Senin, 25 Januari 2016

Isyarat Kematian 2

Hari ini, Senin, 25 Januari, tepat 30 hari kepulangan Abuya HMI ke Haribaan Ilahi Rabbi. Kepergiannya di malam seusai siangnya memimpin Rapat Tahunan Group Perusahaan (PT Haga Media Indrajaya) penerbit koran LE, yang dihadiri KKLE (Kerabat Kerja LE) beserta person dari group, yaitu Harian Ekspres dan Harian OKU Raya Ekspres.

Dua hari sebelumnya, tepatnya Kamis, 24 Desember 2015, Abuya HMI mengumpulkan para Kabag dan Redaktur untuk rapat intern persiapan rapat tahunan. Di hari itu beliau sudah mengutarakan bahwa di tahun 2016 tidak akan ikut lagi mengurus manajemen perusahaan, Alasannya, akan rehat dan menyerahkan sepenuhnya kelanjutan usaha kepada para KKLE.

Pada rapat akhir tahun perusahaan, hari Sabtu, 26 Desember 2015, Abuya HMI kembali menegaskan akan mundur dari kegiatan memimpin perusahaan. Secara berseloroh beliau berkata, dirinya mungkin akan mondok di Pesantren di Jawa sana. Semua karyawan yang hadir di rapat tersebut sepenuhnya hanya menyimak uraian panjang lebar darinya. Tak ada yang bisa menerjemahkan dalam pengertian lain apa yang diucapkannya sebagai pertanda untuk istirahat selamanya dari kehidupan.

Baru setelah sekira menjelang pukul 23 WIB rantaian informasi sambung menyambung menyebar lewat pesan SMS dan BBM, mengabarkan kalau Abuya HMI telah mengembuskan napas terakhirnya tadi pada pukul 22.46 WIB di RS Urip Sumoharjo. Barulah terlintas di pikiran, terutama saya, bahwa apa yang dikatakan Abuya di ruang rapat, terselip bahasa isyarat bahwa dirinya di tahun 2016 tidak akan ikut lagi mengurusi perusahaan, karena akan isirahat selamanya dari kehidupan duniawi.

Hari itu, semua urusan telah diselesaikannya. Bahkan sejak jauh hari, sudah ditampakkan pesan-pesan atau isyarat kematian itu. Di antaranya, Abuya minta kepada staf administrasi untuk membingkai semua foto dirinya, merapikan file-file dan dokumen. Tentu saja para staf dengan senang hati menuruti apa keinginan beliau tanpa pernah menduga-duga apa yang akan terjadi sesudahnya.

Seperti yang sudah saya posting dengan judul Si Astral itu Bikin Baper bahwa malam Senin, 27 September 2015, sekira pukul 23.32 tiba-tiba saya mencium bau Kapur Barus yang begitu menyengat. Saya yang tinggal sendirian di ruang redaksi tentu saja merinding dan penuh tanda tanya, pertanda apa itu, isyarat apakah gerangan itu.

Setelah saya hitung waktunya antara kejadian ada aroma Kapur Barus tersebut dengan tanggal meninggalnya Abuya HMI, persis 3 bulan. Tetapi, apakah itu sebagai bahasa yang bisa diterjemahkan sebagai isyarat kematian? Wallahu alam. Hanya Allah Swt pemilik keindahan bahasa Al-Quran dan di dalam Kitab Suci tersebut telah jelas bahwa kematian itu adalah kepastian yang niscaya akan datang. Namun, tidak bisa disegerakan dan tidak juga bisa ditunda kedatangannya.

Jadi, mungkin saja aroma Kapur Barus di tengah malam itu sebagai isyarat kematian, bila dihubungkan bahwa tak begitu lama sesudahnya (3 bulan) Abuya HMI dipanggil menghadap Ilahi Rabbi. Tetapi, baru bisa diterjemahkan atau dihubungkan setelah ada kejadian. Begitulah, sesungguhnya ilmu pengetahuan manusia begitu terbatas, tidak bisa menjangkau apalagi melampaui apa pun yang belum terjadi.



