dengan memiliki konsep
diri yang tepat, akan menjadikan remaja punya ketegasan dalam bersikap. Misalnya,
berani untuk berkata; ”TIDAK” terhadap ajakan untuk melakukan seks bebas.
Konsep diri yang salah membuat remaja tidak punya
nilai tawar di hadapan pacarnya. Terutama remaja putri, yang biasanya karena merasa
takut diputuskan, maka mau saja menuruti ajakan untuk melakukan hubungan seks. Sekali,
dua kali, akhirnya berkali-kali, kemudian menganggapnya sebagai simbol kehidupan
yang ’gaul’. Bahkan ada sebagian orang menjalaninya sebagai ’gaya hidup’ dan sudah
jadi kebiasaan.
5. Budaya permisivisme. Serba boleh, menyebabkan lahirnya fenomena
kebablasan di berbagai bidang, terutama pergaulan antara seseorang dengan orang
lain, umumnya di kalangan remaja yang kian menganggap biasa hubungan seks
pranikah.
Bukan Hal yang Baru
Kontroversi buku Saatnya Aku
Belajar Pacaran karya Toge Aprilianto, bukanlah hal yang baru. Sebelum orang
meributkan buku yang di dalamnya ada bagian Bab yang mengulas tentang ”anjuran”
melakukan hubungan seks pranikah, ajakan untuk mendekati zina tersirat pada
film Buruan Cium Gue (BCG). Kontroversi film BCG meruyak sejak dai
kondang KH Abdullah Gymnastiar (Aa Gym) mempersoalkan film tersebut pada 8
Agustus 2004. Bersama MUI, dan berbagai eksponen masyarakat, Aa Gym secara
aktif melakukan kampanye agar film itu ditarik dari peredaran. Dengan tegas,
pemimpin Pesantren Darut Tauhid Bandung itu menyatakan, bahwa ajakan berciuman
di luar nikah adalah sama dengan ajakan untuk berbuat zina. Argumentasi
keagamaan Aa Gym sangat mudah dipahami, lugas, dan bernas. Hasilnya, pada
tanggal 20 Agustus 2004, film BCG ditarik dari peredarannya. Silahkan mampir di
link ini: http://senangkalan.blogspot.co.id/2015/02/toge-aprilianto-dan-masyarakat-yang.html
Antara Norma dan Kenyataan
Pada mulanya seks itu religius,
sakral, dan suci. Karenanya, untuk melakukannya harus melalui proses pernikahan
terlebih dahulu. Melakukannya pun secara diam-diam. Kalau pun dibicarakan,
hanya terbatas di lingkungan komunitas kecil saja. Kini seks dilakukan dengan
diam-diam tapi diumbar di media sosial serta dibicarakan ramai-ramai di media
massa. Jadi, secara norma seks itu pada dasarnya sakral. Tapi, kenyataannya,
sebagian masyarakat berpandangan lumrah melakukan seks secara bebas.
Masyarakat kita tidak hanya
bersandar pada ajaran moral agama sebagai filter, tapi juga dibentengi budaya
yang penampangnya berlapis-lapis. Budaya malu, sejatinya sebagai alat paling
ampuh dalam meredam berperilaku tidak wajar apalagi asusila, amoral, dan tanpa
etika. Budaya takut, juga bisa menyadarkan untuk tidak menebalkan nyali dalam
melakukan penyimpangan. Jadi, secara norma agama dan budaya, melakukan sesuatu
yang tidak pantas adalah dikategorikan tidak bermoral. Tapi, kenyataannya, kian
banyak orang yang mengingkari ajaran agama dan tak peduli budaya.
Seks adalah gejala psikologis yang bersifat individual. Gejala ini berkesesuaian dengan norma agama dan sosial, manakala hubungan seks dilakukan oleh pasangan yang terikat dalam perkawinan yang sah. Tapi, hubungan seks akan terlepas dari konteks moralitas agama dan sosial, bila dilakukan di luar ikatan perkawinan yang sah. Hal ini dapat disebut sebagai pola perilaku yang khas dalam proses perubahan kebudayaan. Jadi, secara norma seks itu hanya boleh dilakukan oleh pasangan yang terikat perkawinan yang sah, Tapi, kenyataannya, pasangan yang belum diikat tali perkawinan pun biasa melakukannya.
Seks adalah gejala psikologis yang bersifat individual. Gejala ini berkesesuaian dengan norma agama dan sosial, manakala hubungan seks dilakukan oleh pasangan yang terikat dalam perkawinan yang sah. Tapi, hubungan seks akan terlepas dari konteks moralitas agama dan sosial, bila dilakukan di luar ikatan perkawinan yang sah. Hal ini dapat disebut sebagai pola perilaku yang khas dalam proses perubahan kebudayaan. Jadi, secara norma seks itu hanya boleh dilakukan oleh pasangan yang terikat perkawinan yang sah, Tapi, kenyataannya, pasangan yang belum diikat tali perkawinan pun biasa melakukannya.