Minggu, 27 November 2011

Hikmah Hijrah

Mengapa Rasulullah SAW sampai harus melakukan hijrah? Karena ingin menghindar dari kekejaman dan penindasan kaum musyrikin Quraisy, yang tidak senang melihat kemajuan dakwah Nabi Muhammad SAW dari hari ke hari semakin banyak pengikutnya. Pesatnya keberhasilan dakwah Rasulullah SAW ini menunjukkan bahwa usaha kaum Quraisy untuk membendung dakwah ini mengalami gatot alias gagal total.
Mendapat pertentangan dan ancaman dari kaum Quraisy di kota Mekah, membuat sahabat Muhammad SAW melakuka hijrah agar dapat memperkokoh kekuatan di tempat yang baru yaitu kota Yatsrib (Madinah). Berita tentang tanah baru yang dijadikan tempat hijrah oleh para sahabat Nabi SAW telah tersebar di kalangan pembesar Quraisy. Ketenangan mereka menjadi terganggu oleh berita itu. Bayang-bayang ketakutan menghantui mereka jika Nabi Muhammad SAW sampai berhasil mendirikan sebuah negara besar yang terdiri dari komunitas-komunitas yang loyal kepadanya. Hal itu tentu akan mengancam kepentingan mereka.
Usaha pencegahan pun dilakukan. Dengan mengadakan pertemuan di sebuah balai yang dikenal dengan Dar An Nadwah, para pembesar musyrikin Quraisy menyusun konspirasi untuk mencari jalan mematahkan kekuatan dakwah Rasulullah SAW yang semakin banyak pengikutnya dari hari ke hari.
Allah Maha Tahu. Dia mengutus Malaikat Jibril untuk memberitahukan kepada Rasulullah SAW perihal konspirasi tersebut. Dan Allah (melalui Malaikat Jibril) menurunkan perintah agar Rasulullah berhijrah saat itu. Nabi Muhammad SAW diizinkan meninggalkan kota Mekah tempatnya lahir dan melakukan dakwah pertama, demi keselamatan jiwa dan nyawanya yang terancam. Malam itu juga Rasulullah berangkat, dan posisi tidurnya digantikan sepupunya Ali Bin Abi Thalib.
Perjalanan hijrah pun dimulai, dengan ditemani sahabat terbaiknya yaitu Abu Bakar Ash-Shiddiq. Rasulullah dan Abu Bakar berangkat ke Yatsrib dengan menempuh jalan yang tidak biasa dilalui orang. Abdullah  bin Uraiqit —dari Bani Du'il— bertindak sebagai penunjuk jalan. Abdullah bin Uraiqit membawa mereka ke arah selatan, kemudian menuju Tihama di dekat pantai Laut Merah. Ketiga orang itu pun terus melakukan perjalanan, siang dan malam, tanpa kenal lelah.
Sebelum berangkat Abu Bakar Ash-Shiddiq mengutus putranya Abdullah bin Abu Bakar untuk jadi mata-mata memantau situasi kota Mekah sepeninggal mereka. Dan informasi itu harus dilaporkan kepada mereka yang menungg di gua Tsur, yaitu tempat persinggahan mereka untuk istirahat selama tiga hari dalam perjalanan hijrah itu. Selain Abdullah bin Abu Bakar, orang yang mengetahui keberadaan Nabi SAW dan Abu Bakar di gua Tsur adalah Aisyah dan Asma binti Abu Bakar, serta pembantu mereka Amir bin Fuhairah.
Keesokan harinya kota Mekah gempar. Para pembesar musyrikin Quraisy bukan main geramnya mengetahui Muhammad SAW telah kabur. Sia-sia sudah usaha mereka melakukan pertemuan mengatur rencana secara rapi untuk menangkap Nabi SAW hidup-hidup. Merasa gagal melakukan penangkapan sendiri, para pembesar musyrikin Quraisy menyebar sayembara, siapa yang berhasil menangkap Nabi SAW dalam keadaan hidup atau mati akan diberi hadiah yang sangat menggiurkan, yaitu 100 ekor unta.
Demi mendengar sayembara menggiurkan itu, Suraqah bin Malik yang mendapat bocoran tentang tempat persembunyian Muhammad SAW, bergegas memacu kudanya untuk menyusul dan jejak Muhammad SAW. Ambisi untuk mendapatkan hadiah itu memacu semangatnya melakukan pengejaran dan terobsesi menangkap Muhammad SAW.
Begitu mendekati posisi keberadaan Muhammad SAW, kaki kudanya berulang kali terperosok ke dalam pasir gurun sehingga membuat Suraqah bin Malik terpelanting jatuh. Itu dialaminya berulang kali, sehingga dia tersadar bahwa itu adalah berkat pertolongan Allah SWT yang memberikan perlindungan kepada Muhammad SAW. Akhirnya dia memutuskan kembali ke kota Mekah dengan tangan hampa.

Strategi Hijrah
Jauh hari sebelum melakukan hijrah Nabi SAW terlebih dahulu mengutus duta untuk melakukan uji coba menebar dakwah Islam di kota Yatsrib (Madinah). Duta pertama yang dikirim adalah Mush’ab bin Umair, seorang sahabat nabi dari keluarga konglomerat di kota Mekah yang rela meninggalkan kehidupan mewah demi memperjuangkan Islam. Beliau ditugasi mengajarkan Al-Quran kepada penduduk Yatsrib (Madinah). Karena itu beliau dijuluki Muqri’ Al Madinah.
Perjalanan hijrah Nabi SAW pun berlangsung dengan lancar dan selamat sampai tujuan. Di kota tujuan Yatsrib (Madinah) ternyata suasana penyambutan atas kedatangan Nabi SAW begitu meriah. Orang tua dan muda, kecil dan besar, miskin dan kaya, semuanya keluar untuk meluapkan kegembiraan atas kedatangan sosok yang selama ini mereka rindukan. Mereka sudah lama mendambakan ingin melihat wajah Rasulullah SAW yang diutus untuk menjadi nabi akhir zaman sekaligus nabi penutup para nabi sebelumnya. Hal ini tidak terlepas dari peran besar Mush’ab bin Umair yang telah berhasil menyemaikan syiar Islam kepada penduduk seantero Yatsrib (Madinah).
Dengan berhijrahnya Rasulullah SAW dari kota Mekah ke kota Yatsrib, melahirkan hikmah yang besar. Sejak itu kota Yatsrib diubah namanya menjadi kota Madinah. Dan untuk mengenang peristiwa bersejarah ini, tahun itu dijadikan sebagai permulaan kalender Isalam atau yang kita kenal sekarang ini sebagai kalender Hijriah.

