Melalui wayang, Ki Ledjar Subroto ”membaca” sejarah
Indonesia-Belanda. Dia mengalih rupa tokoh-tokoh sejarah kedua bangsa dalam
wayang. Mulai bapak bangsa Belanda Willem Van Oranje, Gubernur Jenderal Jan
Pieterszoon (JP) Coen, Raja Mataram Sultan Agung, hingga Presiden Soekarno.
Karyanya Jadi Bahan Kurikulum SD di
Inggris
Ki Ledjar Subroto bersama wayang JP Coen dan Soekarno ciptaannya di Sanggar Wayang Kancil |
PRIA kelahiran Wonosobo 20 Mei 1938 itu diam-diam juga
menyumbang ide media pembelajaran. Karya pria yang dikenal sebagai dalang
wayang kancil sekaligus pembuat wayang ini menarik para praktisi pendidikan di
luar negeri.
Pasalnya, karakteristik dan pertunjukan wayang sangat khas
Indonesia. Bagi anak-anak, ini lebih menarik dan mengena untuk mempelajari
sejarah. Saat ini, dia tengah
menyelesaikan wayang JP Coen pesanan RJ Spruit dari Museum Westfries, Hoorn,
dan seseorang yang mengaku kerabat JP Coen. ”Tapi saya lupa namanya, catatannya
ketlingsut. Pokoknya nanti kalau wayang selesai suruh dititipkan sama Profesor
Heidi Hinzler (pakar kebudayaan Jawa di Universitas Leiden),” jelasnya saat
ditemui di Sanggar Wayang Kancil sekaligus rumahnya di Jalan Mataram DN I/370,
Yogyakarta.
Tampak beberapa wayang setengah jadi di sanggar sederhana
yang didirikan pada 1974 itu. Beberapa di antaranya wayang JP Coen dan
Soekarno. Wayang yang dibuat dari kulit kerbau itu sudah selesai ditatah
sungging. Namun, tangkai atau cempurit belum terpasang. ”Pokoknya mereka itu
ngakunya pencinta seni. Terus ingin punya wayang leluhur. Mereka tertarik setelah
melihat koleksi wayang JP Coen saya di Museum Westfries,” ujar pria yang hampir
seluruh rambutnya memutih ini.
Wayang yang dimaksud adalah satu set koleksi yang dipesan
Museum Westfries pada 1987. Wayang itu dipesan dalam rangka peringatan 200
tahun VOC. Museum Westfries juga merasa perlu mengoleksinya karena JP Coen
dilahirkan di Kota Hoorn.
Paket wayang ini menggambarkan sejarah masa pemerintahan VOC
di Hindia Belanda. Seperti diketahui, pada saat JP Coen berkuasa, ia dua kali
diserang Mataram pada 1628 dan 1629. Meski dapat menggagalkan Mataram, tak lama
setelah serangan itu JP Coen tewas. Diduga akibat terkena wabah kolera. Melengkapi rangkaian sejarah, Ledjar juga
membuat wayang keluarga dan kubu JP Coen.
Di antaranya sang istri, Eva Ment, juga ayahnya, Sukmul dan
ibunya, Tanuraga. Kemudian juga rampogan
atau orang-orang Belanda. Dari pihak Mataram antara lain ditampilkan wayang
Sultan Agung, Pangeran Purbaya, Pangeran Jayawikrama, dan tiga prajurit. ”Yang tokoh-tokoh
Belanda, saya dikasih fotonya dari koleksi museum, terus saya ubah dengan gaya
wayang,” tutur bapak dua anak itu.
Sementara, tokoh-tokoh Indonesia yang belum pernah
terdokumentasi dalam foto dia kreasi sendiri. Misalnya pakaian merujuk pada
tata busana tokoh saat dimainkan dalam ketoprak. Meski dipesan museum dari
Belanda, Ledjar tetap mempertahankan pandangannya atas sejarah dan pakem
wayang. Maka, JP Coen yang dikenal kejam itu bersama orang-orang Belanda
ditempatkan di sebelah kiri dalam pakeliran. ”Saya lihat di museum JP Coen dan
teman-temannya ditaruh di kiri. Ya sudah berarti benar, sesuai wayang purwa,
tokoh-tokoh yang jahat di kiri,” jelasnya.
Nyantrik
Selain Museum Westfries, ternyata Museum Bronbeek juga
tertarik. Museum yang menyimpan sejarah KNIL (tentara Hindia Belanda) ini
akhirnya memesan satu set wayang tentang sejarah revolusi fisik pasca-1945 di
Indonesia. ”Tokoh-tokohnya Bung Karno, Bung Hatta dan pengikutnya yang tidak
mau menyerah karena agresi Belanda,” jelasnya.
