Sejak
digemakan pertama kali delapan-puluh-empat tahun silam, gulungan kertas berisi teks ‘soempah
pemoeda’ seterusnya dari tahun ke tahun saban pagi disiapkan untuk dibuka kembali
lalu dibaca ulang. Agar para moeda-moedi masa kini kembali mencerna, mengunyah
kata-kata, lalu menghayati isi dan maknanya.
Minggu
pagi pekan lalu pun, gulungan kertas itu dibuka bersama-sama. Di mana-mana,
seantero nusantara. Dari tengah hiruk pikuk kota sampai di sudut dusun sunyi
sekali pun menggelar hajat istimewa ‘peringatan soempah pemoeda’ untuk
bersama-sama menyimak petugas yang disuruh memandu peserta upacara menyamakan irama
paduan suara melafalkannya. Lalu, terdengarlah gemuruh “kami poetra dan poetri
Indonesia mengaku....”
Seusai
upacara, seiring waktu berlalu apakah ada yang benar-benar melakukan
perenungan? Mencerna lagi, mengkaji kembali isi dan maknanya? Entahlah. Apa
sesungguhnya yang dikehendaki para poetra-poetri, yang kala itu merumuskan
kata-kata dan menamainya soempah pemoeda itu. Dengan tiga butir soempah yang
jadi urat nadi kebersamaan, apa sesungguhnya yang ingin dicapai kelak kemudian
hari, yaitu hari ini?
Bertanah
air satu, berbangsa satu, masihkah erat terasa? Bila di mana bumi dipijak, di
situ rasa was-was menghantui. Di mana langit dijunjung, di situ hidup tak
merasa ternaungi. Atas nama mempertahankan harga diri, dendam diperam. Lalu tak
cukup hanya kata-kata disoempah-serapahkan. Tapi juga batu dikepal, dibenturkan
di kepala mengetam nyawa.
Bahwa
sebenarnya dendam tak akan pernah lama terperam, pasti akan pecah kesumatnya jadi
keberingasan tak terkendali memicu penyerangan dan chaos massa membabi buta. Lalu nyawa badan, nyawa rohani seperti
tak ada lagi harganya. Ketersinggungan sedikit saja sudah cukup untuk
meletikkan bara emosi membesar dan menyulut amarah. Mempertahankan harga diri
dijadikan dalih untuk mengobarkan kemarahan jadi pertikaian. Harga diri jadi kambing
hitam, padahal belum tentu demikian, ketidak-sepadanan dan kesenjangan
ekonomilah pemicu utama.
Jamak
terjadi di mana pun di tanah air satu, tanah air Indonesia ini. Sebagian orang
bekerja keras memutih tulang memiuh kucuran keringat. Dari tubuh legam mereka tumbuh
kesuburan hasil bumi yang ranum. Kelak menaikkan status sosialnya ke kehidupan setingkat
lebih tinggi. Buah dari lebih giat tentu saja lebih bermaslahat dan bermartabat.
Sedang mereka yang tak tahan bekerja keras tak akan menuai apa-apa. Layakkah
yang tak bekerja mencemburui yang berstatus lebih mapan?
Jamak terjadi di mana pun di tanah air
satu, tanah air Indonesia ini. Ketidak-adilan merata terjadi, kesenjangan
merata dibiarkan. Inilah asal-muasal timbulnya kecemburuan sosial,
keiri-dengkian. Hasutan lalu diembus-embuskan meniupkan angin ketegangan. Menyemai
benih-benih konflik yang nantinya teraklumulasi. Konflik aktual mengalami
eskalasi meletikkan kekerasan. Persoalan sepele dan remeh temeh rebutan lahan
parkir di pasar, sudah jadi pemicu keributan berujung tawuran antarwarga,
antarkampung, bahkan bisa jadi antaretnis.
*****
Sejak
janin reformasi dilahirkan dari rahim ibu pertiwi. Dan dininabobokkan dengan
senandung dan dongeng demokrasi. Pertumbuhannya melesat jadi sosok yang tangkas
dan beringas. Semua yang dilakukannya atas nama demokrasi yang dimamahnya. Tak
peduli tata aturan negara dan norma agama diterabas. Jadilah keberingasan massa
dimaknai sebagai wujud demokrasi.
Atas
nama otonomi, pulau-pulau nusantara tercerai-berai. Segala sesuatu diatur
sendiri dan dilaksanakan suka-suka. Tak boleh ada yang menghalangi dan ikut
campur tangan. Dalih otonomi semua keinginan jadi suatu kelaziman diwujudkan. Persoalan
di kemudian hari ternyata itu keliru dan jadi perkara yang dibawa ke ranah
hukum. Tak jadi soal, urusan hukum hanyalah sepele dan mudah diselesaikan lewat
jalan kongkalikong dengan hakim pengadilan. Hukum bisa dibeli, demikian yang
jamak terjadi dan bukan rahasia lagi.
