”Sesungguhnya rumah yang mula-mula
dibangun untuk (tempat beribadah)
manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah
(Mekah) yang diberkahi dan menjadi
petunjuk bagi semua manusia.”
Firman Alloh
SWT pada Surah Ali Imran 96 di atas diturunkan sebagai bantahan atas anggapan
para Ahli Kitab (Kaum Kitabiyah) bahwa rumah ibadah yang pertama dibangun
berada di Baitul Maqdis, oleh karena itu Alloh membantahnya.
Baitullah yang
juga disebut Kakbah kemudian menjadi pusat kiblat (tempat mengarahkan muka) bagi
umat Islam di penjuru dunia dalam melaksanakan ritual salat lima waktu. Dan bila
bulan Zulhijjah jutaan umat muslim dunia akan mendatanginya untuk menunaikan
ibadah haji. Hal ini didasarkan atas firman Alloh dalam Surah Ali Imran 97: ”Dan
serulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu
dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap
penjuru yang jauh.”
Lorong di bawah bangunan bulat seperti kubah di atas Bukit Safa, di sinilah ritual Sya'i dimulai |
Unta yang
kurus untuk mengiaskan betapa payahnya unta menempuh perjalanan jauh antara
Mekah dan Madinah dengan menyandang beban para jamaah haji. Kenyataan ini
adalah konteks pada zaman Rasululloh SAW. Konteks kekinian sungguh jauh
berbeda, antara Mekah dan Madinah sudah terbentang jalan yang mulus dan moda
transportasi yang bisa dipergunakan jamaah haji adalah bus atau taksi.
Setiap tahun
jumlah umat muslim yang berangkat haji semakin meningkat, bila saja tidak
dibatasi tentu tidak akan tertampung semuanya. Karena itu, pemerintah Keajaan
Arab Saudi perlu memberlakukan kuota haji bagi tiap-tiap negara. Demi meningkatkan
daya tampung Masjidil Haram pun berbagai bangunan permukiman penduduk dan
hotel-hotel di sekitarnya sudah diruntuhkan untuk kepentingan memperluas area
Masjidil Haram.
Untuk mempermudah jamaah haji bertawaf mengelilingi Kakbah,
Masjidil Haram dibangun bertingkat, sehingga bila merasa tidak nyaman dan aman
bertawaf di seputaran Kakbah karena ramainya manusia, maka tawaf bisa dilakukan
di lantai 2, 3, 4, dan seterusnya. Hanya saja membutuhkan waktu yang lama
(kurang lebih 1 jam untuk menyelesaikan 7 kali putaran tawaf).
Simbol Pencarian
Ibadah Sya’i
pun tidak seperti dulu, keberadaan Bukit Safa dan Marwa jauh dari tempat
Kakbah (Masjidil Haram). Dulu Bukit Safa yang terletak di selatan agak ke kiri
Masjidil Haram berjarak kurang lebih 130 meter. Sebagai dampak perluasan
Masjidil Haram, dengan sendirinya Bukit Safa makin dekat dengan Masjidil
Haram. Bahkan untuk memulai Sya’i, jamaah haji bisa melakukannya tepat di luar salah
satu pintu Masjidil Haram. Tidak harus susah payah dan berpanasan seperti di
masa-masa awal atau beberapa puluh tahun lalu. Ibadah Sya’i adalah untuk
menggambarkan perjuangan Siti Hajar berlari-lari kecil antara Safa-Marwa ketika
mencari sumber air untuk minum bayinya Ismail AS yang kehausan.
Seperti ini denah tata letak Shafa-Marwa dengan Masjidil Haram saat ini |
Kini di atas
Bukit Safa sudah dibangun atap bulat berbentuk kubah, dan Sya’i bisa dilakukan
dengan sangat nyaman, karena dalam terowongan yang berpendingin udara yang
sejuk, jalan tempuhnya pun dibuat dua lantai bisa di lantai bawah dan bisa juga
di lantai atas masing-masing dua jalur berlawanan arah dari Safa ke Marwa (dan
sebaliknya) juga dilengkapi jalur untuk kereta dorong yang diperuntukkan bagi
jamaah yang sakit, berusia lanjut atau orang yang lemah. Di antara Bukit Safa
dan Marwah terdapat Bathnul Waad, yaitu kawasan yang (saat ini ditandai dengan
lampu neon berwarna hijau), para jamaah pria disunahkan untuk berlari-lari
kecil, sedangkan untuk jamaah wanita cukup dengan berjalan cepat.
