Senin, 16 November 2015

Ki Ledjar Subroto, Pengalih Rupa Tokoh-Tokoh ke Bentuk Wayang

Melalui wayang, Ki Ledjar Subroto ”membaca” sejarah Indonesia-Belanda. Dia mengalih rupa tokoh-tokoh sejarah kedua bangsa dalam wayang. Mulai bapak bangsa Belanda Willem Van Oranje, Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon (JP) Coen, Raja Mataram Sultan Agung, hingga Presiden Soekarno.

Karyanya Jadi Bahan Kurikulum SD di Inggris
Ki Ledjar Subroto bersama wayang JP Coen dan Soekarno ciptaannya di Sanggar Wayang Kancil

PRIA kelahiran Wonosobo 20 Mei 1938 itu diam-diam juga menyumbang ide media pembelajaran. Karya pria yang dikenal sebagai dalang wayang kancil sekaligus pembuat wayang ini menarik para praktisi pendidikan di luar negeri.

Pasalnya, karakteristik dan pertunjukan wayang sangat khas Indonesia. Bagi anak-anak, ini lebih menarik dan mengena untuk mempelajari sejarah.  Saat ini, dia tengah menyelesaikan wayang JP Coen pesanan RJ Spruit dari Museum Westfries, Hoorn, dan seseorang yang mengaku kerabat JP Coen. ”Tapi saya lupa namanya, catatannya ketlingsut. Pokoknya nanti kalau wayang selesai suruh dititipkan sama Profesor Heidi Hinzler (pakar kebudayaan Jawa di Universitas Leiden),” jelasnya saat ditemui di Sanggar Wayang Kancil sekaligus rumahnya di Jalan Mataram DN I/370, Yogyakarta.

Tampak beberapa wayang setengah jadi di sanggar sederhana yang didirikan pada 1974 itu. Beberapa di antaranya wayang JP Coen dan Soekarno. Wayang yang dibuat dari kulit kerbau itu sudah selesai ditatah sungging. Namun, tangkai atau cempurit belum terpasang. ”Pokoknya mereka itu ngakunya pencinta seni. Terus ingin punya wayang leluhur. Mereka tertarik setelah melihat koleksi wayang JP Coen saya di Museum Westfries,” ujar pria yang hampir seluruh rambutnya memutih ini.

Wayang yang dimaksud adalah satu set koleksi yang dipesan Museum Westfries pada 1987. Wayang itu dipesan dalam rangka peringatan 200 tahun VOC. Museum Westfries juga merasa perlu mengoleksinya karena JP Coen dilahirkan di Kota Hoorn.

Paket wayang ini menggambarkan sejarah masa pemerintahan VOC di Hindia Belanda. Seperti diketahui, pada saat JP Coen berkuasa, ia dua kali diserang Mataram pada 1628 dan 1629. Meski dapat menggagalkan Mataram, tak lama setelah serangan itu JP Coen tewas. Diduga akibat terkena wabah kolera.  Melengkapi rangkaian sejarah, Ledjar juga membuat wayang keluarga dan kubu JP Coen.

Di antaranya sang istri, Eva Ment, juga ayahnya, Sukmul dan ibunya, Tanuraga. Kemudian juga  rampogan atau orang-orang Belanda. Dari pihak Mataram antara lain ditampilkan wayang Sultan Agung, Pangeran Purbaya, Pangeran Jayawikrama, dan tiga prajurit. ”Yang tokoh-tokoh Belanda, saya dikasih fotonya dari koleksi museum, terus saya ubah dengan gaya wayang,” tutur bapak dua anak itu.

Sementara, tokoh-tokoh Indonesia yang belum pernah terdokumentasi dalam foto dia kreasi sendiri. Misalnya pakaian merujuk pada tata busana tokoh saat dimainkan dalam ketoprak. Meski dipesan museum dari Belanda, Ledjar tetap mempertahankan pandangannya atas sejarah dan pakem wayang. Maka, JP Coen yang dikenal kejam itu bersama orang-orang Belanda ditempatkan di sebelah kiri dalam pakeliran. ”Saya lihat di museum JP Coen dan teman-temannya ditaruh di kiri. Ya sudah berarti benar, sesuai wayang purwa, tokoh-tokoh yang jahat di kiri,” jelasnya.

