Jumat, 02 November 2012

Soempah Batoe


Sejak digemakan pertama kali delapan-puluh-empat  tahun silam, gulungan kertas berisi teks ‘soempah pemoeda’ seterusnya dari tahun ke tahun saban pagi disiapkan untuk dibuka kembali lalu dibaca ulang. Agar para moeda-moedi masa kini kembali mencerna, mengunyah kata-kata, lalu menghayati isi dan maknanya.
Minggu pagi pekan lalu pun, gulungan kertas itu dibuka bersama-sama. Di mana-mana, seantero nusantara. Dari tengah hiruk pikuk kota sampai di sudut dusun sunyi sekali pun menggelar hajat istimewa ‘peringatan soempah pemoeda’ untuk bersama-sama menyimak petugas yang disuruh memandu peserta upacara menyamakan irama paduan suara melafalkannya. Lalu, terdengarlah gemuruh “kami poetra dan poetri Indonesia mengaku....”
Seusai upacara, seiring waktu berlalu apakah ada yang benar-benar melakukan perenungan? Mencerna lagi, mengkaji kembali isi dan maknanya? Entahlah. Apa sesungguhnya yang dikehendaki para poetra-poetri, yang kala itu merumuskan kata-kata dan menamainya soempah pemoeda itu. Dengan tiga butir soempah yang jadi urat nadi kebersamaan, apa sesungguhnya yang ingin dicapai kelak kemudian hari, yaitu hari ini?
Bertanah air satu, berbangsa satu, masihkah erat terasa? Bila di mana bumi dipijak, di situ rasa was-was menghantui. Di mana langit dijunjung, di situ hidup tak merasa ternaungi. Atas nama mempertahankan harga diri, dendam diperam. Lalu tak cukup hanya kata-kata disoempah-serapahkan. Tapi juga batu dikepal, dibenturkan di kepala mengetam nyawa.
Bahwa sebenarnya dendam tak akan pernah lama terperam, pasti akan pecah kesumatnya jadi keberingasan tak terkendali memicu penyerangan dan chaos massa membabi buta. Lalu nyawa badan, nyawa rohani seperti tak ada lagi harganya. Ketersinggungan sedikit saja sudah cukup untuk meletikkan bara emosi membesar dan menyulut amarah. Mempertahankan harga diri dijadikan dalih untuk mengobarkan kemarahan jadi pertikaian. Harga diri jadi kambing hitam, padahal belum tentu demikian, ketidak-sepadanan dan kesenjangan ekonomilah pemicu utama.
Jamak terjadi di mana pun di tanah air satu, tanah air Indonesia ini. Sebagian orang bekerja keras memutih tulang memiuh kucuran keringat. Dari tubuh legam mereka tumbuh kesuburan hasil bumi yang ranum. Kelak menaikkan status sosialnya ke kehidupan setingkat lebih tinggi. Buah dari lebih giat tentu saja lebih bermaslahat dan bermartabat. Sedang mereka yang tak tahan bekerja keras tak akan menuai apa-apa. Layakkah yang tak bekerja mencemburui yang berstatus lebih mapan? 
Jamak terjadi di mana pun di tanah air satu, tanah air Indonesia ini. Ketidak-adilan merata terjadi, kesenjangan merata dibiarkan. Inilah asal-muasal timbulnya kecemburuan sosial, keiri-dengkian. Hasutan lalu diembus-embuskan meniupkan angin ketegangan. Menyemai benih-benih konflik yang nantinya teraklumulasi. Konflik aktual mengalami eskalasi meletikkan kekerasan. Persoalan sepele dan remeh temeh rebutan lahan parkir di pasar, sudah jadi pemicu keributan berujung tawuran antarwarga, antarkampung, bahkan bisa jadi antaretnis.  
*****
Sejak janin reformasi dilahirkan dari rahim ibu pertiwi. Dan dininabobokkan dengan senandung dan dongeng demokrasi. Pertumbuhannya melesat jadi sosok yang tangkas dan beringas. Semua yang dilakukannya atas nama demokrasi yang dimamahnya. Tak peduli tata aturan negara dan norma agama diterabas. Jadilah keberingasan massa dimaknai sebagai wujud demokrasi.
Atas nama otonomi, pulau-pulau nusantara tercerai-berai. Segala sesuatu diatur sendiri dan dilaksanakan suka-suka. Tak boleh ada yang menghalangi dan ikut campur tangan. Dalih otonomi semua keinginan jadi suatu kelaziman diwujudkan. Persoalan di kemudian hari ternyata itu keliru dan jadi perkara yang dibawa ke ranah hukum. Tak jadi soal, urusan hukum hanyalah sepele dan mudah diselesaikan lewat jalan kongkalikong dengan hakim pengadilan. Hukum bisa dibeli, demikian yang jamak terjadi dan bukan rahasia lagi.
