Syaikh Yassir Fazaga suatu waktu pernah menulis, ”Kata CINTA
dalam Al-Quran muncul di lebih dari 90 tempat. Menariknya, ia tidak
mendefinisikan kata cinta, tetapi berbicara tentang konsekuensi pertama dari
cinta, yaitu KOMITMEN.
Syaikh Yassir Fazaga melanjutkan, ”Islam sangat
mengedepankan komitmen. Karenanya, jika Anda benar-benar mencintai seseorang,
maka tunjukkanlah dengan komitmen. Jika Anda tidak membuktikannya, maka klaim
cinta Anda tidak nyata”
salah satu venue di perhelatan pesta pernikahan di Gedung Bagasraya, Bandar Lampung (foto: koleksi zabidi yakub) |
Erich Fromm menulis, ”The Art of Loving” karena cinta
seperti seni yang memerlukan pengetahuan dan pengalaman.
Banyak versi tentang definisi cinta. Masing-masing orang
bisa mengondisikan cintanya pada versi yang menurutnya pas dengan yang
dialaminya.
Banyak yang melihat masalah cinta sebagai problem dicintai
sebagai obyek, bukan mencintai sebagai bakat atau perilaku.
Menurut Erich Fromm, problem cinta yang dilakukan kali pertama ialah bagaimana mencintai, bukan mencari yang dicintai.
Orang berpikir bahwa mencintai itu sederhana, yang sulit
ialah mencari obyek yang tepat untuk dicintai.
Cinta bukan hanya sekadar perasaan suka, melainkan seperti
seni. Walaupun ada unsur bakat yang harus dipelajari.
Maka rumus yang ditawarkannya ”Cinta itu aktif bukan pasif.
Bangunlah cinta bukan jatuh cinta.”
Manusia moderen, menurut Erich Fromm, ada empat gaya
orientasi cinta terhadap apa yang dicintainya.
Pertama, gaya reseptif, yang hanya fokus terhadap apa atau
siapa yang dicintai dan bersifat pasif. Pemenuhan keinginan jadi sumber
kebahagiaan. Sehingga akan mencintai yang memberinya atau apa saja yang tampak
seperti cinta.
Kedua, gaya eksploitatif, bentuk ekstrem dari reseptif. Ada
unsur pemaksaan atau manipulasi agar dicintai. Ia mencintai segala hal yang
dapat dimanfaatkan guna meraih kepentingannya, lalu pergi saat bosan dan tak
berguna.
Ketiga, gaya menimbun, fokusnya pada yang ia cintai, merasa
aman dan nyaman memiliki sesuatu. Ia akan menyimpan, menjaga dan merasa
bersalah saat ‘memanfaatkan’ apalagi membuang yang dianggap milikinya.
Keempat, gaya pasar, memperlakukan cinta layaknya barang
dagangan di pasar. Ia akan membungkus diri agar orang lain tertarik. Cinta
diletakkan seperti komoditas yang baru diperoleh keuntungannya dan relevan
dengan modal (penampilan) yang dikeluarkan.
Cinta adalah sikap, orientasi watak yang menentukan tautan
pribadi dengan dunia dan tidak hanya menuju satu ‘obyek cinta.’ Jika seseorang
mencintai seorang saja dan tidak peduli dengan lainnya, itu bukan cinta, melainkan ‘egoisme yang diperluas.’ Cinta sebenarnya tidak tergantung obyek. Orang yang
mencintai hanya menunggu saat menemukan ‘obyek yang tepat.’
Bagi Erich Fromm cinta itu penting. Karena itu jawaban atas problem eksistensi manusia. Cinta yang matang adalah kesatuan dengan syarat tetap mempertahankan keutuhan individualitas dan kekuatan aktif diri. Cinta mendobrak sekat antarmanusia. Namun, tetap mengizinkan jadi diri sendiri sebagai kesatuan simbiotik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.