Ibrah (Pelajaran Penting)
Banyak pelajaran yang dapat kita petik dari peristiwa hijrahnya Rasulullah SAW dari kota Mekah ke kota Madinah. Di antaranya adalah faktor-faktor yang menjadi sebab diperintahkannya hijrah itu sendiri.
1)       Pentingnya menjaga loyalitas. Dalam hal ini telah ditunjukkan oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq yang setia mengawal perjalanan Muhammad SAW. Dia rela menjadi perisai bagi setiap ancaman dan gangguan yang akan mengadang dan mengamcam keselamatan jiwa dan nyawa Muhammad SAW.
2)       Pentingnya menjaga amanah. Sebelum Muhammad SAW berhijrah terlebih dahulu beliau mengutus Mush’ab bin Umair menjadi duta untuk mengajarkan Al-Quran kepada penduduk Madinah. Atas kepercayaan yang diberikan kepadanya, Mush’ab bin Umair dapat memegang amanah yang diembannya dan melaksanakan tugas dengan penuh tanggung jawab. Artinya dia adalah orang yang memiliki integritas yang tinggi.
3)       Pentingnya menjaga aqidah. Perjalanan hijrah Rasulullah penuh pengorbanan, di antaranya harta dan kota Mekah yang telah lama didiami harus ditinggalkan begitu saja. Sahabat dan relasi dagangnya yang telah terjalin begitu erat dan sama-sama memberi kontribusi dalam keberhasilan bisnis Rasulullah SAW dan Istrinya Saidatina Siti Khadijah, juga ditinggalkan begitu saja. Bahkan yang paling berat adalah harus mempertaruhkan jiwa dan nyawa, dari ancaman kaum musyrikin Quraisy yang berambisi menangkap Muhammad SAW baik secara hidup atau pun mati. Semua itu bukanlah hal yang penting bagi Rasulullah SAW. Bagi beliau yang terpenting adalah menyelamatkan AQIDAH. Menyelamatkan kelangsungan dakwah demi tersebarluasnya syiar Islam.
4)       Terciptanya kedamaian. Kota Madinah yang tadinya terbelenggu konflik internal antara suku Aus dan Khazraj, berubah drastis menuju ke kondisi kondusif setelah Sa’ad bin Mu’adz dan Usaid bin Hudhair yang saat itu menjabat sebagai kepala suku tertarik dengan dakwah yang dilakukan Mush’ab bin Umair. Dan setelah kedatangan Rasulullah SAW keadaan menjadi lebih damai lagi, sehingga penyebaran syiar Islam oleh Rasulullah SAW berlangsung dengan pesat.
5)       Pentingnya menjaga kesucian. Kemunkaran adalah hal yang harus dicegah dan diubah dengan berbagai upaya dan kekuatan. Bila upaya dan kekuatan telah dikerahkan tapi kita tidak bisa mencegah dan mungubah kemunkaran menjadi kebaikan, maka hendaknya kita meninggalkan tempat kemunkaran itu dan berhijrah ke tempat yang mendukung keberlangsungan baik bagi hidup kita maupun bagi agama kita.
6)       Pentingnya manajemen. Meski dalam melakukan dakwahnya Rasulullah SAW senantiasa akan mendapat bimbingan dan pertolongan Allah SWT, namun Rasulullah SAW tetap menerapkan manajemen dalam berdakwah. Beliau membuat program secara matang mulai perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), penerapan (actuating), dan pengawasan (controlling). Meski bisa dipastikan beliau senantiasa akan dilindungi Allah SWT dari hal-hal yang mencelakakan, namun tetap saja beliau menjalankan semua sunnatullah (hukum sebab akibat) sebagai manusia biasa, dalam melakukan dakwah demi keberhasilan syiar Islam.
7)       Pentingnya inovasi. Merasa terancam aktivitas dakwahnya di kota Mekah, Rasulullah SAW mencari inovasi dalam berdakwah agar terus tersiarnya syiar Islam di muka bumi. Merasa tidak memungkinkan dakwah secara aman di kota Mekah, beliau memandang perlu melakukan hijrah ke tempat lain demi tugas kerasulan yang diembannya.
8)       Pentingnya rasa aman dan damai. Sebagai seorang Rasul dan pemimpin umat, Nabi SAW sangat bertanggung jawab dalam menciptakan rasa aman dan damai bagi umatIslam pengikutnya dan anggota masyarakat lainnya [kaum Yahudi dan golongan Paganisme (Watsaniyah)], yaitu agama mayoritas yang mendominasi kota Mekah saat itu. Segala cara beliau upayakan agar tercipta kerukunan antarumat seagama (sesama Muslim) dan antarumat beragama (Muslim dengan Yahudi). Agar sahabat-sahabatnya tidak mendapat tekanan dan provokasi dari dari pihak lain. Setelah sahabat dan anggota keluarganya berhasil selamat meninggalkan kota Mekah, barulah dia sendiri yang keluar.

Dan masih banyak lagi i’tibar atau pelajaran yang dapat dipetik dari peristiwa hijrah. Semoga ulasan singkat ini bisa menjadi penggugah untuk memulai langkah awal menuju yang baik dan yang lebih baik. Amin. 


     

Selasa, 01 November 2011

Upacara yang Bernama ”Mudik Lebaran”

