Rabu, 12 Desember 2012

Way Panji dalam Puisi


Hikmah di Balik Musibah

“Siapa Menabur Angin, Akan Menuai Badai” Kalimat kiasan ini sepertinya memberi penegasan, bahwa hukum “sebab akibat” itu mutlak adanya. Kausa Prima. Siapa berbuat akan menanggung akibat dari apa yang diperbuatnya. Jadi, tidak bisa dinafikan ada harga yang harus dibayar. Dan seberapa murah atau mahal “harga” yang harus dibayar, terpulang pada seberapa ringan dan berat akibat yang timbul dari apa yang diperbuat.
Demikianlah yang dirasakan warga Desa Balinuraga, Kecamatan Way Panji, Kabupaten Lampung Selatan, Lampung. Bermula dari ‘canda dalam goda’ oleh bujang Balinuraga (beretnis Bali) terhadap gadis desa Agom (beretnis Lampung) yang sedang nyore ke Desa Balinuraga. Akibat digoda, kedua gadis yang berboncengan sepeda motor itu tidak bisa menguasai liarnya kemudi sehingga terjatuh dan menimbulkan luka. Seberapa parah luka dan seberapa dahsyat godaan itu? Entahlah! Yang jelas dari sini ‘angin ditebar’ dan siapa menyana akan ‘menuai badai’ sebab tak tebersit sedikit pun dalam pikiran ‘hanya’ oleh ‘canda dalam goda’ akan ada bencana melanda.
Sesampai di desanya kembali, kedua gadis itu melapor kepada pihak keluarga, bahwa tadi digoda bujang Balinuraga dan terjatuh sehingga luka. Berawal kisah melapor itulah, membuat emosi di hati orang tua gadis tersebut mendidih. Sebagai orang Lampung yang memegang teguh 5 falsafah hidup, piil-nya terusik. Seberapa lebay laporan itu? Entahlah! Yang jelas akibat yang ditimbulkannya dahsyat luar biasa. Atas nama piil dan sakay sambayan, warga Desa Agom menyerang Desa Balinuraga. Jatuh korban jiwa dan rumah hangus dibakar.
Dari banyak amatan, ‘canda dalam goda’ hanyalah peletik emosi yang telah lama mereka rawat. Emosi yang dipicu berbagai sebab. Konon karena ada kecemburuan sosial dari suku Lampung terhadap suku Bali yang derajat kesejahteraannya lebih tinggi dibanding mereka. Sementara suku Bali itu hanyalah pendatang lewat program transmigrasi. Sedang mereka sebagai penduduk pribumi di tiyuhni merasa tertinggal.
Cemburu pada pihak lain yang sukses sah-sah saja, tapi hendaknya ditelusuri apa faktor yang menyebabkan mereka sukses. Orang Bali itu jauh-jauh didatangkan, mana mungkin mereka hanya akan berdiam diri. Dalam hati mereka tentu saja ada niat untuk sukses. Nah, jalan yang harus ditempuh untuk menggapai sukses itu tak lain adalah harus dengan cara bekerja keras. Terbukti suku Bali di mana pun mereka ditransmigrasikan, tidak hanya di Lampung, di Kalimantan pun mereka sukses. Jadi, kesuksesan yang mereka capai lewat kerja keras layakkah dicemburui?
Tetapi, hal yang tak bisa diabaikan adalah selalu ada hikmah yang dibawa oleh musibah yang dialami. Atas musibah yang melanda warga Bali di Desa Balinuraga, simpati datang dari mana-mana, berbagai bantuan dihimpun untuk disalurkan. Lebih-lebih pemerintah Provinsi Bali dan Kabupaten di mana warga Balinuraga itu berasal menghimpun kekuatan untuk memberikan bantuan baik moril maupun materiil. Di Denpasar ada simpati lewat unjukrasa yang digelar mengutuk kejadian amuk massa oleh warga Agom.
