Jumat, 26 Agustus 2011

Menemukan Spirit dari Ibadah Puasa

Konon dulu waktu Soekarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia, tanggal 17 Agustus 1945, bertepatan dengan bulan Ramadhan. Berarti para tokoh bangsa menjelang detik-detk diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia, berjuang penuh dengan tantangan di tengah memenuhi perintah agama untuk menunaikan puasa, namun semangat tetap membara untuk mewujudkan kemerdekaan. Di sini ada pelajaran yang bisa kita petik, yaitu spirit perjuangan untuk menegakkan perintah agama dan mengakhiri belenggu penjajahan. Jadi ada dua hal yang bisa diraih, kemenangan melawan hawa nafsu dan kemenangan terbebas dari tirani kekejaman penjajah lewat tewujudnya kemerdekaan.
Tahun 2011 ini kita memperingati HUT ke 66 Republik Indonesia pas bulan Ramadhan pula. Bulan yang dijuluki penghulunya segala bulan. Bulan yang katanya setan dibelenggu. Bulan yang segala amal baik dilipatgandakan ganjaran pahalanya.
Karena itu semua, maka sangat dianjurkan untuk berlomba-lomba berbuat kebajikan, mengingat dalam bulan Ramadhan dibagi menjadi tiga penggalan sepuluh hari. Sesuai dengan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, ”Bulan Ramadhan adalah bulan yang permulaannya rahmat (awwaluhu rahmah), pertengahannya ampunan (wa awsathuhu maghfiroh), dan akhirnya adalah pembebasan dari api neraka (wa akhiruhu itqun min an-naar).” (HR Ibnu Khuzaimah).
 Berdasar hadits di atas dapat disimpulkan bahwa pada sepuluh hari pertama (awal), kita ummat Islam yang menunaikan puasa dan ibadah lainnya, akan diganjar rahmat. Dan, sepuluh hari kedua (pertengahan) akan diberi pengampunan, tentunya kalau kita sungguh-sungguh memanjatkan permohonan kepada Allah Subhanahuwata’ala. Kemudian, sepuluh hari ketiga (terakhir), akan diberi ganjaran terbebas dari siksa api neraka.
Menilik suksesnya perjuangan para tokoh bangsa dalam meraih kemerdekaan, tak lepas dari berkah yang luar biasa dari bulan Ramadhan. Sangat naïf rasanya kalau kita tinggal mengisi kemerdekaan ini dengan bekerja untuk mempersembahkan yang terbaik kepada negara, kok sepertinya tidak punya spirit.
Demikian juga tentang ganjaran yang bisa kita raih dari taat dalam melaksanakan rangkaian ibadah penyerta dari puasa itu sendiri, seyogianya menyepiriti kita untuk lebih giat dan lebih baik dari hari-hari atau bulan-bulan di luar Ramadhan. Kalau kita bisa melaksanakan perintah puasa ini dengan baik dan sempurna, maka kita akan dimasukkan dalam golongan orang-orang yang (lebih) takwa.
Okelah, mungkin secara produktivitas dalam bekerja kita akan mengalami penurunan hasil, tapi secara rohani mestinya ada energi yang akan melecut semangat dalam bekerja sesudah berakhirnya Ramadhan.
Persoalannya bagaimana cara agar energi rohani ini bisa terkumpul dan membesar dalam diri kita, kemudian meletup menjadi pijaran-pijaran semangat untuk lebih meningkatkan produktivitas bekerja dan beribadah? Tentu dengan mengimbangi ibadah puasa dengan ibadah-ibadah lainnya.
Ada sebagian orang hanya melaksanakan ritual puasa saja tanpa diikuti ibadah yang lainnya, seperti; shalat, tadarus, iktikaf, berinfaq, bersedekah, dan lainnya.

