Ibarat
sepasang cowok dan cewek yang baru pertama ngedating,
pasti akan ada rasa canggung di antara mereka. Pasti masing-masing akan lebih
banyak berbicara menggunakan bahasa kalbu, akan berbicara dengan diri sendiri
di dalam hati dan bermacam pikiran berkecamuk dalam benak. Maklum pertama
berkencan, masih terkesan kaku. Sehingga lebih banyak diam dan asyik memainkan
gadget masing-masing, kalau Android tentu bisa jadi berbeda merek. Atau paling
tidak sama-sama BlackBerry.
Begitulah
saat saya didatangi kali pertama oleh makhluk astral di tengah malam (Minggu
malam Senin, 27/9/2015). Kira-kira pukul setengah 12 malam itu, tiba-tiba saya
mencium aroma Kapur Barus, dekat sekali di sekitar tempat duduk, sementara
pekerjaan layout koran masih satu halaman lagi. Berbicara dalam hati
merapalkan Ayat Kursi, itu yang bisa saya lakukan. Habis, mau berdialog dengan
si doi, gak kelihatan wujud rupanya, cewek cantik atau cowok gantengkah,
jangan-jangan malah bencong dan wajahnya begitu mengerikan.
Bertahan
dalam rasa kengerian hingga pekerjaan rampung. Itulah keterpaksaan yang tidak
bisa saya hindarkan. Peristiwa alamiah dan ilmiah itu semula saya
simpan di hati, hanya saya ceritakan kepada istri di rumah. Tetapi, ketika Minggu
malam (4/10/2015) kembali lagi dia datang, masih agak sore sekitar pukul 21.00,
kebetulan kerabat kerja masih ramai sehingga semua kami yang ada di situ (Zahdi Basran,
Jamhari Ismanto, Herman Afrigal, kecuali Lutfi, karena lagi flu) bisa mencium.
Zahdi Basran sampai
konfirmasi ke Bik Toy apakah lemari pakaian di dalam kamar menggunakan Kapur Barus? ”Nggak,” jawab Bik Toy! ”Ah, mana mungkin lemari di dalam kamar yang jauh dari ruang kerja
bisa tercium sementara itu bau Kapur Barus menyengat tajam sekali,” kilah saya. Dan
saya pun buka suara menceritakan kejadian pertama yang saya alami minggu lalu. Keesokannya
Zahdi tanya lagi sama Lely apakah lemari pakaian ada Kapur Barus. Lalu cerita
kalau ada bau kapur barus kemarin. ”Ah jangan buat gw sawan,” kata si Lely.
Senin (6/10)
Wan H Nastul Wathon, paman di Kampung Baru wafat. Tetapi, rasanya aroma Kapur
Barus Minggu malam kemarin bukanlah pertanda atau firasat akan berpulangnya
almarhum, melainkan memang suasana kantor sehabis mati lampu beberapa jam
sebelumnya membuat makhluk astral muncul gentayangan ingin menguji nyaliku.
Ahai… sungguh aroma ”tubuhmu” bikin ’baper’ dan misteri dirimu tak terpecahkan
oleh sunyi ruang kerja dan degub kencang di rongga dada.
Senin dini hari (24/11/2015) nongol lagi itu si bangkek. Kekira pukul 00.23. Ah dasar bangkek bener
dia. Aromanya menyengat kuat sekali seakan begitu dekat. Tak ayal saya yang
rada pemberani dibuat setengah takut juga. Karena kerja belum kelar mau tak mau
bertahan, abis mau gimenong, masak mau lari ninggalin kerja yang masih
setengah. Yo wis jalan terus sesambil baca Ayat Kursi dan rapalan a’uzubillahiminasy-syaithonirrojim
dan nyebut (memanggil-manggil) Asma Allah.
Gak tahan,
tangan buat status di fb; ”bangkek, datang lagi kuntilanak itu, gw karungin
juga entar....”
Tidak jelas
benar seperti apa sosoknya. Karena kita berada di alam yang berbeda, kita di alam
dunia nyata mereka di alam gaib. Tetapi, menurut Herman (Redaktur Olahraga),
kalau bau Kapur Barus itu berarti sosoknya Pocong, kalau baunya seperti Bawang
Putih itu berarti Kuntilanak. Benar tidaknya pendapat Herman, wallahu’alam
bish-shawab. Karena Herman tidak mendasarkan argumennya pada landasan yang kuat, misalnya mengutip
pendapat ilmiah orang-orang yang paham betul tentang dunia gaib.
