Selasa, 10 Februari 2015

Melanggengkan Perkawinan

Memenuhi kriteria kecocokan antarpasangan (suami-istri) saja belum cukup untuk menjamin langgengnya usia sebuah perkawinan. Meski masing-masing pasangan memahami betul konsep perkawinan "samara" mulai dari tujuan perkawinan dibina, bagaimana melakoni kehidupan berumah tangga, terpenuhinya syarat-syarat yang dianggap ideal bagi sebuah perkawinan, serta tercukupinya standar dasar kebutuhan hidup secara materi. Tapi, masih saja ada hal-hal di luar itu yang kemungkinan tanpa disadari akan menjadi pemantik timbulnya perselisihan.

Beberapa Unsur yang Berkaitan dengan Perkawinan

1.    Cinta Kasih
Sebuah perkawinan lazimnya dibina berlandaskan cinta kasih di antara sepasang pengantin. Namun, ada juga di luar kelaziman itu, misal terjadinya perkawinan karena dipaksa keadaan, karena si pria menghamili si wanita, padahal di antara keduanya tidak ada hubungan percintaan. Perkawinan seperti ini biasanya disebut marriage by assident (MBA).
Bagi masing-masing orang kriteria cinta kasih itu tidak sama, tergantung sudut pandang masing-masing. Sehingga ada persepsi terjadinya perceraian karena sudah tidak ada rasa cinta kasih pada salah satu atau kedua pasangan suami-istri.
Akan tetapi, ada pula orang mempunyai rasa cinta kasih pada pasangannya yang tak akan padam walaupun dia atau pasangannya itu selingkuh. Kriteria seperti ini memang kekecualian, hanya sedikit dari banyak orang yang bisa punya perasaan atau pandangan seperti ini. Sehingga walaupun pasangannya sudah meninggal dunia, dia tetap bisa bertahan dalam kesetiaannya untuk sendiri hingga akhir hayat.
2.    Tanggung Jawab
Orang yang berani memutuskan memasuki gerbang perkawinan, biasanya sudah merasa mampu memikul beban tanggung jawab. Tanggung jawab tidak saja dituntut pada salah satu, tapi pada kedua pasangan suami-istri, terhadap pasangan dan anggota keluarganya (anak-anak dan keluarga dekatnya).
Anak-anak dan anggota keluarga masing-masing pihak (suami-istri) adalah garis pertahanan utama bagi tegaknya tanggung jawab. Artinya, bila terjadi kegoncangan hubungan antara suami-istri, masih akan selamat oleh ikatan anak-anak dan/atau anggota keluarga masing-masing.
3.    Saling Menghormati dan Memperhatikan
Saling menghormati (mutual respect) dan memperhatikan (caring), adalah unsur yang dapat mempertahankan hidup perkawinan agar masing-masing pihak merasa dihargai dan diperhatikan. Dihargai dalam tindakannya, karena hidup berkeluarga itu, tidak saja tersirat di dalamnya soal saling menunjang secara materi, tetapi banyak pula segi yang tidak dapat diukur dengan materi. Seperti pengorbanan istri/ibu merawat suami/anak-anaknya yang sakit, tidak dapat dinilai dengan materi apapun.
4.    Teman Seperjuangan
Dari awal perkawinan itu dibina, tujuannya untuk memperpanjang hubungan keakraban yang dimulai sejak masa pacaran hingga seumur hidup. Karenanya, untuk mewujudkan itu, rasa kesetiakawanan dari pasangan perlu dibina untuk membesarkan hati pasangan lainnya. Sehingga ada istilah teman seperjuangan (companionship) atau kawan sepanjang hidup.
5.    Kepuasan Seksual
Bagi sebahagian pasangan, masalah seksual dipandang sebagai unsur paling dituntut dicapai kepuasannya. Sehingga akan fatal akibatnya bila masalah seksual tidak terpuaskan. Kalau ada yang merasa kecewa terhadap masalah yang satu ini, bisa jadi akan mencari kepuasan di luar rumah. Apalagi iming-iming tentang pemuas syahwat lelaki ini bisa diperoleh informasinya melalui media sosial secara online.

