Jumat, 25 September 2015

Watak Haji

”Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadah) 
manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi 
petunjuk bagi semua manusia.”

Firman Alloh SWT pada Surah Ali Imran 96 di atas diturunkan sebagai bantahan atas anggapan para Ahli Kitab (Kaum Kitabiyah) bahwa rumah ibadah yang pertama dibangun berada di Baitul Maqdis, oleh karena itu Alloh membantahnya.

Baitullah yang juga disebut Kakbah kemudian menjadi pusat kiblat (tempat mengarahkan muka) bagi umat Islam di penjuru dunia dalam melaksanakan ritual salat lima waktu. Dan bila bulan Zulhijjah jutaan umat muslim dunia akan mendatanginya untuk menunaikan ibadah haji. Hal ini didasarkan atas firman Alloh dalam Surah Ali Imran 97: ”Dan serulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh.”

Lorong di bawah bangunan bulat seperti kubah di atas Bukit Safa, di sinilah ritual Sya'i dimulai  
Unta yang kurus untuk mengiaskan betapa payahnya unta menempuh perjalanan jauh antara Mekah dan Madinah dengan menyandang beban para jamaah haji. Kenyataan ini adalah konteks pada zaman Rasululloh SAW. Konteks kekinian sungguh jauh berbeda, antara Mekah dan Madinah sudah terbentang jalan yang mulus dan moda transportasi yang bisa dipergunakan jamaah haji adalah bus atau taksi.

Setiap tahun jumlah umat muslim yang berangkat haji semakin meningkat, bila saja tidak dibatasi tentu tidak akan tertampung semuanya. Karena itu, pemerintah Keajaan Arab Saudi perlu memberlakukan kuota haji bagi tiap-tiap negara. Demi meningkatkan daya tampung Masjidil Haram pun berbagai bangunan permukiman penduduk dan hotel-hotel di sekitarnya sudah diruntuhkan untuk kepentingan memperluas area Masjidil Haram. 

Untuk mempermudah jamaah haji bertawaf mengelilingi Kakbah, Masjidil Haram dibangun bertingkat, sehingga bila merasa tidak nyaman dan aman bertawaf di seputaran Kakbah karena ramainya manusia, maka tawaf bisa dilakukan di lantai 2, 3, 4, dan seterusnya. Hanya saja membutuhkan waktu yang lama (kurang lebih 1 jam untuk menyelesaikan 7 kali putaran tawaf).

Simbol Pencarian

Ibadah Sya’i pun tidak seperti dulu, keberadaan Bukit Safa dan Marwa jauh dari tempat Kakbah (Masjidil Haram). Dulu Bukit Safa yang terletak di selatan agak ke kiri Masjidil Haram berjarak kurang lebih 130 meter. Sebagai dampak perluasan Masjidil Haram, dengan sendirinya Bukit Safa makin dekat dengan Masjidil Haram. Bahkan untuk memulai Sya’i, jamaah haji bisa melakukannya tepat di luar salah satu pintu Masjidil Haram. Tidak harus susah payah dan berpanasan seperti di masa-masa awal atau beberapa puluh tahun lalu. Ibadah Sya’i adalah untuk menggambarkan perjuangan Siti Hajar berlari-lari kecil antara Safa-Marwa ketika mencari sumber air untuk minum bayinya Ismail AS yang kehausan. 
Seperti ini denah tata letak Shafa-Marwa dengan Masjidil Haram saat ini

Kini di atas Bukit Safa sudah dibangun atap bulat berbentuk kubah, dan Sya’i bisa dilakukan dengan sangat nyaman, karena dalam terowongan yang berpendingin udara yang sejuk, jalan tempuhnya pun dibuat dua lantai bisa di lantai bawah dan bisa juga di lantai atas masing-masing dua jalur berlawanan arah dari Safa ke Marwa (dan sebaliknya) juga dilengkapi jalur untuk kereta dorong yang diperuntukkan bagi jamaah yang sakit, berusia lanjut atau orang yang lemah. Di antara Bukit Safa dan Marwah terdapat Bathnul Waad, yaitu kawasan yang (saat ini ditandai dengan lampu neon berwarna hijau), para jamaah pria disunahkan untuk berlari-lari kecil, sedangkan untuk jamaah wanita cukup dengan berjalan cepat.

Ibadah Sya’i adalah simbol pencarian. Yaiu ketika Siti Hajar istri Nabi Ibrahim AS mencari air untuk minum anaknya Ismail AS yang kehausan. Pencarian Siti Hajar itu kemudian diabadikan menjadi salah satu rukun ibadah haji. Usaha mendapatkan air untuk minum yang dilakukan Siti Hajar, menegasi bahwa dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia harus berusaha mencarinya. Tapi tentu saja dengan cara-cara yang sesuai dengan aturan yang berlaku (tidak melanggar susila dan martabat kemanusiaan serta hukum positif yang berlaku sesuai aturan negara dan sosial kemasyarakatan).     

