Minggu, 30 Desember 2012

Menemukan Jejak


Mengisi liburan semester ganjil 2012/2013 dengan menempuh perjalanan mudik ke asal-muasal kehidupan. Apalagi di pengujung tahun ini ada tanggal keramat di sana. Ya, 22 Desember yang saban tahun diperingati sebagai Hari Ibu. Karenanya, libur ini kesempatan untuk sowan ke pangkuan ibu yang telah sepuh.
Perjalanan kali ini begitu membahagiakan. Ada pancaran anugrah Allah SWT tercurah, betapa tidak. Biasanya dalam kondisi kendaraan berpendingin ruangan, rasa dingin itu akan merasuk ke sendi tulang belulang lalu akan mendorong untuk ke toilet berkali-kali alias kebelet pipis karena tak bisa ditahan. Tapi, Subhanallah... Alhamdulillah wa syukurillah, saya tak mengalami kebelet yang amat sangat. Biasanya keinginan pipis tak bisa ditahan, kali ini bisa saya tahan baik saat berangkat maupun ketika pulang.
Perjalanan kali ini juga membuat saya menemukan jejak. Ya, saat bersekolah di SMA Muhammadiyah II Jogja tahun ’80-an ada teman bernama Sugiyono, rumahnya di kecamatan Piyungan, kabupaten Bantul. Dari Piyungan ke sekolah di kota Jogja saban hari dia mengayuh sepeda onthel sejauh 12 kilometer, demikian juga saat pulang. Berarti sehari dia menempuh perjalanan sejauh 24 kilometer. Sesampai di sekolah setiap pagi saya lihat wajah dan lengannya basah oleh keringat dan kulitnya yang legam tampak mengilat. Luar biasa perjuangan teman ini untuk meraih ilmu pengetahuan, padahal tak jauh dari tempat tinggalnya (di ibukota kabupaten Bantul) tentu saja banyak pilihan SMA, tapi demi memperoleh pendidikan plus dibidang pengetahuan umum dan agama dia jadikan SMA Muha sebagai pilihannya.
Saat itu setengah mati saya membayangkan di mana kira-kira lokasi Piyungan itu. Namun, tak juga ada keinginan untuk ngepit (ikut memacu onthel) ke rumahnya sebab keder duluan membayangkan 12 kilometer tersebut. Dalam perjalanan kemarin saya baru ngeh ternyata lokasi Piyungan itu ada di jalan Wonosari. Tentu saja kondisi jalan Wonosari sekarang berbeda jauh dengan tahun ’80-an kala Sugiyono menapakinya saban hari menuju SMA Muha di jalan Kapas Semaki. Saat ini jalan sudah demikian lebar dan berlapis aspal yang mulus dengan garis pemisah jalur warna putih catnya terjaga dengan baik, demikian juga rambu-rambu pemandu pengguna jalan tersedia di setiap sudut tikungan atau tempat yang diperlukan. Karena jalan ini kini jadi perlintasan kendaraan pribadi dan umum yang ingin mempersingkat jarak tempuh dari Jogja ke kota terdekat seperti Baturetno, Wonogiri, Pracimantoro, dan Pacitan.
Menempuh perjalanan ke tempat asal-muasal kehidupan ketiga orang terkasih (istri dan kedua anakku yang lahir di kota Pacitan), sejak berangkat dari Jogja hingga tiba di rumah dilingkupi curah hujan yang menambah sejuknya udara dalam kendaraan yang kami tumpangi. Alhamdulillah perjalanan tak ada hambatan hingga tiba tepat pukul 11:30 dan masih sempat untuk sholat jumatan di masjid agung di sisi alun-alun kota Pacitan.
Alhamdulillah kondisi ibu yang meski kian sepuh tapi masih kuat berjalan dan keinginannya untuk silaturahmi ke kerabat di dukuh Ngawen desa Semanten luar biasa menggebu, kalau hendak diladeni semua tentu habis waktu seharian utuh baginya keliling dari pintu ke pintu tetangga omah joglo yang telah lama ditinggalkan karena beliau ikut mbakyu (anak keduanya) di kota Pacitan kira-kira 5 kilometer dari Semanten.
   Alhamdulillah... 22 Desember 2012, momentum peringatan Hari Ibu kami lewatkan bersama ibu yang kian sepuh tapi masih bergas. Inilah jejak kehidupan yang harus diagungkan karena dari sana sumber keberkahan hidup akan tercurah. Doa restu ibu luar biasa keramat bagi siapapun, maka jangan pernah durhaka dan menyakiti perasaan ibu. SELAMAT HARI IBU.

