Tidak ada
yang pantas kita ucapkan selain rasa syukur yang mendalam ke Hadirat Alloh SWT,
Tuhan Yang Maha Esa, Roh Kudus, Sang Hyang Widi –dan apa pun sebutannya– yang
telah menganugerahkan kemerdekaan bagi Indonesia setelah 3,5 abad dijajah
Belanda dan 3,5 tahun dijajah Jepang. Berkat perjuangan berbagai elemen anak
bangsa, ulama dan umaro’, santri dan pemuda, berbagai suku dan lintas agama,
akhirnya kemerdekaan Indonesia bisa diproklamirkan oleh Soekarno dan Hatta pada
17 Agustus 1945.
Serba-Serbi Upacara Bendera
Atas Rahmat
Alloh SWT-lah segenap komponen masyarakat dan bangsa Indonesia dapat merayakan
HUT ke-72 Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 2017 lalu, walaupun di beberapa tempat
terjadi insiden yang mengganggu prosesi peringatan detik-detik proklamasi
kemerdekaan RI. Namun syukur tidak sampai menggagalkan sama sekali upcara
penaikan bendera merah putih ke tiangnya. Insiden itu, misalnya, ketika
tiba-tiba hujan deras mengguyur peserta upacara di Lapangan Merdeka Kota Balikpapan,
namun upacara tetap berlangsung dengan khidmat.
Pasukan Pengibar Bendera (paskibra) di Lapangan Kecamatan Sebulu, Kutai Kartanegara, Kaltim. foto: Aldiyansyah Mohammad Fahrurozy/Facebook |
Yang lebih
mengharukan adalah, betapa bersemangatnya pasukan pengibar bendera (paskibra),
yang terus melangkah tegap di lapangan upacara yang telah berubah menjadi
kubangan lumpur, karena diguyur hujan deras sejak malam sebelumnya. Hal ini
terjadi di Kecamatan Sebulu, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Sepatu dan
pakaian mereka jadi penuh lumpur. Bahkan ada di antara mereka yang sepatunya terlepas
saat melangkah. Beberapa pasang sepatu yang tergeletak kelu di lapangan becek
menjadi pemandangan yang mengharukan.
Sepatu paskibra yang terlepas karena terpendam lumpur saat melangkah tegap. foto: merdeka.com |
Selain di Kota Balikpapan dan Kutai Kartanegara, upacara pengibaran bendera di Kota Samarinda juga berlangsung di tengah kepungan banjir. Paskibra terpaksa harus berjalan membawa bendera tanpa alas kaki. Di Kecamatan Taluditi, Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo, juga mengalami hal sama. Paskibra gabungan siswa-siswi se-kecamatan Taluditi harus berjuang mengibarkan sang merah putih dengan kondisi lapangan yang becek berlumpur bahkan di beberapa bagian lainnya masih ada air yang menggenang.
Paskibra tetap semangat melangkah di tengah kepungan banjir di Kota Samarinda. foto: liputan6.com |
Sementara di
Pulau Maratua, Kabupaten Berau, salah satu pulau terluar di perbatasan perairan
Indonesia, dilakukan pengibaran bendera di bawah laut yang diikuti Wakil Bupati
Berau Agus Tantomo dan sejumlah jurnalis. Persiapan pengibaran bendera raksasa
selama 1 minggu sebelumnya karena mempertimbangkan beragam faktor seperti
cuaca, arus bawah permukaan dan ketinggian gelombang. Namun dapat berlangsung dengan
lancar dan khidmat.
Bendera Merah Putih Raksasa dikibarkan di bawah laut Pulau Maratua, Kabupaten Berau. foto: kaltim.tribunnews.com |
Kepada wartawan,
Agus Tantomo mengatakan, pemilihan angka 17 sebagai titik kedalaman pengibaran
bendera merah putih, dengan menyertakan 17 penyelam, sebagai salah satu bentuk
penghormatan terhadap para pejuang kemerdekaan. ”Pemilihan laut Maratua
sendiri, sebagai lokasi pengibaran, selain disebabkan Pulau Maratua merupakan
salah satu pulau terluar di Indonesia, Maratua juga salah satu pulau dengan
keindahan bawah laut yang sudah mendunia,” demikian Agus.
