Ketika menjelang ajalnya, Ibu saya yang meninggal di hari
Sabtu, 13 Desember 1978, memberi isyarat dengan menyuruh agar kami membersihkan
sawang (sarang laba-laba) di langit-langit (plafon) rumah. ”Bersihkan itu
sansang (istilah bahasa Ranau untuk sawang), nanti akan banyak orang,” pesan
beliau. Kami menjawab iya. Dan tak lama dari itu beliau pun menghadapi beratnya
sakaratul maut. Kami bacakan Surah Yaa Siin di sisi tempat tidurnya. Begitu bacaan
Surah Yaa Siin selesai, beliau pun pergi menghadap ke Haribaan Ilahi Rabbi.
Itulah isyarat kematian yang pertama saya alami.
Isyarat kematian berikutnya, saat kakak dari istri saya akan
meninggal. Mas Bakir biasa kami memanggil singkat namanya, Muhammad Subakir. Saat
itu pas hari Idulfitri, sedianya habis silaturahmi ke tempat mbak Kifti di
Sidoharjo, kami akan meluncur ke arah Lorok. Tetapi, entah bagaimana sehingga
diurungkan dan mengarahkan laju kendaraan pulang ke rumah di Ngawen, Semanten. Tetapi, mampir dulu di tempat Yu Katmi karena anak mantu dan cucunya dari Surabaya pada
datang. Belum lama duduk, anak saya Abi yang masih berusia 3 tahun ngotot
mengajak pulang. Sambil menarik-narik tangan Pakdenya. Ia betkata; ”Pakde ayu
pulang, pakde ayu pulang.” Kami pun langsung pamit dan tak sempat mencicipi kue
lebaran yang disuguhkan. Ternyata sesampai di rumah yang jaraknya dari situ
hanya 300 meter, kami mendapati Mas Bakir sudah dalam detik-detik melepas
napasnya yang terakhir. Di sampingnya Ibu sedang membacakan Surah Yaa Siin. Kami
pun segera ambil air wudlu dan ikut membacakan Surah Yaa Siin. Begitu bacaan
Surah Yaa Siin selesai, Mas Bakir pun berangkat pulang ke Rahmatullah.
Itulah isyarat kematian yang dipertunjukkan Allah lewat kehendak anakku Abi untuk segera pulang.
Itulah isyarat kematian yang dipertunjukkan Allah lewat kehendak anakku Abi untuk segera pulang.
Pikir saya, jangan-jangan ayah ini memberi isyarat agar
jangan ditinggalkan dan minta ditunggui. Tetapi, ketetapan hati tak bisa dilawan,
saya harus kembali untuk bekerja. Sementara Abang Ari memang sengaja tinggal
karena akan membawa beliau berobat ke ahli pengobatan alternafif yaitu Pak
Tukiyo di Way Kanan, Lampung Timur. Ayah dibawa hari Selasa 15 Juni. Seusai mengobati
dengan cara diurut sebelah anggota tubuhnya yang tidak lumpuh, Pak Tukiyo
berpesan kepada abang dan kerabat lainnya yang mengantar agar ayah dibawa
kembali ke Way Kanan pada Jumat 25 Juni. ”Antarkan lagi nanti Jumat 25 Juni,
jangan lebih dari sepuluh hari,” pesan Pak Tukiyo.
Bisa jadi lantaran ilmunya yang mumpuni, Pak Tukiyo sudah
bisa ”membaca” bahwa ayah sudah dekat dengan ajalnya. Nyatanya benar saja, pas
sepuluh hari dari tanggal itu, pas pula hari dan tanggal yang dikatakannya
yaitu Jumat 25 Juni 2010, ayah berpulang ke Rahmatullah tepat pukul 07.50 WIB.
Dan tepat pula ayah memang diantarkan. Bukan ke Way Kanan, melainkan ke
tempat peristirahatannya yang terakhir. Begitulah tanda-tanda kebesaran Allah
Subhanahuwata'ala, diberikan-Nya kepada hamba-Nya untuk memberi isyarat. Namun, kita
kadang tak mampu menerjemahkannya, sehingga kita baru bisa mencerna kalau itu
sesunggunya isyarat setelah ada kejadian.
Ya, itulah isyarat yang dikirim ayah lewat tatap matanya yang tajam menikam.
Ya, itulah isyarat yang dikirim ayah lewat tatap matanya yang tajam menikam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.