Nyantrik

Selain Museum Westfries, ternyata Museum Bronbeek juga tertarik. Museum yang menyimpan sejarah KNIL (tentara Hindia Belanda) ini akhirnya memesan satu set wayang tentang sejarah revolusi fisik pasca-1945 di Indonesia. ”Tokoh-tokohnya Bung Karno, Bung Hatta dan pengikutnya yang tidak mau menyerah karena agresi Belanda,” jelasnya.

Ketertarikan mereka terhadap karya Ledjar bermula dari wayang kancil. Wayang ini sebenarnya fabel yang ceritanya dikembangkan dari dongeng kancil. ”Nah, di wayang kancil itu kan selain binatang ada tokoh petani. Mereka bilang kok bagus. Terus mereka minta dibuatkan tokoh-tokoh sejarah Belanda yang pernah berada di Indonesia. Jadi yang dipesan Belanda itu wayang VOC, wayang revolusi, dan wayang kancil,” terangnya.

Kepiawaian Ledjar membuat wayang kontemporer ini sudah tumbuh saat ia bergabung dengan Wayang Orang Ngesti Pandowo pada 1951-1960. Nama Ledjar merupakan pemberian dalang dan komponis karawitan legendaris Ki Narto Sabdo yang juga tergabung dalam grup tersebut.

Semula ia bernama Jariman. Nama Ledjar dimaksudkan agar ia bisa menyenangkan hati siapa saja. Selama nyantrik, kegemarannya menggambar terbaca oleh Narto Sabdo. Ki Narto yang dikenal kreatif lalu menyuruh Ledjar membuat wayang kreasi di luar wayang purwa. ”Pernah disuruh buat sepeda, sepeda motor, kereta. Tapi wayang purwa juga buat,” ungkapnya sembari menunjukkan foto hitam putihnya bersama Ki Narto Sabdo di atas gawang pintu rumah.

Meski akhirnya dia memutuskan untuk merantau ke Yogyakarta, hubungan keduanya tetap baik layaknya bapak-anak. Ledjar hanya ingin mandiri dengan menjual hasil karyanya pada para turis. Kesetiaan Ledjar pada wayang kontemporer membuat dia sering diundang ke Belanda untuk tampil dalam berbagai festival. Umumnya lakon dari wayang kancil yang diminta tampil. Terakhir, tahun 2013 ia diundang menghadiri Festival Wayang Sedunia di Inggris. Boleh dikata wayang ciptaan Ledjar justru mendapat tempat dan menuai apresiasi dari luar negeri.

Tak hanya itu, banyak orang Eropa belajar ndalang padanya. Antara lain Rien Baartmans (Belanda), Anna (Inggris), Yogen dan Arno (Jerman), dan sebagainya. Wayang kancil kreasi Ledjar juga dijadikan penelitian untuk tesis dan disertasi Sarah Bilby dari University of London. ”Orang-orang Eropa senang dengan wayang saya karena dinilai tepat untuk sarana belajar anak-anak. Di Inggris utara, wayang saya dikenalkan oleh Anna. Dia ini dulu belajar sama saya. Karena cocok, dimasukkan materi kurikulum SD di sana,”  paparnya.

Ada hal menarik lain menyangkut wayang kancil Ledjar dan penemuan naskah asli cerita kancil. Setelah puluhan tahun menggeluti wayang kancil baru di sana, Ledjar menemukan naskah asli dongeng yang sangat populer di Jawa itu.

Senang Sekali

Buku itu berjudul Het Boek Van Den Kantjil yang diterbitkan pada 1889. Meski berjudul Belanda, kumpulan cerita yang ditulis beberapa pujangga Jawa ini berhuruf Jawa.  ”Saya senang sekali, ini sangat berharga. Langsung saya fotokopi. Saya terjemahkan, tapi belum selesai,” kata Ledjar.

