Selasa, 29 Agustus 2017

Kemederkaan Hakiki, Seperti Apa?

Tidak ada yang pantas kita ucapkan selain rasa syukur yang mendalam ke Hadirat Alloh SWT, Tuhan Yang Maha Esa, Roh Kudus, Sang Hyang Widi –dan apa pun sebutannya– yang telah menganugerahkan kemerdekaan bagi Indonesia setelah 3,5 abad dijajah Belanda dan 3,5 tahun dijajah Jepang. Berkat perjuangan berbagai elemen anak bangsa, ulama dan umaro’, santri dan pemuda, berbagai suku dan lintas agama, akhirnya kemerdekaan Indonesia bisa diproklamirkan oleh Soekarno dan Hatta pada 17 Agustus 1945.

Serba-Serbi Upacara Bendera

Atas Rahmat Alloh SWT-lah segenap komponen masyarakat dan bangsa Indonesia dapat merayakan HUT ke-72 Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 2017 lalu, walaupun di beberapa tempat terjadi insiden yang mengganggu prosesi peringatan detik-detik proklamasi kemerdekaan RI. Namun syukur tidak sampai menggagalkan sama sekali upcara penaikan bendera merah putih ke tiangnya. Insiden itu, misalnya, ketika tiba-tiba hujan deras mengguyur peserta upacara di Lapangan Merdeka Kota Balikpapan, namun upacara tetap berlangsung dengan khidmat.
Pasukan Pengibar Bendera (paskibra) di Lapangan Kecamatan Sebulu, Kutai Kartanegara, Kaltim.
foto: Aldiyansyah Mohammad Fahrurozy/Facebook
Yang lebih mengharukan adalah, betapa bersemangatnya pasukan pengibar bendera (paskibra), yang terus melangkah tegap di lapangan upacara yang telah berubah menjadi kubangan lumpur, karena diguyur hujan deras sejak malam sebelumnya. Hal ini terjadi di Kecamatan Sebulu, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Sepatu dan pakaian mereka jadi penuh lumpur. Bahkan ada di antara mereka yang sepatunya terlepas saat melangkah. Beberapa pasang sepatu yang tergeletak kelu di lapangan becek menjadi pemandangan yang mengharukan.
Sepatu paskibra yang terlepas karena terpendam lumpur saat melangkah tegap.
foto: merdeka.com 

Selain di Kota Balikpapan dan Kutai Kartanegara, upacara pengibaran bendera di Kota Samarinda juga berlangsung di tengah kepungan banjir. Paskibra terpaksa harus berjalan membawa bendera tanpa alas kaki. Di Kecamatan Taluditi, Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo, juga mengalami hal sama. Paskibra gabungan siswa-siswi se-kecamatan Taluditi harus berjuang mengibarkan sang merah putih dengan kondisi lapangan yang becek berlumpur bahkan di beberapa bagian lainnya masih ada air yang menggenang.
Paskibra tetap semangat melangkah di tengah kepungan banjir di Kota Samarinda.
foto: liputan6.com

Sementara di Pulau Maratua, Kabupaten Berau, salah satu pulau terluar di perbatasan perairan Indonesia, dilakukan pengibaran bendera di bawah laut yang diikuti Wakil Bupati Berau Agus Tantomo dan sejumlah jurnalis. Persiapan pengibaran bendera raksasa selama 1 minggu sebelumnya karena mempertimbangkan beragam faktor seperti cuaca, arus bawah permukaan dan ketinggian gelombang. Namun dapat berlangsung dengan lancar dan khidmat.
Bendera Merah Putih Raksasa dikibarkan di bawah laut Pulau Maratua, Kabupaten Berau.
foto: kaltim.tribunnews.com

Kepada wartawan, Agus Tantomo mengatakan, pemilihan angka 17 sebagai titik kedalaman pengibaran bendera merah putih, dengan menyertakan 17 penyelam, sebagai salah satu bentuk penghormatan terhadap para pejuang kemerdekaan. ”Pemilihan laut Maratua sendiri, sebagai lokasi pengibaran, selain disebabkan Pulau Maratua merupakan salah satu pulau terluar di Indonesia, Maratua juga salah satu pulau dengan keindahan bawah laut yang sudah mendunia,” demikian Agus.