Wajah-wajah (seperti) tak Bertuhan
Pada suatu perhelatan acara ulang tahun perkawinan yang bertepatan dengan 17 Agustus dan 17 Ramadhan lalu. Seusai berbuka dengan kue dan minumanan air kemasan gelas, saya bersama dua orang redaktur ambil air wudlu untuk menunaikan shalat maghrib berjamaah di ruang tamu sahibul hajat. Perjalanan menuju tempat di mana kran air berada, melewati meja tempat tersajinya kue dan minuman berbuka, serta tumpukan nasi kotak dari sebuah rumah makan minang. Kerumunan tamu yang berebut nasi kotak begitu sibuk, ada yang cukup ambil satu untuk diri sendiri, ada yang ambil dua, tiga, atau empat sekalian untuk teman samping kiri-kanan duduknya. Akhirnya dalam sekejap tumpukan nasi kotak ludes.
Usai shalat kami bertiga melongo doang, menyaksikan wajah-wajah sumringah dengan tentengan nasi kotak satu, dua, tiga, bahkan empat kotak sekaligus, untuk dijinjing pulang. Dan yang lain sudah pada berdiri di tepi jalan tampak kekenyangan sambil menghisap sigaret. Tapi, di mata saya, wajah-wajah sumringah itu seperti tidak memancarkan aura kedamaian. Betul wajahnya ceria karena kenyang usai nyantap nasi kotak, tapi cahaya spiritual tidak kelihatan terpancar. Yang saya lihat kumpulan wajah-wajah (seperti) tak bertuhan. Wajah-wajah seperti yang dalam surat Al-Maa'un disebut sebagai mendustakan agama. Yaitu orang-orang yang lalai dari shalatnya. Hanya mementingkan kebutuhan jasmani dan mengabaikan kebutuhan rohani.
Bagi orang mukallaf (terbebani hukum) sesungguhnya tertolak puasa mereka, tidak mendapat apa-apa dari puasanya kecuali lapar dan haus. Alasannya, karena shalat adalah salah satu rukun Islam dan tiang agama yang menjadi barometer ibadah dan amal seseorang.
Jika baik shalatnya, maka dianggap baiklah semua amalannya dan jika rusak shalatnya, maka dianggap rusaklah semua amalannya. Bagaimana mungkin kita menjadikan orang yang rusak shalatnya sebagai teman baik apalagi teman kepercayaan.
 ”Jika mereka bertaubat, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-sauadaramu seagama.” (QS At-Taubah [9] : 11).
Kalau menurut konteks firman Allah Subhanahuwata’ala di atas, berarti orang-orang yang tidak mendirikan shalat itu bukanlah saudara seagama, walaupun sama-sama muslim.
Rasulullah Shallallahu ’alaihi wasallam bersabda: ”Sesungguhnya (batas pemisah) antara seseorang dengan kemusyrikan dan kekafiran adalah meninggalkan shalat.” (HR Muslim, dari Jabir, dalam kitab: Al-Iman).
Betapa pentingnya nilai shalat dalam menetukan pertemanan dan permusuhan. Juga dalam hubungan antara pemimpin dan rakyatnya, diriwayatkan dalam shahih Muslim. Dari Auf bin Malik ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda ”Pemimpin kamu yang terbaik ialah mereka yang kamu sukai dan mereka pun menyukai kamu, serta mereka mendoakanmu dan kamu pun mendoakan mereka, sedangkan pemimpin kamu yang paling jahat adalah mereka yang kamu benci dan mereka pun membencimu, serta kamu melaknati mereka dan mereka pun melaknatimu.” Beliau kemudian ditanya: ”Ya Rasulullah, bolehkah kita memusuhi mereka dengan pedang? Beliau menjawab, tidak selama mereka mendirikan shalat di lingkunganmu.”
   Dari cerita ini, kiranya dapat membantu kita menemukan spirit dari ibadah puasa bulan Ramadhan 1432 Hijriah, semoga. Wallahu a’lam bish shawab.