Atas nama keragaman budaya, justru membuat orang tak berbudaya. Adab kesopan-santunan tak lagi dijunjung-junjung sedemikian tinggi. Zaman telah berbalik, yang tadinya tabu berubah menjadi hal biasa. Pengaruh globalisasi, seluk-beluk sisi kehidupan menjadi begitu masif. Yang tadinya bukanlah budaya warisan nenek moyang dan leluhur. Biar dikatakan maju, lalu meniru dan dipakai sebagai budaya baru. Sementara budaya sendiri hasil olah pikir nenek moyang bangsa ini, ditinggalkan tak mau dipakai dan dilestarikan. Kalau begitu, lalu mengapa kalian ngamuk bila negeri jiran mengaku-aku itu sebagai budayanya. Mestinya tak perlu marah dan melakukan protes menguras energi, sebab itu adalah akibat kesalahan besar yang kalian perbuat secara sadar.
Atas nama ketinggian budi. Tapi mana budi pekerti? Di sekolah-sekolah tak lagi diajarkan. Jadinya susah sekali menemukan siswa yang perilakunya mencerminkan kalau dirinya mempunyai budi pekerti. Kalaupun dicari tentu akan ketemu satu-dua siswa, tapi siswa yang sedikit ini tentu tidak akan menonjol karena yang akan menyita perhatian adalah kebanyakan siswa yang perilakunya tidak berbudi.
Atas nama keragaman suku, mestinya menyemangati kehidupan bahwa sesungguhnya Indonesia yang terdiri atas 17.508 pulau, 740 suku/etnis, ini dapat memberi ruh bagi langgengnya ‘persatoean dan kesatoean.’ Tapi, Bhinneka Tunggal Ika yang dicengkeram erat kaki burung garuda, kini seperti tercampak. Rasa persaudaraan semakin menipis, tak cukup bila hanya memusuhi orang yang berbeda suku dengan dirinya, maka perlu pembuktian bahwa dirinya layak ditahbiskan sebagai hero karena di darahnya mengalir watak ‘berani mati’ demi harga diri, maka dikobarkanlah perang antarsuku. Hilang sudah gema suara gegap gempita meneriakkan kata-kata “berbangsa yang satoe, bangsa Indonesia.” Hilang sudah mimik semringah berganti wajah-wajah penuh amarah.    
Atas nama kebebasan beragama, mestinya dengan landasan Undang-Undang Dasar 1945, sesiapa memiliki hak untuk memeluk agama apapun dan beribadah menurut tuntunan agamanya. Tapi, sarana ibadah dihancurkan karena orang-orang yang beribadah di situ dianggap mengganggu ketertiban orang banyak. Orang banyak yang mana? Hanya karena berbeda paham/aliran dijadikan pemicu untuk membunuh makhluk Tuhan yang memiliki hak azasi untuk memeluk agama dan melakukan peribadatan sesuai ajaran agama yang dipercayainya. Sementara Tuhan Allah SWT tegas dalam Kitab-Nya Al-Quran menyatakan bahwa “tidak ada paksaan dalam (memeluk) agama” La-ikro hafiddiin. Tapi mengapa kalian memaksakan kehendak kepada mereka agar memeluk agama seperti yang kau punya. Memaksa mereka beribadah dengan cara seperti yang kalian kerjakan. Kalau tidak sama, maka kalian anggap mereka menyimpang dan layak dihentikan. Kalau berbeda, maka rumah ibadah mereka layak kalian hancurkan, yang itu adalah rumah Allah juga.
Kedaulatan itu di tangan rakyat. Pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Mestinya para pemimpin mengayomi rakyat, bukan menelantarkan rakyat. Mestinya pemimpin melindungi rakyat dengan jaminan ketersediaan dan tercukupi bahan pangan, tersedia akses untuk memperoleh pelayanan secepat dan sebaik mungkin. Pemimpin mestinya bekerja ibarat matahari, memberi pencerahan. Membuat rakyat terbakar semangatnya. Bekerja ibarat awan, memberi keteduhan. Sehingga rakyat merasa diayomi. Bekerja ibarat angin, memberi kesejukan ke semua arah. Artinya, pemimpin tak pandang bulu pada golongan tertentu, tapi menciptakan rasa yang sama.  Bekerja ibarat air, memberi kesegaran. Mampu menempatkan diri pada kedudukan terendah sekalipun agar rakyat merasa dekat dan diperhatikan. Bekerja ibarat bintang, cemerlang dalam bertindak. Menjadi pedoman dan panutan bagi rakyatnya, sehingga jalan langkah tak tersaruk kesengsaraan apalagi kemiskinan. Pemimpin harus memenuhi hak rakyatnya untuk hidup nyaman, terlindungi, tak dibeda-bedakan berdasar suku, agama, ras. Sehingga tak terjadi pengkotak-kotakan. Dan, harusnya tak terjadi ketimpangan dalam masalah apapun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.