Selasa, 30 Juni 2015

Rahmat dan Ampunan

Puasa Ramadhan itu pertamanya rahmat, pertengahannya 
ampunan (maghfirah), dan terakhirnya terhindar dari 
api neraka (’itkum minan naari).”

Hadits Nabi Muhammad Saw tersebut sering juga dijelaskan dengan pembagian: sepuluh hari pertama, sepuluh hari kedua, dan sepuluh hari ketiga. Tapi, yang sering terjadi adalah jumlah hari puasa tidak selalu tigapuluh hari. Penjelasan seperti hadits di atas memang dasarnya dari yang disampaikan Nabi Muhammad Saw. Sedang penjelasan dengan membaginya per sepuluh hari, itu untuk memudahkan agar lebih dimengerti oleh umat muslim.

Awal mula Nabi Muhammad memberi penjelasan seperti itu karena untuk menjawab pertanyaan seorang sahabat. Suatu saat ada sahabat bertanya, apa manfaat puasa ya Rasululloh? Rasul menjawab, bahwa dengan berpuasa kita akan dapat banyak manfaat. Terus sahabat tanya lagi, apa tidak berat selama satu bulan (30 hari)? Rasul menjawab, insya Alloh tidak. Pokoknya dicoba dulu deh sepuluh hari, manfaatnya kamu akan sehat.

Bulan Ramadhan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia...
“Kemudian kamu kan banyak dosa, coba sepuluh hari lagi agar kamu dapat ampunan karena puasa dapat menghapus dosa. Kamu juga kan ingin selamat, coba lagi berpuasa sepuluh hari terakhir, karena puasa akan membebaskan kamu dari api neraka,” kata Rasul. Jawaban Rasul itu kemudian disebarkan oleh sahabat itu kepada banyak orang, sehingga tersebarlah bahwa puasa itu pertamanya mendapat rahmat, keduanya mendapat ampunan, dan terakhirnya terbebas dari api neraka.   

Tak terasa, hari ini kita telah sampai pada hari ke tigabelas puasa Ramadhan 1436 Hijriah, berarti bagian pertama (sepuluh hari pertama) telah kita lewati. Kalau di bagian awal ini puasa yang kita jalankan terhindar dari kesalahan fatal, insya Alloh kita akan menggapai rahmat seperti yang disebutkan dalam sabda Rasululloh Saw di bagian awal tulisan ini. Kesalahan fatal dimaksud misalnya membatalkan puasa atau perbuatan tercela lainnya yang memungkinkan bisa membuat puasa batal atau makruh.

Dengan berlalunya bagian pertama dan memasuki bagian pertengahan, maka di samping rahmat yang insya Alloh kita gapai juga akan mendapatkan ampunan di bagian pertengahan ini. Lantas, kira-kira bagaimana cara menggapai rahmat dan ampunan tersebut? Apakah setiap yang menjalankan ibadah puasa akan mendapatkan dua hal itu? Apa kira-kira tanda-tanda yang akan dirasakan orang yang mendapatkan rahmat dan ampunan dari Alloh Swt dari ibadah puasa yang dijalankannya?

Sebagaimana turunnya wahyu yang bertahap ayat demi ayat, demikian juga Nabi Muhammad Saw menyampaikannya kepada para sahabat secara bertahap juga. Itulah namanya proses, agar beban yang dipikul Nabi tidak sekaligus. Dalam menjelaskan puasa pun Nabi membaginya dengan pertama, pertengahan dan terakhir, berikut kabar gembira dari Alloh sebagai imbalan yang akan diterima insan beriman sesudah melewati tahapan puasa itu.

Tujuan Nabi menjelaskan proses menjalankan ibadah puasa itu tidak lain agar umat Islam yang beriman dapat ikhlas menjalankan ibadah puasa tanpa merasa dibebani. Dengan menjelaskan ada kabar gembira dari Alloh bagi hamba-Nya yang berpuasa, adalah agar umat Islam beriman selalu bersemangat dalam melewati hari-hari berpuasa yang penuh godaan. Walau pun ada orang yang tetap saja tergelincir oleh godaan, namun Alloh adalah Zat Yang Maha Pemaaf, Maha Pengampun, dan Maha Pengasih.