Rabu, 24 Agustus 2011

Peristiwa Berharga


Entah kenapa pada puasa hari pertama, istri saya spontan ngajak booking tiket bus Puspa Jaya untuk perjalanan mudik ke Pacitan. Dua bulan lalu datang kabar bahwa ibu yang sudah sepuh terjatuh saat menjemur cucian. Semula ada rencana istri untuk ambil izin dari tugas dan berangkat nengok. Tapi setelah dipantau perkembangan kondisinya, beliau berangsur pulih namun masih sambat sakit-sakit di kaki dan tangan, sehingga untuk berjalan mesti dipapah dan untuk makan mesti disuap. Beruntung, mbak Yul yang mukim di Mojokerta bisa ‘mencuri waktu’ izin dari tugas dan berkesempatan nengok, sehingga bisa meladeni aktivitas ibu. Tapi, yang namanya tugas tak bisa ditinggal lama-lama. Di sisnilah jadi kendala, tatkala mbak Yul hendak pamit pulang ke Mojokerto, semburat wajah ibu menyiratkan perasaan berat untuk ditinggalkan dalam kondisi yang masih lemah dan belum pulih benar itu.
Kondisi ibu ini membuat istri saya ingin cepat-cepat datang masa liburan Idul Fitri agar bisa pulang di samping sowan hari raya, ya juga nengok untuk mengobati rasa kangen dan pingin memastikan kondisi ibu sesungguhnya bagaimana.
Saya jadi teringat peristiwa yang saya alami. Memang terhitung empat tahun kami tak mudik. Ini semacam sudah skenario Allah Subhanahuwata’ala. Pada bulan Ramadhan tahun 2009 ayahanda dibawa oleh ayuk Rus ke Bandarlampung untuk menjalani operasi akibat mampat di sebelah lobang hidungnya yang dipicu sinusitis akut. Karena baru saja ketemu ayah jadinya kami tak memutuskan mudik ke Ranau saat lebaran, dan kebetulan tak juga mudik ke Pacitan, sehingga acara Idul Fitri bisa dirasakan bareng dengan tetangga lingkungan se-RT.
Ketika masuk bulan Ramadhan Tahun 2010, ini yang saya katakana bagian dari skenario Allah Subhanahuwata’ala tadi. Tiba-tiba abang Ari di Indramayu menelepon ngajak pulang ke Ranau saat hari raya nanti, sekiranya tidak mudik ke jawa. Rencana ini bermula dari celetukan Elin, anaknya abang Ari; “Pah, kayaknya dah lama kita nggak pulang ke Ranau, ayo je Pah pulang ke Ranau.” Mendengar celetukan itu, abang tersentak karena yang terlintas dalam pikirannya kondisi yang lagi sulit. Tapi demi menyenangkan hati anak, segala jalan diupayakan agar bisa berangkat.
Dan, Allah Maha Penolong, adalah rezeki untuk mewujudkan keinginan pulang tersebut. Sehingga jadilah kami dua keluarga yang hidup di rantauan pulang bersama untuk kumpul dengan ayah yang sudah sepuh. Di hari-hari akhir saatnya kami hendak kembali (saya sekeluarga ke Bandarlampung dan abang sekeluarga ke Indramayu), saat habis ambil air wudlu di sumur, ayah bilang kalau dirinya hampir terjatuh dan penglihatannya seperti berkunang-kunang. Pikiran kami mungkin ayah kurang darah karena habis menunaikan ibadah puasa sebulan penuh jadi kondisi tubuhnya agak melemah. Sehingga untuk tindakan preventif dipanggillah mantri untuk mengobati beliau. Dan keesokan harinya kami pun pamit pulang.
Baru tiga minggu habis lebaran itu, saya dapat SMS dari keponakan Tina, mengabarkan ayah tiba-tiba kaki dan tangannya sebelah kanan seperti kaku tak bisa digerakkan. Untuk memastikan, saya pun menelepon langsung menanyakan, dan dipastikan ayah terkena stroke. Saya langsung menelepon abang Ari untuk memberitahukan kabar ini, abang segera ke Bandarlampung lalu kami berdua pulang kembali ke Ranau. Upaya pengobatan pun coba dilakukan baik secara medis maupun alternatif. Tapi, lagi-lagi, ini bagian dari skenario Allah Subhanahuwata’ala, bahwa beliau yang dulunya piawai mengobati orang lumpuh (baca: postingan ”Mengenang Ayahanda Tercinta”), akhirnya juga mesti merasakan sendiri bagaimana menjadi orang lumpuh.
Peristiwa berharga yang dapat disimpulkan dari uraian tulisan ini, adalah TERNYATA celetukan anaknya abang Ari yang mengidamkan mudik ke Ranau itu adalah pertanda dari apa yang saya yakini sebagai skenario Allah Subhanahuwata’ala, bahwa itulah RAMADHAN TERAKHIR kami bersama ayah.
Dihubungkan dengan keinginan istri untuk pulang lebih cepat ke Pacitan, pertama, karena waktu luang yang terbatas jadi diusahakan cepat datang dan agak lambat pergi. Kedua, karena kondisi ibu yang belum pulih benar dan usia beliau yang sudah sepuh. Jadi istri inginnya waktu berkumpul bersama ibu lebih lama, paling nggak seminggu. ”Ya kalau ramadhan tahun depan bisa pulang dan masih ada ibu, siapa tahu ini ramadhan terakhir bersama ibu,” demikian yang terlintas di pikiran istri.
Dan, saya pun mengamini apa yang ada di pikirannya itu, mengingat peristiwa yang saya (kami) alami dengan ayah di Ranau, bertahun-tahun nggak pulang sekalinya pulang itulah ramadhan atau lebaran terakhir bersama ayah.    
    
Ada dua kenikmatan yang kebanyakan manusia merugi (terhalang dari mendapat kebaikan dan pahala) di dalamnya, yaitu kesehatan dan waktu luang.” (HR. Al-Bukhari No. 6412).

