Beberapa Unsur yang Berkaitan dengan Perkawinan
1. Cinta Kasih
Sebuah perkawinan lazimnya dibina berlandaskan
cinta kasih di antara sepasang pengantin. Namun, ada juga di luar kelaziman
itu, misal terjadinya perkawinan karena dipaksa keadaan, karena si pria
menghamili si wanita, padahal di antara keduanya tidak ada hubungan percintaan.
Perkawinan seperti ini biasanya disebut marriage by assident (MBA).
Bagi masing-masing orang kriteria cinta kasih itu
tidak sama, tergantung sudut pandang masing-masing. Sehingga ada persepsi
terjadinya perceraian karena sudah tidak ada rasa cinta kasih pada salah satu
atau kedua pasangan suami-istri.
Akan tetapi, ada pula orang mempunyai rasa cinta
kasih pada pasangannya yang tak akan padam walaupun dia atau pasangannya itu selingkuh.
Kriteria seperti ini memang kekecualian, hanya sedikit dari banyak orang yang
bisa punya perasaan atau pandangan seperti ini. Sehingga walaupun pasangannya
sudah meninggal dunia, dia tetap bisa bertahan dalam kesetiaannya untuk sendiri
hingga akhir hayat.
2.
Tanggung Jawab
Orang yang berani memutuskan memasuki gerbang
perkawinan, biasanya sudah merasa mampu memikul beban tanggung jawab. Tanggung
jawab tidak saja dituntut pada salah satu, tapi pada kedua pasangan
suami-istri, terhadap pasangan dan anggota keluarganya (anak-anak dan keluarga
dekatnya).
Anak-anak dan anggota keluarga masing-masing pihak
(suami-istri) adalah garis pertahanan utama bagi tegaknya tanggung jawab.
Artinya, bila terjadi kegoncangan hubungan antara suami-istri, masih akan
selamat oleh ikatan anak-anak dan/atau anggota keluarga masing-masing.
3.
Saling Menghormati dan Memperhatikan
Saling menghormati (mutual respect) dan
memperhatikan (caring), adalah unsur yang dapat mempertahankan hidup perkawinan
agar masing-masing pihak merasa dihargai dan diperhatikan. Dihargai dalam
tindakannya, karena hidup berkeluarga itu, tidak saja tersirat di dalamnya soal
saling menunjang secara materi, tetapi banyak pula segi yang tidak dapat diukur
dengan materi. Seperti pengorbanan istri/ibu merawat suami/anak-anaknya yang
sakit, tidak dapat dinilai dengan materi apapun.
4.
Teman Seperjuangan
Dari awal perkawinan itu dibina, tujuannya untuk
memperpanjang hubungan keakraban yang dimulai sejak masa pacaran hingga seumur
hidup. Karenanya, untuk mewujudkan itu, rasa kesetiakawanan dari pasangan perlu
dibina untuk membesarkan hati pasangan lainnya. Sehingga ada istilah teman
seperjuangan (companionship) atau kawan sepanjang hidup.
5.
Kepuasan Seksual
Bagi sebahagian pasangan, masalah seksual dipandang
sebagai unsur paling dituntut dicapai kepuasannya. Sehingga akan fatal
akibatnya bila masalah seksual tidak terpuaskan. Kalau ada yang merasa kecewa
terhadap masalah yang satu ini, bisa jadi akan mencari kepuasan di luar rumah. Apalagi iming-iming tentang pemuas syahwat lelaki ini bisa diperoleh informasinya melalui media sosial secara online.
Bagi sebahagian pasangan lainnya, seks hanyalah satu dari sekian unsur yang diperlukan dalam kelanggengan perkawinan. Persepsi kepuasannya pun akan berbeda-beda. Bahkan seiring berjalannya waktu, akan berubah dari zaman ke zaman. Dan mungkin akan berperan lebih penting dalam kehidupan perkawinan di masa mendatang.
Bagi sebahagian pasangan lainnya, seks hanyalah satu dari sekian unsur yang diperlukan dalam kelanggengan perkawinan. Persepsi kepuasannya pun akan berbeda-beda. Bahkan seiring berjalannya waktu, akan berubah dari zaman ke zaman. Dan mungkin akan berperan lebih penting dalam kehidupan perkawinan di masa mendatang.
6.
Penunjang dalam Masalah Pribadi
Ada pemeo ”di balik kesuksesan seorang lelaki, ada
perempuan hebat di belakangnya” Dan hampir semua orang (terutama yang memunyai
pasangan) memercayainya. Kekecualian bagi lelaki yang tidak menikah dan dia
mencapai kesuksesan, tentu tidak berlaku adagium ini. Maka, sebaiknya
”perempuan hebat” itu adalah istri atau ibu, bukan siapa-siapa apalagi perempuan lain.