Kalau terhadap orang yang berbuat dosa saja Alloh memberi maaf, ampunan dan kasih sayang, apalagi terhadap orang beriman yang penuh ketakwaan dan tawakkal menjalankan ibadah puasa, tentu Alloh akan sangat bermurah hati melimpahkan rahmat dan ampunan. Kalau rahmat dan ampunan sudah bisa digapai orang beriman yang menjalankan puasa dengan ikhlas, kemudian terus memperbaiki diri, pada akhirnya Alloh akan membebaskan mereka dari azab neraka.

Tapi, perlu disadari konteks puasa di zaman Rasul dengan zaman sekarang. Kalau di zaman Rasululloh dan para sahabat, puasa dijalankan dengan semangat tinggi dan begitu rajin. Semakin hari semakin rajin dan puncaknya di sepuluh hari terakhir itu, mereka melakukan puncak ibadah dengan harapan bisa bertemu malam lailatul qodar. Yaitu malam yang nilai ibadahnya melebihi seribu bulan (setara dengan usia 83 tahun lebih), yang tidak semua orang bisa mendapatkannya.

Sementara, puasanya orang di zaman sekarang, semangatnya menggebu-gebu di awal Ramadhan saja, pada pertengahan mulai kendor, dan akhirnya hilang semangat. Masjid-masjid pada mulanya penuh oleh orang yang mau salat tarawih, memasuki petengahan Ramadhan shaf-shaf yang tadinya berjejer berbaris-baris hanya tinggal dua atau tiga baris. Masa terakhir bulan Ramadhan masjid mulai sepi sedangkan mal-mal ramai oleh pengunjung yang mau berbelanja.

Jadi, meski sudah dijelaskan dengan hadits di atas toh masih ada sebagian umat Islam tidak begitu terpengaruh dengan iming-iming mendapat rahmat, maghfirah, dan ’itkum minan naari. Padahal rahmat (kasih sayang) Alloh itu harus dicari dengan dua pendekatan. Pertama, memohon langsung kepada Alloh agar rahmat-Nya turun kepada yang bersangkutan. Kedua, dengan cara menebarkan kasih sayang kepada sesama manusia dan makhluk lain di muka Bumi ini.

Dalam hadits lain Nabi Muhammad Saw bersabda: ”Sayangilah sekalian makhluk yang ada di muka Bumi ini, nanti sekalian makhluk yang ada di langit akan menyayangimu.” Menebar kasih sayang, itulah inti ajaran Islam. Jadi, prinsipnya, siapa yang menjalankan ibadah puasa dengan benar dan niat yang benar, serta semata-mata ingin menggapai rahmat dan ampunan dari Alloh, niscaya Alloh akan memberikannya.

Ada juga orang yang menjalankan ibadah puasa tapi tidak mendapatkan rahmat dari Alloh Swt. Orang seperti itu mungkin menganggap puasanya sebagai rutinitas biasa, tanpa memahami makna, hakikat, dan tujuan ibadah puasa itu sendiri. Orang seperti itulah yang hanya menahan lapar dan dahaga tapi tidak mendapat apa-apa, karena perbuatan keji lainnya tidak bisa ditahannya. Lantas, sudahkah kita menjalankan iabadah puasa dengan benar? Yaitu menahan lapar, haus, dan perilaku tidak terpuji.

Sabtu, 20 Juni 2015

Jika Sakit tak Kunjung Sembuh

Penyakit kejiwaan merupakan penyakit medis yang
dapat memengaruhi kesehatan tubuh secara keseluruhan