Hadits yang mulia di atas memberikan beberapa faedah kepada kita:
1.  Sepantasnya bagi kita memanfaatkan waktu sehat dan waktu luang untuk taqorrub (mendekatkan diri) kepada Allah Subhanahuwata’ala dan mengerjakan kebaikan-kebaikan sebelum hilangnya dua nikmat itu. Karena, waktu luang akan diikuti dengan kesibukan, dan masa sehat akan disusul dengan sakit.
2.  Islam sangat memperhatikan dan menjaga waktu. Karena waktu adalah kehidupan, sebagaimana Islam memperhatikan kesehatan badan di mana akan membantu sempurnanya agama seseorang.
3.      Dunia adalah ladang akhirat. Maka sepantasnya seorang hamba membekali dirinya dengan takwa dan menggunakan kenikmatan yang diberikan Allah Subhanahuwata’ala untuk taat kepada-Nya.
4.      Mensyukuri nikmat Allah Subhanahuwata’ala adalah dengan menggunakan nikmat tersebut untuk taat kepada-Nya. (Bahjatun Nazhirin Syarhu Riyadhis Shalihin, 1/180-181) “Dan ingatlah ketika Rabbmu memaklumkan: Sesungguhnya jika kalian bersyukur, pasti Kami akan menambah nikmat itu kepada kalian. Dan jika kalian mengingkari nikmat-Ku, maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih’.” (Al-Quran, Surat Ibrahim, ayat 7).

Kenyataan yang ada, banyak waktu kita berlalu sia-sia tanpa kita manfaatkan dan kita pun tidak bisa memberikan manfaat kepada salah seorang dari hamba-hamba Allah Subhanahu wata’ala. Kita tidak merasakan penyesalan akan hal ini kecuali bila ajal telah datang. Ketika itu seorang insan pun berangan-angan agar ia diberi kesempatan kembali ke dunia walau sedetik untuk beramal kebaikan, akan tetapi hal itu tidak akan didapatkannya.
Terkadang nikmat ini luput sebelum datangnya kematian pada seseorang, dengan sakit yang menimpanya hingga ia lemah untuk menunaikan apa yang Allah Subhanahuwata’ala wajibkan terhadapnya, ia merasakan dadanya sempit tidak lapang dan ia merasa letih. Terkadang datang kesibukan pada dirinya dengan mencari nafkah untuk dirinya sendiri dan keluarganya sehingga ia terluputkan dari menunaikan banyak dari amal ketaatan.

Allah Subhanahuwata’ala berfirman:
“Hingga ketika datang kematian menjemput salah seorang dari mereka, ia pun berkata: ‘Wahai Rabbku, kembalikanlah aku ke dunia agar aku bisa mengerjakan amal shaleh yang dulunya aku tinggalkan’. ” (Al-Mukminun: 99-100)

“Sebelum datang kematian menjemput salah seorang dari kalian, hingga ia berkata: ‘Wahai Rabbku, seandainya Engkau menangguhkan kematianku sampai waktu yang dekat sehingga aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang shalih.’ Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan kematian seseorang apabila telah datang waktunya. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan.” (Al-Munafiqun: 10-11)

Karena itu sepantasnyalah kita pandai-apandai bersyukur atas nikmat yang Allah Subhanahu wata’ala karuniakan (:nikmat rezeki, nikmat sehat, nikmat kelapangan). Manfaatkanlah waktu sehat dan waktu luang untuk bekerja mencari rezeki dan beribadah. Ada rezeki, ada waktu luang, dan kondisi kesehatan yang terjaga, maka akan mudah bagi kita melaksanakan niat untuk bersilaturahmi dengan keluarga yang jauh. Sowan dengan orangtua dan kerabat lainnya. Jangan sampai kita sibuk semata-mata bekerja mencari rezeki, namun lupa beribadah (yang berarti juga lupa mensyukuri nikmat rezeki itu), kalau sudah sibuk berarti tidak punya waktu luang. Berarti tidak bisa bersilaturahmi menengok orangtua dan kerabat.      

Sedemikian pentingnya mengisi waktu dengan baik sehingga Al-Quran memiliki satu surat khusus mengenai waktu (Surat Al-Ashr). “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh dan nasehat menasehati supaya menaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran”. (baca: postingan ”Betapa Berharganya Waktu”).

Rabu, 10 Agustus 2011

Betapa Berharganya Waktu

Demi masa. Sesungguhnya manusia berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya menaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran. [Q.S Al-Ashr (103), ayat 1-3].