Plang nama jalan yang lama (kiri) dan plang baru (kanan). Plang baru yang tulisannya warna-warni sempat menuai protes dari masyarakat dan wisatawan, akhirnya dicopot dan plang lama dipasang kembali. 



MALIOBORO
Setelah menghabiskan vakansi 4 hari di Pacitan, kembali ke Jogja untuk pulang ke Lampung keesokan harinya. Acara wajib adalah menyusuri Jalan Malioboro memncari suvenir. Parkir depan Hotel Inna Garuda. menyeberang lalu mulai blusukan ke selatan. Sampai di depan toko Liman menyeberang dan jalan ke utara menuju tempat parkir. Berkejaran dengan waktu karena telah menunjukkan pukul 12 siang, sementara belum kemas-kemas koper untuk berangkat pukul 15 sore.
Pukul 13:30 sempat ketemuan sama Kotni Risyidi, sohib waktu SMP, yang sejak menamatkan SMA di Solo kuliah di Unprok, setelah menikah menetap dan buka usaha di Jogja. Meski sama-sama di Jogja tapi tak pernah saling sambang-menyambangi, meski ada wadah ketemuan yaitu KPR (organisasi pelajar) tapi tak begitu aktif, akhirnya sejak tahun '85 baru ketemu kemarin itu. Hampir 30 tahun. Ia khadu ngumpu. Meski rajin saling SMS dan saya saban lebaran mudik ke Jogja tapi baru kemarin tahu tempat bermukimnya di Perumahan Pelem Sewu ternyata tak jauh dari rumah keponakan tempat kami biasa mampir. Ini berawal dari SMS-nya menanyakan kabar apa tak ikut pulang bareng Gopur, yang pulkam karena ada hajat ngahnya nayuh di pekon ngunduh mantu. SMS-nya saya balas dengan kode nomor area Jogja 02749435211 setelah mobile CDMA di-GOGO-kan. Dia langsung nelepon nanya siapa ini? lalu janji ketemuan dia mau nyambangi saya. Terima kasih sohib alias atin telah ketemuan dan terima kasih telah dikasih sangu untuk cemilan di bus dalam perjalanan pulang.
Yah... Malioboro selalu numani untuk memblusukinya. Saya bandingkan dengan kurun waktu ’80-an sampai ’90-an Malioboro saat ini sudah demikian sarat dan wajahnya semakin kapitalis. Untuk lebih menertibkan PKL demi kenyamanan para pengunjung, lalu Pemkot Jogja menjalankan kebijakan merevitalisasi kawasan yang berdiri sejak 1755 ini mencakup penertiban reklame dan PKL, pengaturan kantong-kantong parkir, sampai penataan kawasan pejalan kaki secara bertahap sejak 2002 dengan Perda No 26 Tahun 2002.
Mungkin maksudnya untuk menciptakan kesan lebih muda, fresh, dan ngepop, maka plang nama Jl. MALIOBORO yang terbuat dari seng berbingkai dua dimensi dengan warna dasar hijau dan tulisan putih pun diganti menjadi kotak lampu berwarna putih dilengkapi tulisan ‘kawasan jalan-jalan’ dengan tulisan MALIOBORO berwarna-warni.
   Tapi, apa lacur kebijakan mengganti plang nama jalan ini menuai protes dari masyarakat dan pengunjung (wisatawan). Kritik pun merebak di jejaring sosial. Tak mau berlama-lama membuat kontroversi kian berlarut, Pemkot akhirnya pada Rabu, 5 September 2012 mencopot plang nama jalan baru dan memasang kembali plang nama jalan yang lama, yang meski ’jadul’, tapi aksara jawa di bawahnya mengesankan lebih njawani, lebih njogjani, lebih bernilai historis dibanding plang nama yang baru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.