Watak Haji

Perintah menunaikan ibadah haji sebagaimana tersebut dalam firman Alloh pada Surah Ali Imran 97 adalah kewajian yang dibatasi. Maksudnya, dibatasi oleh beberapa persyaratan, di antaranya hanya wajib bagi mereka yang mampu dalam hal kekuatan fisik, kecukupan bekal di perjalanan (pergi dan pulang) serta bagi keluarga yang ditinggalkan. Sebenarnya tidak begitu berat memenuhinya, karena beberapa Bank menawarkan fasilitas pinjaman. Artinya, bisa berangkat haji dulu baru kemudian mencicil utang ke Bank. Tetapi sejauh apa kehalalan hukumnya berhaji dengan cara-cara yang dananya bersentuhan dengan perbuatan riba seperti ini, wallahu alam bish-shawab. Dan, naik haji sebaiknya cukup sekali saja tidak berulang-ulang, hal ini demi memberi peluang bagi mereka yang terkendala waiting list yang panjang karena terbatasnya kuota. 

Atau kalau tidak ingin berutang, BPIH bisa dilunasi dengan menjual aset seperti tanah. Bahkan ada petani yang rela menjual sawah demi mewujudkan keinginannya menunaikan ibadah haji. Tapi belakangan petani ini dapat fasilitas naik haji gratis dari salah satu stasiun TV swasta dan setoran BPIHnya ke Bank dikembalikan berikut sawah yang telah dijual kembali ditebus. Ada juga orang bisa mewujudkan cita-cita berhaji setelah menabung sekian rupiah bertahun-tahun. Atau kalau mujur dinaikkan haji oleh seseorang yang berkelimpahan harta, atau oleh pemerintah, atau oleh perusahaan tempatnya bekerja. Mungkin juga bisa naik haji lantaran ketiban pulung dari boomingnya batu akik. Banyak macam cara dan jalan menuju Baitullah.

Tapi, sesungguhnya apa yang penting dari ritual ibadah haji? Kalau sekadar mencari identitas kehajian tentu sangat disayangkan. Faktanya banyak orang begitu bangga mencantumkan gelar haji/hajah di depan namanya. Begitu bangga juga karena naik haji dua atau tiga kali. Tapi watak haji atau hajahnya sama sekali tidak tecermin dalam sikap kesehariannya. Jangankan ibadah sunnah, yang hukumnya wajib saja diabaikan seperti tak ada beban. Justru yang lebih menonjol adalah sifat materialisnya dengan mendewakan harta kekayaan, menghambakan diri kepada kerakusan mencari penghidupan. Bahkan ada yang dengan sombongnya menyekutukan Alloh dengan menuhankan batu akik, karena bisa naik haji berkat bisnis batu akiknya meraup keuntungan. Beratus macam nama batu akik dia hapal di luar kepala, sedangkan nama Tuhan Alloh SWT yang hanya 99 bisa jadi tak pernah disebut-sebutnya.

Mutilasi Waktu
siapa bilang waktu tak bisa dimutilasi
bukankah Tuhan membagi menjadi limapuluh kesempatan
untuk setiap waktunya bagi badan dan ruh jeda sejenak
mengunjungi menyapa-Nya, bersimpuh memanjatkan doa

tapi, Musa menyuruh Muhammad bernegosiasi minta reduksi
jadilah tinggal lima waktu dari sepanjang siang dan malam
itupun masih banyak yang keberatan, lalu mengabaikannya
asyik pada kesenangan duniawi, melalaikan tujuan sejati

sepanjang waktu dihabiskan memutilasi batu
memberinya nama-nama indah beratus buah
nama Tuhan yang hanya sembilanpuluhsembilan
tak pernah dirafal apalagi dihapal luar kepala

perilaku memuja batu, melanda di mana-mana
batu perlambang Tuhan, digosok-gosok setiap waktu
tuhan sesungguhnya tak diberi waktu dan kesempatan
untuk dikunjungi disapa sekejap tiap lima waktu sekali

mutilasi waktu dalam hidup manusia
menjadi cacahan-cacahan antara bekerja, makan dan tidur
Tuhan hanya minta lima dari duapuluhempat jam
kesempatan bagi-Nya untuk disapa dalam eja doa


10 Zulhijjah 1436 H – 24 September 2015 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.