Belakangan, masyarakat meributkan
buku Saatnya Aku Belajar Pacaran karya Toge Aprilianto, seorang psikolog
yang tertarik dalam bidang pendidikan, yang bekerja profesional di antaranya
sebagai konsultan, dosen, pembicara terutama tentang diri dan hubungan
seseorang dengan orang lain. Buku yang menghebohkan ini diterbitkan tahun 2010
lalu. Setelah selama empat tahun beredar, kenapa baru sekarang diributkan?
tempo.co |
Di antara isi buku Saatnya Aku
Belajar Pacaran yang dianggap kontroversi dan tidak pantas dibaca kalangan
remaja. Misalnya, ”Sebetulnya, wajar kok kalo pacar ngajak
kamu ML (Making Love). Wajar juga kalo kamu ngajak pacarmu
ML. Hal itu kan alamiah-naluriah. Jadi, itu justru pertanda kalo
kamu dan/atau pacarmu masih punya energi buat terlibat dalam proses reproduksi,
yang memang sewajarnya dimiliki oleh tiap makhluk hidup,” (Bab 6 Halaman 60 ”Pacar
Ngajak ML”.
Meski oleh (sebagian) masyarakat
buku ini (mungkin) dinilai tidak ilmiah dan cenderung menyesatkan. Akan tetapi
Toge Aprilianto tidak mendoktrinasikan ajaran untuk melakukan ketidakwajaran
dalam berpacaran. Buktinya, Toge dalam tulisannya, menyerahkan pilihan situasi
berpacaran itu kepada pembacanya yang dalam salah satu tulisannya, ditujukan ke
kalangan remaja atau ABG (anak baru gede).
Apa pun pilihannya, pembaca
disarankan untuk memikirkan akibatnya, termasuk pacaran hingga hamil. Bagaimana
cara menyikapi ketika pacar lelaki kemudian meninggalkannya atau kabur, serta
menghadapi orang tua dalam kondisi seperti itu, Toge menyampaikannya dengan
gaya bahasa remaja.
*********
Tahun 1981 dalam Seminar Seksologi Nasional I di Bali (tanggal 9-11 Juli 1981), dr. Wimpi Pangkahila (kini Prof. DR. Dr. Wimpi Pangkahila, Sp.And., FACCS. dari Fakultas Kedokteran Universitas Udayana) menyampaikan laporan hasil penelitiannya tentang perilaku seks di kalangan siswa/siswi pada 3 SMA di Bali. Dari angket yang dilakukannya, dr. Wimpi menyatakan bahwa remaja SMA di Bali telah biasa melakukan hubungan seks pranikah. Tentu saja apa yang dikemukakan dr. Wimpi dalam seminar itu begitu menyentak kesadaran dan mencengangkan peserta seminar dan sesudahnya menimbulkan polemik di masyarakat. Betapa tidak, dari 633 responden yang terdiri atas 345 siswa dan 288 siswi, tersingkap fakta 27 persen siswa dan 16 persen siswi pernah berhubungan seks pranikah.
Bulan Juli 1982, di kota Bandung, secara tidak formal beberapa pihak mengadakan penelitian, mungkin juga dilakukan secara diam-diam. Penelitian yang dilakukan adalah tentang penyakit kelamin. Hasilnya, dari seluruh responden yang berjumlah 500 orang remaja berusia antara 16-25 tahun, 83 persen di antaranya terkena penyakit kelamin. Betapa dahsyatnya. Dari sinilah gejala sosial yang berhubungan dengan masalah seks kian terbuka. Lebih tepat bila dikatakan sebagai menggejalanya penyalahgunaan seks di kalangan remaja seusia tersebut.
Tahun 1983-an, semasa penulis menimba ilmu di Yogyakarta, ada kejadian mengejutkan. Yaitu dipublikasikannya hasil angket seks yang dilakukan Sulistyo Eko, seorang siswa Sekolah Menengah Persiapan Pembangunan (SMPP) 10 yang berlokasi di daerah Muja Muju. Survei itu oleh Akhlis Suryapati, wartawan ”Minggu Pagi” dipublikasikan di surat kabar mingguan milik Kedaulatan Rakyat pada edisi tanggal 9 Januari 1983. Angket itu menunjukkan bahwa bagi 462 pelajar yang mengisi angket, sebanyak 31,6 persen melakukan ciuman pada waktu pacaran, 21,6 persen meraba-raba organ tertentu milik pacarnya, dan 12,7 persen mengaku pernah bersenggama dengan pacarnya itu.