      

Jumat, 15 Januari 2016

Isyarat Kematian 1

Ketika menjelang ajalnya, Ibu saya yang meninggal di hari Sabtu, 13 Desember 1978, memberi isyarat dengan menyuruh agar kami membersihkan sawang (sarang laba-laba) di langit-langit (plafon) rumah. ”Bersihkan itu sansang (istilah bahasa Ranau untuk sawang), nanti akan banyak orang,” pesan beliau. Kami menjawab iya. Dan tak lama dari itu beliau pun menghadapi beratnya sakaratul maut. Kami bacakan Surah Yaa Siin di sisi tempat tidurnya. Begitu bacaan Surah Yaa Siin selesai, beliau pun pergi menghadap ke Haribaan Ilahi Rabbi.

Itulah isyarat kematian yang pertama saya alami.

Isyarat kematian berikutnya, saat kakak dari istri saya akan meninggal. Mas Bakir biasa kami memanggil singkat namanya, Muhammad Subakir. Saat itu pas hari Idulfitri, sedianya habis silaturahmi ke tempat mbak Kifti di Sidoharjo, kami akan meluncur ke arah Lorok. Tetapi, entah bagaimana sehingga diurungkan dan mengarahkan laju kendaraan pulang ke rumah di Ngawen, Semanten. Tetapi, mampir dulu di tempat Yu Katmi karena anak mantu dan cucunya dari Surabaya pada datang. Belum lama duduk, anak saya Abi yang masih berusia 3 tahun ngotot mengajak pulang. Sambil menarik-narik tangan Pakdenya. Ia betkata; ”Pakde ayu pulang, pakde ayu pulang.” Kami pun langsung pamit dan tak sempat mencicipi kue lebaran yang disuguhkan. Ternyata sesampai di rumah yang jaraknya dari situ hanya 300 meter, kami mendapati Mas Bakir sudah dalam detik-detik melepas napasnya yang terakhir. Di sampingnya Ibu sedang membacakan Surah Yaa Siin. Kami pun segera ambil air wudlu dan ikut membacakan Surah Yaa Siin. Begitu bacaan Surah Yaa Siin selesai, Mas Bakir pun berangkat pulang ke Rahmatullah.

Itulah isyarat kematian yang dipertunjukkan Allah lewat kehendak anakku Abi untuk segera pulang.

Ayah kami, H. Yakub bin Abdurahman, sedang dalam kondisi sakit stroke menginjak 7 bulan lamanya. Sebelumnya beberapa kali saya dan Abang pulang menengoknya. Kali itu kebetulan bertepatan dengan pernikahan nakanda Lediartina. Saya dan Abang Ari pulang pada hari Jumat, 11 Juni 2010. Minggu, 13 Juni 2010, acara pesta manten. Faktor tugas yang tak bisa ditinggal lama, maka Senin pagi 14 Juni seusai memandikan beliau lalu saya sarapan karena akan kembali ke Bandar Lampung, saat saya berpamitan beliau tak menjawab. Tetapi, tatapan beliau begitu tajam menikam. Dalam hati saya bergelayut tanya, kok tatapan ayah seperti ini. Begitu lekat seakan tak mau dilepaskannya.

Pikir saya, jangan-jangan ayah ini memberi isyarat agar jangan ditinggalkan dan minta ditunggui. Tetapi, ketetapan hati tak bisa dilawan, saya harus kembali untuk bekerja. Sementara Abang Ari memang sengaja tinggal karena akan membawa beliau berobat ke ahli pengobatan alternafif yaitu Pak Tukiyo di Way Kanan, Lampung Timur. Ayah dibawa hari Selasa 15 Juni. Seusai mengobati dengan cara diurut sebelah anggota tubuhnya yang tidak lumpuh, Pak Tukiyo berpesan kepada abang dan kerabat lainnya yang mengantar agar ayah dibawa kembali ke Way Kanan pada Jumat 25 Juni. ”Antarkan lagi nanti Jumat 25 Juni, jangan lebih dari sepuluh hari,” pesan Pak Tukiyo.

Bisa jadi lantaran ilmunya yang mumpuni, Pak Tukiyo sudah bisa ”membaca” bahwa ayah sudah dekat dengan ajalnya. Nyatanya benar saja, pas sepuluh hari dari tanggal itu, pas pula hari dan tanggal yang dikatakannya yaitu Jumat 25 Juni 2010, ayah berpulang ke Rahmatullah tepat pukul 07.50 WIB. Dan tepat pula ayah memang diantarkan. Bukan ke Way Kanan, melainkan ke tempat peristirahatannya yang terakhir. Begitulah tanda-tanda kebesaran Allah Subhanahuwata'ala, diberikan-Nya kepada hamba-Nya untuk memberi isyarat. Namun, kita kadang tak mampu menerjemahkannya, sehingga kita baru bisa mencerna kalau itu sesunggunya isyarat setelah ada kejadian.