Bagi sebahagian pasangan lainnya, seks hanyalah satu dari sekian unsur yang diperlukan dalam kelanggengan perkawinan. Persepsi kepuasannya pun akan berbeda-beda. Bahkan seiring berjalannya waktu, akan berubah dari zaman ke zaman. Dan mungkin akan berperan lebih penting dalam kehidupan perkawinan di masa mendatang.
6.    Penunjang dalam Masalah Pribadi
Ada pemeo ”di balik kesuksesan seorang lelaki, ada perempuan hebat di belakangnya” Dan hampir semua orang (terutama yang memunyai pasangan) memercayainya. Kekecualian bagi lelaki yang tidak menikah dan dia mencapai kesuksesan, tentu tidak berlaku adagium ini. Maka, sebaiknya ”perempuan hebat” itu adalah istri atau ibu, bukan siapa-siapa apalagi perempuan lain.
Penunjang, adalah unsur yang penting dipunyai setiap pasangan suami-istri. Istri adalah penunjang bagi suaminya, demikian juga sebaliknya. Penunjang dalam hal ini tentu saja yang punya nilai dan tujuan positif, bukan dalam hal negatif yang cenderung menyesatkan. Karena itu, diperlukan kematangan berpikir dari masing-masing pasangan agar bisa membedakan mana positif dan mana negatif.
7.    Ekonomi
Tidak dapat dipungkiri, kebutuhan materi (ekonomi) adalah satu unsur yang tidak terpisah dari unsur lainnya dalam kehidupan berumah tangga. Tanpa materi mustahil kelangsungan hidup dapat dipertahankan, dan suatu usaha dapat dibangun serta dikembangkan sampai mencapai kesuksesan. Dengan materi segala kebutuhan hajat hidup dapat dipenuhi. Seperti sandang, pangan, papan, pendidikan anak, kesenangan/kebahagiaan (rekreasi), dan lainnya.  
8.    Anak Keturunan
Sebagai konsekuensi dari perkawinan akan lahirnya anak keturunan. Hampir semua pasangan suami-istri sangat mengidamkan mendapatkan keturunan. Sehingga, ketika si istri terlambat datang bulan akan disambut suka cita, itu pertanda si istri akan berbadan dua. Dan tak lama kemudian akan hadir si buah hati tercinta. Mendapatkan keturunan tidak saja sebagai konsekuensi dari perkawinan melainkan memang secara naluriah menjadi tujuan perkawinan, yaitu untuk mengembangbiakkan keturunan. Sebagaimana telah difirmankan Alloh Swt dalam Quran Surah An-Nisaa’ [4] : 1 ; ”Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan daripadanya (tulang rusuk lelaki) Alloh menciptakan istrinya, dan daripada keduanya Alloh memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak…”
Mendapat anak tentu akan menggembirakan setiap pasangan suami-istri. Dan orang tua pun berharap anaknya akan tumbuh dan berkembang dengan sehat dan cerdas. Karenanya, orang tua rela berpayah-payah dalam merawat, membesarkan, dan mendidik anak agar patuh dan taat. Atas jerih payah orang tua ini, seyogianya anak memberikan balasan dengan perbuatan yang menggembirakan (menyenangkan) orang tuanya. Orang tua akan sangat murka bila anak tidak bisa membalas budi dengan baik, malah berbuat durhaka dan mengecewakan orang tua.
9.    Salah Paham
Perkawinan adalah perpaduan antara dua pribadi yang berbeda. Pribadi seseorang ditentukan oleh latar belakang keluarga dan budaya, Karena berbeda, tentu lazim terjadinya ketidaksinkronan satu sama lain. Namun, akan salah bila ketidaksinkronan itu berkembang menjadi kesalahpahaman yang meruncing jadi perselisihan pendapat yang berujung timbulnya pertengkaran.
Kesalahpahaman tidak saja dipengaruhi oleh latar belakang keluarga dan budaya (etnis dan bahasa) dari pasangan suami-istri, tapi juga ditentukan tingkat pendidikan, kematangan berpikir, emosional, dan kadar keimanan. ”Perbedaan itu rahmat,” kata orang bijak. Karena itu, syukurilah perbedaan sebagai suatu rahmat dari Tuhan Yang Mahasempurna. Manusia tidak ada yang sempurna, tapi dengan perbedaan yang ada masing-masing pasangan suami-istri dapat mencapai kesempurnaan itu.
10.    Kebahagiaan
Pasangan mana yang tidak ingin bahagia dalam perkawinannya. Semua pasangan pasti menginginkannya, namun tidak semuanya berhasil menggapainya. Buktinya, banyak pasangan yang kandas di tengah jalan, karena tidak bisa melanjutkan pelayaran bahtera rumah tangga. Alasannya? Tak tercapainya kebahagiaan. Sungguh ironis bukan?
Lalu, bagaimana sesungguhnya cara mencapai kebahagiaan itu? Sulit merumuskan jawabannya. Kenapa? Karena setiap pasangan suami-istri punya rumusan dan kriteria masing-masing menyangkut pengertian bahagia. Ada yang memandangnya dari segi terpenuhinya materi, ada yang memandangnya dari segi nonmateri. Jadi, tergantung sudut pandang masing-masing.
Dalam ’Surat Undangan’ biasanya pasangan yang akan menikah mencantumkan tulisan ”Mohon Doa Restu” karenanya, di bagian akhir rangkaian acara Ijab Kabul atau pesta walimah (walimatul urusy), dipanjatkan doa bagi pasangan pengantin. Doa dibacakan oleh seseorang yang ditugasi dan diaminkan seluruh undangan yang hadir, semoga saja seluruh undangan (kecuali yang asyik ngerumpi dan memainkan gadget). Tujuan doa agar pasangan pengantin dapat membina keluarga yang samara, bahagia lahir dan batin, memperoleh keturunan yang soleh dan solehah.
Begitu juga saat para undangan yang rela ngantre, bersalaman dengan pengantin akan mengucapan ’selamat diiringi doa semoga bahagia’. Pasangan pengantin pun menyambut jabat erat itu dengan suka cita serta ucapan terima kasih dan mengaminkan doa. Tapi, kenyataannya, tak semua pasangan memperoleh semuanya sekaligus. Ada yang berlimpah materi tapi tidak bahagia. Ada yang tak kunjung dikaruniai keturunan tapi enjoy-enjoy saja (bahagia yang dikondisikan).
Bahagia itu relatif bagi setiap orang. Sehingga merupakan suatu keadaan relativitas yang dinamis. Ibarat gelombang di lautan, ada kalanya bergelora menggulung-gulung, ada kalanya tenang. Ada waktunya pasang dan ada waktunya surut. Ibarat roda pedati yang berputar, ada masanya di atas dan ada masanya jatuh ke bawah. Ada saatnya merasa bahagia dan ada saatnya lara melanda.
Kalau diumpamakan seperti membeli barang yang ingin dimiliki, maka hendaknya barang itu dirawat agar awet selamanya. Begitulah kehidupan perkawinan, hendaknya dijaga agar langgeng selamnya. Karena itu, untuk mencapai kebahagiaan yang hakiki, harus memberi ruang bagi ketidakbahagiaan sebagai penyeimbang. Dengan cara menjadikan ketidakbahagiaan sebagai bahan introspeksi diri, ada kalanya perlu juga dirasa agar bisa menghayati betapa tidak enaknya kondisi tidak bahagia itu. Dan, di luar diri kita, betapa banyak orang merasakan tidak bahagia itu.
11.    Perceraian
Idealnya, 10 hal di atas seyogianya dimiliki setiap pasangan suami-istri. Tapi, faktanya, tidak semuanya bisa dimiliki atau dicapai dalam perkawinan. Ada unsur-unsur tertentu yang tidak tercapai. Misalnya, masalah keturunan, atau kehidupan seksual. Atau yang urgensi masalah materi ternyata tidak begitu mencukupi, sehingga dirasa belu ideal. Kondisi belum atau tidak ideal itulah yang biasanya menjadi pemicu ketidakbahagiaan. Dan acapkali penyelesaiannya ditempuh dengan cara mengakhiri ikatan perkawinan (bercerai).