Atas
nama keragaman budaya, justru membuat orang tak berbudaya. Adab kesopan-santunan
tak lagi dijunjung-junjung sedemikian tinggi. Zaman telah berbalik, yang
tadinya tabu berubah menjadi hal biasa. Pengaruh globalisasi, seluk-beluk sisi
kehidupan menjadi begitu masif. Yang tadinya bukanlah budaya warisan nenek
moyang dan leluhur. Biar dikatakan maju, lalu meniru dan dipakai sebagai budaya
baru. Sementara budaya sendiri hasil olah pikir nenek moyang bangsa ini,
ditinggalkan tak mau dipakai dan dilestarikan. Kalau begitu, lalu mengapa
kalian ngamuk bila negeri jiran mengaku-aku itu sebagai budayanya.
Mestinya tak perlu marah dan melakukan protes menguras energi, sebab itu adalah
akibat kesalahan besar yang kalian perbuat secara sadar.
Atas
nama ketinggian budi. Tapi mana budi pekerti? Di sekolah-sekolah tak lagi
diajarkan. Jadinya susah sekali menemukan siswa yang perilakunya mencerminkan
kalau dirinya mempunyai budi pekerti. Kalaupun dicari tentu akan ketemu
satu-dua siswa, tapi siswa yang sedikit ini tentu tidak akan menonjol karena
yang akan menyita perhatian adalah kebanyakan siswa yang perilakunya tidak
berbudi.
Atas
nama keragaman suku, mestinya menyemangati kehidupan bahwa sesungguhnya Indonesia
yang terdiri atas 17.508 pulau, 740 suku/etnis, ini dapat memberi ruh bagi
langgengnya ‘persatoean dan kesatoean.’ Tapi, Bhinneka Tunggal Ika yang
dicengkeram erat kaki burung garuda, kini seperti tercampak. Rasa persaudaraan
semakin menipis, tak cukup bila hanya memusuhi orang yang berbeda suku dengan
dirinya, maka perlu pembuktian bahwa dirinya layak ditahbiskan sebagai hero
karena di darahnya mengalir watak ‘berani mati’ demi harga diri, maka
dikobarkanlah perang antarsuku. Hilang sudah gema suara gegap gempita
meneriakkan kata-kata “berbangsa yang satoe, bangsa Indonesia.” Hilang sudah
mimik semringah berganti wajah-wajah
penuh amarah.
Atas
nama kebebasan beragama, mestinya dengan landasan Undang-Undang Dasar 1945,
sesiapa memiliki hak untuk memeluk agama apapun dan beribadah menurut tuntunan
agamanya. Tapi, sarana ibadah dihancurkan karena orang-orang yang beribadah di
situ dianggap mengganggu ketertiban orang banyak. Orang banyak yang mana? Hanya
karena berbeda paham/aliran dijadikan pemicu untuk membunuh makhluk Tuhan yang
memiliki hak azasi untuk memeluk agama dan melakukan peribadatan sesuai ajaran
agama yang dipercayainya. Sementara Tuhan Allah SWT tegas dalam Kitab-Nya
Al-Quran menyatakan bahwa “tidak ada paksaan dalam (memeluk) agama” La-ikro
hafiddiin. Tapi mengapa kalian memaksakan kehendak kepada mereka agar memeluk
agama seperti yang kau punya. Memaksa mereka beribadah dengan cara seperti yang
kalian kerjakan. Kalau tidak sama, maka kalian anggap mereka menyimpang dan
layak dihentikan. Kalau berbeda, maka rumah ibadah mereka layak kalian
hancurkan, yang itu adalah rumah Allah juga.
Kedaulatan
itu di tangan rakyat. Pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Mestinya
para pemimpin mengayomi rakyat, bukan menelantarkan rakyat. Mestinya pemimpin melindungi
rakyat dengan jaminan ketersediaan dan tercukupi bahan pangan, tersedia akses
untuk memperoleh pelayanan secepat dan sebaik mungkin. Pemimpin mestinya
bekerja ibarat matahari, memberi pencerahan. Membuat rakyat terbakar semangatnya.
Bekerja ibarat awan, memberi keteduhan. Sehingga rakyat merasa diayomi. Bekerja
ibarat angin, memberi kesejukan ke semua arah. Artinya, pemimpin tak pandang
bulu pada golongan tertentu, tapi menciptakan rasa yang sama. Bekerja ibarat air, memberi kesegaran. Mampu
menempatkan diri pada kedudukan terendah sekalipun agar rakyat merasa dekat dan
diperhatikan. Bekerja ibarat bintang, cemerlang dalam bertindak. Menjadi
pedoman dan panutan bagi rakyatnya, sehingga jalan langkah tak tersaruk
kesengsaraan apalagi kemiskinan. Pemimpin harus memenuhi hak rakyatnya untuk
hidup nyaman, terlindungi, tak dibeda-bedakan berdasar suku, agama, ras.
Sehingga tak terjadi pengkotak-kotakan. Dan, harusnya tak terjadi ketimpangan
dalam masalah apapun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.