Kamis, 13 Desember 2012

169 Bahasa Etnik Terancam Punah

Pakar linguistik Univer­si­tas Indonesia, Prof Multamia RMT Lauder, mengatakan se­ba­nyak 169 bahasa etnik di ka­wasan Indonesia Timur ha­nya di­tuturkan 500 orang sehingga ma­suk ke dalam golongan ba­hasa yang terancam punah.
“Penuturnya kurang dari 1.000 maka masuk golongan ba­hasa yang terancam punah ka­rena kalau orang yang meng­u­cap­kannya sedikit akan sulit ber­tahan,” kata Multamia RMT Lau­der dalam diskusi “Pe­ng­em­bangan dan Perlindungan Ke­kayaan Budaya” di Jakarta, Ra­bu (12/12).
Menurut Pembantu Dekan I Fakultas Ilmu Pengetahuan Bu­daya UI tersebut, kepu­nah­an bahasa etnik disebabkan oleh aturan adat seperti hanya ra­ja yang boleh mengakses do­kumen-dokumen kuno.
“Sekarang dalam kondisi yang kritis misalnya, dokumen me­rupakan salah satu media yang bisa menjadi alat pemer­ta­hanan karena kita sebarkan. Ka­lau tidak boleh disebarkan sa­ma saja tidak boleh bahasa itu dipertahankan,” ujar dia.
Selain itu, lanjutnya, ada dua skenario yang me­nye­bah­kan bahasa menjadi hilang; Per­tama, Imigrasi, yaitu kum­pulan komunitas bahasa lain da­ri luar mengambil atau me­ming­girkan komunitas bahasa et­nik daerah. Misalnya, ko­mu­nitas bahasa Tomini-Tolitoli ter­pinggirkan dengan orang Bu­gis yang penuturnya lebih ba­nyak dari mereka.
Kedua, Emig­rasi, komuni­tas bahasa To­mini-Tolitoli ke­lu­­ar dari wila­yah­nya seiring ber­­­kem­bang­nya alat trans­por­tasi,” kata dia.
Di sekolah, lanjut dia, baha­sa Indonesia yang menjadi do­minan juga menjadi penyebab ter­pinggirkannya bahasa et­nik. “Akhir ’80-an, program tele­visi ataupun film berba­ha­sa asing kebanyakan dileng­ka­pi de­ngan terjemahan Indo­ne­sia,” ujar dia.
Oleh karena itu, revitalisasi baha­sa diperlukan untuk mem­per­lambat kematian bahasa et­nik.
“Revitalisasi bahasa harus di­lihat dari tiga hal. Pertama, trans­misi bahasa ibu dari gene­rasi tua ke muda. Kedua, se­be­­rapa banyak pemakaian ba­ha­­sa. Ketiga, Jumlah penu­tur­nya,” kata dia.
Dalam kesempatan yang sa­ma, Kepala Pusat Penelitian Ke­masyarakatan dan Ke­bu­da­yaan (PMB) Lembaga Ilmu Pe­ngetahuan Indonesia (LIPI) En­dang Turmudi mengatakan pe­merintah daerah harus me­la­kukan pendekatan dan pe­nger­tian betapa pentingnya ba­hasa etnik. 
“Bahasa ini bukan hanya mi­lik raja-raja. Mereka itu akan hi­lang kalau bahasanya pu­nah, sejarahnya tidak ada yang ta­hu. Seperti kasus di Maluku, di mana Bahasa Hukumina pe­nuturnya satu, Naka`ela hanya 5. Kekayaan bahasa dan buda­ya kita begitu besarnya se­hing­­ga harus dijaga dan di­per­tahankan keberadaannya,” ujar dia.
Ia mengatakan LIPI baru mela­kukan melakukan pene­liti­an dan memetakan bahasa et­nik khususnya di kawasan In­donesia Timur.
     “Paling tidak tahun ke-3 kita sudah punya arahan aksi ri­set apa yang diperlukan. Kita su­dah membuat dan mengum­pul­kan kosakata lewat pene­li­tian pada 2012. Tapi, bagai­ma­na untuk mengim­plemen­tasi­kan­nya secara keseluruhan akan bertahap,” katanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.