Bulan Juli 1982, di kota Bandung, secara tidak formal beberapa pihak mengadakan penelitian, mungkin juga dilakukan secara diam-diam. Penelitian yang dilakukan adalah tentang penyakit kelamin. Hasilnya, dari seluruh responden yang berjumlah 500 orang remaja berusia antara 16-25 tahun, 83 persen di antaranya terkena penyakit kelamin. Betapa dahsyatnya. Dari sinilah gejala sosial yang berhubungan dengan masalah seks kian terbuka. Lebih tepat bila dikatakan sebagai menggejalanya penyalahgunaan seks di kalangan remaja seusia tersebut.
Tahun 1983-an, semasa penulis menimba ilmu di Yogyakarta, ada kejadian mengejutkan. Yaitu dipublikasikannya hasil angket seks yang dilakukan Sulistyo Eko, seorang siswa Sekolah Menengah Persiapan Pembangunan (SMPP) 10 yang berlokasi di daerah Muja Muju. Survei itu oleh Akhlis Suryapati, wartawan ”Minggu Pagi” dipublikasikan di surat kabar mingguan milik Kedaulatan Rakyat pada edisi tanggal 9 Januari 1983. Angket itu menunjukkan bahwa bagi 462 pelajar yang mengisi angket, sebanyak 31,6 persen melakukan ciuman pada waktu pacaran, 21,6 persen meraba-raba organ tertentu milik pacarnya, dan 12,7 persen mengaku pernah bersenggama dengan pacarnya itu.
Apa yang terjadi kemudian?
Sulistyo Eko dipuji sejumlah kalangan meskipun akhirnya dia harus menerima
risiko dikeluarkan dari sekolahnya. Bahkan orang tuanya (Maryoto) merasa bangga dengan apa yang telah dilakukan anaknya itu, meski harus menerima dengan ”pahit” kenyataan Eko dikeluarkan sekolahnya. Sedang Akhlis Suryapati yang memang baru
tiga bulan jadi wartawan di mingguan itu, membuat posisinya kurang
menguntungkan. Dan dia menjadi korban olok-olok rekan-rekanannya yang mengatai
”wartawan seks.”
Meski terpaksa menyelesaikan
sekolahnya di sebuah SMA Swasta yang terkenal sebagai sekolahnya para ”veteran”
karena yang belajar di sana adalah mereka yang usianya terbilang uzur. Di
antaranya ada pegawai yang ingin sekadar memperoleh selembar ijazah SMA. Tapi,
Sulistyo Eko begitu tamat mendapat dispensasi atau fasilitasi dari Rektor IPB,
untuk masuk IPB tanpa tes. Kabar terakhir yang penulis ketahui, karena tidak
betah mengikuti perkuliahan di IPB, Sulistyo Eko sering ”menyelinap” jadi
”mahasiswa gelap” di kampus UI Salemba. Setelah itu penulis tidak tahu lagi
kabarnya.
Dalam rentang waktu sesudahnya
(awal 1984), kelompok Studi Dasakung di Yogyakarta mencipta kegemparan baru bagi
masyarakat Yogya. Kelompok studi mahasiswa yang terbentuk 23 September 1983 ini beranggotakan 10 orang mahasiswa UGM dari 4 Fakultas, dikomandani Bambang Sigap Sumantri dan beranggotakan di antaranya Djoko Krisanjoyo, Yohanes S. Widodo, Darmaningtyas, dll. Mereka mengkritisi kehidupan sosial
masyarakat Yogyakarta, terutama di kalangan pelajar dan mahasiswa.