Detik-detik peringatan proklamasi kemerdekaan RI, juga dirayakan para jamaah calon haji asal Kabupaten Batang, Jawa Tengah, yang tergabung dalam kloter SOC 09 dari embarkasi Solo. Mereka mengibarkan bendera merah putih di atas Jabal Nur, Gua Hira, Mekah. Rombongan pendaki dipimpin oleh K.H. Anizar Masyhadi, salah seorang pimpinan Pondok Modern Tazakka Batang. Rombongan mengawalinya dengan salat Subuh di masjid sekitar Jabal Nur, lalu dilanjutkan dengan doa bersama dan kemudian mendaki ke atas jabal Nur.
Sang Saka Merah Putih berkibar anggun di puncak Jabal Nur, Gua Hira, Mekah.
foto: dokumen K.H. Anizar Masyhadi 

Gua Hira di Jabal Nur menjadi tonggak kerasulan Nabi Muhammad SAW. Di dalam gua tersebut kali pertama beliau menerima wahyu dari Alloh SWT melalui Malaikat Jibril, yaitu Surah Al-’Alaq : 1-5. Pendakian rombongan jamaah calon haji pimpinan K.H. Anizar Masyhadi tersebut dimaksudkan untuk refleksi dan napak tilas bagaimana perjuangan Rasulullah dalam mengemban misi Islam. Dan tujuan mengibarkan bendera di atas Jabal Nur, sebagai bukti kecintaan kepada NKRI. Semoga sang saka merah putih tetap jaya mempersatukan bangsa Indonesia sebagaimana jayanya Islam.

Penciptaan Manusia Ditakdirkan Berbeda

Kemerdekaan pada dasarnya merupakan seseuatu yang sangat emosional bagi setiap pribadi maupun bangsa. Kemerdekaan merupakan hak yang sangat asasi dan bersifat fundamental dalam kehidupan. Jika kemerdekaan individu terganggu, maka dengan serta merta ia akan berusaha merebut kembali kemerdekaannya. Kemerdekaan itu akan menjadikan hidup menjadi lebih berarti dan bermakna, manakala diisi dan dihiasi dengan nilai-nilai, norma-norma dan amal yang bermanfaat bagi kehidupan umat manusia.

Ajaran Islam adalah ajaran yang sangat menghormati kemerdekaan setiap individu dan bangsa. Islam memandang bahwa manusia adalah makhluk yang dilahirkan dalam keadaan merdeka sehingga segala bentuk penindasan dan eksploitasi terhadap kemerdekaan setiap individu dan bangsa sangat ditentang oleh ajaran Islam. Rasulullah SAW telah menegaskan bahwa tidak ada diskriminasi kemerdekaan terhadap setiap manusia yang lahir ke dunia, meskipun memiliki berbagai perbedaan dan latar belakang, suku, ras, kekayaan, kedudukan, status sosial, maupun atribut keduniaan lainnya.

Rasulullah SAW dengan tegas menyatakan dalam sebuah sabdanya, ”Wahai sekalian manusia, kalian semua berasal dari Adam, dan Adam diciptakan dari tanah. Tidaklah orang Arab lebih mulia daripada orang non-Arab, tidak pula orang kulit putih lebih baik daripada orang kulit hitam, kecuali ketakwaannya.”     

Allah SWT menciptakan manusia berbeda-beda dengan tujuan agar manusia saling mengenal dan saling berinteraksi atas dasar prinsip persamaan. Jadi, rakyat Indonesia yang terdiri atas berbagai macam suku/etnis, ras, agama dan keyakinan, beragam karakter, dan berbagai latar belakang lainnya, memang sudah sunatullah. Atas berbagai perbedaan yang ada, jadikanlah rahmat untuk saling mengasihi antarsesama. Bukan justru dijadikan dasar meninggikan ego dan memicu konflik lalu mencabik-cabik persatuan dan kesatuan.   