Sebuah peristiwa biasanya membawa makna atau pesan. Makna akan tersingkap bila ada upaya untuk mengungkapnya. Dan apa pun peristiwa yang dialami sesungguhnya wujud dari adanya gerak kehidupan, adanya hubungan horizontal yang berdimensi sosial antarmanusia. Juga penanda bagi kemahakuasaan Allah Subhanahuwata’ala atas tiap sesuatu. Kun kata Allah, maka Fayakun. Terjadi kata Allah, maka muncullah suatu peristiwa. Maka, apapun peristiwa menimpa manusia, adalah bagian dari skenario Allah, bagian dari takdir yang digariskan, bagian dari catatan yang telah diguratkan di lauhul mahfuz.
Karena itu, terjadinya suatu peristiwa, acapkali dihubung-hubungkan dengan ungkapan: ”di balik rezeki ada cobaan, di balik cobaan ada hikmah.”
Demikianlah, ketika ayahanda saya tercinta yang meski usianya 86 tahun masih kuat bekerja dan beribadah, tiba-tiba saja menderita stroke dan hanya mampu terduduk dan tergolek di tempat tidur. Semula hati ini serasa menyesalkan mengapa harus terjadi. Tapi, mengingat usianya yang sudah uzur, mengingat masa bekerjanya memang sudah saatnya istirah, mengingat ketekunannya beribadah sejak masa muda hingga menjelang stroke. Juga mengingat ah ini mungkin memang sudah jalan beliau untuk ’menutup’ dan ’menyudahi’ catatan amal yang akan mengisi lembar-lembar akhir hayatnya. Dan, mengingat skenario dan takdir yang tak akan bisa dielakkan manusia manapun, siapapun dia.
Dari situ, tentang apa yang terjadi, kemudian jadi bahan perenungan bagiku, bahwa betul di balik rezeki ada musibah, dan di balik musibah ada hikmah. Dan hikmah yang dapat dipetik bahwa betapa berharganya waktu.  
Apa yang tergambar dalam Surat Al-Ashr di atas, kalau dicerna dengan seksama jelas akan bermakna rambu-rambu atau peringatan agar dalam hidup ini hendaknya kita menghargai waktu. Hendaklah ada keseimbangan antara pemanfaatan waktu untuk mencari nafkah dengan cara melakukan aktivitas tertentu yang harus dipenuhi oleh manusia sebagai makhluk hidup, dan aktivitas beribadah untuk menyembah Allah Subhanahuwata’ala, sebagai wujud dari rasa syukur dan terimakasih atas karunia-Nya berupa perolehan yang didapat dengan jalan bekerja.
Allah Subhanahuwata’ala telah menegaskan dalam firman-Nya: ”Tidak Aku ciptakan jin dan manusia, kecuali untuk beribadah kepada-Ku.”
Ayat ini memaklumkan kepada kita ummat manusia, bahwa tujuan Allah menciptakan jin dan manusia adalah untuk beribadah kepada-Nya semata. Tapi, manusia yang diberi akal untuk pembeda bahwa dia lebih tinggi derajatnya dibanding makhluk lain, sering mengalami kebuntuan akal dalam menerjemahkan sesuatu.
Dalam hal menerjemahkan ayat ini, akal hanya terpaku pada kata-kata ”beribadah” sehingga ada pikiran negatif seolah-olah Allah Subhanahuwata’ala akan mengungkung pada kegiatan ritual ibadah, dan tak ada kesempatan untuk mengaktualisasi diri pada kegiatan di luar ibadah. Kebuntuan akal ini membuat manusia tidak bisa membedakan antara tujuan hidup dengan keperluan hidup. Tujuan hidup adalah beribadah kepada Allah Subhanahuwata’ala, sedangkan keperluan hidup adalah yang berhubungan dengan pemenuhan hasrat bagi hajat hidupnya. Keduanya, tujuan hidup dan keperluan hidup, hendaknya diseimbangkan agar tidak sampai terfokus pada satu hal saja sedang yang lainnya cenderung terabaikan.
Rasulullah shallalla-hu ‘alaihi wasallam telah berpesan kepada ummatnya, agar ummatnya selalu memanfaatkan waktu seoptimal mungkin, sehingga kita akan menggapai kebahagiaan dunia sekaligus kebahagiaan di akhirat. Islam adalah agama yang tidak menafikan persoalan dunia, tetapi juga sangat memperhatikan urusan akhirat.
“Bekerjalah untuk duniamu, seolah-olah kamu hidup selama-lamanya, dan bekerjalah untuk akhiratmu seolah-olah kamu mati besok hari.
Jelas, dalam hadits di atas, Rasulullah shallalla-hu ‘alaihi wasallam mengarahkan agar ummatnya memanfaatkan waktu dengan menyeimbangkan antara bekerja dan beribadah. Antara menggapai tujuan hidup dan keperluan hidup.
Tapi, kebanyakan di antara kita lupa diri. Memahami hadits di atas hanya sepenggal, jadinya hanya asyik bekerja seolah-olah akan hidup selamanya, tak akan pernah mati. Padahal, semestinya asyik bekerja ya, tekun beribadah juga ya.
Dalam hal pemanfaatan waktu, sebuah hadits Rasulullah shallalla-hu ‘alaihi wasallam, yang bila kita amalkan Insya Allah akan membawa kemaslahatan dan juga menyelamatkan. Yaitu hadits yang diriwayatkan Imam Hakim dalam kitab Al-Mustadrak;

Manfaatkanlah kesempatan yang lima, sebelum (datang) lima yang lainnya, yaitu: Masa mudamu sebelum datang masa tuamu. Masa sehatmu sebelum datang sakitmu. Masa kayamu sebelum datang fakirmu. Masa hidupmu sebelum matimu. Dan masa senggangmu sebelum datang kesibukanmu."