Perceraian adalah perkara halal yang sangat dimurkai Alloh. Karenanya, untuk menempuhnya memerlukan pemikiran yang matang, pertimbangan yang akurat, dan dengan jalan atau cara yang baik. Landasan untuk bercerai ada dua:
a.      Atas dasar kesalahan (fault concept), pemutusan ikatan perkawinan terjadi dalam dua bentuk:
1.    Perceraian (divorce) disebabkan oleh karena kesalahan dari salah satu pelaku, seperti adanya kasus perzinaan (adultery), kekejaman (cruelty) dari salah satu terhadap yang lain, sikap tidak bertanggung jawab (desertion) dari salah satu pihak, tidak member nafkah (lahir dan batin) untuk jangka waktu tertentu.
2.    Pembatalan perkawinan (annulment) dapat terjadi karena beberapa sebab: impotensia, kekejaman karena ada gangguan jiwa, penyakit yang tak dapat disembuhkan.
b.      Atas dasar bukan kesalahan (non fault concept): Hal ini diciptakan karena dalam beberapa hal sukar untuk menentukan yang mana sebenarnya yang salah. Konsep ini bertujuan untuk melindungi kedua belah pihak dari saling mencari kesalahan yang akan berakhir dengan permusuhan yang lebih gawat dan tidak baik akibatnya bagi anak-anaknya.   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.