Hakikat Kemederkaan    

Pada hakikatnya, kemerdekaan bukanlah semata-mata membebaskan diri dari belenggu penjajahan bangsa asing. Tetapi lebih dari itu, kemerdekaan yang hakiki adalah terbebas dari belenggu penjajahan oleh bangsa sendiri. Hal yang sangat ditakutkan oleh Bung Karno, adalah rakyat Indonesia tidak bisa lepas dari belenggu penjajahan oleh bangsanya sendiri. Dalam sebuah pidatonya, ia mengatakan, ”Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.”
Bung Karno sangat mengkhawatirkan terjadinya penjajahan oleh bangsa sendiri.
foto: www.google.co.id

Bila ketidakadilan masih mencengkeram sebagian anak bangsa di negeri ini. Bila ketimpangan ekonomi masih jadi jurang yang menganga lebar di antara yang kaya dan miskin. Jika kesempatan mengenyam pendidikan belum dirasakan oleh sebagian anak-anak di tempat yang terisolasi di belahan bumi pertiwi. Bila hawa nafsu untuk berkuasa dan memperkaya diri menjadi ambisi yang diperjuangkan, dan mengeksploitasi rakyat menghambakan diri kepada mereka, maka tak akan ada kemerdekaan hakiki.
Paskibra tetap semangat melangkah di tengah kepungan bajir di Samarinda.
foto: liputan6.com

Sebab, kemerdekaan yang hakiki, adalah bila para pejabat mampu membebaskan diri dari belenggu ambisi pribadi untuk berkuasa lalu memperkaya diri dengan korupsi atas dorongan keluarganya. Bila hukum ditegakkan sebangai panglima, untuk ini, aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim maupun pengacara) harus memiliki komitmen kuat untuk menegakkan aturan seadil-adilnya, tanpa pandang bulu dan pretensi apapun. Hal ini akan terwujud bila berpedomani pada asas keadilan dan obyektivitas yang benar-benar dijunjung tinggi.

Kemerdekaan hakiki di bidang pelayanan masyarakat, baru akan dirasakan bila, para pegawai atau aparatur pemerintahan berusaha mengoptimalkan potensi dirinya untuk meraih prestasi kerja yang baik dan bermanfaat bagi publik, dengan landasan bekerja sebagai ibadah dan semata-mata mencari rezeki yang halal dan diridhai Alloh SWT. Menerapkan prinsip ”kerja, kerja, kerja” yang diinisiasi Presiden Joko Widodo dan ”bekerja bersama” sebagaimana yang jadi momentum peringatan HUT ke-72 kemerdekaan RI.
Paskibra di Kabupaten Minahasa Tenggara (Mitra), Provinsi Sulawesi Utara.
foto: manado.tribunnews.com (tribun.mitra)

Tapi, apadaya, hingga berusia 72 tahun kemerdekaan Republik Indonesia tercinta ini, kita masih saja dihadapkan pada kondisi hakikat kemerdekaan yang jauh dari angan dan harapan. Kita masih menemui kenyataan adanya penjajahan dalam berbagai bidang kehidupan, sehingga krisis demi krisis datang silih berganti. Krisis kepemimpinan, krisis politik, krisis ekonomi, krisis sosial, krisis hukum dan krisis akhlak. Semuanya pekerjaan rumah yang semakin kompleks dan berat.

Apapun kondisi negeri ini hingga usianya yang 72 tahun dinaungi alam kemerdekaan, yang nyatanya belum betul-betul mempersembahkan ”rasa merdeka” pada sebagian elemen bangsa. Sehingga seolah-olah bangsa ini masih belum terbebas dari penjajahan. Utamanya penjajahan oleh bangsanya sendiri sehingga melahirkan banyak konflik dan krisis. Konflik antaragama, sesama-agama, antara ulama dan umara’. Tapi, segala konflik ini tidak boleh dibiarkan dengan berpangku tangan, maka marilah kita ”bekerja bersama” mengatasinya.

Dirgahayu Republik Indonesia. Aku Cinta Tanah Air Beta. I Love You Full.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.