Kesehatan jiwa dan fisik tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Jiwa dan pikiran yang sehat akan mempengaruhi keadaan fisik yang sehat pula. Penyakit yang dipicu oleh gangguan jiwa dikenal dengan nama psikosomatik.Namun ketika mengalami sakit, bagaimana bisa tahu itu dipengaruhi kesehatan psikis atau benar-benar sakit fisik saja?
Dr Andri, Sp.KJ, psikiater dari RS Omni Alam Sutera mengatakan, penyakit yang paling umum dipicu oleh gangguan jiwa adalah penyakit yang berhubungan dengan otot otonom, seperti penyakit pernapasan, pencernaan, bahkan jantung, serta nyeri-nyeri di beberapa bagian tubuh.
Namun ciri khas psikosomatik, lanjutnya, yaitu tidak spesifik pada suatu penyakit tertentu. ”Misalnya satu hari merasa sakit di dada, besoknya agak ke leher, besoknya agak ke bahu, bisa jadi itu psikosomatik,” katanya di sela-sela seminar kesehatan bertajuk ’The 2nd Update Seminar in Psychosomatic Medicine’, Sabtu (5/10/2013) di Tangerang.
Andri mengatakan, langkah awal untuk mendeteksi suatu penyakit merupakan psikosomatik atau bukan yaitu dengan memeriksakannya ke ahli penyakit yang bersangkutan terlebih dahulu. Dia mencontohkan, jika seseorang tiba-tiba mengalami sesak napas, maka sebaiknya diperiksa dulu ke dokter pernapasan.
sakit tak kunjung sembuh, berhati-hatilah. bisa jadi itu pertanda depresi (gejala psikosomatis)
Setelah dilakukan pemeriksaan, lanjut dia, dokter perlu mengkaji jika hasilnya menunjukkan tidak ada masalah fisik, artinya ada kemungkinan gejala yang dirasakan pasien adalah psikosomatik. ”Saat itulah, pasien perlu dirujuk ke psikiater,” tandas staf pengajar di Fakultas Kedokteran Ukrida ini.
Psikosomatik merupakan gangguan kesehatan yang termasuk dalam kategori medis. Pada dasarnya, psikosomatik berangkat dari kecemasan dan depresi yang prevalensinya mencapai 20-30 persen populasi.
Andri mengatakan, lebih dari 50 persen kasus psikosomatik belum ditangani dengan baik. Padahal psikosomatik dapat berdampak pada penurunan kualitas hidup penderitanya. Penyakit kejiwaan merupakan penyakit medis yang dapat memengaruhi kesehatan tubuh secara keseluruhan. Penyakit kejiwaan bahkan dapat memicu penyakit lain, terutama penyakit saraf otonom, yang dikenal dengan psikosomatik.
Sering Pendam Perasaan
Menurut psikiater dr Elly Ingkiriwang, SpKJ, terlalu sering memendam perasaan merupakan salah satu faktor yang berperan terhadap timbulnya psikosomatik. Dia mengatakan, memendam perasaan adalah penyebab stres yang merupakan pemicu utama gangguan kejiwaan ini.
”Sejak kecil, kita sudah diajarkan untuk memendam perasaaan. Coba lihat kalau bayi menangis, orangtua selalu menyuruh untuk berhenti. Padahal tangis merupakan salah satu upaya menyaluran emosi,” kata staf pengajar di Fakultas Kedokteran Ukrida ini dalam seminar kesehatan jiwa di RS Omni Alam Sutera, Sabtu (5/10/2013).
Belum lagi, lanjut Elly, ketika beranjak dewasa, saat emosi sedang meluap-luap dan butuh penyaluran, justru malah dimarahi. Lama kelamaan kebiasaan memendam emosi ini akan terbawa hingga dewasa dan dapat memicu gangguan kejiwaan, salah satunya psikosomatis.
galau?, hati-hati, bisa kena depresi yang akan memicu timbulnya psikosomatis. 
Elly mengatakan, perasaan marah, kecewa, sedih, dan lain-lain perlu penyaluran. Meskipun hal itu perlu bimbingan agar penyaluran bisa bersifat positif. ”Yang paling penting lagi adalah mengetahui penyebab dari perasaan tidak menyenangkan tersebut. Jika tidak mengetahui penyebabnya, lama-lama kita jadi tidak sadar mengalami stres dan kesulitan mencari penyebabnya,” tuturnya.
Pada kesempatan yang sama, dr Andri, SpKJ, psikiater dari RS Omni Alam Sutera menyampaikan, karena sering mengalami stres, banyak orang yang tidak lagi menyadarinya. Sayangnya, hal ini justru menyulitkan jika tiba-tiba mereka mengeluhkan gejala psikosomatis. Alasannya, mereka menjadi kesulitan menjadi penyebab stres. ”Perlu diketahui penyebab stresnya supaya bisa diselesaikan akar masalah dari pemicu psikosomatis. Namun tak semua orang bisa tahu penyebab stres mereka,” ujarnya.
Menurut Andri, ini terjadi karena tubuh mereka sudah beradaptasi dengan stres. Padahal jika sampai tidak menyadari adanya stresor, maka ada yang salah dengan proses adaptasi tersebut. Karena itu, Andri menyarankan agar selalu menyadari setiap stres yang terjadi pada tubuh. Selain itu, dibutuhkan berpikir positif untuk segala sesuatu, termasuk dalam menyikapi sesuatu yang negatif.
Berobatlah dengan Doa
Oleh karena itu, agar terhindar dari depresi biasakanlah selalu dekat dengan Tuhan Alloh Swt. Bukankah Dia memerintahkan hamba-Nya untuk selalu mengingat Alloh dengan cara berdzikir baik di waktu duduk, berdiri, maupun berbaring. Uduni astajiblakum; berdoalah niscaya akan Aku penuhi permintaanmu. Begitu firman Alloh Swt dalam Kitab Suci Al-Quranul Kariim. Dalam haditsnya diriwayatkan Turmudzi Rasululloh Saw bersabda: Doa itu adalah jantung ibadah.” Jadi, dengan ibadah terutama salat, dzikir dan doa akan membuat rohani sehat. 
Kemudian pada Surah yang lain, yaitu Surah Al-Isra ayat 93 Allah SWT Berfirman yang artinya : Dan kami turunkan Al-Quran adalah menjadi obat penawar dan merupakan rahmat bagi orang-orang yang beriman”. Rasulullah SAW mengajarkan kepada kita untuk selalu berdoa: Ya Allah sesungguhnya aku memohon kepada Engkau, sehat wal afiat di dunia dan di akhirat (H.R. Hakim).
Sehat walafiat selalu kita memohon kepada Allah SWT, agar kita terhindar dari segala macam penyakit. Penyakit manusia ada 2 macam yaitu yang pertama penyakit jasmani dan yang kedua penyakit rohani. Penyakit jasmani adalah penyakit badan, yaitu penyakit yang tampak dan dapat kita rasakan, penyakit jasmani hanya kita saja yang dapat merasakan sedangkan orang lain tidak mampu merasakan.
Penyakit jasmani dapat disembuhkan oleh dokter dan dapat mudah dideteksi dengan bantuan medis. Sementara penyakit rohani dapat diterangkan dengan tiga macam sifat atau sikap yang ditunjukkannya: Pertama, sifat buruk dan merusak dalam batin manusia yang mengganggu kebahagiaan. Kedua, ialah sikap mental yang buruk, merusak dan merintangi pribadi memperoleh keridhoan Alloh Swt. Ketiga, ialah sifat dan sikap dalam hati yang tidak diridhoi Allo Swt, sifat dan sikap mental yang cenderung mendorong pribadi melakukan perbuatan buruk dan merusak.