       Akhirnya Idulfitri tahun ini terlaksana juga mudik ke kampung halaman istri, Pacitan (Jawa Timur). Mudik kali ini memang istimewa, karena sudah sekitar 4 tahun kami tak mudik (terakhir tahun 2007). Jadi mudik tahun ini tidak bisa juga dikatakan sebagai realitas setahun sekali dalam entitas masyarakat yang menyukai upacara tahunan itu.
Mudik. Sebuah kata yang begitu keramat. Bisa dikatakan melebihi ‘keramatnya’ sembah sungkem ke pangkuan ibu dan ayah. Begitu keramatnya, ada yang rela antre panjang berpanas-panas demi mendapatkan beberapa lembar tiket untuk mereka sekeluarga besar, ini dilakukan untuk menghindari apes yang bakal dialami bila kehabisan tiket atau dengan keterpaksaan harus menebus dengan harga berlipat melalui calo. Rela berdesak-desakan dalam gerbong kereta yang sudah penuh sesak. Rela berpanas-panas dalam bus ekonomi yang terjebak kemacetan berjam-jam berpuluh kilometer. Ikhlas menahan haus dan lapar demi menyempurnakan ibadah shaum yang ditunaikan meski dibolehkan sebagai hak bagi kaum musafir yang menempuh perjalanan lebih dari 80 kilometer untuk tidak berpuasa.  
Ya, jangankan mengalaminya sendiri, menyaksikan mereka di layar tivi, kita serasa terbawa eksotisme suasana mudik yang begitu kuatnya menyaput wajah muram mereka dengan bayang-bayang keceriaan orangtua dan kerabat di kampung halaman, yang memang mendambakan kedatangan anak cucu tak peduli bagaimana jalan ditempuh, kendaraan apa yang ditumpangi. Bahkan tak pernah membayangkan bahwa anak cucunya menempuh perjalanan begitu jauh dengan menunggang sepeda motor, dengan risiko luar biasa mencemaskan. Dan manakala di tivi kita saksikan terjadi kecelakaan yang dialami pengendara sepeda motor, baru kita terhenyak. Betapa mahalnya harga sebuah upacara yang bernama mudik lebaran. Ada yang tewas sebelum sampai kampung halaman tujuan. Insiden kecelakaan yang rawan terjadi, apakah menjadi pemicu kapoknya mereka untuk mudik? Barangkali ada yang keder, tentu saja ada pula tak begitu ambil peduli, toh ini hanya dilakoni setahun sekali. Bahkan tak sedikit yang tegas mengatakan sama sekali tidak kapok.
Memang lain halnya cerita mudik kaum berduit, dengan pesawat komersial perjalanan antarbandara (keberangkatan dan kedatangan) bisa ditempuh hanya dengan beberapa menit (berkisar 15-60 menit). Ini perjalanan mudik paling nyaman, tapi kurang greget, kurang eksotis. Mengapa demikian? Hampir jadi axioma bahwa letak eksotisnya mudik itu justru di macetnya. Dan untuk urusan macet ini, para pemudik tidak saja memerlukan tenaga yang terjaga, tapi juga emosi yang harus lebih dijaga. Bayangkan, di tengah dekapan kemacetan yang panjang berjam-jam berpuluh kilometer, ada saja hal-hal yang bisa membangkitkan emosi. Pendingin udara dalam kendaraan pribadi yang mungkin freonnya sudah menipis sehingga kesejukan yang dihasilkan tidak seberapa dingin. Ditambah penguapan suhu tubuh para penumpang yang berpuasa sehingga cenderung kurang cairan, akan menambah suasana panas bertambah panas. Ada pula kendaraan lain yang main serobot selonong boy di kanan atau kiri kendaraan kita, akan memicu kumparan energi emosi kita berputar kencang, sehingga kalau kita tidak lekas-lekas melafalkan istighfar, bisa jadi kata-kata jorok akan terlontar dari mulut kita. Inilah ujian bagi kesabaran kita. Ujian bagi kecerdasan emosi kita. Bila kita kuat menjaga ketahanan emosi, bila kita rajin merawat kesabaran, bila kita piawai menata hati, bila kita cekatan menempatkan diri, artinya kita cerdas secara emosional. Insya Allah segalanya dipandang menyenangkan, segalanya dibuat enjoy, tak ada yang merepotkan.
Tentang upacara mudik lebaran yang kami sekeluarga alami kemarin. Dengan menumpang bus Patas AC (sayang yang eksekutif tak kebagian lagi padahal baru tanggal 1 Ramadhan), perjalanan cukup menyenangkan, berangkat pukul 14.30 maghrib sudah di atas kapal fery di pelabuhan Bakauheni dan acara buka puasa dilakoni di atas kapal. Pendingin udara yang nampaknya terawat dengan baik membuat suhu di dalam bus luar biasa dingin, bahkan membuat tulang seperti es batu. Jaket tebal yang telah siaga sepertinya tak mampu beri kehangatan. Perjalanan begitu lancar maklum lewat tol Merak, tak terasa pukul 22.00 bus tiba di gerbang tol Kebun Jeruk, saya terjaga melihat benderangnya ibukota, bus pun merayapi jalan Gatot Subroto terus menuju arah Cikampek. Masuk jalur pantura (pantai utara) akhirnya bus berhenti untuk makan sahur di Subang (Jawa Barat). Semula perjalanan lancar-lancar saja sampai akhirnya terjebak kemacetan di tol Kanci (Cirebon) bersamaan dengan tibanya waktu shalat subuh.
Kemacetan kembali menjebak kami sewaktu melewati jalur Ketanggungan-Bumiayu. Jalan alternatif yang kecil penuh dengan antrean kendaraan dengan kondisi berjalan merayap. Kondisi ini tak menimbulkan masalah mengingat pendingin udara yang nyessss semriwing. Lepas dari jebakan kemacetan, selebihnya perjalanan menyenangkan. Pas adzan maghrib berkumandang perjalanan sedang masuk kota Jogja, jadilah acara buka puasa mengikuti waktu Jogja dan sekitarnya.
Setelah makan malam dengan menu spesial gudek Yu Djum dari jalan Wijilan, dari Jogja perjalanan dilanjutkan dengan menumpang minibus kijang yang telah disediakan keponakan Dedy Kurniawan, begitu melewati jalan Wonosari perjalanan agak tersendat karena dicegat arak-arakan pawai oncor dan lampion dari komunitas Remaja Masjid yang mengumandangkan takbir menyambut Idulfitri 1432 H. Karena kota Jogja adalah basis Muhammadiyah, maka idulfitrinya lebih dahulu dari yang ditetapkan pemerintah RI. Itulah kenapa saat Kementerian Agama RI sedang sidang isbat penentuan jatuhnya 1 Syawal 1432 H bersama para ahli hilal dan rukyat, komunitas muslim dari kalangan Muhammadiyah telah bertakbir keliling dengan membawa oncor dan lampion disertai tetabuhan; terbang, drum, gong, kentongan pring, bahkan ada juga angklung khas jawa barat. Begitu khidmat, begitu syahdu. Ah, Jogja memang istimewa.           

Jogjakarta

hari ini keganjilan kembali butuh dikaji
sebagian ummat telah mengumandangkan takbir  
sebagian lainnya masih menunggu keputusan sidang isbat
tak mengapa, perbedaan itu rahmat

ada nuansa yang asyik untuk diperhatikan
iring-iringan karnaval oncor dan lampion kelap-kelip
ah, ini yang menegaskan Jogja itu benar-benar istimewa
apa pasal sepertinya ada yang enggan mengakuinya

takbir yang dilantunkan penuh khidmat
menegaskan pula betapa kecilnya kita di hadapan Allah
tapi ego kadang membawa kita ke arena pertentangan
sepertinya kita yang paling benar, yang lainnya salah

pendar oncor dan kelap-kelip lampion
menunjukkan betapa kreatifnya orang Jogja
betapa berkarakternya mereka
local content dihargai dan dipelihara kelestariannya

terasa betul kedamaian dan keramah-tamahan
ah, inikah yang membuat aku selalu rindu Jogja
inikah yang membuat desir-desir di dada bangkit
tiap mendengar lagu KLa Project “Jogjakarta”

malam ini meski perjalanan jadi melambat
akibat iring-iringan karnaval mecegat
tak mengapa, tak terbersit ada keinginan mengumpat
justru hati terharu, anak-anak itu begitu bersemangat