Ya, itulah isyarat yang dikirim ayah lewat tatap matanya yang tajam menikam.

  

Minggu, 10 Januari 2016

Si Astral itu Bikin Baper

Ibarat sepasang cowok dan cewek yang baru pertama ngedating, pasti akan ada rasa canggung di antara mereka. Pasti masing-masing akan lebih banyak berbicara menggunakan bahasa kalbu, akan berbicara dengan diri sendiri di dalam hati dan bermacam pikiran berkecamuk dalam benak. Maklum pertama berkencan, masih terkesan kaku. Sehingga lebih banyak diam dan asyik memainkan gadget masing-masing, kalau Android tentu bisa jadi berbeda merek. Atau paling tidak sama-sama BlackBerry.

Begitulah saat saya didatangi kali pertama oleh makhluk astral di tengah malam (Minggu malam Senin, 27/9/2015). Kira-kira pukul setengah 12 malam itu, tiba-tiba saya mencium aroma Kapur Barus, dekat sekali di sekitar tempat duduk, sementara pekerjaan layout koran masih satu halaman lagi. Berbicara dalam hati merapalkan Ayat Kursi, itu yang bisa saya lakukan. Habis, mau berdialog dengan si doi, gak kelihatan wujud rupanya, cewek cantik atau cowok gantengkah, jangan-jangan malah bencong dan wajahnya begitu mengerikan.

Bertahan dalam rasa kengerian hingga pekerjaan rampung. Itulah keterpaksaan yang tidak bisa saya hindarkan. Peristiwa alamiah dan ilmiah itu semula saya simpan di hati, hanya saya ceritakan kepada istri di rumah. Tetapi, ketika Minggu malam (4/10/2015) kembali lagi dia datang, masih agak sore sekitar pukul 21.00, kebetulan kerabat kerja masih ramai sehingga semua kami yang ada di situ (Zahdi Basran, Jamhari Ismanto, Herman Afrigal, kecuali Lutfi, karena lagi flu) bisa mencium.

Zahdi Basran sampai konfirmasi ke Bik Toy apakah lemari pakaian di dalam kamar menggunakan Kapur Barus? Nggak, jawab Bik Toy! Ah, mana mungkin lemari di dalam kamar yang jauh dari ruang kerja bisa tercium sementara itu bau Kapur Barus menyengat tajam sekali, kilah saya. Dan saya pun buka suara menceritakan kejadian pertama yang saya alami minggu lalu. Keesokannya Zahdi tanya lagi sama Lely apakah lemari pakaian ada Kapur Barus. Lalu cerita kalau ada bau kapur barus kemarin. Ah jangan buat gw sawan,” kata si Lely.

Senin (6/10) Wan H Nastul Wathon, paman di Kampung Baru wafat. Tetapi, rasanya aroma Kapur Barus Minggu malam kemarin bukanlah pertanda atau firasat akan berpulangnya almarhum, melainkan memang suasana kantor sehabis mati lampu beberapa jam sebelumnya membuat makhluk astral muncul gentayangan ingin menguji nyaliku. Ahai… sungguh aroma ”tubuhmu” bikin ’baper’ dan misteri dirimu tak terpecahkan oleh sunyi ruang kerja dan degub kencang di rongga dada.

Senin dini hari (24/11/2015) nongol lagi itu si bangkek. Kekira pukul 00.23. Ah dasar bangkek bener dia. Aromanya menyengat kuat sekali seakan begitu dekat. Tak ayal saya yang rada pemberani dibuat setengah takut juga. Karena kerja belum kelar mau tak mau bertahan, abis mau gimenong, masak mau lari ninggalin kerja yang masih setengah. Yo wis jalan terus sesambil baca Ayat Kursi dan rapalan a’uzubillahiminasy-syaithonirrojim dan nyebut (memanggil-manggil) Asma Allah.

Gak tahan, tangan buat status di fb; ”bangkek, datang lagi kuntilanak itu, gw karungin juga entar....”

Tidak jelas benar seperti apa sosoknya. Karena kita berada di alam yang berbeda, kita di alam dunia nyata mereka di alam gaib. Tetapi, menurut Herman (Redaktur Olahraga), kalau bau Kapur Barus itu berarti sosoknya Pocong, kalau baunya seperti Bawang Putih itu berarti Kuntilanak. Benar tidaknya pendapat Herman, wallahu’alam bish-shawab. Karena Herman tidak mendasarkan argumennya pada landasan yang kuat, misalnya mengutip pendapat ilmiah orang-orang yang paham betul tentang dunia gaib.