Detik-detik
peringatan proklamasi kemerdekaan RI, juga dirayakan para jamaah calon haji
asal Kabupaten Batang, Jawa Tengah, yang tergabung dalam kloter SOC 09 dari
embarkasi Solo. Mereka mengibarkan bendera merah putih di atas Jabal Nur, Gua
Hira, Mekah. Rombongan pendaki dipimpin oleh K.H. Anizar Masyhadi, salah
seorang pimpinan Pondok Modern Tazakka Batang. Rombongan mengawalinya dengan
salat Subuh di masjid sekitar Jabal Nur, lalu dilanjutkan dengan doa bersama
dan kemudian mendaki ke atas jabal Nur.
Sang Saka Merah Putih berkibar anggun di puncak Jabal Nur, Gua Hira, Mekah. foto: dokumen K.H. Anizar Masyhadi |
Gua Hira di
Jabal Nur menjadi tonggak kerasulan Nabi Muhammad SAW. Di dalam gua tersebut
kali pertama beliau menerima wahyu dari Alloh SWT melalui Malaikat Jibril,
yaitu Surah Al-’Alaq : 1-5. Pendakian rombongan jamaah calon haji pimpinan K.H.
Anizar Masyhadi tersebut dimaksudkan untuk refleksi dan napak tilas bagaimana
perjuangan Rasulullah dalam mengemban misi Islam. Dan tujuan mengibarkan
bendera di atas Jabal Nur, sebagai bukti kecintaan kepada NKRI. Semoga sang
saka merah putih tetap jaya mempersatukan bangsa Indonesia sebagaimana jayanya
Islam.
Penciptaan Manusia Ditakdirkan
Berbeda
Kemerdekaan
pada dasarnya merupakan seseuatu yang sangat emosional bagi setiap pribadi
maupun bangsa. Kemerdekaan merupakan hak yang sangat asasi dan bersifat
fundamental dalam kehidupan. Jika kemerdekaan individu terganggu, maka dengan
serta merta ia akan berusaha merebut kembali kemerdekaannya. Kemerdekaan itu
akan menjadikan hidup menjadi lebih berarti dan bermakna, manakala diisi dan
dihiasi dengan nilai-nilai, norma-norma dan amal yang bermanfaat bagi kehidupan
umat manusia.
Ajaran Islam
adalah ajaran yang sangat menghormati kemerdekaan setiap individu dan bangsa.
Islam memandang bahwa manusia adalah makhluk yang dilahirkan dalam keadaan
merdeka sehingga segala bentuk penindasan dan eksploitasi terhadap kemerdekaan
setiap individu dan bangsa sangat ditentang oleh ajaran Islam. Rasulullah SAW
telah menegaskan bahwa tidak ada diskriminasi kemerdekaan terhadap setiap manusia
yang lahir ke dunia, meskipun memiliki berbagai perbedaan dan latar belakang,
suku, ras, kekayaan, kedudukan, status sosial, maupun atribut keduniaan
lainnya.
Rasulullah
SAW dengan tegas menyatakan dalam sebuah sabdanya, ”Wahai sekalian manusia,
kalian semua berasal dari Adam, dan Adam diciptakan dari tanah. Tidaklah orang
Arab lebih mulia daripada orang non-Arab, tidak pula orang kulit putih lebih
baik daripada orang kulit hitam, kecuali ketakwaannya.”
Allah SWT
menciptakan manusia berbeda-beda dengan tujuan agar manusia saling mengenal dan
saling berinteraksi atas dasar prinsip persamaan. Jadi, rakyat Indonesia yang
terdiri atas berbagai macam suku/etnis, ras, agama dan keyakinan, beragam
karakter, dan berbagai latar belakang lainnya, memang sudah sunatullah. Atas
berbagai perbedaan yang ada, jadikanlah rahmat untuk saling mengasihi
antarsesama. Bukan justru dijadikan dasar meninggikan ego dan memicu konflik
lalu mencabik-cabik persatuan dan kesatuan.