Jalan Wonosari (perjalanan Jogja - Pacitan), Senin, 29 Agustus 2011

Jumat, 26 Agustus 2011

Menemukan Spirit dari Ibadah Puasa

Konon dulu waktu Soekarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia, tanggal 17 Agustus 1945, bertepatan dengan bulan Ramadhan. Berarti para tokoh bangsa menjelang detik-detk diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia, berjuang penuh dengan tantangan di tengah memenuhi perintah agama untuk menunaikan puasa, namun semangat tetap membara untuk mewujudkan kemerdekaan. Di sini ada pelajaran yang bisa kita petik, yaitu spirit perjuangan untuk menegakkan perintah agama dan mengakhiri belenggu penjajahan. Jadi ada dua hal yang bisa diraih, kemenangan melawan hawa nafsu dan kemenangan terbebas dari tirani kekejaman penjajah lewat tewujudnya kemerdekaan.
Tahun 2011 ini kita memperingati HUT ke 66 Republik Indonesia pas bulan Ramadhan pula. Bulan yang dijuluki penghulunya segala bulan. Bulan yang katanya setan dibelenggu. Bulan yang segala amal baik dilipatgandakan ganjaran pahalanya.
Karena itu semua, maka sangat dianjurkan untuk berlomba-lomba berbuat kebajikan, mengingat dalam bulan Ramadhan dibagi menjadi tiga penggalan sepuluh hari. Sesuai dengan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, ”Bulan Ramadhan adalah bulan yang permulaannya rahmat (awwaluhu rahmah), pertengahannya ampunan (wa awsathuhu maghfiroh), dan akhirnya adalah pembebasan dari api neraka (wa akhiruhu itqun min an-naar).” (HR Ibnu Khuzaimah).
 Berdasar hadits di atas dapat disimpulkan bahwa pada sepuluh hari pertama (awal), kita ummat Islam yang menunaikan puasa dan ibadah lainnya, akan diganjar rahmat. Dan, sepuluh hari kedua (pertengahan) akan diberi pengampunan, tentunya kalau kita sungguh-sungguh memanjatkan permohonan kepada Allah Subhanahuwata’ala. Kemudian, sepuluh hari ketiga (terakhir), akan diberi ganjaran terbebas dari siksa api neraka.
Menilik suksesnya perjuangan para tokoh bangsa dalam meraih kemerdekaan, tak lepas dari berkah yang luar biasa dari bulan Ramadhan. Sangat naïf rasanya kalau kita tinggal mengisi kemerdekaan ini dengan bekerja untuk mempersembahkan yang terbaik kepada negara, kok sepertinya tidak punya spirit.
Demikian juga tentang ganjaran yang bisa kita raih dari taat dalam melaksanakan rangkaian ibadah penyerta dari puasa itu sendiri, seyogianya menyepiriti kita untuk lebih giat dan lebih baik dari hari-hari atau bulan-bulan di luar Ramadhan. Kalau kita bisa melaksanakan perintah puasa ini dengan baik dan sempurna, maka kita akan dimasukkan dalam golongan orang-orang yang (lebih) takwa.
Okelah, mungkin secara produktivitas dalam bekerja kita akan mengalami penurunan hasil, tapi secara rohani mestinya ada energi yang akan melecut semangat dalam bekerja sesudah berakhirnya Ramadhan.
Persoalannya bagaimana cara agar energi rohani ini bisa terkumpul dan membesar dalam diri kita, kemudian meletup menjadi pijaran-pijaran semangat untuk lebih meningkatkan produktivitas bekerja dan beribadah? Tentu dengan mengimbangi ibadah puasa dengan ibadah-ibadah lainnya.
Ada sebagian orang hanya melaksanakan ritual puasa saja tanpa diikuti ibadah yang lainnya, seperti; shalat, tadarus, iktikaf, berinfaq, bersedekah, dan lainnya.

Wajah-wajah (seperti) tak Bertuhan
Pada suatu perhelatan acara ulang tahun perkawinan yang bertepatan dengan 17 Agustus dan 17 Ramadhan lalu. Seusai berbuka dengan kue dan minumanan air kemasan gelas, saya bersama dua orang redaktur ambil air wudlu untuk menunaikan shalat maghrib berjamaah di ruang tamu sahibul hajat. Perjalanan menuju tempat di mana kran air berada, melewati meja tempat tersajinya kue dan minuman berbuka, serta tumpukan nasi kotak dari sebuah rumah makan minang. Kerumunan tamu yang berebut nasi kotak begitu sibuk, ada yang cukup ambil satu untuk diri sendiri, ada yang ambil dua, tiga, atau empat sekalian untuk teman samping kiri-kanan duduknya. Akhirnya dalam sekejap tumpukan nasi kotak ludes.
Usai shalat kami bertiga melongo doang, menyaksikan wajah-wajah sumringah dengan tentengan nasi kotak satu, dua, tiga, bahkan empat kotak sekaligus, untuk dijinjing pulang. Dan yang lain sudah pada berdiri di tepi jalan tampak kekenyangan sambil menghisap sigaret. Tapi, di mata saya, wajah-wajah sumringah itu seperti tidak memancarkan aura kedamaian. Betul wajahnya ceria karena kenyang usai nyantap nasi kotak, tapi cahaya spiritual tidak kelihatan terpancar. Yang saya lihat kumpulan wajah-wajah (seperti) tak bertuhan. Wajah-wajah seperti yang dalam surat Al-Maa'un disebut sebagai mendustakan agama. Yaitu orang-orang yang lalai dari shalatnya. Hanya mementingkan kebutuhan jasmani dan mengabaikan kebutuhan rohani.
Bagi orang mukallaf (terbebani hukum) sesungguhnya tertolak puasa mereka, tidak mendapat apa-apa dari puasanya kecuali lapar dan haus. Alasannya, karena shalat adalah salah satu rukun Islam dan tiang agama yang menjadi barometer ibadah dan amal seseorang.
Jika baik shalatnya, maka dianggap baiklah semua amalannya dan jika rusak shalatnya, maka dianggap rusaklah semua amalannya. Bagaimana mungkin kita menjadikan orang yang rusak shalatnya sebagai teman baik apalagi teman kepercayaan.
 ”Jika mereka bertaubat, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-sauadaramu seagama.” (QS At-Taubah [9] : 11).
Kalau menurut konteks firman Allah Subhanahuwata’ala di atas, berarti orang-orang yang tidak mendirikan shalat itu bukanlah saudara seagama, walaupun sama-sama muslim.
Rasulullah Shallallahu ’alaihi wasallam bersabda: ”Sesungguhnya (batas pemisah) antara seseorang dengan kemusyrikan dan kekafiran adalah meninggalkan shalat.” (HR Muslim, dari Jabir, dalam kitab: Al-Iman).
Betapa pentingnya nilai shalat dalam menetukan pertemanan dan permusuhan. Juga dalam hubungan antara pemimpin dan rakyatnya, diriwayatkan dalam shahih Muslim. Dari Auf bin Malik ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda ”Pemimpin kamu yang terbaik ialah mereka yang kamu sukai dan mereka pun menyukai kamu, serta mereka mendoakanmu dan kamu pun mendoakan mereka, sedangkan pemimpin kamu yang paling jahat adalah mereka yang kamu benci dan mereka pun membencimu, serta kamu melaknati mereka dan mereka pun melaknatimu.” Beliau kemudian ditanya: ”Ya Rasulullah, bolehkah kita memusuhi mereka dengan pedang? Beliau menjawab, tidak selama mereka mendirikan shalat di lingkunganmu.”
   Dari cerita ini, kiranya dapat membantu kita menemukan spirit dari ibadah puasa bulan Ramadhan 1432 Hijriah, semoga. Wallahu a’lam bish shawab.