Hadits di atas mengandung pengertian, bahwa kita harus dapat memanfaatkan dengan sebaik-baiknya lima kesempatan yang ada dan baik sebelum datang lima perkara yang menyakitkan. Lima kesempatan itu adalah:
1.    Masa muda sebelum datang masa tua;
Dengan kondisi usia masih muda, fisik masih kuat. Disaat inilah kekuatan bekerja masih sangat prima. Maksudnya adalah selagi masih muda kita harus banyak bekerja dan juga taat beribadah karena kondisi kita masih kuat, sebelum datang masa tua kita. Bayangkan apabila kita sudah tua, tentu akan lebih berat untuk berbuat ketaatan karena faktor fisik yang lemah dan kurang mendukung.
2.    Masa sehat sebelum sakit;
Kesehatan memang bukan segalanya tapi tanpa kesehatan semuanya menjadi tidak berarti. Seperti itulah ungkapan yang banyak disebutkan tentang bagaimana menjadi sehat adalah sebuah rezeki dan kenikmatan yang tiada tara sehingga Rasulullah shallalla-hu ‘alaihi wasallam berpesan agar selagi kita masih diberikan kesehatan maka giatlah bekerja dan perbanyaklah amal saleh yang nantinya itu akan berguna bagi diri kita sendiri, sebelum datang sakit.
3.    Masa kaya sebelum datang fakir;
Kaya di sini berarti adalah kelapangan harta dan Rasulullah shallalla-hu ‘alaihi wasallam berpesan selagi punya kemampuan untuk bersedekah, berinfaq atau berjihad dengan harta maka kita harus banyak memberikan sebagian apa yang kita miliki untuk orang-orang yang membutuhkan, sebelum datangnya musibah yang akan merenggut harta kita. Seandainya kita tidak memanfaatkan hal itu dengan banyak bersedekah, berinfaq atau berjihad dengan harta, maka kita akan menjadi orang yang fakir baik itu di dunia maupun di akhirat. Ini ada kaitannya juga dengan ungkapan hendaknya kita membelanjakan harta di Jalan Allah..
4.    Masa hidup sebelum mati;
Penyesalan akan datang belakangan dan itu adalah tipikal dari kebanyakan manusia, yaitu menyesal sedangkan itu sudah terlambat. Namun jangan sampai kita menyesal setelah kita hidup di akhirat kelak karena tak akan ada kesempatan dua kali untuk memperbaiki apa yang telah kita lakukan di dunia. Untuk itu Rasulullah shallalla-hu ‘alaihi wasallam berpesan agar kita memanfaatkan dengan sebaik-baiknya masa hidup kita sebelum datang kematian, karena kesempatan hanya datang sekali, yaitu di masa hidup kita sekarang ini.
5.    Waktu senggang sebelum datang kesibukan;
Hari kiamat itu pasti dan waktunya pun bisa terjadi sewaktu-waktu. Di saat itu tiap-tiap manusia akan disibukkan dengan ketakutannya masing-masing dan untuk itu Rasulullah shallalla-hu ‘alaihi wasallam berpesan agar kita memanfaatkan waktu senggang kita sekarang ini dengan sebaik-baiknya sebelum datangnya kesibukan saat hari kiamat nanti.

Begitu pentingnya hadits ini untuk diketahui oleh ummat Muhammad shallalla-hu ‘alaihi wasallam, sampai-sampai Raden Haji Oma Irama menggubahnya menjadi sebuah lagu, kebetulan memang Rhoma Irama menjadikan lagu sebagai sarana berdakwah. Berikut ini lirik lagu yang diberi judul Lima:

Para hadirin, di dalam kesempatan ini
Izinkanlah saya menyampaikan
Qa-la rasululla-hi shallalla-hu ‘alaihi wasallam
Ightanim khamsan qabla khamsin
Syaba-baka qabla haromika
Waghina-ka qabla faqrika
Wasyughlaka qabla fara-ghika
Washihhataka qabla suqmika
Wahaya-taka qabla mautik

Yang artinya

Pesan Nabi kepada semua um
matnya
Jaga lima sebelum datangnya lima
Pertama jaga muda sebelum tuamu
Kedua jaga kaya sebelum miskinmu
Ketiga jaga sempat sebelum sempitmu
Jaga sehat sebelum sakitmu
Jaga hidup sebelum matimu

