Jumat, 15 Januari 2016

Isyarat Kematian 1

Ketika menjelang ajalnya, Ibu saya yang meninggal di hari Sabtu, 13 Desember 1978, memberi isyarat dengan menyuruh agar kami membersihkan sawang (sarang laba-laba) di langit-langit (plafon) rumah. ”Bersihkan itu sansang (istilah bahasa Ranau untuk sawang), nanti akan banyak orang,” pesan beliau. Kami menjawab iya. Dan tak lama dari itu beliau pun menghadapi beratnya sakaratul maut. Kami bacakan Surah Yaa Siin di sisi tempat tidurnya. Begitu bacaan Surah Yaa Siin selesai, beliau pun pergi menghadap ke Haribaan Ilahi Rabbi.

Itulah isyarat kematian yang pertama saya alami.

Isyarat kematian berikutnya, saat kakak dari istri saya akan meninggal. Mas Bakir biasa kami memanggil singkat namanya, Muhammad Subakir. Saat itu pas hari Idulfitri, sedianya habis silaturahmi ke tempat mbak Kifti di Sidoharjo, kami akan meluncur ke arah Lorok. Tetapi, entah bagaimana sehingga diurungkan dan mengarahkan laju kendaraan pulang ke rumah di Ngawen, Semanten. Tetapi, mampir dulu di tempat Yu Katmi karena anak mantu dan cucunya dari Surabaya pada datang. Belum lama duduk, anak saya Abi yang masih berusia 3 tahun ngotot mengajak pulang. Sambil menarik-narik tangan Pakdenya. Ia betkata; ”Pakde ayu pulang, pakde ayu pulang.” Kami pun langsung pamit dan tak sempat mencicipi kue lebaran yang disuguhkan. Ternyata sesampai di rumah yang jaraknya dari situ hanya 300 meter, kami mendapati Mas Bakir sudah dalam detik-detik melepas napasnya yang terakhir. Di sampingnya Ibu sedang membacakan Surah Yaa Siin. Kami pun segera ambil air wudlu dan ikut membacakan Surah Yaa Siin. Begitu bacaan Surah Yaa Siin selesai, Mas Bakir pun berangkat pulang ke Rahmatullah.

Itulah isyarat kematian yang dipertunjukkan Allah lewat kehendak anakku Abi untuk segera pulang.

Ayah kami, H. Yakub bin Abdurahman, sedang dalam kondisi sakit stroke menginjak 7 bulan lamanya. Sebelumnya beberapa kali saya dan Abang pulang menengoknya. Kali itu kebetulan bertepatan dengan pernikahan nakanda Lediartina. Saya dan Abang Ari pulang pada hari Jumat, 11 Juni 2010. Minggu, 13 Juni 2010, acara pesta manten. Faktor tugas yang tak bisa ditinggal lama, maka Senin pagi 14 Juni seusai memandikan beliau lalu saya sarapan karena akan kembali ke Bandar Lampung, saat saya berpamitan beliau tak menjawab. Tetapi, tatapan beliau begitu tajam menikam. Dalam hati saya bergelayut tanya, kok tatapan ayah seperti ini. Begitu lekat seakan tak mau dilepaskannya.

Pikir saya, jangan-jangan ayah ini memberi isyarat agar jangan ditinggalkan dan minta ditunggui. Tetapi, ketetapan hati tak bisa dilawan, saya harus kembali untuk bekerja. Sementara Abang Ari memang sengaja tinggal karena akan membawa beliau berobat ke ahli pengobatan alternafif yaitu Pak Tukiyo di Way Kanan, Lampung Timur. Ayah dibawa hari Selasa 15 Juni. Seusai mengobati dengan cara diurut sebelah anggota tubuhnya yang tidak lumpuh, Pak Tukiyo berpesan kepada abang dan kerabat lainnya yang mengantar agar ayah dibawa kembali ke Way Kanan pada Jumat 25 Juni. ”Antarkan lagi nanti Jumat 25 Juni, jangan lebih dari sepuluh hari,” pesan Pak Tukiyo.

Bisa jadi lantaran ilmunya yang mumpuni, Pak Tukiyo sudah bisa ”membaca” bahwa ayah sudah dekat dengan ajalnya. Nyatanya benar saja, pas sepuluh hari dari tanggal itu, pas pula hari dan tanggal yang dikatakannya yaitu Jumat 25 Juni 2010, ayah berpulang ke Rahmatullah tepat pukul 07.50 WIB. Dan tepat pula ayah memang diantarkan. Bukan ke Way Kanan, melainkan ke tempat peristirahatannya yang terakhir. Begitulah tanda-tanda kebesaran Allah Subhanahuwata'ala, diberikan-Nya kepada hamba-Nya untuk memberi isyarat. Namun, kita kadang tak mampu menerjemahkannya, sehingga kita baru bisa mencerna kalau itu sesunggunya isyarat setelah ada kejadian.

Ya, itulah isyarat yang dikirim ayah lewat tatap matanya yang tajam menikam.

  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.