Rabu, 24 Agustus 2011

Peristiwa Berharga


Entah kenapa pada puasa hari pertama, istri saya spontan ngajak booking tiket bus Puspa Jaya untuk perjalanan mudik ke Pacitan. Dua bulan lalu datang kabar bahwa ibu yang sudah sepuh terjatuh saat menjemur cucian. Semula ada rencana istri untuk ambil izin dari tugas dan berangkat nengok. Tapi setelah dipantau perkembangan kondisinya, beliau berangsur pulih namun masih sambat sakit-sakit di kaki dan tangan, sehingga untuk berjalan mesti dipapah dan untuk makan mesti disuap. Beruntung, mbak Yul yang mukim di Mojokerta bisa ‘mencuri waktu’ izin dari tugas dan berkesempatan nengok, sehingga bisa meladeni aktivitas ibu. Tapi, yang namanya tugas tak bisa ditinggal lama-lama. Di sisnilah jadi kendala, tatkala mbak Yul hendak pamit pulang ke Mojokerto, semburat wajah ibu menyiratkan perasaan berat untuk ditinggalkan dalam kondisi yang masih lemah dan belum pulih benar itu.
Kondisi ibu ini membuat istri saya ingin cepat-cepat datang masa liburan Idul Fitri agar bisa pulang di samping sowan hari raya, ya juga nengok untuk mengobati rasa kangen dan pingin memastikan kondisi ibu sesungguhnya bagaimana.
Saya jadi teringat peristiwa yang saya alami. Memang terhitung empat tahun kami tak mudik. Ini semacam sudah skenario Allah Subhanahuwata’ala. Pada bulan Ramadhan tahun 2009 ayahanda dibawa oleh ayuk Rus ke Bandarlampung untuk menjalani operasi akibat mampat di sebelah lobang hidungnya yang dipicu sinusitis akut. Karena baru saja ketemu ayah jadinya kami tak memutuskan mudik ke Ranau saat lebaran, dan kebetulan tak juga mudik ke Pacitan, sehingga acara Idul Fitri bisa dirasakan bareng dengan tetangga lingkungan se-RT.
Ketika masuk bulan Ramadhan Tahun 2010, ini yang saya katakana bagian dari skenario Allah Subhanahuwata’ala tadi. Tiba-tiba abang Ari di Indramayu menelepon ngajak pulang ke Ranau saat hari raya nanti, sekiranya tidak mudik ke jawa. Rencana ini bermula dari celetukan Elin, anaknya abang Ari; “Pah, kayaknya dah lama kita nggak pulang ke Ranau, ayo je Pah pulang ke Ranau.” Mendengar celetukan itu, abang tersentak karena yang terlintas dalam pikirannya kondisi yang lagi sulit. Tapi demi menyenangkan hati anak, segala jalan diupayakan agar bisa berangkat.
Dan, Allah Maha Penolong, adalah rezeki untuk mewujudkan keinginan pulang tersebut. Sehingga jadilah kami dua keluarga yang hidup di rantauan pulang bersama untuk kumpul dengan ayah yang sudah sepuh. Di hari-hari akhir saatnya kami hendak kembali (saya sekeluarga ke Bandarlampung dan abang sekeluarga ke Indramayu), saat habis ambil air wudlu di sumur, ayah bilang kalau dirinya hampir terjatuh dan penglihatannya seperti berkunang-kunang. Pikiran kami mungkin ayah kurang darah karena habis menunaikan ibadah puasa sebulan penuh jadi kondisi tubuhnya agak melemah. Sehingga untuk tindakan preventif dipanggillah mantri untuk mengobati beliau. Dan keesokan harinya kami pun pamit pulang.
Baru tiga minggu habis lebaran itu, saya dapat SMS dari keponakan Tina, mengabarkan ayah tiba-tiba kaki dan tangannya sebelah kanan seperti kaku tak bisa digerakkan. Untuk memastikan, saya pun menelepon langsung menanyakan, dan dipastikan ayah terkena stroke. Saya langsung menelepon abang Ari untuk memberitahukan kabar ini, abang segera ke Bandarlampung lalu kami berdua pulang kembali ke Ranau. Upaya pengobatan pun coba dilakukan baik secara medis maupun alternatif. Tapi, lagi-lagi, ini bagian dari skenario Allah Subhanahuwata’ala, bahwa beliau yang dulunya piawai mengobati orang lumpuh (baca: postingan ”Mengenang Ayahanda Tercinta”), akhirnya juga mesti merasakan sendiri bagaimana menjadi orang lumpuh.
Peristiwa berharga yang dapat disimpulkan dari uraian tulisan ini, adalah TERNYATA celetukan anaknya abang Ari yang mengidamkan mudik ke Ranau itu adalah pertanda dari apa yang saya yakini sebagai skenario Allah Subhanahuwata’ala, bahwa itulah RAMADHAN TERAKHIR kami bersama ayah.
Dihubungkan dengan keinginan istri untuk pulang lebih cepat ke Pacitan, pertama, karena waktu luang yang terbatas jadi diusahakan cepat datang dan agak lambat pergi. Kedua, karena kondisi ibu yang belum pulih benar dan usia beliau yang sudah sepuh. Jadi istri inginnya waktu berkumpul bersama ibu lebih lama, paling nggak seminggu. ”Ya kalau ramadhan tahun depan bisa pulang dan masih ada ibu, siapa tahu ini ramadhan terakhir bersama ibu,” demikian yang terlintas di pikiran istri.
Dan, saya pun mengamini apa yang ada di pikirannya itu, mengingat peristiwa yang saya (kami) alami dengan ayah di Ranau, bertahun-tahun nggak pulang sekalinya pulang itulah ramadhan atau lebaran terakhir bersama ayah.    
    
Ada dua kenikmatan yang kebanyakan manusia merugi (terhalang dari mendapat kebaikan dan pahala) di dalamnya, yaitu kesehatan dan waktu luang.” (HR. Al-Bukhari No. 6412).

Hadits yang mulia di atas memberikan beberapa faedah kepada kita:
1.  Sepantasnya bagi kita memanfaatkan waktu sehat dan waktu luang untuk taqorrub (mendekatkan diri) kepada Allah Subhanahuwata’ala dan mengerjakan kebaikan-kebaikan sebelum hilangnya dua nikmat itu. Karena, waktu luang akan diikuti dengan kesibukan, dan masa sehat akan disusul dengan sakit.
2.  Islam sangat memperhatikan dan menjaga waktu. Karena waktu adalah kehidupan, sebagaimana Islam memperhatikan kesehatan badan di mana akan membantu sempurnanya agama seseorang.
3.      Dunia adalah ladang akhirat. Maka sepantasnya seorang hamba membekali dirinya dengan takwa dan menggunakan kenikmatan yang diberikan Allah Subhanahuwata’ala untuk taat kepada-Nya.
4.      Mensyukuri nikmat Allah Subhanahuwata’ala adalah dengan menggunakan nikmat tersebut untuk taat kepada-Nya. (Bahjatun Nazhirin Syarhu Riyadhis Shalihin, 1/180-181) “Dan ingatlah ketika Rabbmu memaklumkan: Sesungguhnya jika kalian bersyukur, pasti Kami akan menambah nikmat itu kepada kalian. Dan jika kalian mengingkari nikmat-Ku, maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih’.” (Al-Quran, Surat Ibrahim, ayat 7).

Kenyataan yang ada, banyak waktu kita berlalu sia-sia tanpa kita manfaatkan dan kita pun tidak bisa memberikan manfaat kepada salah seorang dari hamba-hamba Allah Subhanahu wata’ala. Kita tidak merasakan penyesalan akan hal ini kecuali bila ajal telah datang. Ketika itu seorang insan pun berangan-angan agar ia diberi kesempatan kembali ke dunia walau sedetik untuk beramal kebaikan, akan tetapi hal itu tidak akan didapatkannya.
Terkadang nikmat ini luput sebelum datangnya kematian pada seseorang, dengan sakit yang menimpanya hingga ia lemah untuk menunaikan apa yang Allah Subhanahuwata’ala wajibkan terhadapnya, ia merasakan dadanya sempit tidak lapang dan ia merasa letih. Terkadang datang kesibukan pada dirinya dengan mencari nafkah untuk dirinya sendiri dan keluarganya sehingga ia terluputkan dari menunaikan banyak dari amal ketaatan.