Ketertarikan mereka terhadap karya Ledjar bermula dari
wayang kancil. Wayang ini sebenarnya fabel yang ceritanya dikembangkan dari
dongeng kancil. ”Nah, di wayang kancil itu kan selain binatang ada tokoh
petani. Mereka bilang kok bagus. Terus mereka minta dibuatkan tokoh-tokoh
sejarah Belanda yang pernah berada di Indonesia. Jadi yang dipesan Belanda itu
wayang VOC, wayang revolusi, dan wayang kancil,” terangnya.
Kepiawaian Ledjar membuat wayang kontemporer ini sudah
tumbuh saat ia bergabung dengan Wayang Orang Ngesti Pandowo pada 1951-1960.
Nama Ledjar merupakan pemberian dalang dan komponis karawitan legendaris Ki
Narto Sabdo yang juga tergabung dalam grup tersebut.
Semula ia bernama Jariman. Nama Ledjar dimaksudkan agar ia
bisa menyenangkan hati siapa saja. Selama nyantrik, kegemarannya menggambar terbaca
oleh Narto Sabdo. Ki Narto yang dikenal kreatif lalu menyuruh Ledjar membuat
wayang kreasi di luar wayang purwa. ”Pernah disuruh buat sepeda, sepeda motor,
kereta. Tapi wayang purwa juga buat,” ungkapnya sembari menunjukkan foto hitam
putihnya bersama Ki Narto Sabdo di atas gawang pintu rumah.
Meski akhirnya dia memutuskan untuk merantau ke Yogyakarta,
hubungan keduanya tetap baik layaknya bapak-anak. Ledjar hanya ingin mandiri
dengan menjual hasil karyanya pada para turis. Kesetiaan Ledjar pada wayang
kontemporer membuat dia sering diundang ke Belanda untuk tampil dalam berbagai
festival. Umumnya lakon dari wayang kancil yang diminta tampil. Terakhir, tahun
2013 ia diundang menghadiri Festival Wayang Sedunia di Inggris. Boleh dikata
wayang ciptaan Ledjar justru mendapat tempat dan menuai apresiasi dari luar
negeri.
Tak hanya itu, banyak orang Eropa belajar ndalang padanya.
Antara lain Rien Baartmans (Belanda), Anna (Inggris), Yogen dan Arno (Jerman),
dan sebagainya. Wayang kancil kreasi Ledjar juga dijadikan penelitian untuk
tesis dan disertasi Sarah Bilby dari University of London. ”Orang-orang Eropa
senang dengan wayang saya karena dinilai tepat untuk sarana belajar anak-anak.
Di Inggris utara, wayang saya dikenalkan oleh Anna. Dia ini dulu belajar sama
saya. Karena cocok, dimasukkan materi kurikulum SD di sana,” paparnya.
Ada hal menarik lain menyangkut wayang kancil Ledjar dan
penemuan naskah asli cerita kancil. Setelah puluhan tahun menggeluti wayang
kancil baru di sana, Ledjar menemukan naskah asli dongeng yang sangat populer
di Jawa itu.
Senang Sekali
Buku itu berjudul Het Boek Van Den Kantjil yang diterbitkan
pada 1889. Meski berjudul Belanda, kumpulan cerita yang ditulis beberapa
pujangga Jawa ini berhuruf Jawa. ”Saya
senang sekali, ini sangat berharga. Langsung saya fotokopi. Saya terjemahkan,
tapi belum selesai,” kata Ledjar.
Yang ironis, di dalam negeri nasib wayang Ledjar justru
kurang diperhatikan. Dia bahkan pernah kecewa pada sebuah katalog yang
diterbitkan Yayasan Pewayangan terkemuka. Pasalnya, wayang karyanya ditulis
sebagai wayang buatan orang lain, dan dikoleksi salah satu museum di Belanda.
”Tidak bisa dibohongi, karena di setiap sambungan kaki
wayang saya tulis nama saya dengan huruf Jawa. Tapi di katalog itu sengaja
dihilangkan supaya tidak ketahuan itu karya saya. Saya tidak tahu maksudnya
apa,” ucapnya.
Ledjar yang punya cukup banyak teman di Belanda akhirnya
meminta bantuan melacak wayang tersebut. Hasilnya, justru museum-museum di
Negeri Kincir Angin dengan tegas menyatakan wayang tersebut karya Ki Ledjar
Subroto. ”Bisa dinilai sendiri. Kenyataannya itu benar-benar terjadi,” ujarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.