Ibadah Sya’i
adalah simbol pencarian. Yaiu ketika Siti Hajar istri Nabi Ibrahim AS mencari
air untuk minum anaknya Ismail AS yang kehausan. Pencarian Siti Hajar itu kemudian
diabadikan menjadi salah satu rukun ibadah haji. Usaha mendapatkan air untuk
minum yang dilakukan Siti Hajar, menegasi bahwa dalam memenuhi kebutuhan hidupnya,
manusia harus berusaha mencarinya. Tapi tentu saja dengan cara-cara yang sesuai
dengan aturan yang berlaku (tidak melanggar susila dan martabat kemanusiaan
serta hukum positif yang berlaku sesuai aturan negara dan sosial kemasyarakatan).
Watak
Haji
Perintah menunaikan
ibadah haji sebagaimana tersebut dalam firman Alloh pada Surah Ali Imran 97
adalah kewajian yang dibatasi. Maksudnya, dibatasi oleh beberapa persyaratan, di
antaranya hanya wajib bagi mereka yang mampu dalam hal kekuatan fisik,
kecukupan bekal di perjalanan (pergi dan pulang) serta bagi keluarga yang
ditinggalkan. Sebenarnya tidak begitu berat memenuhinya, karena beberapa Bank
menawarkan fasilitas pinjaman. Artinya, bisa berangkat haji dulu baru kemudian
mencicil utang ke Bank. Tetapi sejauh apa kehalalan hukumnya berhaji dengan cara-cara yang dananya bersentuhan dengan perbuatan riba seperti ini, wallahu ’alam bish-shawab. Dan, naik haji sebaiknya cukup sekali saja tidak berulang-ulang, hal ini demi memberi peluang bagi mereka yang terkendala ’waiting list’ yang panjang karena terbatasnya kuota.
Atau kalau
tidak ingin berutang, BPIH bisa dilunasi dengan menjual aset seperti tanah. Bahkan
ada petani yang rela menjual sawah demi mewujudkan keinginannya menunaikan ibadah
haji. Tapi belakangan petani ini dapat fasilitas naik haji gratis dari salah
satu stasiun TV swasta dan setoran BPIHnya ke Bank dikembalikan berikut sawah
yang telah dijual kembali ditebus. Ada juga orang bisa mewujudkan cita-cita
berhaji setelah menabung sekian rupiah bertahun-tahun. Atau kalau mujur
dinaikkan haji oleh seseorang yang berkelimpahan harta, atau oleh pemerintah, atau
oleh perusahaan tempatnya bekerja. Mungkin juga bisa naik haji lantaran ketiban pulung dari boomingnya batu akik. Banyak macam cara dan jalan menuju
Baitullah.
Tapi, sesungguhnya
apa yang penting dari ritual ibadah haji? Kalau sekadar mencari identitas
kehajian tentu sangat disayangkan. Faktanya banyak orang begitu bangga
mencantumkan gelar haji/hajah di depan namanya. Begitu bangga juga karena naik haji dua atau tiga kali. Tapi watak haji atau hajahnya
sama sekali tidak tecermin dalam sikap kesehariannya. Jangankan ibadah sunnah,
yang hukumnya wajib saja diabaikan seperti tak ada beban. Justru yang lebih
menonjol adalah sifat materialisnya dengan mendewakan harta kekayaan,
menghambakan diri kepada kerakusan mencari penghidupan. Bahkan ada yang dengan
sombongnya menyekutukan Alloh dengan menuhankan batu akik, karena bisa naik haji berkat bisnis batu akiknya meraup keuntungan. Beratus macam nama
batu akik dia hapal di luar kepala, sedangkan nama Tuhan Alloh SWT yang hanya
99 bisa jadi tak pernah disebut-sebutnya.
Mutilasi Waktu
siapa bilang waktu tak bisa
dimutilasi
bukankah Tuhan membagi menjadi
limapuluh kesempatan
untuk setiap waktunya bagi badan dan
ruh jeda sejenak
mengunjungi menyapa-Nya, bersimpuh memanjatkan doa
tapi, Musa menyuruh Muhammad
bernegosiasi minta reduksi
jadilah tinggal lima waktu dari
sepanjang siang dan malam
itupun masih banyak yang keberatan,
lalu mengabaikannya
asyik pada kesenangan duniawi, melalaikan tujuan sejati
sepanjang waktu dihabiskan memutilasi
batu
memberinya nama-nama indah beratus
buah
nama Tuhan yang hanya
sembilanpuluhsembilan
tak pernah dirafal apalagi dihapal luar kepala
perilaku memuja batu, melanda di
mana-mana
batu perlambang Tuhan, digosok-gosok
setiap waktu
tuhan sesungguhnya tak diberi waktu
dan kesempatan
untuk dikunjungi disapa sekejap tiap lima waktu sekali
mutilasi waktu dalam hidup manusia
menjadi cacahan-cacahan antara
bekerja, makan dan tidur
Tuhan hanya minta lima dari
duapuluhempat jam
kesempatan bagi-Nya untuk disapa
dalam eja doa
10 Zulhijjah
1436 H – 24 September 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.