Allah Subhanahuwata’ala berfirman:
“Hingga ketika datang kematian menjemput salah seorang dari mereka, ia pun berkata: ‘Wahai Rabbku, kembalikanlah aku ke dunia agar aku bisa mengerjakan amal shaleh yang dulunya aku tinggalkan’. ” (Al-Mukminun: 99-100)

“Sebelum datang kematian menjemput salah seorang dari kalian, hingga ia berkata: ‘Wahai Rabbku, seandainya Engkau menangguhkan kematianku sampai waktu yang dekat sehingga aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang shalih.’ Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan kematian seseorang apabila telah datang waktunya. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan.” (Al-Munafiqun: 10-11)

Karena itu sepantasnyalah kita pandai-apandai bersyukur atas nikmat yang Allah Subhanahu wata’ala karuniakan (:nikmat rezeki, nikmat sehat, nikmat kelapangan). Manfaatkanlah waktu sehat dan waktu luang untuk bekerja mencari rezeki dan beribadah. Ada rezeki, ada waktu luang, dan kondisi kesehatan yang terjaga, maka akan mudah bagi kita melaksanakan niat untuk bersilaturahmi dengan keluarga yang jauh. Sowan dengan orangtua dan kerabat lainnya. Jangan sampai kita sibuk semata-mata bekerja mencari rezeki, namun lupa beribadah (yang berarti juga lupa mensyukuri nikmat rezeki itu), kalau sudah sibuk berarti tidak punya waktu luang. Berarti tidak bisa bersilaturahmi menengok orangtua dan kerabat.      

Sedemikian pentingnya mengisi waktu dengan baik sehingga Al-Quran memiliki satu surat khusus mengenai waktu (Surat Al-Ashr). “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh dan nasehat menasehati supaya menaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran”. (baca: postingan ”Betapa Berharganya Waktu”).

Rabu, 10 Agustus 2011

Betapa Berharganya Waktu

Demi masa. Sesungguhnya manusia berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya menaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran. [Q.S Al-Ashr (103), ayat 1-3].

Sebuah peristiwa biasanya membawa makna atau pesan. Makna akan tersingkap bila ada upaya untuk mengungkapnya. Dan apa pun peristiwa yang dialami sesungguhnya wujud dari adanya gerak kehidupan, adanya hubungan horizontal yang berdimensi sosial antarmanusia. Juga penanda bagi kemahakuasaan Allah Subhanahuwata’ala atas tiap sesuatu. Kun kata Allah, maka Fayakun. Terjadi kata Allah, maka muncullah suatu peristiwa. Maka, apapun peristiwa menimpa manusia, adalah bagian dari skenario Allah, bagian dari takdir yang digariskan, bagian dari catatan yang telah diguratkan di lauhul mahfuz.
Karena itu, terjadinya suatu peristiwa, acapkali dihubung-hubungkan dengan ungkapan: ”di balik rezeki ada cobaan, di balik cobaan ada hikmah.”
Demikianlah, ketika ayahanda saya tercinta yang meski usianya 86 tahun masih kuat bekerja dan beribadah, tiba-tiba saja menderita stroke dan hanya mampu terduduk dan tergolek di tempat tidur. Semula hati ini serasa menyesalkan mengapa harus terjadi. Tapi, mengingat usianya yang sudah uzur, mengingat masa bekerjanya memang sudah saatnya istirah, mengingat ketekunannya beribadah sejak masa muda hingga menjelang stroke. Juga mengingat ah ini mungkin memang sudah jalan beliau untuk ’menutup’ dan ’menyudahi’ catatan amal yang akan mengisi lembar-lembar akhir hayatnya. Dan, mengingat skenario dan takdir yang tak akan bisa dielakkan manusia manapun, siapapun dia.
Dari situ, tentang apa yang terjadi, kemudian jadi bahan perenungan bagiku, bahwa betul di balik rezeki ada musibah, dan di balik musibah ada hikmah. Dan hikmah yang dapat dipetik bahwa betapa berharganya waktu.  
Apa yang tergambar dalam Surat Al-Ashr di atas, kalau dicerna dengan seksama jelas akan bermakna rambu-rambu atau peringatan agar dalam hidup ini hendaknya kita menghargai waktu. Hendaklah ada keseimbangan antara pemanfaatan waktu untuk mencari nafkah dengan cara melakukan aktivitas tertentu yang harus dipenuhi oleh manusia sebagai makhluk hidup, dan aktivitas beribadah untuk menyembah Allah Subhanahuwata’ala, sebagai wujud dari rasa syukur dan terimakasih atas karunia-Nya berupa perolehan yang didapat dengan jalan bekerja.
Allah Subhanahuwata’ala telah menegaskan dalam firman-Nya: ”Tidak Aku ciptakan jin dan manusia, kecuali untuk beribadah kepada-Ku.”
Ayat ini memaklumkan kepada kita ummat manusia, bahwa tujuan Allah menciptakan jin dan manusia adalah untuk beribadah kepada-Nya semata. Tapi, manusia yang diberi akal untuk pembeda bahwa dia lebih tinggi derajatnya dibanding makhluk lain, sering mengalami kebuntuan akal dalam menerjemahkan sesuatu.
Dalam hal menerjemahkan ayat ini, akal hanya terpaku pada kata-kata ”beribadah” sehingga ada pikiran negatif seolah-olah Allah Subhanahuwata’ala akan mengungkung pada kegiatan ritual ibadah, dan tak ada kesempatan untuk mengaktualisasi diri pada kegiatan di luar ibadah. Kebuntuan akal ini membuat manusia tidak bisa membedakan antara tujuan hidup dengan keperluan hidup. Tujuan hidup adalah beribadah kepada Allah Subhanahuwata’ala, sedangkan keperluan hidup adalah yang berhubungan dengan pemenuhan hasrat bagi hajat hidupnya. Keduanya, tujuan hidup dan keperluan hidup, hendaknya diseimbangkan agar tidak sampai terfokus pada satu hal saja sedang yang lainnya cenderung terabaikan.
Rasulullah shallalla-hu ‘alaihi wasallam telah berpesan kepada ummatnya, agar ummatnya selalu memanfaatkan waktu seoptimal mungkin, sehingga kita akan menggapai kebahagiaan dunia sekaligus kebahagiaan di akhirat. Islam adalah agama yang tidak menafikan persoalan dunia, tetapi juga sangat memperhatikan urusan akhirat.
“Bekerjalah untuk duniamu, seolah-olah kamu hidup selama-lamanya, dan bekerjalah untuk akhiratmu seolah-olah kamu mati besok hari.
Jelas, dalam hadits di atas, Rasulullah shallalla-hu ‘alaihi wasallam mengarahkan agar ummatnya memanfaatkan waktu dengan menyeimbangkan antara bekerja dan beribadah. Antara menggapai tujuan hidup dan keperluan hidup.
Tapi, kebanyakan di antara kita lupa diri. Memahami hadits di atas hanya sepenggal, jadinya hanya asyik bekerja seolah-olah akan hidup selamanya, tak akan pernah mati. Padahal, semestinya asyik bekerja ya, tekun beribadah juga ya.
Dalam hal pemanfaatan waktu, sebuah hadits Rasulullah shallalla-hu ‘alaihi wasallam, yang bila kita amalkan Insya Allah akan membawa kemaslahatan dan juga menyelamatkan. Yaitu hadits yang diriwayatkan Imam Hakim dalam kitab Al-Mustadrak;

Manfaatkanlah kesempatan yang lima, sebelum (datang) lima yang lainnya, yaitu: Masa mudamu sebelum datang masa tuamu. Masa sehatmu sebelum datang sakitmu. Masa kayamu sebelum datang fakirmu. Masa hidupmu sebelum matimu. Dan masa senggangmu sebelum datang kesibukanmu."

