Rabu, 10 Juni 2015

Cikot

”Sesungguhnya Alloh menyesatkan siapa yang Dia kehendaki dan 
memberi petunjuk orang-orang yang bertaubat kepada-Nya, 
yaitu orang-orang yang beriman dan hati mereka 
menjadi tenteram dengan mengingat Alloh. 
Ingatlah, hanya dengan mengingat Alloh-lah 
hati menjadi tenteram” 
(Q.S. Ar-Ra’d [13] : 27-28)

Melanjutkan postingan tanggal 20/05/2015 yang berjudul ”Antara Syukur dan Kufur Nikmat, Pilih Mana?” Sembari beranjak meninggalkan ruang rawat inap ”Melati 203” di rumah sakit itu, hati bertanya-tanya; ada apa dengannya. Menurut pengakuannya, dia merasa nyaman dan bisa tidur lelap bila berada di rumah sakit. Begitu pulang kembali ke rumah, rasa aneh itu kembali menyergap perasaannya. Dia merasa seperti ketakutan di dalam rumah sendiri.

Ana sing Ngirim

Mengenai rasa takut dalam rumah sendiri. Ada beberapa dugaan yang saya simpulkan dari pemikiran pribadi. Pertama, mungkin secara pribadi dia tidak terlalu dekat dengan Alloh, dan rumahnya tidak dibiasakan dengan lantunan ayat-ayat Al-Quran atau ruang-ruangnya tidak sering dipakai salat. Sehingga Jin leluasa beranak-pinak dan memenuhi ruang-ruang tersebut. Kedua, kalau bahasa jaseng (jawa serang)nya ana sing ngirim (ada yang ngirim), mungkin ada pihak lain yang tak suka sehingga ’membuang’ atau ’menanam’ sesuatu di halaman rumahnya. Akibatnya menimbulkan rasa takut, tidak betah, tidak sehat dan perasaan tidak nyaman lainnya.

Ada kerabat bercerita bahwa dia juga merasakan tidak nyaman bila masuk ke rumah orang tersebut. ”Bulu kuduk saya seperti berdiri bila masuk ke rumah mereka,” kata dia. Kalau orang lain saja bisa merasakan hal yang sama dengan apa yang dirasa si empunya rumah, berarti memang ada apa-apanya di dalam atau lingkungan rumah itu. Kalau tidak ada api tak mungkin ada asap. Kalau tidak ada sebab tentu tidak akan ada akibat. Begitulah filosofinya. Artinya, tak mungkin merasakan tidak nyaman di rumah sendiri kalau tidak ada penyebabnya. Penyebabnya ini yang perlu dicari, apakah karena faktor perbuatan manusia atau gangguan Jin.
    
Saluran Komunikasi

Sepulang membezuk itu, kami tak ada komunikasi sehingga tidak tahu bagaimana perkembangan kesehatannya pascadirawat. Ternyata, menurut cerita kerabat lainnya, dia menjalani pemeriksaan endoskopi di rumah sakit lain. Hasilnya, memang hatinya yang bermasalah. Pasal yang membuat hatinya bermasalah adalah lantaran memendam perasaan. Tidak menemukan saluran komunikasi yang representatif untuk keluarnya uneg-uneg di dalam dada. Begitu juga tak menemukan orang yang tepat untuk menampung segala keluh kesah yang ditumpahkan.

saluran komunikasi yang baik akan menyehatan hubungan antarpersonal
Itulah sebab, begitu kami (saya dan nyonya) masuk ruang rawatnya saat itu, baru saja kami duduk, dia langsung nyerocos mengeluarkan segala cerita, baik tentang diri dan sakit yang dideritanya, tentang anak dan suaminya, serta tentang adiknya dan sang suami. Baru saya sadari, dia berani nyerocos mungkin karena dia menganggap kami adalah orang yang tepat untuk menampung curahan perasaan yang selama ini tertahan dalam dadanya. Sehingga tanpa banyak prasangka dia mau saja bercerita tentang banyak hal.

Kalau menurut bahasa orang tua, dia mengalami apa yang disebut cikot atau pelik hati. Suatu keadaan yang diakibatkan terlampau berat beban pikiran atau perasaan, ditahan dan ditahan hingga terakumulasi menjadi lebih menumpuk dan menyesakkan dada. Mungkin akibat tekanan pihak lain, misal suaminya sendiri atau masalah lain yang terlampau dipikirkan di luar kemampuan.

Sedangkan Alloh tidak memikulkan kewajiban kepada diri seseorang 
melainkan sekedar kesanggupannya. (Q.S. Al-A’raaf [7] : 42)

lebih baik lagi kalau dalam berkomunikasi tidak hanya lewat pembicaraan
tapi juga diekspresikan melalui sentuhan badani 
Saluran komunikasi antara suami-istri kalau mampet tentu akan membuat suara batin tertahan. Bahayanya, bila suatu waktu meledak tak terkendali, ditumpahkan secara gamblang sehingga apa yang seharus jadi rahasia berubah menjadi bukan rahasia. Celakanya, kalau tempat menumpahkan suara batin itu bukan orang yang bisa menyimpan rahasia, maka apa yang diceritakan akan menyebar ke mana-mana.

Sejatinya, di dalam suatu rumah tangga, komunikasi antara suami dan istri harus dibuat sehat dalam arti berjalan dua arah atau timbal balik. Bila komunikasi hanya berjalan searah, itu pertanda tidak sehat. Hanya lega di satu pihak sedang pihak lainnya memendam perasaan. Bila perasaan yang ditahan itu sesuatu yang tidak nyaman, lama-lama akan mengkristal menjadi penyakit hati. Bisa jadi hal seperti inilah yang dialami kerabat di atas, sehingga merasa takut di rumah sendiri. Lalu, hilang ke mana ”baiti jannati” rumahku adalah surgaku. Kalau sudah tidak dia temukan di dalam rumahnya sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.