Saya katakan peristiwa yang saya alami alamiah karena proses kehadirannya tiba-tiba tanpa bahasa dan gejala, hanya ada aroma. Sementara dikatakan ilmiah karena mereka memang bagian dari makhluk halus sebangsa Jin atau Syetan. Dalam Al-Quran memang disebutkan bahwa makhluk Allah terdiri atas golongan Manusia, Jin, dan Syetan. Jin ada yang Islam dan ada yang Kafir, sedangkan Syetan pembangkang perintah Allah (tidak mau taat) dan penggoda keimanan anak-cucu Adam hingga kiamat.

Sebenarnya sudah ada obrolan teman-teman tentang adanya makhluk astral di kantor itu, beberapa orang bahkan sudah pernah ditampakkan sosoknya. Budi Gondrong, misalnya. Konon, katanya, pernah melihat sosok perempuan berdiri di dekat pintu ruang jetpump bawah tangga ke lantai dua. Kemudian Rifki Marfuzi pernah dicolek tengkuknya ketika masuk ruang gelap gulita yang dulu dijadikan studio musik, kemudian jadi gudang dan tak terurus.

Bahkan, Prinisa Mariam Ananta, pernah secara refleks menunjukkan kengerian sebagai reaksi atas interaksi yang terjadi antara dirinya dengan si makhluk astral di rumah itu. Sehingga putri sulung Fajar Thomas Agatha (keponakan), itu serasa tak nyaman setiap kali dibawa silaturahmi ke situ. Namanya anak kecil yang masih bersih hati dan rohaninya, biasanya bisa melihat dengan ’mata gaib’ atau ’indera keenam’ ada sosok-sosok mengerikan atau tidak di suatu ruang.
    
Peristiwa Kedua

Sebenarnya peristiwa yang saya alami di rumah yang dijadikan kantor atau kantor yang dijadikan rumah, di jalan Oerip Sumohardjo itu adalah peristiwa kedua. Yang pertama saya alami terjadi pada tahun 2001 di kantor Jalan Pangeran Diponegoro, Telukbetung. Waktu itu memang saya selalu menginap menunggu pagi baru pulang ke rumah karena letaknya jauh dari kantor. Dari malam ke malam, hari ke hari, tak ada apa-apa sampai suatu malam dia datang menggoda.

Seusai salat Isya dan hendak merebahkan tubuh untuk berangkat tidur, tiba-tiba di ruang sebelah yang tersekat kaca terdengar seperti ada yang menyeret/memindahkan kursi. Saya kembali bangkit dan melongok ke sebelah, jelas saja tak terlihat apa-apa, sayapun kembali merebahkan tubuh. Lalu terdengar suara derit pintu besi yang ke arah ruang terbuka balkon belakang. Wah, ini nggak main-main, pikir saya. Serius ini, saya pun tak mau berpikir lama-lama, langsung turun terbirit-birit dari lantai tiga itu.

”Kenapa, Bang,” tanya si Icin, penjaga malam di lantai dasar. ”Ada seperti suara bla-bla-bla… saya bercerita.” Mendengar itu dia langsung ngakak. Jiancuk, tengik juga si anak buah. Ketika saya cerita, mereka pun buka suara bahwa memang sejak lama mereka sudah merasakan nuansa mistik di gedung kantor tiga lantai itu. Tetapi, mereka tak mau cerita karena takut membuat saya tak berani lagi menginap. Mereka tunggu sampai saya mengalaminya sendiri. Oh, tau diri banget.

Sejak kejadian itu, tak ada lagi acara menginap di kantor sampai pagi baru pulang ke rumah. Usai kerja langsung pulang, kadang diantar teman-teman (Nico, Fadhil, Iyan) ke rumah pakai Kijang kantor, kadang naik angkot hingga depan Arthomoro (Tanjungkarang Plaza, sekarang Central Plaza) lalu nyambung angkot ke Terminal Rajabasa dan naik ojek sampai rumah. Sampai-sampai tukang ojek terminal hapal di luar kepala saking setiap malamnya. ”Tuh, BKP,” celoteh mereka ngasih kode ke siapa yang seharusnya giliran narik. Sungguh, antrean yang rapi jali. Berdasar azas pemerataan.