Selagi kau sehat bekerja yang giat
Usia yang muda jangan kausia-sia
Selagi kau kaya jangan foya-foya
Gunakanlah harta di dalam bertaqwa
Agar dirimu tidak merugi
Dalam hidup yang singkat ini
Agar kau tidak menyesal nanti
Di saat menghadap Ilahi

Dari itu marilah kawan semua
Jaga lima sebelum datangnya lima
Pertama jaga muda sebelum tuamu
Kedua jaga kaya sebelum miskinmu
Ketiga jaga sempat sebelum sempitmu
Jaga sehat sebelum sakitmu
Jaga hidup sebelum matimu

Rhoma Irama menyanyikan lagu ini dengan warna vokalnya yang khas, irama menghentak namun menggugah perasaan, bahkan bila benar-benar dihayati akan membuat kita merinding, betapa kalau kita abai pada salah satunya akan membuat kita terpuruk dalam kerugian seperti diisyaratkan dalam Q.S Al-Ashr (103), ayat 1-3, yang telah dikutipkan di awal tulisan ini.
Kelompok Nasyid Raihan juga menyanyikan hadits ini dalam lagu mereka yang diberi judul Demi Masa Lirik lengkapnya seperti berikut:

Demi masa sesungguhnya manusia kerugian
Melainkan yang beriman dan beramal sholeh
Demi masa sesungguhnya manusia kerugian
Melainkan nasehat kepada kebenaran dan kesabaran
a a a…..
Gunakan kesempatan yang masih diberi moga kita takkan menyesal
Masa usia kita jangan disiakan kerna ia takkan kembali

Ingat lima perkara sebelum lima perkara
Sihat sebelum sakit
Muda sebelum tua
Kaya sebelum miskin
Lapang sebelum sempit
Hidup sebelum mati

(Ingat lima perkara sebelum lima perkara)
(Ingat lima perkara sebelum lima perkara)

Demi masa sesungguhnya manusia kerugian
Melainkan yang beriman dan beramal sholeh
Gunakan kesempatan yang masih diberi moga kita takkan menyesal
Masa usia kita jangan disiakan kerna ia takkan kembali
Ingat lima perkara sebelum lima perkara
Sihat sebelum sakit
Muda sebelum tua
Kaya sebelum miskin
Lapang sebelum sempit
Hidup sebelum mati

(Ingat lima perkara sebelum lima perkara)
(sihat sebelum sakit)
Muda sebelum tua

Kaya sebelum miskin
Lapang sebelum sempit

(Ingat lima perkara) Hidup sebelum mati
(sebelum lima perkara) Sihat sebelum sakit
(Ingat lima perkara sebelum lima perkara) Muda sebelum tua

(Ingat lima perkara) Kaya sebelum miskin

(sebelum lima perkara) Lapang sebelum sempit
(Ingat lima perkara sebelum lima perkara) Hidup sebelum mati
(Ingat lima perkara sebelum lima perkara) Hidup sebelum mati
(Ingat lima perkara sebelum lima perkara)

   Ya, demi masa, sesungguhnya manusia berada dalam kerugian. Alangkah sia-sianya waktu terbuang percuma hanya diisi dengan duduk-duduk main catur, gapley, kartu remi, atau permainan lainnya yang mengasyikkan sehingga tak terasa azan zuhur lewat begitu saja hingga terdengar pula panggilan azan memberi tanda masuk waktu untuk menunaikan shalat ashar, tapi masih terus asyik ngocok kartu hingga maghrib tiba, terus tanpa jeda hingga terdengar lagi azan isya’ masih juga ngocok kartu dan baru tersadar ternyata sudah larut malam, baru memutuskan untuk bubar. Tinggalkan "markas" permainan, dan pulang ke rumah masing-masing lalu langsung menuju peraduan dan terlelap, baru bangun kembali manakala sorot matahari telah meninggi. Hilanglah ritual shalat lima waktu tak tertunai satu waktu pun. Hilanglah catatan amal ibadah satu hari diganti catatan dosa. Hilanglah pengertian bekerjalah untuk duniamu, seolah-olah kamu hidup selama-lamanya, dan bekerjalah untuk akhiratmu seolah-olah kamu mati besok hari” tanpa pernah merasa ada beban yang harus dipertanggungjawabkan kelak kemudian hari.