Saya katakan
peristiwa yang saya alami alamiah karena proses kehadirannya tiba-tiba
tanpa bahasa dan gejala, hanya ada aroma. Sementara dikatakan ilmiah
karena mereka memang bagian dari makhluk halus sebangsa Jin atau Syetan. Dalam
Al-Quran memang disebutkan bahwa makhluk Allah terdiri atas golongan Manusia,
Jin, dan Syetan. Jin ada yang Islam dan ada yang Kafir, sedangkan Syetan pembangkang
perintah Allah (tidak mau taat) dan penggoda keimanan anak-cucu Adam hingga
kiamat.
Sebenarnya
sudah ada obrolan teman-teman tentang adanya makhluk astral di kantor itu,
beberapa orang bahkan sudah pernah ditampakkan sosoknya. Budi Gondrong,
misalnya. Konon, katanya, pernah melihat sosok perempuan berdiri di dekat pintu
ruang jetpump bawah tangga ke lantai dua. Kemudian Rifki Marfuzi pernah dicolek
tengkuknya ketika masuk ruang gelap gulita yang dulu dijadikan studio musik,
kemudian jadi gudang dan tak terurus.
Bahkan, Prinisa
Mariam Ananta, pernah secara refleks menunjukkan kengerian sebagai reaksi atas interaksi
yang terjadi antara dirinya dengan si makhluk astral di rumah itu. Sehingga
putri sulung Fajar Thomas Agatha (keponakan), itu serasa tak nyaman setiap kali
dibawa silaturahmi ke situ. Namanya anak kecil yang masih bersih hati dan
rohaninya, biasanya bisa melihat dengan ’mata gaib’ atau ’indera keenam’ ada
sosok-sosok mengerikan atau tidak di suatu ruang.
Peristiwa
Kedua
Sebenarnya
peristiwa yang saya alami di rumah yang dijadikan kantor atau kantor yang
dijadikan rumah, di jalan Oerip Sumohardjo itu adalah peristiwa kedua. Yang
pertama saya alami terjadi pada tahun 2001 di kantor Jalan Pangeran Diponegoro,
Telukbetung. Waktu itu memang saya selalu menginap menunggu pagi baru pulang ke
rumah karena letaknya jauh dari kantor. Dari malam ke malam, hari ke hari, tak
ada apa-apa sampai suatu malam dia datang menggoda.
Seusai salat
Isya dan hendak merebahkan tubuh untuk berangkat tidur, tiba-tiba di ruang
sebelah yang tersekat kaca terdengar seperti ada yang menyeret/memindahkan
kursi. Saya kembali bangkit dan melongok ke sebelah, jelas saja tak terlihat
apa-apa, sayapun kembali merebahkan tubuh. Lalu terdengar suara derit pintu
besi yang ke arah ruang terbuka balkon belakang. Wah, ini nggak main-main, pikir
saya. Serius ini, saya pun tak mau berpikir lama-lama, langsung turun terbirit-birit dari lantai
tiga itu.
”Kenapa,
Bang,” tanya si Icin, penjaga malam di lantai dasar. ”Ada seperti suara
bla-bla-bla… saya bercerita.” Mendengar itu dia langsung ngakak. Jiancuk,
tengik juga si anak buah. Ketika saya cerita, mereka pun buka suara bahwa memang
sejak lama mereka sudah merasakan nuansa mistik di gedung kantor tiga lantai
itu. Tetapi, mereka tak mau cerita karena takut membuat saya tak berani lagi menginap.
Mereka tunggu sampai saya mengalaminya sendiri. Oh, tau diri banget.
Sejak
kejadian itu, tak ada lagi acara menginap di kantor sampai pagi baru pulang ke
rumah. Usai kerja langsung pulang, kadang diantar teman-teman (Nico, Fadhil,
Iyan) ke rumah pakai Kijang kantor, kadang naik angkot hingga depan Arthomoro
(Tanjungkarang Plaza, sekarang Central Plaza) lalu nyambung angkot ke Terminal
Rajabasa dan naik ojek sampai rumah. Sampai-sampai tukang ojek terminal hapal
di luar kepala saking setiap malamnya. ”Tuh, BKP,”
celoteh mereka ngasih kode ke siapa yang seharusnya giliran narik. Sungguh,
antrean yang rapi jali. Berdasar azas pemerataan.