Senin, 16 Februari 2015

Toge Aprilianto dan Masyarakat yang Gamang

Belakangan, masyarakat meributkan buku Saatnya Aku Belajar Pacaran karya Toge Aprilianto, seorang psikolog yang tertarik dalam bidang pendidikan, yang bekerja profesional di antaranya sebagai konsultan, dosen, pembicara terutama tentang diri dan hubungan seseorang dengan orang lain. Buku yang menghebohkan ini diterbitkan tahun 2010 lalu. Setelah selama empat tahun beredar, kenapa baru sekarang diributkan?
tempo.co
Buku setebal 218 halaman ini, memuat judul Bab seperti Pedekate, Pesaing Temen Hobi, Orang Tua, Seks, Patah Hati, serta Mantan. Setiap bab terdiri dari sejumlah kumpulan judul tulisan. Toge misalnya, menggambarkan beberapa situasi dan gaya pacaran anak muda sekarang. Beberapa buku yang pernah ia terbitkan di antaranya Kudidik Diriku Demi Mendidik Anakku, Kurangkul Diriku Demi Merangkul Bahagiaku, Saatnya Melatih Anakku Berpikir, dan Saatnya Aku Belajar Pacaran.
Di antara isi buku Saatnya Aku Belajar Pacaran yang dianggap kontroversi dan tidak pantas dibaca kalangan remaja. Misalnya, ”Sebetulnya, wajar kok kalo pacar ngajak kamu ML (Making Love). Wajar juga kalo kamu ngajak pacarmu ML. Hal itu kan alamiah-naluriah. Jadi, itu justru pertanda kalo kamu dan/atau pacarmu masih punya energi buat terlibat dalam proses reproduksi, yang memang sewajarnya dimiliki oleh tiap makhluk hidup,” (Bab 6 Halaman 60 ”Pacar Ngajak ML”.
Meski oleh (sebagian) masyarakat buku ini (mungkin) dinilai tidak ilmiah dan cenderung menyesatkan. Akan tetapi Toge Aprilianto tidak mendoktrinasikan ajaran untuk melakukan ketidakwajaran dalam berpacaran. Buktinya, Toge dalam tulisannya, menyerahkan pilihan situasi berpacaran itu kepada pembacanya yang dalam salah satu tulisannya, ditujukan ke kalangan remaja atau ABG (anak baru gede).
Apa pun pilihannya, pembaca disarankan untuk memikirkan akibatnya, termasuk pacaran hingga hamil. Bagaimana cara menyikapi ketika pacar lelaki kemudian meninggalkannya atau kabur, serta menghadapi orang tua dalam kondisi seperti itu, Toge menyampaikannya dengan gaya bahasa remaja.
    
*********

Tahun 1981 dalam Seminar Seksologi Nasional I di Bali (tanggal 9-11 Juli 1981), dr. Wimpi Pangkahila (kini Prof. DR. Dr. Wimpi Pangkahila, Sp.And., FACCS. dari Fakultas Kedokteran Universitas Udayana) menyampaikan laporan hasil penelitiannya tentang perilaku seks di kalangan siswa/siswi pada 3 SMA di Bali. Dari angket yang dilakukannya, dr. Wimpi menyatakan bahwa remaja SMA di Bali telah biasa melakukan hubungan seks pranikah. Tentu saja apa yang dikemukakan dr. Wimpi dalam seminar itu begitu menyentak kesadaran dan mencengangkan peserta seminar dan sesudahnya menimbulkan polemik di masyarakat. Betapa tidak, dari 633 responden yang terdiri atas 345 siswa dan 288 siswi, tersingkap fakta 27 persen siswa dan 16 persen siswi pernah berhubungan seks pranikah.

Bulan Juli 1982, di kota Bandung, secara tidak formal beberapa pihak mengadakan penelitian, mungkin juga dilakukan secara diam-diam. Penelitian yang dilakukan adalah tentang penyakit kelamin. Hasilnya, dari seluruh responden yang berjumlah 500 orang remaja berusia antara 16-25 tahun, 83 persen di antaranya terkena penyakit kelamin. Betapa dahsyatnya. Dari sinilah gejala sosial yang berhubungan dengan masalah seks kian terbuka. Lebih tepat bila dikatakan sebagai menggejalanya penyalahgunaan seks di kalangan remaja seusia tersebut.