Kelompok ini membuat survei yang
menggambarkan banyak mahasiswa Yogyakarta mempraktikkan kumpul kebo. Yaitu
ditemukannya pasangan mahasiswa-mahasiswi yang hidup bersama layaknya
suami-istri. Publikasi yang luas hasil survei ini rupanya membuat berang
pemerintahan Presiden Soeharto. Terbongkarnya kasus ini, meski oleh kalangan
akademisi dianggap positif, tetapi dianggap mencoreng nama baik Yogyakarta
sebagai kota pelajar. Kelompok studi ini dihantam kritik bertubi-tubi hingga
harus berurusan dengan pihak keamanan lantaran hasil survei tersebut.
*********
Beberapa fakta di atas setidaknya
dapat menggambarkan bahwa sebenarnya tanpa ”diajari” oleh buku kontroversialnya
Toge Aprilianto itu pun, realitasnya kehidupan seks di kalangan pelajar dan
mahasiswa bukan hal yang baru. Apalagi di era digital saat ini, smartphone
beredar secara luas dan setiap saat keluar lagi model terbaru dan lebih canggih
dari sebelumnya. Di mana orang dengan mudah mengabadikan diri sendiri dalam
berbagai pose, apakah dalam keadaan terbalut busana atau telanjang bulat. Dan
ironisnya, melalui berbagai media sosial seperti Facebook, Twitter,
Blog, Instagram, Path, Pinterest, Tumblr, Flickr, Google+, LinkedIn, MySpace, dan lainnya. Mereka menyebarluaskan foto selfi atau lagi bermesraan dengan
pasangannya.
Atau lebih jauh dari sekadar
memotret. Mereka merekam adegan syuuur dengan pasangan dan mengunggah videonya
ke YouTube. Sehingga manusia se-jagad raya ini dengan mudah mengunduh dan
menontonnya. Ingat kasus video porno antara Nazriel Ilham alias Ariel vokalis
band ”Peterpan” yang kini berganti nama menjadi ”NOAH” dengan dua wanita, satu
memang kekasihnya (Luna Maya) dan satu lainnya adalah istri orang (Cut Tari).
Kasus video panas itu akhirnya menyeret Ariel ke balik terali besi setelah Majelis
Hakim Pengadilan Negeri Bandung pada 21 Januari 2011 memvonis Ariel 3,5 tahun
penjara dan denda Rp250 juta. Ariel sempat mengajukan banding dan kasasi atas
vonis pengadilan tingkat pertama itu, tapi kedua upaya hukum tersebut ditolak
Pengadilan Tinggi Bandung dan Mahkamah Agung.
Atau jauh sebelumnya, video ML dua mahasiswa PTS di Bandung yang diberi judul ”Bandung Lautan Asmara” lebih dulu menggemparkan. Karena itu, begitu video ALC (Ariel-Luna-Cut) muncul, bisa dikatakan tidak terlalu menghebohkan. Walaupun dampak hukumnya lebih mengemuka karena ada pengusutan dari pihak berwajib dan diproses dalam persidangan. Sementara, cewek (mahasiswi) PTS di Bandung yang cantik dan anak pejabat itu konon dikirim ayahnya ke luar negeri, sedang si cowoknya dipecat dari Institut yang berkonsentrasi di bidang Teknologi tersebut.
Atau jauh sebelumnya, video ML dua mahasiswa PTS di Bandung yang diberi judul ”Bandung Lautan Asmara” lebih dulu menggemparkan. Karena itu, begitu video ALC (Ariel-Luna-Cut) muncul, bisa dikatakan tidak terlalu menghebohkan. Walaupun dampak hukumnya lebih mengemuka karena ada pengusutan dari pihak berwajib dan diproses dalam persidangan. Sementara, cewek (mahasiswi) PTS di Bandung yang cantik dan anak pejabat itu konon dikirim ayahnya ke luar negeri, sedang si cowoknya dipecat dari Institut yang berkonsentrasi di bidang Teknologi tersebut.
*********
Menteri Sosial Khofifah Indar
Parawansa mengatakan Indonesia kini harus sadar dan berbenah menyelamatkan
generasi muda dari bahaya narkoba dan juga kejahatan seks. Berdasarkan
catatannya, Indonesia merupakan surga bagi phaedopilia tertinggi se-Asia. Untuk kejahatan seks, juga tertinggi
kedua di dunia. “Dari tahun 2007, kalau kita update dari berbagai media online,
Indonesia merupakan surga phaedopilia di Asia. Pengunduh dan pengunggah
pornografi nomor satu di dunia,” ujar Khofifah saat sowan ke KH Sholahuddin
Wahid, pengasuh Pondok Pesantren Tebu Ireng, Cukir, Jombang, Jawa Timur, Sabtu
malam 14 Februari 2015.