Penunjang, adalah unsur yang penting dipunyai
setiap pasangan suami-istri. Istri adalah penunjang bagi suaminya, demikian
juga sebaliknya. Penunjang dalam hal ini tentu saja yang punya nilai dan tujuan
positif, bukan dalam hal negatif yang cenderung menyesatkan. Karena itu,
diperlukan kematangan berpikir dari masing-masing pasangan agar bisa membedakan
mana positif dan mana negatif.
7.
Ekonomi
Tidak dapat dipungkiri, kebutuhan materi (ekonomi)
adalah satu unsur yang tidak terpisah dari unsur lainnya dalam kehidupan
berumah tangga. Tanpa materi mustahil kelangsungan hidup dapat dipertahankan,
dan suatu usaha dapat dibangun serta dikembangkan sampai mencapai kesuksesan.
Dengan materi segala kebutuhan hajat hidup dapat dipenuhi. Seperti sandang,
pangan, papan, pendidikan anak, kesenangan/kebahagiaan (rekreasi), dan lainnya.
8.
Anak Keturunan
Sebagai konsekuensi dari perkawinan akan lahirnya
anak keturunan. Hampir semua pasangan suami-istri sangat mengidamkan
mendapatkan keturunan. Sehingga, ketika si istri terlambat datang bulan akan
disambut suka cita, itu pertanda si istri akan berbadan dua. Dan tak lama
kemudian akan hadir si buah hati tercinta. Mendapatkan keturunan tidak saja
sebagai konsekuensi dari perkawinan melainkan memang secara naluriah menjadi
tujuan perkawinan, yaitu untuk mengembangbiakkan keturunan. Sebagaimana telah
difirmankan Alloh Swt dalam Quran Surah An-Nisaa’ [4] : 1 ; ”Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada
Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan daripadanya
(tulang rusuk lelaki) Alloh menciptakan istrinya, dan daripada
keduanya Alloh memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak…”
Mendapat anak tentu akan menggembirakan setiap
pasangan suami-istri. Dan orang tua pun berharap anaknya akan tumbuh dan
berkembang dengan sehat dan cerdas. Karenanya, orang tua rela berpayah-payah dalam
merawat, membesarkan, dan mendidik anak agar patuh dan taat. Atas jerih payah
orang tua ini, seyogianya anak memberikan balasan dengan perbuatan yang
menggembirakan (menyenangkan) orang tuanya. Orang tua akan sangat murka bila
anak tidak bisa membalas budi dengan baik, malah berbuat durhaka dan
mengecewakan orang tua.
9.
Salah Paham
Perkawinan adalah perpaduan antara dua pribadi yang
berbeda. Pribadi seseorang ditentukan oleh latar belakang keluarga dan budaya, Karena
berbeda, tentu lazim terjadinya ketidaksinkronan satu sama lain. Namun, akan
salah bila ketidaksinkronan itu berkembang menjadi kesalahpahaman yang
meruncing jadi perselisihan pendapat yang berujung timbulnya pertengkaran.
Kesalahpahaman tidak saja dipengaruhi oleh latar
belakang keluarga dan budaya (etnis dan bahasa) dari pasangan suami-istri, tapi
juga ditentukan tingkat pendidikan, kematangan berpikir, emosional, dan kadar
keimanan. ”Perbedaan itu rahmat,” kata orang bijak. Karena itu, syukurilah
perbedaan sebagai suatu rahmat dari Tuhan Yang Mahasempurna. Manusia tidak ada
yang sempurna, tapi dengan perbedaan yang ada masing-masing pasangan
suami-istri dapat mencapai kesempurnaan itu.
10.
Kebahagiaan
Pasangan mana yang tidak ingin bahagia dalam
perkawinannya. Semua pasangan pasti menginginkannya, namun tidak semuanya
berhasil menggapainya. Buktinya, banyak pasangan yang kandas di tengah jalan,
karena tidak bisa melanjutkan pelayaran bahtera rumah tangga. Alasannya? Tak
tercapainya kebahagiaan. Sungguh ironis bukan?
Lalu, bagaimana sesungguhnya cara mencapai
kebahagiaan itu? Sulit merumuskan jawabannya. Kenapa? Karena setiap pasangan
suami-istri punya rumusan dan kriteria masing-masing menyangkut pengertian
bahagia. Ada yang memandangnya dari segi terpenuhinya materi, ada yang
memandangnya dari segi nonmateri. Jadi, tergantung sudut pandang masing-masing.