Hakikat Kemederkaan
Pada
hakikatnya, kemerdekaan bukanlah semata-mata membebaskan diri dari belenggu
penjajahan bangsa asing. Tetapi lebih dari itu, kemerdekaan yang hakiki adalah
terbebas dari belenggu penjajahan oleh bangsa sendiri. Hal yang sangat
ditakutkan oleh Bung Karno, adalah rakyat Indonesia tidak bisa lepas dari
belenggu penjajahan oleh bangsanya sendiri. Dalam sebuah pidatonya, ia
mengatakan, ”Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, perjuanganmu
akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.”
Bung Karno sangat mengkhawatirkan terjadinya penjajahan oleh bangsa sendiri. foto: www.google.co.id |
Bila ketidakadilan masih mencengkeram sebagian anak bangsa di negeri ini. Bila ketimpangan ekonomi masih jadi jurang yang menganga lebar di antara yang kaya dan miskin. Jika kesempatan mengenyam pendidikan belum dirasakan oleh sebagian anak-anak di tempat yang terisolasi di belahan bumi pertiwi. Bila hawa nafsu untuk berkuasa dan memperkaya diri menjadi ambisi yang diperjuangkan, dan mengeksploitasi rakyat menghambakan diri kepada mereka, maka tak akan ada kemerdekaan hakiki.
Paskibra tetap semangat melangkah di tengah kepungan bajir di Samarinda. foto: liputan6.com |
Sebab,
kemerdekaan yang hakiki, adalah bila para pejabat mampu membebaskan diri dari
belenggu ambisi pribadi untuk berkuasa lalu memperkaya diri dengan korupsi atas
dorongan keluarganya. Bila hukum ditegakkan sebangai panglima, untuk ini,
aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim maupun pengacara) harus memiliki
komitmen kuat untuk menegakkan aturan seadil-adilnya, tanpa pandang bulu dan
pretensi apapun. Hal ini akan terwujud bila berpedomani pada asas keadilan dan
obyektivitas yang benar-benar dijunjung tinggi.
Kemerdekaan
hakiki di bidang pelayanan masyarakat, baru akan dirasakan bila, para pegawai
atau aparatur pemerintahan berusaha mengoptimalkan potensi dirinya untuk meraih
prestasi kerja yang baik dan bermanfaat bagi publik, dengan landasan bekerja
sebagai ibadah dan semata-mata mencari rezeki yang halal dan diridhai Alloh
SWT. Menerapkan prinsip ”kerja, kerja, kerja” yang diinisiasi Presiden Joko Widodo
dan ”bekerja bersama” sebagaimana yang jadi momentum peringatan HUT ke-72
kemerdekaan RI.
Paskibra di Kabupaten Minahasa Tenggara (Mitra), Provinsi Sulawesi Utara. foto: manado.tribunnews.com (tribun.mitra) |
Tapi,
apadaya, hingga berusia 72 tahun kemerdekaan Republik Indonesia tercinta ini,
kita masih saja dihadapkan pada kondisi hakikat kemerdekaan yang jauh dari
angan dan harapan. Kita masih menemui kenyataan adanya penjajahan dalam
berbagai bidang kehidupan, sehingga krisis demi krisis datang silih berganti.
Krisis kepemimpinan, krisis politik, krisis ekonomi, krisis sosial, krisis
hukum dan krisis akhlak. Semuanya pekerjaan rumah yang semakin kompleks dan
berat.
Apapun
kondisi negeri ini hingga usianya yang 72 tahun dinaungi alam kemerdekaan, yang
nyatanya belum betul-betul mempersembahkan ”rasa merdeka” pada sebagian elemen
bangsa. Sehingga seolah-olah bangsa ini masih belum terbebas dari penjajahan. Utamanya
penjajahan oleh bangsanya sendiri sehingga melahirkan banyak konflik dan
krisis. Konflik antaragama, sesama-agama, antara ulama dan umara’. Tapi, segala
konflik ini tidak boleh dibiarkan dengan berpangku tangan, maka marilah kita ”bekerja
bersama” mengatasinya.