Yang ironis, di dalam negeri nasib wayang Ledjar justru kurang diperhatikan. Dia bahkan pernah kecewa pada sebuah katalog yang diterbitkan Yayasan Pewayangan terkemuka. Pasalnya, wayang karyanya ditulis sebagai wayang buatan orang lain, dan dikoleksi salah satu museum di Belanda.

”Tidak bisa dibohongi, karena di setiap sambungan kaki wayang saya tulis nama saya dengan huruf Jawa. Tapi di katalog itu sengaja dihilangkan supaya tidak ketahuan itu karya saya. Saya tidak tahu maksudnya apa,” ucapnya.

Ledjar yang punya cukup banyak teman di Belanda akhirnya meminta bantuan melacak wayang tersebut. Hasilnya, justru museum-museum di Negeri Kincir Angin dengan tegas menyatakan wayang tersebut karya Ki Ledjar Subroto. ”Bisa dinilai sendiri. Kenyataannya itu benar-benar terjadi,” ujarnya.

(Sony Wibisono/Suara Merdeka)

Sabtu, 07 November 2015

Mati Bahagia

Soe Hok Gie pernah bilang, ”Seorang filsuf Yunani pernah menulis; nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah yang berumur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda.”

Dan, Soe Hok Gie, termasuk golongan orang yang berbahagia itu, karena ia mati muda. Kurt Cobain melalui surat kematiannya yang mengutip lirik lagu Neil Young yang berjudul My My, Hey Hey (Out of the Blue) mengatakan, ”Lebih baik terbakar habis daripada memudar.” Dan ia pun mati muda.

Penyair Chairil Anwar sepertinya sudah mendapat firasat kalau tak akan berumur panjang. Karenanya, dalam sebuah puisinya dia menulis ”sekali berarti sesudah itu mati.” Frase itu sangat terkenal sehingga diartikan sebagai tabir pelindung bagi Chairil Anwar terhadap firasat kematiannya.

Piagam Penghargaan yang saya terima dari perusahaan.
28 Oktober lalu, usia saya genap 54 tahun. Artinya masuk dalam kategori tua. Terlepas jauh dari golongan orang yang mati muda. Meski demikian, sejauh berusah memperbaiki diri, tentu tetap terbuka peluang untuk masuk dalam golongan orang yang berbahagia, walaupun mati di usia tua.

10 hari dari tanggal penanda ulang tahun itu, di acara puncak HUT ke-47 perusahaan tempat bekerja, saya dianuherahi Piagam Penghargaan dari perusahaan. Kategorinya sebagai apa tidak jelas benar. Hanya ada tulisan ”Setia dalam Kebersamaan” selama masa pengabdian.

Soe Hok Gie dan Chairil Anwar sama-sama mati muda, di usia sekitar 27 tahunan. Nike Ardilla meninggal di usia 22 tahun, Olga Syahputra meninggal di usia 32 tahun. Kurt Cobain, Jimi Hendrix, Brian Jones, dan lain-lainnya juga memilih mati muda dengan caranya masing-masing.

Bimbo dalam lagu mereka Hidup dan Pesan Nabi: ”Hidup bagaikan garis lurus, tak pernah kembali ke masa lalu. Hidup bukan bulatan bola yang tiada ujung, dan tiada pangkal. Hidup ini melangkah terus mendekati titik terakhir. Setiap langkah hilanglah jatah menikmati hidup, nikmati dunia.”

Begitulah, setiap yang berjiwa pasti mati. Setiap kehidupan akan menemui sisi dualitasnya: kematian. Itu keniscayaan. Hanya saja yang tidak pasti adalah kapan waktunya, bagaimana kejadiannya, di mana tempatnya. Itu bagian dari rahasia si pemilik kehidupan.

Usia saya yang 54, terpental jauh dari usia emas kematian (usia 25-30), bukan berarti hilang kesempatan untuk mati dalam kebahagiaan. Meskipun belum terbayang (tak berani membayangkannya) bagaimana kehidupan selanjutnya. Yang penting jalani saja garis lurus menuju misteri kematian.