Dalam ’Surat Undangan’ biasanya pasangan yang akan
menikah mencantumkan tulisan ”Mohon Doa Restu” karenanya, di bagian akhir
rangkaian acara Ijab Kabul atau pesta walimah (walimatul urusy), dipanjatkan
doa bagi pasangan pengantin. Doa dibacakan oleh seseorang yang ditugasi dan
diaminkan seluruh undangan yang hadir,
semoga saja seluruh undangan (kecuali yang asyik ngerumpi dan memainkan
gadget). Tujuan doa agar pasangan pengantin dapat membina keluarga yang samara,
bahagia lahir dan batin, memperoleh keturunan yang soleh dan solehah.
Begitu juga saat para undangan yang rela ngantre,
bersalaman dengan pengantin akan mengucapan ’selamat diiringi doa semoga
bahagia’. Pasangan pengantin pun menyambut jabat erat itu dengan suka cita
serta ucapan terima kasih dan mengaminkan doa. Tapi, kenyataannya, tak semua
pasangan memperoleh semuanya sekaligus. Ada yang berlimpah materi tapi tidak
bahagia. Ada yang tak kunjung dikaruniai keturunan tapi enjoy-enjoy saja
(bahagia yang dikondisikan).
Bahagia itu relatif bagi setiap orang. Sehingga
merupakan suatu keadaan relativitas yang dinamis. Ibarat gelombang di lautan,
ada kalanya bergelora menggulung-gulung, ada kalanya tenang. Ada waktunya
pasang dan ada waktunya surut. Ibarat roda pedati yang berputar, ada masanya di
atas dan ada masanya jatuh ke bawah. Ada saatnya merasa bahagia dan ada saatnya
lara melanda.
Kalau diumpamakan seperti membeli barang yang ingin
dimiliki, maka hendaknya barang itu dirawat agar awet selamanya. Begitulah
kehidupan perkawinan, hendaknya dijaga agar langgeng selamnya. Karena itu,
untuk mencapai kebahagiaan yang hakiki, harus memberi ruang bagi
ketidakbahagiaan sebagai penyeimbang. Dengan cara menjadikan ketidakbahagiaan
sebagai bahan introspeksi diri, ada kalanya perlu juga dirasa agar bisa
menghayati betapa tidak enaknya kondisi tidak bahagia itu. Dan, di luar diri
kita, betapa banyak orang merasakan tidak bahagia itu.
11.
Perceraian
Idealnya, 10 hal di atas seyogianya dimiliki setiap
pasangan suami-istri. Tapi, faktanya, tidak semuanya bisa dimiliki atau dicapai
dalam perkawinan. Ada unsur-unsur tertentu yang tidak tercapai. Misalnya,
masalah keturunan, atau kehidupan seksual. Atau yang urgensi masalah materi
ternyata tidak begitu mencukupi, sehingga dirasa belu ideal. Kondisi belum atau
tidak ideal itulah yang biasanya menjadi pemicu ketidakbahagiaan. Dan acapkali
penyelesaiannya ditempuh dengan cara mengakhiri ikatan perkawinan (bercerai).
Perceraian adalah perkara halal yang sangat dimurkai Alloh. Karenanya, untuk menempuhnya memerlukan pemikiran yang matang, pertimbangan yang akurat, dan dengan jalan atau cara yang baik. Landasan untuk bercerai ada dua:
Perceraian adalah perkara halal yang sangat dimurkai Alloh. Karenanya, untuk menempuhnya memerlukan pemikiran yang matang, pertimbangan yang akurat, dan dengan jalan atau cara yang baik. Landasan untuk bercerai ada dua:
a. Atas dasar kesalahan (fault concept), pemutusan ikatan
perkawinan terjadi dalam dua bentuk:
1. Perceraian (divorce) disebabkan oleh karena kesalahan
dari salah satu pelaku, seperti adanya kasus perzinaan (adultery),
kekejaman (cruelty) dari salah satu terhadap yang lain, sikap tidak
bertanggung jawab (desertion) dari salah satu pihak, tidak member nafkah
(lahir dan batin) untuk jangka waktu tertentu.
2. Pembatalan perkawinan (annulment) dapat terjadi karena
beberapa sebab: impotensia, kekejaman karena ada gangguan jiwa, penyakit yang
tak dapat disembuhkan.
b. Atas dasar bukan kesalahan (non fault concept): Hal ini diciptakan
karena dalam beberapa hal sukar untuk menentukan yang mana sebenarnya yang
salah. Konsep ini bertujuan untuk melindungi kedua belah pihak dari saling
mencari kesalahan yang akan berakhir dengan permusuhan yang lebih gawat dan
tidak baik akibatnya bagi anak-anaknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.