Munculnya
Go-Jek sejak awal terbilang fenomenal. Sang Owner Nadiem
Makarim terbilang sukses mengemas jasa transportasi konvensional ini
dengan teknologi internet. Dengan
kemudahan, kenyamanan dan keamanan serta harga yang murah, tentu dengan mudah
masyarakat kepincut oleh jasa dijual oleh Go-Jek. Bahkan Go-Jek telah mengubah
kebiasaan sebagian masyarakat dari yang menggunakan kendaraan pribadi menjadi
pelanggan setia Go-Jek.
Kesibukan di pusat layanan pesanan terhadap Go-Jek. Masing-masing
operator siap menerima telepon dari pelanggan setia.
Okezone
|
Namun,
hadirnya Go-Jek ternyata juga memberikan dampak negatif bagi tukang ojek
tradisional yang enggan bergabung dengan Go-Jek. Mereka merasa, Go-Jek telah merebut
pendapatannya, karena mengambil sebagian besar pangsa pasarnya.
Menurut
praktisi bisnis dan Guru Besar Universitas Indonesia Rhenald
Kasali, Go-Jek berhasil menerapkan inovasi disruption business. Dimana
perilaku pasar diubah dari menggunakan ojek konvensional beralih menggunakan
Go-Jek karena merasa lebih untung. Tentu suatu hal yang wajar, timbulnya
konflik antara ojek tradisional dengan Go-Jek.
”Pasti
menimbulkan konflik. Jangankan di Indonesia di London ada black cab yang
demonstrasi karena munculnya Uber. Mereka merasa dirugikan, tapi memang
seperti itu. Pasar berhak memilih jasa pelayanan yang lebih baik,” tutur
Rhenald saat dihubungi Okezone, Kamis (30/7/2015).
Bukan hanya
itu, Rhenald juga memperkirakan nasib tukang ojek tradisional bisa saja seperti
pabrik es yang habis digerus karena munculnya produk kulkas. ”Contoh lainnya
dulu pabrik es tutup semua karena adanya kulkas. Tentu yang menciptakan kulkas
bukan dari pabrik esnya, tapi pihak lain. Itu wajar,” imbuhnya.
Menurutnya,
hal tersebut akan terus terjadi dalam perkembangan dunia usaha maupun
teknologi. Datangnya inovasi teknologi yang baru akan menghancurkan produk
ataupun jasa yang lama. ”Bagi komunitas atau masyarakat akhirnya itu positif.
Tapi bagi persaingan memang selalu ada yang dirugikan,” pungkasnya.
Keberhasilan
Nomaden
Fenomena lain
adalah Dzulfikar Akbar Cordova (Dodo), seorang pengamen nomaden yang diterima di
Universitas Indonesia. Rumput hijau dan suasana teduh di bawah pohon depan
Perpustakaan Universitas Indonesia, Depok, menjadi saksi Dzulfikar Akbar
Cordova, 21 tahun, bersama dua teman wanitanya, Chintya Kahassa Ghultom, 21
tahun, dan Meli, 19, tahun, yang tengah belajar bersama. Mereka bertiga adalah
siswa Sekolah Masjid Terminal (Master), Depok.
Dodo –sapaan
Dzulfikar Akbar Cordova– dan Chintya, menjadi salah satu siswa berprestasi yang
diterima masuk UI lewat jalur Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri
(SBMPTN) pada 9 Juli 2015. Dodo diterima di Jurusan Ekonomi Islam FEUI,
sedangkan Chintya diterima di Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Komunikasi dan
Ilmu Politik UI. Dodo dan Chintya sedang mengajari Meli rumus matematika yang
dia tidak mengerti. Soalnya, Meli ingin mencoba mengikuti tes yang sama dengan
Dodo dan Chintya.
Dodo, yang
kesehariannya sebagai pengamen, sempat deg-degan lantaran saat pengumuman tes
SBMPTN pada Kamis (9 Juli 2015), karena dirinya tengah ditahan di kantor Dinas Sosial (Dinsos) Jakarta Timur, setelah terjaring oleh Satpol PP di Pasar Rebo,
Jakarta Timur, pada Rabu (8 Juli 2015). ”Saya izin sama petugas Dinsos untuk pinjam
komputer untuk melihat hasil tes yang diumumkan pada Kamis (9 Juli 2015) malam.
Hasilnya saya lulus,” kata Dodo di Perpustakaan UI, Rabu (29 Juli 2015).
Dodo sempat mendekam selama tiga hari di kantor Dinas Sosial Jakarta Timur. Mengetahui Dodo lulus SBMPTN, pengelola Master datang dengan membawa bukti bahwa dia diterima masuk di UI. Pengelola Master meminta agar Dinas Sosial membebaskannya. Saat ini Dodo bersama Chintya hanya tinggal menunggu registrasi pada 6 Agustus. ”Saya bersama Chintya salah satu mahasiswa yang masuk lewat jalur undangan,” kata Dodo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.