Tahun 1983-an, semasa penulis menimba ilmu di Yogyakarta, ada kejadian mengejutkan. Yaitu dipublikasikannya hasil angket seks yang dilakukan Sulistyo Eko, seorang siswa Sekolah Menengah Persiapan Pembangunan (SMPP) 10 yang berlokasi di daerah Muja Muju. Survei itu oleh Akhlis Suryapati, wartawan ”Minggu Pagi” dipublikasikan di surat kabar mingguan milik Kedaulatan Rakyat pada edisi tanggal 9 Januari 1983. Angket itu menunjukkan bahwa bagi 462 pelajar yang mengisi angket, sebanyak 31,6 persen melakukan ciuman pada waktu pacaran, 21,6 persen meraba-raba organ tertentu milik pacarnya, dan 12,7 persen mengaku pernah bersenggama dengan pacarnya itu.
Apa yang terjadi kemudian? Sulistyo Eko dipuji sejumlah kalangan meskipun akhirnya dia harus menerima risiko dikeluarkan dari sekolahnya. Bahkan orang tuanya (Maryoto) merasa bangga dengan apa yang telah dilakukan anaknya itu, meski harus menerima dengan ”pahit” kenyataan Eko dikeluarkan sekolahnya. Sedang Akhlis Suryapati yang memang baru tiga bulan jadi wartawan di mingguan itu, membuat posisinya kurang menguntungkan. Dan dia menjadi korban olok-olok rekan-rekanannya yang mengatai ”wartawan seks.”
Meski terpaksa menyelesaikan sekolahnya di sebuah SMA Swasta yang terkenal sebagai sekolahnya para ”veteran” karena yang belajar di sana adalah mereka yang usianya terbilang uzur. Di antaranya ada pegawai yang ingin sekadar memperoleh selembar ijazah SMA. Tapi, Sulistyo Eko begitu tamat mendapat dispensasi atau fasilitasi dari Rektor IPB, untuk masuk IPB tanpa tes. Kabar terakhir yang penulis ketahui, karena tidak betah mengikuti perkuliahan di IPB, Sulistyo Eko sering ”menyelinap” jadi ”mahasiswa gelap” di kampus UI Salemba. Setelah itu penulis tidak tahu lagi kabarnya.
Dalam rentang waktu sesudahnya (awal 1984), kelompok Studi Dasakung di Yogyakarta mencipta kegemparan baru bagi masyarakat Yogya. Kelompok studi mahasiswa yang terbentuk 23 September 1983 ini beranggotakan 10 orang mahasiswa UGM dari 4 Fakultas, dikomandani Bambang Sigap Sumantri dan beranggotakan di antaranya Djoko Krisanjoyo, Yohanes S. Widodo, Darmaningtyas, dll. Mereka mengkritisi kehidupan sosial masyarakat Yogyakarta, terutama di kalangan pelajar dan mahasiswa.
Kelompok ini membuat survei yang menggambarkan banyak mahasiswa Yogyakarta mempraktikkan kumpul kebo. Yaitu ditemukannya pasangan mahasiswa-mahasiswi yang hidup bersama layaknya suami-istri. Publikasi yang luas hasil survei ini rupanya membuat berang pemerintahan Presiden Soeharto. Terbongkarnya kasus ini, meski oleh kalangan akademisi dianggap positif, tetapi dianggap mencoreng nama baik Yogyakarta sebagai kota pelajar. Kelompok studi ini dihantam kritik bertubi-tubi hingga harus berurusan dengan pihak keamanan lantaran hasil survei tersebut.

*********

Beberapa fakta di atas setidaknya dapat menggambarkan bahwa sebenarnya tanpa ”diajari” oleh buku kontroversialnya Toge Aprilianto itu pun, realitasnya kehidupan seks di kalangan pelajar dan mahasiswa bukan hal yang baru. Apalagi di era digital saat ini, smartphone beredar secara luas dan setiap saat keluar lagi model terbaru dan lebih canggih dari sebelumnya. Di mana orang dengan mudah mengabadikan diri sendiri dalam berbagai pose, apakah dalam keadaan terbalut busana atau telanjang bulat. Dan ironisnya, melalui berbagai media sosial seperti Facebook, Twitter, Blog, Instagram, Path, Pinterest, Tumblr, Flickr, Google+, LinkedIn, MySpace, dan lainnya. Mereka menyebarluaskan foto selfi atau lagi bermesraan dengan pasangannya.
Atau lebih jauh dari sekadar memotret. Mereka merekam adegan syuuur dengan pasangan dan mengunggah videonya ke YouTube. Sehingga manusia se-jagad raya ini dengan mudah mengunduh dan menontonnya. Ingat kasus video porno antara Nazriel Ilham alias Ariel vokalis band ”Peterpan” yang kini berganti nama menjadi ”NOAH” dengan dua wanita, satu memang kekasihnya (Luna Maya) dan satu lainnya adalah istri orang (Cut Tari). Kasus video panas itu akhirnya menyeret Ariel ke balik terali besi setelah Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bandung pada 21 Januari 2011 memvonis Ariel 3,5 tahun penjara dan denda Rp250 juta. Ariel sempat mengajukan banding dan kasasi atas vonis pengadilan tingkat pertama itu, tapi kedua upaya hukum tersebut ditolak Pengadilan Tinggi Bandung dan Mahkamah Agung.