Hadits di atas mengandung pengertian, bahwa kita harus dapat memanfaatkan dengan sebaik-baiknya lima kesempatan yang ada dan baik sebelum datang lima perkara yang menyakitkan. Lima kesempatan itu adalah:
1.    Masa muda sebelum datang masa tua;
Dengan kondisi usia masih muda, fisik masih kuat. Disaat inilah kekuatan bekerja masih sangat prima. Maksudnya adalah selagi masih muda kita harus banyak bekerja dan juga taat beribadah karena kondisi kita masih kuat, sebelum datang masa tua kita. Bayangkan apabila kita sudah tua, tentu akan lebih berat untuk berbuat ketaatan karena faktor fisik yang lemah dan kurang mendukung.
2.    Masa sehat sebelum sakit;
Kesehatan memang bukan segalanya tapi tanpa kesehatan semuanya menjadi tidak berarti. Seperti itulah ungkapan yang banyak disebutkan tentang bagaimana menjadi sehat adalah sebuah rezeki dan kenikmatan yang tiada tara sehingga Rasulullah shallalla-hu ‘alaihi wasallam berpesan agar selagi kita masih diberikan kesehatan maka giatlah bekerja dan perbanyaklah amal saleh yang nantinya itu akan berguna bagi diri kita sendiri, sebelum datang sakit.
3.    Masa kaya sebelum datang fakir;
Kaya di sini berarti adalah kelapangan harta dan Rasulullah shallalla-hu ‘alaihi wasallam berpesan selagi punya kemampuan untuk bersedekah, berinfaq atau berjihad dengan harta maka kita harus banyak memberikan sebagian apa yang kita miliki untuk orang-orang yang membutuhkan, sebelum datangnya musibah yang akan merenggut harta kita. Seandainya kita tidak memanfaatkan hal itu dengan banyak bersedekah, berinfaq atau berjihad dengan harta, maka kita akan menjadi orang yang fakir baik itu di dunia maupun di akhirat. Ini ada kaitannya juga dengan ungkapan hendaknya kita membelanjakan harta di Jalan Allah..
4.    Masa hidup sebelum mati;
Penyesalan akan datang belakangan dan itu adalah tipikal dari kebanyakan manusia, yaitu menyesal sedangkan itu sudah terlambat. Namun jangan sampai kita menyesal setelah kita hidup di akhirat kelak karena tak akan ada kesempatan dua kali untuk memperbaiki apa yang telah kita lakukan di dunia. Untuk itu Rasulullah shallalla-hu ‘alaihi wasallam berpesan agar kita memanfaatkan dengan sebaik-baiknya masa hidup kita sebelum datang kematian, karena kesempatan hanya datang sekali, yaitu di masa hidup kita sekarang ini.
5.    Waktu senggang sebelum datang kesibukan;
Hari kiamat itu pasti dan waktunya pun bisa terjadi sewaktu-waktu. Di saat itu tiap-tiap manusia akan disibukkan dengan ketakutannya masing-masing dan untuk itu Rasulullah shallalla-hu ‘alaihi wasallam berpesan agar kita memanfaatkan waktu senggang kita sekarang ini dengan sebaik-baiknya sebelum datangnya kesibukan saat hari kiamat nanti.

Begitu pentingnya hadits ini untuk diketahui oleh ummat Muhammad shallalla-hu ‘alaihi wasallam, sampai-sampai Raden Haji Oma Irama menggubahnya menjadi sebuah lagu, kebetulan memang Rhoma Irama menjadikan lagu sebagai sarana berdakwah. Berikut ini lirik lagu yang diberi judul Lima:

Para hadirin, di dalam kesempatan ini
Izinkanlah saya menyampaikan
Qa-la rasululla-hi shallalla-hu ‘alaihi wasallam
Ightanim khamsan qabla khamsin
Syaba-baka qabla haromika
Waghina-ka qabla faqrika
Wasyughlaka qabla fara-ghika
Washihhataka qabla suqmika
Wahaya-taka qabla mautik

Yang artinya

Pesan Nabi kepada semua um
matnya
Jaga lima sebelum datangnya lima
Pertama jaga muda sebelum tuamu
Kedua jaga kaya sebelum miskinmu
Ketiga jaga sempat sebelum sempitmu
Jaga sehat sebelum sakitmu
Jaga hidup sebelum matimu

Selagi kau sehat bekerja yang giat
Usia yang muda jangan kausia-sia
Selagi kau kaya jangan foya-foya
Gunakanlah harta di dalam bertaqwa
Agar dirimu tidak merugi
Dalam hidup yang singkat ini
Agar kau tidak menyesal nanti
Di saat menghadap Ilahi

Dari itu marilah kawan semua
Jaga lima sebelum datangnya lima
Pertama jaga muda sebelum tuamu
Kedua jaga kaya sebelum miskinmu
Ketiga jaga sempat sebelum sempitmu
Jaga sehat sebelum sakitmu
Jaga hidup sebelum matimu

Rhoma Irama menyanyikan lagu ini dengan warna vokalnya yang khas, irama menghentak namun menggugah perasaan, bahkan bila benar-benar dihayati akan membuat kita merinding, betapa kalau kita abai pada salah satunya akan membuat kita terpuruk dalam kerugian seperti diisyaratkan dalam Q.S Al-Ashr (103), ayat 1-3, yang telah dikutipkan di awal tulisan ini.
Kelompok Nasyid Raihan juga menyanyikan hadits ini dalam lagu mereka yang diberi judul Demi Masa Lirik lengkapnya seperti berikut:

Demi masa sesungguhnya manusia kerugian
Melainkan yang beriman dan beramal sholeh
Demi masa sesungguhnya manusia kerugian
Melainkan nasehat kepada kebenaran dan kesabaran
a a a…..
Gunakan kesempatan yang masih diberi moga kita takkan menyesal
Masa usia kita jangan disiakan kerna ia takkan kembali

Ingat lima perkara sebelum lima perkara
Sihat sebelum sakit
Muda sebelum tua
Kaya sebelum miskin
Lapang sebelum sempit
Hidup sebelum mati

(Ingat lima perkara sebelum lima perkara)
(Ingat lima perkara sebelum lima perkara)