Referensi:

Rabu, 10 Juni 2015

Cikot

”Sesungguhnya Alloh menyesatkan siapa yang Dia kehendaki dan 
memberi petunjuk orang-orang yang bertaubat kepada-Nya, 
yaitu orang-orang yang beriman dan hati mereka 
menjadi tenteram dengan mengingat Alloh. 
Ingatlah, hanya dengan mengingat Alloh-lah 
hati menjadi tenteram” 
(Q.S. Ar-Ra’d [13] : 27-28)

Melanjutkan postingan tanggal 20/05/2015 yang berjudul ”Antara Syukur dan Kufur Nikmat, Pilih Mana?” Sembari beranjak meninggalkan ruang rawat inap ”Melati 203” di rumah sakit itu, hati bertanya-tanya; ada apa dengannya. Menurut pengakuannya, dia merasa nyaman dan bisa tidur lelap bila berada di rumah sakit. Begitu pulang kembali ke rumah, rasa aneh itu kembali menyergap perasaannya. Dia merasa seperti ketakutan di dalam rumah sendiri.

Ana sing Ngirim

Mengenai rasa takut dalam rumah sendiri. Ada beberapa dugaan yang saya simpulkan dari pemikiran pribadi. Pertama, mungkin secara pribadi dia tidak terlalu dekat dengan Alloh, dan rumahnya tidak dibiasakan dengan lantunan ayat-ayat Al-Quran atau ruang-ruangnya tidak sering dipakai salat. Sehingga Jin leluasa beranak-pinak dan memenuhi ruang-ruang tersebut. Kedua, kalau bahasa jaseng (jawa serang)nya ana sing ngirim (ada yang ngirim), mungkin ada pihak lain yang tak suka sehingga ’membuang’ atau ’menanam’ sesuatu di halaman rumahnya. Akibatnya menimbulkan rasa takut, tidak betah, tidak sehat dan perasaan tidak nyaman lainnya.