   Dan manakala satu kesempatan yang mestinya kita jaga, tapi kita luput menunaikannya, kerugianlah yang akan diderita dan penyesalan tak akan ada guna. Misal, kita luput menjaga sehat, manakala jatuh sakit baru terasa betapa berharganya waktu. Dalam keadaan sakit tak berdaya untuk bekerja hilanglah nafkah yang mestinya kita raih, beribadah juga tak bisa hilanglah catatan amal yang mestinya tertulis terus bila ritual ibadah masih bisa kita lakukan.
   Demikian juga bila luput menjaga kekayaan yang mestinya memberi kesempatan untuk berbuat amal sebanyak-banyaknya, tapi kekayaan digunakan untuk poya-poya dan dibelanjakan tidak di jalan Allah, ketika jatuh miskin baru tersadar betapa berharganya waktu dan kesempatan. Coba kalau mumpung kaya, dimanfaatkan untuk banyak bersedekah, berinfaq bagi pembangunan rumah ibadah, menyantuni anak yatim, niscaya akan berkah rezeki yang diperoleh dan bahkan akan bertambah berlipatganda.
   Luput menjaga waktu luang (kelapangan), begitu tak ada waktu lagi baru menyesal dan meratap alangkah sia-sianya waktu terbuang percuma. Hanya habis di meja permainan kartu remi, habis di petak-petak papan catur dan lompatan-lompata bidak menyesatkan, hanya habis dengan asyikannya main foker atau game lain yang membuat detak waktu tergadai percuma.
   Merasa masih muda lantas tenang-tenang dan seolah-olah belum perlu mengerjakan amal ibadah, nanti saja bila sudah agak tua baru insyaf dan rajin ibadah. Kalau begini, kesannya sombong banget, seolah-olah tahu persis catatan umur yang dijatahkan untuk kita hidup di dunia ini. Bahkan ada yang asyik pula menganggur, ke sana ke mari tanpa pekerjaan.
   Mestinya mumpung masih muda, masih sehat, masih lapang waktu, masih punya kekayaan, dan masih hidup, bekerja dan berbuat amal sebaik dan sebanyak mungkin.

   Rasulullah shallalla-hu ‘alaihi wasallam sangat membenci orang-orang yang terlalu sibuk dengan urusan dunia di siang hari, dan tidur terlelap di malam hari. Rasulullah shallalla-hu ‘alaihi wasallam mengibaratkan mereka: Siang hari ibarat keledai, malam hari ibarat bangkai. Maksudnya orang-orang yang dibenci Rasulullah shallalla-hu ‘alaihi wasallam adalah orang-orang yang di siang hari disibukkan dengan urusan dunia, sehingga mereka lupa dengan kewajiban utama sebagai hamba yaitu beribadah kepada Allah Subhanahuwata’ala. Mereka membiarkan siang berlalu tanpa shalat zuhur dan ashar. Di malam hari mereka juga terlelap di tempat tidur tak ubahnya seperti bangkai hingga matahari terbit di ufuk timur keesokan harinya. Mereka membiarkan malam berlalu tanpa ibadah apapun kepada Allah Subhanahuwata’ala.
   Suatu ketika Imam Ghazali Rahmatullah bertanya kepada beberapa muridnya. Salah satu pertanyaan Sang Imam adalah: Hai murid-muridku, tahukah kalian apakah yang paling jauh”. Para murid serentak menjawab: ”Bulan dan matahari ya tuan guru”. Imam Ghazali memberi komentar: Benar bulan dan matahari adalah benda yang jauh, tetapi ketahuilah oleh kalian, sebenarnya yang paling jauh itu adalah masa lalu. Kalian tidak akan pernah dapat mengejar lagi masa lalu yang telah meninggalkan kalian. Karena itu, sebelum kalian menyesal, maka pergunakanlah waktu luang sebaik-baiknya”.
   Demikianlah pandangan Islam tentang pentingnya menjaga waktu. Kita harus memanfaatkan waktu yang ada semaksimal mungkin. Karena waktu tidak pernah menunggu kita, kalau kita tidak memanfaatkan waktu maka waktulah yang akan menggilas kita. Kata Saidina Ali Radhiallahu anhu: Waktu adalah ibarat Pedang”. Artinya: Kalau kita tidak memanfaatkan waktu, maka waktu akan menebas kita.

Baik juga menyimak lagunya Opick yang berjudul ”Bila Waktu Telah Berakhir” berikut ini:

Bagaimanakah perasaannya
Akan dunia yang sementara
Bagaimanakah bila semua
Hilang dan pergi meninggalkan dirimu

Bagaimanakah bila saatnya
Waktu terhenti tak kau sadari
Masihkah ada jalan bagimu
Untuk kembali menunaikan masa lalu

Dunia dipenuhi dengan hiasan
Semua dan segala yang ada akan kembali pada-Nya

Bila waktu telah memanggil teman sejati hanyalah amal
Bila waktu telah terhenti teman sejati tinggallah sepi