”Puasa
Ramadhan itu pertamanya rahmat, pertengahannya
ampunan (maghfirah), dan
terakhirnya terhindar dari
api neraka (’itkum minan naari).”
Hadits
Nabi Muhammad Saw tersebut sering juga dijelaskan dengan pembagian: sepuluh
hari pertama, sepuluh hari kedua, dan sepuluh hari ketiga. Tapi, yang sering
terjadi adalah jumlah hari puasa tidak selalu tigapuluh hari. Penjelasan seperti
hadits di atas memang dasarnya dari yang disampaikan Nabi Muhammad Saw. Sedang
penjelasan dengan membaginya per sepuluh hari, itu untuk memudahkan agar lebih
dimengerti oleh umat muslim.
Awal
mula Nabi Muhammad memberi penjelasan seperti itu karena untuk menjawab pertanyaan
seorang sahabat. Suatu saat ada sahabat bertanya, apa manfaat puasa ya
Rasululloh? Rasul menjawab, bahwa dengan berpuasa kita akan dapat banyak
manfaat. Terus sahabat tanya lagi, apa tidak berat selama satu bulan (30 hari)?
Rasul menjawab, insya Alloh tidak. Pokoknya dicoba dulu deh sepuluh hari,
manfaatnya kamu akan sehat.
Bulan Ramadhan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia... |
“Kemudian
kamu kan banyak dosa, coba sepuluh hari lagi agar kamu dapat ampunan karena
puasa dapat menghapus dosa. Kamu juga kan ingin selamat, coba lagi berpuasa
sepuluh hari terakhir, karena puasa akan membebaskan kamu dari api neraka,” kata
Rasul. Jawaban Rasul itu kemudian disebarkan oleh sahabat itu kepada banyak
orang, sehingga tersebarlah bahwa puasa itu pertamanya mendapat rahmat,
keduanya mendapat ampunan, dan terakhirnya terbebas dari api neraka.
Tak
terasa, hari ini kita telah sampai pada hari ke tigabelas puasa Ramadhan 1436 Hijriah, berarti bagian
pertama (sepuluh hari pertama) telah kita lewati. Kalau di bagian awal ini
puasa yang kita jalankan terhindar dari kesalahan fatal, insya Alloh kita akan
menggapai rahmat seperti yang disebutkan dalam sabda Rasululloh Saw di bagian
awal tulisan ini. Kesalahan fatal dimaksud misalnya membatalkan puasa atau
perbuatan tercela lainnya yang memungkinkan bisa membuat puasa batal atau
makruh.
Dengan
berlalunya bagian pertama dan memasuki bagian pertengahan, maka di samping
rahmat yang insya Alloh kita gapai juga akan mendapatkan ampunan di bagian
pertengahan ini. Lantas, kira-kira bagaimana cara menggapai rahmat dan ampunan
tersebut? Apakah setiap yang menjalankan ibadah puasa akan mendapatkan dua hal itu?
Apa kira-kira tanda-tanda yang akan dirasakan orang yang mendapatkan rahmat dan
ampunan dari Alloh Swt dari ibadah puasa yang dijalankannya?
Sebagaimana
turunnya wahyu yang bertahap ayat demi ayat, demikian juga Nabi Muhammad Saw
menyampaikannya kepada para sahabat secara bertahap juga. Itulah namanya
proses, agar beban yang dipikul Nabi tidak sekaligus. Dalam menjelaskan puasa
pun Nabi membaginya dengan pertama, pertengahan dan terakhir, berikut kabar
gembira dari Alloh sebagai imbalan yang akan diterima insan beriman sesudah
melewati tahapan puasa itu.
Tujuan
Nabi menjelaskan proses menjalankan ibadah puasa itu tidak lain agar umat Islam
yang beriman dapat ikhlas menjalankan ibadah puasa tanpa merasa dibebani. Dengan
menjelaskan ada kabar gembira dari Alloh bagi hamba-Nya yang berpuasa, adalah
agar umat Islam beriman selalu bersemangat dalam melewati hari-hari berpuasa
yang penuh godaan. Walau pun ada orang yang tetap saja tergelincir oleh godaan,
namun Alloh adalah Zat Yang Maha Pemaaf, Maha Pengampun, dan Maha Pengasih.
Kalau
terhadap orang yang berbuat dosa saja Alloh memberi maaf, ampunan dan kasih
sayang, apalagi terhadap orang beriman yang penuh ketakwaan dan tawakkal
menjalankan ibadah puasa, tentu Alloh akan sangat bermurah hati melimpahkan
rahmat dan ampunan. Kalau rahmat dan ampunan sudah bisa digapai orang beriman
yang menjalankan puasa dengan ikhlas, kemudian terus memperbaiki diri, pada
akhirnya Alloh akan membebaskan mereka dari azab neraka.
Tapi,
perlu disadari konteks puasa di zaman Rasul dengan zaman sekarang. Kalau di
zaman Rasululloh dan para sahabat, puasa dijalankan dengan semangat tinggi dan
begitu rajin. Semakin hari semakin rajin dan puncaknya di sepuluh hari terakhir
itu, mereka melakukan puncak ibadah dengan harapan bisa bertemu malam lailatul
qodar. Yaitu malam yang nilai ibadahnya melebihi seribu bulan (setara dengan
usia 83 tahun lebih), yang tidak semua orang bisa mendapatkannya.
Sementara,
puasanya orang di zaman sekarang, semangatnya menggebu-gebu di awal Ramadhan
saja, pada pertengahan mulai kendor, dan akhirnya hilang semangat.
Masjid-masjid pada mulanya penuh oleh orang yang mau salat tarawih, memasuki
petengahan Ramadhan shaf-shaf yang tadinya berjejer berbaris-baris hanya
tinggal dua atau tiga baris. Masa terakhir bulan Ramadhan masjid mulai sepi
sedangkan mal-mal ramai oleh pengunjung yang mau berbelanja.
Jadi,
meski sudah dijelaskan dengan hadits di atas toh masih ada sebagian umat
Islam tidak begitu terpengaruh dengan iming-iming mendapat rahmat, maghfirah,
dan ’itkum minan naari. Padahal rahmat (kasih sayang) Alloh itu harus
dicari dengan dua pendekatan. Pertama, memohon langsung kepada Alloh
agar rahmat-Nya turun kepada yang bersangkutan. Kedua, dengan cara
menebarkan kasih sayang kepada sesama manusia dan makhluk lain di muka Bumi
ini.
Dalam
hadits lain Nabi Muhammad Saw bersabda: ”Sayangilah sekalian makhluk yang ada
di muka Bumi ini, nanti sekalian makhluk yang ada di langit akan menyayangimu.”
Menebar kasih sayang, itulah inti ajaran Islam. Jadi, prinsipnya, siapa yang
menjalankan ibadah puasa dengan benar dan niat yang benar, serta semata-mata
ingin menggapai rahmat dan ampunan dari Alloh, niscaya Alloh akan
memberikannya.
Ada juga orang yang
menjalankan ibadah puasa tapi tidak mendapatkan rahmat dari Alloh Swt. Orang
seperti itu mungkin menganggap puasanya sebagai rutinitas biasa, tanpa memahami
makna, hakikat, dan tujuan ibadah puasa itu sendiri. Orang seperti itulah yang
hanya menahan lapar dan dahaga tapi tidak mendapat apa-apa, karena perbuatan
keji lainnya tidak bisa ditahannya. Lantas, sudahkah kita menjalankan iabadah puasa dengan benar? Yaitu menahan lapar, haus, dan perilaku tidak terpuji.