Ada kerabat bercerita bahwa dia juga merasakan tidak nyaman bila masuk ke rumah orang tersebut. ”Bulu kuduk saya seperti berdiri bila masuk ke rumah mereka,” kata dia. Kalau orang lain saja bisa merasakan hal yang sama dengan apa yang dirasa si empunya rumah, berarti memang ada apa-apanya di dalam atau lingkungan rumah itu. Kalau tidak ada api tak mungkin ada asap. Kalau tidak ada sebab tentu tidak akan ada akibat. Begitulah filosofinya. Artinya, tak mungkin merasakan tidak nyaman di rumah sendiri kalau tidak ada penyebabnya. Penyebabnya ini yang perlu dicari, apakah karena faktor perbuatan manusia atau gangguan Jin.
    
Saluran Komunikasi

Sepulang membezuk itu, kami tak ada komunikasi sehingga tidak tahu bagaimana perkembangan kesehatannya pascadirawat. Ternyata, menurut cerita kerabat lainnya, dia menjalani pemeriksaan endoskopi di rumah sakit lain. Hasilnya, memang hatinya yang bermasalah. Pasal yang membuat hatinya bermasalah adalah lantaran memendam perasaan. Tidak menemukan saluran komunikasi yang representatif untuk keluarnya uneg-uneg di dalam dada. Begitu juga tak menemukan orang yang tepat untuk menampung segala keluh kesah yang ditumpahkan.

saluran komunikasi yang baik akan menyehatan hubungan antarpersonal
Itulah sebab, begitu kami (saya dan nyonya) masuk ruang rawatnya saat itu, baru saja kami duduk, dia langsung nyerocos mengeluarkan segala cerita, baik tentang diri dan sakit yang dideritanya, tentang anak dan suaminya, serta tentang adiknya dan sang suami. Baru saya sadari, dia berani nyerocos mungkin karena dia menganggap kami adalah orang yang tepat untuk menampung curahan perasaan yang selama ini tertahan dalam dadanya. Sehingga tanpa banyak prasangka dia mau saja bercerita tentang banyak hal.

Kalau menurut bahasa orang tua, dia mengalami apa yang disebut cikot atau pelik hati. Suatu keadaan yang diakibatkan terlampau berat beban pikiran atau perasaan, ditahan dan ditahan hingga terakumulasi menjadi lebih menumpuk dan menyesakkan dada. Mungkin akibat tekanan pihak lain, misal suaminya sendiri atau masalah lain yang terlampau dipikirkan di luar kemampuan.

Sedangkan Alloh tidak memikulkan kewajiban kepada diri seseorang 
melainkan sekedar kesanggupannya. (Q.S. Al-A’raaf [7] : 42)

lebih baik lagi kalau dalam berkomunikasi tidak hanya lewat pembicaraan
tapi juga diekspresikan melalui sentuhan badani 
Saluran komunikasi antara suami-istri kalau mampet tentu akan membuat suara batin tertahan. Bahayanya, bila suatu waktu meledak tak terkendali, ditumpahkan secara gamblang sehingga apa yang seharus jadi rahasia berubah menjadi bukan rahasia. Celakanya, kalau tempat menumpahkan suara batin itu bukan orang yang bisa menyimpan rahasia, maka apa yang diceritakan akan menyebar ke mana-mana.

Sejatinya, di dalam suatu rumah tangga, komunikasi antara suami dan istri harus dibuat sehat dalam arti berjalan dua arah atau timbal balik. Bila komunikasi hanya berjalan searah, itu pertanda tidak sehat. Hanya lega di satu pihak sedang pihak lainnya memendam perasaan. Bila perasaan yang ditahan itu sesuatu yang tidak nyaman, lama-lama akan mengkristal menjadi penyakit hati. Bisa jadi hal seperti inilah yang dialami kerabat di atas, sehingga merasa takut di rumah sendiri. Lalu, hilang ke mana ”baiti jannati” rumahku adalah surgaku. Kalau sudah tidak dia temukan di dalam rumahnya sendiri.