Tampaknya, masyarakat kita adalah
masyarakat yang gampang gagap dalam menyikapi sesuatu yang mengandung
kontroversial. Dalam menerima kenyataan yang dinilai bertentangan dengan norma
agama, masyarakat terlihat gamang. Padahal, dalam menulis buku ”Saatnya Aku
Belajar Pacaran” itu, Toge Aprilianto, “mungkin” ingin menunjukkan fakta nyata
bahwa dewasa ini perilaku remaja dalam menjalin hubungan antarsesama semakin
menyimpang dari kaidah etika. Hanya, cara penyampaiannya yang kurang tepat.
Memang, tidak sepatutnya disampaikan dengan gaya penulisan seolah-olah
mengarahkan remaja untuk melakukan ML. Walaupun, tanpa disadari, tanpa membaca
buku itupun, “mungkin” remaja Indonesia di manapun tempat tinggalnya, pada
dasarnya sudah biasa melakukannya. Bahkan menjadikannya sebagai ekspresi cinta
kasih.
Masyarakat yang gamang dan hanya memusatkan
perhatian pada sosok Toge Aprilianto dan bukunya, tapi menafikan betapa banyak
sumber yang ”menginspirasi” remaja untuk ML dengan pacarnya. Hanya dengan
mengetikkan keyword yang mengarah kepada hal-hal yang berbau porno di search engine Google, maka akan keluar
puluhan ribu situs web yang menunjukkan ke arah suatu hal yang dituju, baik itu
Blog atau WordPress yang berisi tulisan dan juga gambar maupun YouTube yang
menampilkan adegan (video). Bahkan CD Film Biru dengan mudah dijumpai pada
pedagang CD di Kaki Lima, meskipun dengan diam-diam dan rahasia. Jadi, patut digarisbawahi
apa yang dinyatakan Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa di atas. Dan
dicamkan bahwa realitasnya tidak semata buku Saatnya Aku Belajar Pacaran
sebagai sumber penyebab.
Masyarakat yang gamang di tengah
situasi kehidupan penuh gempuran budaya asing saat ini, menandakan
ketidaksiapan menghadapi perubahan zaman. Coba, kalau dipikir, di era 1980-an dr. Wimpi Pangkahila sudah mendapati kenyataan perilaku menyimpang di kalngan remaja, dan seorang Sulistyo Eko sudah berani mengambil inisiatif untuk menyurvei teman
sekolahnya. Dan hasil survei Sulistyo eko itu menyatakan bahwa 12,7 persen responden mengaku
pernah bersenggama dengan pacarnya. Bukankah ini menandakan bahwa ML di
kalangan anak usia sekolah sudah sejak dulu ada. Lalu, dari survei kelompok Diskusi Dasakung juga menemukan kenyataan bahwa ada perilaku kumpul kebo di kalangan mahasiswa.
Artinya, kalau di tahun 1980-an saja sudah ada, apalagi sekarang.
Pertanyaannya, apakah masih penting menggugat buku Saatnya Aku Belajar Pacaran dan/atau juga penulisnya Toge
Aprilianto? Jangan-jangan nanti akan dicap tidak dewasa dan enggan untuk
menyampaikan kebenaran.
Di sisi lain, hal ini justru
meneguhkan kedudukan sebagian pihak, terutama yang memiliki kekuasaan, untuk
melakukan monopoli atas kebenaran. Kebenaran harus berjalan sesuai versi
mereka. Artinya, segala pikiran yang tidak sejalan dengan mereka harus segera
dienyahkan. Buktinya, kalau dulu kelompok Dasakung dihantam kritik bertubi-tubi
dan harus berurusan dengan pihak berwajib. Maka, kini giliran Toge Aprilianto dilaporkan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) ke Badan Reserse Kriminal Kepolisian Republik Indonesia (Bareskrim Polri), dengan bukti pelaporan bernomor LP/147/II/2015/Bareskrim tertanggal 5 Februari 2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.