Sabtu, 07 November 2015

Mati Bahagia

Soe Hok Gie pernah bilang, ”Seorang filsuf Yunani pernah menulis; nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah yang berumur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda.”

Dan, Soe Hok Gie, termasuk golongan orang yang berbahagia itu, karena ia mati muda. Kurt Cobain melalui surat kematiannya yang mengutip lirik lagu Neil Young yang berjudul My My, Hey Hey (Out of the Blue) mengatakan, ”Lebih baik terbakar habis daripada memudar.” Dan ia pun mati muda.

Penyair Chairil Anwar sepertinya sudah mendapat firasat kalau tak akan berumur panjang. Karenanya, dalam sebuah puisinya dia menulis ”sekali berarti sesudah itu mati.” Frase itu sangat terkenal sehingga diartikan sebagai tabir pelindung bagi Chairil Anwar terhadap firasat kematiannya.

Piagam Penghargaan yang saya terima dari perusahaan.
28 Oktober lalu, usia saya genap 54 tahun. Artinya masuk dalam kategori tua. Terlepas jauh dari golongan orang yang mati muda. Meski demikian, sejauh berusah memperbaiki diri, tentu tetap terbuka peluang untuk masuk dalam golongan orang yang berbahagia, walaupun mati di usia tua.

10 hari dari tanggal penanda ulang tahun itu, di acara puncak HUT ke-47 perusahaan tempat bekerja, saya dianuherahi Piagam Penghargaan dari perusahaan. Kategorinya sebagai apa tidak jelas benar. Hanya ada tulisan ”Setia dalam Kebersamaan” selama masa pengabdian.

Soe Hok Gie dan Chairil Anwar sama-sama mati muda, di usia sekitar 27 tahunan. Nike Ardilla meninggal di usia 22 tahun, Olga Syahputra meninggal di usia 32 tahun. Kurt Cobain, Jimi Hendrix, Brian Jones, dan lain-lainnya juga memilih mati muda dengan caranya masing-masing.

Bimbo dalam lagu mereka Hidup dan Pesan Nabi: ”Hidup bagaikan garis lurus, tak pernah kembali ke masa lalu. Hidup bukan bulatan bola yang tiada ujung, dan tiada pangkal. Hidup ini melangkah terus mendekati titik terakhir. Setiap langkah hilanglah jatah menikmati hidup, nikmati dunia.”

Begitulah, setiap yang berjiwa pasti mati. Setiap kehidupan akan menemui sisi dualitasnya: kematian. Itu keniscayaan. Hanya saja yang tidak pasti adalah kapan waktunya, bagaimana kejadiannya, di mana tempatnya. Itu bagian dari rahasia si pemilik kehidupan.

Usia saya yang 54, terpental jauh dari usia emas kematian (usia 25-30), bukan berarti hilang kesempatan untuk mati dalam kebahagiaan. Meskipun belum terbayang (tak berani membayangkannya) bagaimana kehidupan selanjutnya. Yang penting jalani saja garis lurus menuju misteri kematian.

Di tahun ’87an, ada satu film berjudul ’No Die Before Dishonor’ kurang lebih pengertiannya tiada penghargaan sebelum kematian. Faktanya demikian, banyak manusia di masa hidupnya seperti tidak dihargai. Tapi begitu telah tiada baru jasa-jasanya disebut berguna dan dikenang-kenang.

Drs Suyadi alias Pak Raden yang menciptakan beberapa tokoh dalam film boneka ”Si Unyil” yang dibuat oleh Produksi Film Negara (PFN) dan ditayangkan di TVRI sejak tahun 1981 hingga 1993, telah menjadi tontonan sekaligus tuntunan bagi anak-anak Indonesia di masa itu.

Sebelum muncul di layar kaca, boneka Si Unyil ditampilkan Pak Raden sebagai media mendongeng sejak tahun 1978. Anak-anak generasi ’80an cukup familiar dengan Pak Raden dan boneka Unyilnya, terutama yang rajin hadir dalam acara mendongengnya Pak Raden secara periodik.

Bahkan, setelah hak siarnya tidak lagi dipegang oleh PFN melainkan telah menjadi produk komersial dan ditayangkan di TRANS7 dalam format yang lebih keren dan isi cerita yang variatif. Membuat Si Unyil dan tokoh lain ciptaan Pak Raden, semakin disukai tidak hanya oleh anak-anak tapi juga orang dewasa.

Sayangnya, Pak Raden, hidup di masa tuanya tidak sebahagia anak-anak Indonesia yang terhibur oleh tokoh-tokoh ciptaannya itu. Pak Raden tidak pernah menikmati sepeserpun royalti atas tayangan tokoh adaptif yang diciptakannya itu. Padahal itu bagian dari hak kekayaan intelektual yang patut dihargai.

Dalam perayaan HUT ke-13 media infotainment SILET di RCTI (26 Oktober), Pak Raden terpilih sebagai pemenang hadiah satu unit rumah (dari tiga nomine; Laila Sari, Aminah Cendrakasih dan Pak Raden). Pak Raden tidak bisa mengungkapkan kegembiraannya dengan banyak kata. Kecuali TERIMA KASIH.

Dan, beberapa hari setelah menerima penghargaan rumah itu, Pak Raden meninggal dunia dalam usia 82 tahun. Tepatnya hari Jumat (30 Oktober) pukul 22.20 di RS Pelni, Petamburan, Jakarta Barat. Pak Raden dilarikan ke RS pada Jumat siang dan dirawat di ruang ICU beberapa jam kemudian meninggal. 

Padahal Pak Raden berkeinginan keras untuk hadir pada acara Festival Dongeng Internasional Indonesia (FDII) 2015 yang digelar Sabtu (31 Oktober) hingga Minggu (1 November). Kematian Pak Raden menghadirkan kesedihan di hati para pendongeng. Salah satunya Ariyo Zidni dari Komunitas Ayo Dongeng Indonesia.

Sungguh sebuah akhir yang indah bagi Pak Raden. Meski tidak pernah dihargai hasil karyanya dalam bentuk pembayaran royalti. Namun, rasanya Pak Raden mati bahagia setelah dihadiahi rumah oleh SILET, dalam kategori Livetime Achievement Award Tersilet pada ajang SILET AWARD 2015.

Meski mendapat hadiah rumah, ternyata Alloh Swt telah membangunkan rumah di Surga bagi Pak Raden. Ya, Pak Raden mati bahagia karena telah tersedia rumah indah di Surga. Apalagi Pak Raden meninggal di hari Jumat, yang dinyatakan sebagai salah satu tanda husnul khotimah. Ganjarannya terbebas dari azab kubur.

Akankah saya juga demikian. Mudah-mudahan Ya Alloh Engkau bukakan jalannya. Menikmati sisa usia yang entah tinggal berapa, saya ingin menyaksikan anak-anak saya bahagia dengan segala prestasi dan kesuksesan mereka. Untuk jalan saya mati bahagia.

Sabtu, 7 November 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.