Atau jauh sebelumnya, video ML dua mahasiswa PTS di Bandung yang diberi judul ”Bandung Lautan Asmara” lebih dulu menggemparkan. Karena itu, begitu video ALC (Ariel-Luna-Cut) muncul, bisa dikatakan tidak terlalu menghebohkan. Walaupun dampak hukumnya lebih mengemuka karena ada pengusutan dari pihak berwajib dan diproses dalam persidangan. Sementara, cewek (mahasiswi) PTS di Bandung yang cantik dan anak pejabat itu konon dikirim ayahnya ke luar negeri, sedang si cowoknya dipecat dari Institut yang berkonsentrasi di bidang Teknologi tersebut.        

*********

Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa mengatakan Indonesia kini harus sadar dan berbenah menyelamatkan generasi muda dari bahaya narkoba dan juga kejahatan seks. Berdasarkan catatannya, Indonesia merupakan surga bagi phaedopilia tertinggi se-Asia. Untuk kejahatan seks, juga tertinggi kedua di dunia. “Dari tahun 2007, kalau kita update dari berbagai media online, Indonesia merupakan surga phaedopilia di Asia. Pengunduh dan pengunggah pornografi nomor satu di dunia,” ujar Khofifah saat sowan ke KH Sholahuddin Wahid, pengasuh Pondok Pesantren Tebu Ireng, Cukir, Jombang, Jawa Timur, Sabtu malam 14 Februari 2015.
Tampaknya, masyarakat kita adalah masyarakat yang gampang gagap dalam menyikapi sesuatu yang mengandung kontroversial. Dalam menerima kenyataan yang dinilai bertentangan dengan norma agama, masyarakat terlihat gamang. Padahal, dalam menulis buku ”Saatnya Aku Belajar Pacaran” itu, Toge Aprilianto, “mungkin” ingin menunjukkan fakta nyata bahwa dewasa ini perilaku remaja dalam menjalin hubungan antarsesama semakin menyimpang dari kaidah etika. Hanya, cara penyampaiannya yang kurang tepat. Memang, tidak sepatutnya disampaikan dengan gaya penulisan seolah-olah mengarahkan remaja untuk melakukan ML. Walaupun, tanpa disadari, tanpa membaca buku itupun, “mungkin” remaja Indonesia di manapun tempat tinggalnya, pada dasarnya sudah biasa melakukannya. Bahkan menjadikannya sebagai ekspresi cinta kasih. 
Masyarakat yang gamang dan hanya memusatkan perhatian pada sosok Toge Aprilianto dan bukunya, tapi menafikan betapa banyak sumber yang ”menginspirasi” remaja untuk ML dengan pacarnya. Hanya dengan mengetikkan keyword yang mengarah kepada hal-hal yang berbau porno di search engine Google, maka akan keluar puluhan ribu situs web yang menunjukkan ke arah suatu hal yang dituju, baik itu Blog atau WordPress yang berisi tulisan dan juga gambar maupun YouTube yang menampilkan adegan (video). Bahkan CD Film Biru dengan mudah dijumpai pada pedagang CD di Kaki Lima, meskipun dengan diam-diam dan rahasia. Jadi, patut digarisbawahi apa yang dinyatakan Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa di atas. Dan dicamkan bahwa realitasnya tidak semata buku Saatnya Aku Belajar Pacaran sebagai sumber penyebab.
Masyarakat yang gamang di tengah situasi kehidupan penuh gempuran budaya asing saat ini, menandakan ketidaksiapan menghadapi perubahan zaman. Coba, kalau dipikir, di era 1980-an dr. Wimpi Pangkahila sudah mendapati kenyataan perilaku menyimpang di kalngan remaja, dan seorang Sulistyo Eko sudah berani mengambil inisiatif untuk menyurvei teman sekolahnya. Dan hasil survei Sulistyo eko itu menyatakan bahwa 12,7 persen responden mengaku pernah bersenggama dengan pacarnya. Bukankah ini menandakan bahwa ML di kalangan anak usia sekolah sudah sejak dulu ada. Lalu, dari survei kelompok Diskusi Dasakung juga menemukan kenyataan bahwa ada perilaku kumpul kebo di kalangan mahasiswa. Artinya, kalau di tahun 1980-an saja sudah ada, apalagi sekarang. Pertanyaannya, apakah masih penting menggugat buku Saatnya Aku Belajar Pacaran dan/atau juga penulisnya Toge Aprilianto? Jangan-jangan nanti akan dicap tidak dewasa dan enggan untuk menyampaikan kebenaran.
Di sisi lain, hal ini justru meneguhkan kedudukan sebagian pihak, terutama yang memiliki kekuasaan, untuk melakukan monopoli atas kebenaran. Kebenaran harus berjalan sesuai versi mereka. Artinya, segala pikiran yang tidak sejalan dengan mereka harus segera dienyahkan. Buktinya, kalau dulu kelompok Dasakung dihantam kritik bertubi-tubi dan harus berurusan dengan pihak berwajib. Maka, kini giliran Toge Aprilianto dilaporkan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) ke Badan Reserse Kriminal Kepolisian Republik Indonesia (Bareskrim Polri), dengan bukti pelaporan bernomor LP/147/II/2015/Bareskrim tertanggal 5 Februari 2015.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.