Demi masa sesungguhnya manusia kerugian
Melainkan yang beriman dan beramal sholeh
Gunakan kesempatan yang masih diberi moga kita takkan menyesal
Masa usia kita jangan disiakan kerna ia takkan kembali
Ingat lima perkara sebelum lima perkara
Sihat sebelum sakit
Muda sebelum tua
Kaya sebelum miskin
Lapang sebelum sempit
Hidup sebelum mati

(Ingat lima perkara sebelum lima perkara)
(sihat sebelum sakit)
Muda sebelum tua

Kaya sebelum miskin
Lapang sebelum sempit

(Ingat lima perkara) Hidup sebelum mati
(sebelum lima perkara) Sihat sebelum sakit
(Ingat lima perkara sebelum lima perkara) Muda sebelum tua

(Ingat lima perkara) Kaya sebelum miskin

(sebelum lima perkara) Lapang sebelum sempit
(Ingat lima perkara sebelum lima perkara) Hidup sebelum mati
(Ingat lima perkara sebelum lima perkara) Hidup sebelum mati
(Ingat lima perkara sebelum lima perkara)

   Ya, demi masa, sesungguhnya manusia berada dalam kerugian. Alangkah sia-sianya waktu terbuang percuma hanya diisi dengan duduk-duduk main catur, gapley, kartu remi, atau permainan lainnya yang mengasyikkan sehingga tak terasa azan zuhur lewat begitu saja hingga terdengar pula panggilan azan memberi tanda masuk waktu untuk menunaikan shalat ashar, tapi masih terus asyik ngocok kartu hingga maghrib tiba, terus tanpa jeda hingga terdengar lagi azan isya’ masih juga ngocok kartu dan baru tersadar ternyata sudah larut malam, baru memutuskan untuk bubar. Tinggalkan "markas" permainan, dan pulang ke rumah masing-masing lalu langsung menuju peraduan dan terlelap, baru bangun kembali manakala sorot matahari telah meninggi. Hilanglah ritual shalat lima waktu tak tertunai satu waktu pun. Hilanglah catatan amal ibadah satu hari diganti catatan dosa. Hilanglah pengertian bekerjalah untuk duniamu, seolah-olah kamu hidup selama-lamanya, dan bekerjalah untuk akhiratmu seolah-olah kamu mati besok hari” tanpa pernah merasa ada beban yang harus dipertanggungjawabkan kelak kemudian hari.

   Dan manakala satu kesempatan yang mestinya kita jaga, tapi kita luput menunaikannya, kerugianlah yang akan diderita dan penyesalan tak akan ada guna. Misal, kita luput menjaga sehat, manakala jatuh sakit baru terasa betapa berharganya waktu. Dalam keadaan sakit tak berdaya untuk bekerja hilanglah nafkah yang mestinya kita raih, beribadah juga tak bisa hilanglah catatan amal yang mestinya tertulis terus bila ritual ibadah masih bisa kita lakukan.
   Demikian juga bila luput menjaga kekayaan yang mestinya memberi kesempatan untuk berbuat amal sebanyak-banyaknya, tapi kekayaan digunakan untuk poya-poya dan dibelanjakan tidak di jalan Allah, ketika jatuh miskin baru tersadar betapa berharganya waktu dan kesempatan. Coba kalau mumpung kaya, dimanfaatkan untuk banyak bersedekah, berinfaq bagi pembangunan rumah ibadah, menyantuni anak yatim, niscaya akan berkah rezeki yang diperoleh dan bahkan akan bertambah berlipatganda.
   Luput menjaga waktu luang (kelapangan), begitu tak ada waktu lagi baru menyesal dan meratap alangkah sia-sianya waktu terbuang percuma. Hanya habis di meja permainan kartu remi, habis di petak-petak papan catur dan lompatan-lompata bidak menyesatkan, hanya habis dengan asyikannya main foker atau game lain yang membuat detak waktu tergadai percuma.
   Merasa masih muda lantas tenang-tenang dan seolah-olah belum perlu mengerjakan amal ibadah, nanti saja bila sudah agak tua baru insyaf dan rajin ibadah. Kalau begini, kesannya sombong banget, seolah-olah tahu persis catatan umur yang dijatahkan untuk kita hidup di dunia ini. Bahkan ada yang asyik pula menganggur, ke sana ke mari tanpa pekerjaan.
   Mestinya mumpung masih muda, masih sehat, masih lapang waktu, masih punya kekayaan, dan masih hidup, bekerja dan berbuat amal sebaik dan sebanyak mungkin.

   Rasulullah shallalla-hu ‘alaihi wasallam sangat membenci orang-orang yang terlalu sibuk dengan urusan dunia di siang hari, dan tidur terlelap di malam hari. Rasulullah shallalla-hu ‘alaihi wasallam mengibaratkan mereka: Siang hari ibarat keledai, malam hari ibarat bangkai. Maksudnya orang-orang yang dibenci Rasulullah shallalla-hu ‘alaihi wasallam adalah orang-orang yang di siang hari disibukkan dengan urusan dunia, sehingga mereka lupa dengan kewajiban utama sebagai hamba yaitu beribadah kepada Allah Subhanahuwata’ala. Mereka membiarkan siang berlalu tanpa shalat zuhur dan ashar. Di malam hari mereka juga terlelap di tempat tidur tak ubahnya seperti bangkai hingga matahari terbit di ufuk timur keesokan harinya. Mereka membiarkan malam berlalu tanpa ibadah apapun kepada Allah Subhanahuwata’ala.
   Suatu ketika Imam Ghazali Rahmatullah bertanya kepada beberapa muridnya. Salah satu pertanyaan Sang Imam adalah: Hai murid-muridku, tahukah kalian apakah yang paling jauh”. Para murid serentak menjawab: ”Bulan dan matahari ya tuan guru”. Imam Ghazali memberi komentar: Benar bulan dan matahari adalah benda yang jauh, tetapi ketahuilah oleh kalian, sebenarnya yang paling jauh itu adalah masa lalu. Kalian tidak akan pernah dapat mengejar lagi masa lalu yang telah meninggalkan kalian. Karena itu, sebelum kalian menyesal, maka pergunakanlah waktu luang sebaik-baiknya”.
   Demikianlah pandangan Islam tentang pentingnya menjaga waktu. Kita harus memanfaatkan waktu yang ada semaksimal mungkin. Karena waktu tidak pernah menunggu kita, kalau kita tidak memanfaatkan waktu maka waktulah yang akan menggilas kita. Kata Saidina Ali Radhiallahu anhu: Waktu adalah ibarat Pedang”. Artinya: Kalau kita tidak memanfaatkan waktu, maka waktu akan menebas kita.

Baik juga menyimak lagunya Opick yang berjudul ”Bila Waktu Telah Berakhir” berikut ini:

Bagaimanakah perasaannya
Akan dunia yang sementara
Bagaimanakah bila semua
Hilang dan pergi meninggalkan dirimu

Bagaimanakah bila saatnya
Waktu terhenti tak kau sadari
Masihkah ada jalan bagimu
Untuk kembali menunaikan masa lalu

Dunia dipenuhi dengan hiasan
Semua dan segala yang ada akan kembali pada-Nya

Bila waktu telah memanggil teman sejati hanyalah amal
Bila waktu telah terhenti teman sejati tinggallah sepi