Minggu, 30 April 2017

CINTA

Syaikh Yassir Fazaga suatu waktu pernah menulis, ”Kata CINTA dalam Al-Quran muncul di lebih dari 90 tempat. Menariknya, ia tidak mendefinisikan kata cinta, tetapi berbicara tentang konsekuensi pertama dari cinta, yaitu KOMITMEN.

Syaikh Yassir Fazaga melanjutkan, ”Islam sangat mengedepankan komitmen. Karenanya, jika Anda benar-benar mencintai seseorang, maka tunjukkanlah dengan komitmen. Jika Anda tidak membuktikannya, maka klaim cinta Anda tidak nyata”
salah satu venue di perhelatan pesta pernikahan di Gedung Bagasraya, Bandar Lampung (foto: koleksi zabidi yakub)

Erich Fromm menulis, ”The Art of Loving” karena cinta seperti seni yang memerlukan pengetahuan dan pengalaman.

Banyak versi tentang definisi cinta. Masing-masing orang bisa mengondisikan cintanya pada versi yang menurutnya pas dengan yang dialaminya.

Banyak yang melihat masalah cinta sebagai problem dicintai sebagai obyek, bukan mencintai sebagai bakat atau perilaku.

Menurut Erich Fromm, problem cinta yang dilakukan kali pertama ialah bagaimana mencintai, bukan mencari yang dicintai.

Orang berpikir bahwa mencintai itu sederhana, yang sulit ialah mencari obyek yang tepat untuk dicintai.

Cinta bukan hanya sekadar perasaan suka, melainkan seperti seni. Walaupun ada unsur bakat yang harus dipelajari.

Maka rumus yang ditawarkannya ”Cinta itu aktif bukan pasif. Bangunlah cinta bukan jatuh cinta.”
Manusia moderen, menurut Erich Fromm, ada empat gaya orientasi cinta terhadap apa yang dicintainya.

Pertama, gaya reseptif, yang hanya fokus terhadap apa atau siapa yang dicintai dan bersifat pasif. Pemenuhan keinginan jadi sumber kebahagiaan. Sehingga akan mencintai yang memberinya atau apa saja yang tampak seperti cinta.

Kedua, gaya eksploitatif, bentuk ekstrem dari reseptif. Ada unsur pemaksaan atau manipulasi agar dicintai. Ia mencintai segala hal yang dapat dimanfaatkan guna meraih kepentingannya, lalu pergi saat bosan dan tak berguna.

Ketiga, gaya menimbun, fokusnya pada yang ia cintai, merasa aman dan nyaman memiliki sesuatu. Ia akan menyimpan, menjaga dan merasa bersalah saat ‘memanfaatkan’ apalagi membuang yang dianggap milikinya.

Keempat, gaya pasar, memperlakukan cinta layaknya barang dagangan di pasar. Ia akan membungkus diri agar orang lain tertarik. Cinta diletakkan seperti komoditas yang baru diperoleh keuntungannya dan relevan dengan modal (penampilan) yang dikeluarkan.

Cinta adalah sikap, orientasi watak yang menentukan tautan pribadi dengan dunia dan tidak hanya menuju satu ‘obyek cinta.’ Jika seseorang mencintai seorang saja dan tidak peduli dengan lainnya, itu bukan cinta, melainkan ‘egoisme yang diperluas.’ Cinta sebenarnya tidak tergantung obyek. Orang yang mencintai hanya menunggu saat menemukan ‘obyek yang tepat.’

Bagi Erich Fromm cinta itu penting. Karena itu jawaban atas problem eksistensi manusia. Cinta yang matang adalah kesatuan dengan syarat tetap mempertahankan keutuhan individualitas dan kekuatan aktif diri. Cinta mendobrak sekat antarmanusia. Namun, tetap mengizinkan jadi diri sendiri sebagai kesatuan simbiotik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.