Di tahun ’87an, ada satu film berjudul ’No Die Before Dishonor’ kurang lebih pengertiannya tiada penghargaan sebelum kematian. Faktanya demikian, banyak manusia di masa hidupnya seperti tidak dihargai. Tapi begitu telah tiada baru jasa-jasanya disebut berguna dan dikenang-kenang.

Drs Suyadi alias Pak Raden yang menciptakan beberapa tokoh dalam film boneka ”Si Unyil” yang dibuat oleh Produksi Film Negara (PFN) dan ditayangkan di TVRI sejak tahun 1981 hingga 1993, telah menjadi tontonan sekaligus tuntunan bagi anak-anak Indonesia di masa itu.

Sebelum muncul di layar kaca, boneka Si Unyil ditampilkan Pak Raden sebagai media mendongeng sejak tahun 1978. Anak-anak generasi ’80an cukup familiar dengan Pak Raden dan boneka Unyilnya, terutama yang rajin hadir dalam acara mendongengnya Pak Raden secara periodik.

Bahkan, setelah hak siarnya tidak lagi dipegang oleh PFN melainkan telah menjadi produk komersial dan ditayangkan di TRANS7 dalam format yang lebih keren dan isi cerita yang variatif. Membuat Si Unyil dan tokoh lain ciptaan Pak Raden, semakin disukai tidak hanya oleh anak-anak tapi juga orang dewasa.

Sayangnya, Pak Raden, hidup di masa tuanya tidak sebahagia anak-anak Indonesia yang terhibur oleh tokoh-tokoh ciptaannya itu. Pak Raden tidak pernah menikmati sepeserpun royalti atas tayangan tokoh adaptif yang diciptakannya itu. Padahal itu bagian dari hak kekayaan intelektual yang patut dihargai.

Dalam perayaan HUT ke-13 media infotainment SILET di RCTI (26 Oktober), Pak Raden terpilih sebagai pemenang hadiah satu unit rumah (dari tiga nomine; Laila Sari, Aminah Cendrakasih dan Pak Raden). Pak Raden tidak bisa mengungkapkan kegembiraannya dengan banyak kata. Kecuali TERIMA KASIH.

Dan, beberapa hari setelah menerima penghargaan rumah itu, Pak Raden meninggal dunia dalam usia 82 tahun. Tepatnya hari Jumat (30 Oktober) pukul 22.20 di RS Pelni, Petamburan, Jakarta Barat. Pak Raden dilarikan ke RS pada Jumat siang dan dirawat di ruang ICU beberapa jam kemudian meninggal. 

Padahal Pak Raden berkeinginan keras untuk hadir pada acara Festival Dongeng Internasional Indonesia (FDII) 2015 yang digelar Sabtu (31 Oktober) hingga Minggu (1 November). Kematian Pak Raden menghadirkan kesedihan di hati para pendongeng. Salah satunya Ariyo Zidni dari Komunitas Ayo Dongeng Indonesia.

Sungguh sebuah akhir yang indah bagi Pak Raden. Meski tidak pernah dihargai hasil karyanya dalam bentuk pembayaran royalti. Namun, rasanya Pak Raden mati bahagia setelah dihadiahi rumah oleh SILET, dalam kategori Livetime Achievement Award Tersilet pada ajang SILET AWARD 2015.

Meski mendapat hadiah rumah, ternyata Alloh Swt telah membangunkan rumah di Surga bagi Pak Raden. Ya, Pak Raden mati bahagia karena telah tersedia rumah indah di Surga. Apalagi Pak Raden meninggal di hari Jumat, yang dinyatakan sebagai salah satu tanda husnul khotimah. Ganjarannya terbebas dari azab kubur.

Akankah saya juga demikian. Mudah-mudahan Ya Alloh Engkau bukakan jalannya. Menikmati sisa usia yang entah tinggal berapa, saya ingin menyaksikan anak-anak saya bahagia dengan segala prestasi dan kesuksesan mereka. Untuk jalan saya mati bahagia.

Sabtu, 7 November 2015