Di Salatiga, pada Minggu, 4 November 2012 Gereja Kristen Jawa (GKJ) Sidomukti bersama dengan GKI Salatiga melalui Paduan Suara Pisungsung Choir dan Paduan Suara Magnificiat bersama dengan Paduan Suara Anak SD Kristen III Salatiga, menyelenggarakan Konser Amal untuk membantu para pengungsi di Way Panji. Ibadah yang dipimpin oleh Ibu Pdt. Amalia Lalenoh, mengajak seluruh warga jemaat untuk terus peduli pada sesama yang sedang mengalami kesusahan.
   Puji-pujian yang dipersiapkan sangat apik dan serius ini membuat yang hadir turut merasakan kuasa kehadiran Tuhan nyata di tengah-tengah jemaat. Ibadah penutup Persekutuan keluarga di Bulan Keluarga GKJ Sidomukti yang biasa disebut dengan purnama tersebut diakhiri dengan jamuan kasih sederhana di halaman gedung gereja. Inilah wujud kepedulian dan solidaritas dari kalangan jemaat gereja.
   Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro bersama Ibu Lis Purnomo Yusgiantoro memberikan bantuan kepada masyarakat Lampung Selatan pascakonflik sosial yang terjadi pada bulan Oktober yang lalu. Bantuan ini diharapkan dapat memberikan semangat dan motivasi bagi warga masyarakat Kabupaten Lampung Selatan khususnya Kecamatan Way Panji.
Pemberian bantuan dan kunjungan Menhan ke Kecamatan Way Panji, Lampung Selatan tersebut merupakan bagian dari rangkaian kegiatan bhakti sosial Kemhan bersama Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) dan Alumni Kursus Reguler Angkatan XXV Lemhannas serta Panitia Natal Nasional 2012.
Bhakti sosial ini diselenggarakan dalam rangka hari Bela Negara Tahun 2012 yang diperingati setiap tanggal 19 Desember. Selain itu kegiatan bhakti sosial Kemhan tersebut juga dilaksanakan bersamaan dengan kegiatan bhakti sosial Panitia Natal Nasional 2012.
Menurut Purnomo Yusgiantoro, hari Bela Negara diperingati  setiap tahunnya pada tanggal 19 Desember dimaksudkan untuk menggugah setiap insan di tanah air Indonesia untuk mencintai tanah airnya dan tetap bersama-sama hidup dalam keanekaragaman baik keanekaragaman suku, agama, ras dan golongan.
“Kebersamaan dalam keanekaragaman suku, agama, ras dan golongan di Indonesia sudah berjalan berpuluh-puluh tahun dan itu harus dipertahankan. Sungguh indah kehidupan di tanah air Indonesia tercinta apabila Bhineka Tunggal Ika bisa tetap dijalankan bersama–sama seluruh masyarakat di Indonesia,” ujar Purnomo.
Lebih lanjut Purnomo Yusgiantoro mengajak warga Lampung Selatan untuk mewujudkan kehidupan bermasyarakat yang harmonis. Salah satu upaya untuk mewujudkan hal itu yaitu dengan memupuk rasa persatuan dan kesatuan bangsa, serta rasa nasionalisme.
Dengan banyaknya bantuan yang mengalir ke warga Balinuraga sebagai korban konflik, baik yang diberikan pemerintah Provinsi Lampung dan Kabupaten Lampung Selatan maupun oleh para pihak yang bersimpati, lebih-lebih oleh pemerintah Provinsi Bali, maka yang paling diuntungkan sesungguhnya warga Balinuraga.
     Kehilangan harta benda akibat rumah dibakar membuat mereka syok dan trauma berat. Tetapi, berkat dorongan moril dan materiil dari masyarakat Bali yang ada di Lampung dan di Pulau Dewata, membuat mereka terdongkrak semangatnya untuk meneruskan kehidupan di desa yang telah porak poranda. Melimpahnya bantuan dan simpati, ‘mengundang’ kecemburuan dari warga Desa Agom yang sebenarnya bisa juga dikatakan sebagai “korban” dari konflik yang terjadi.

Satu unit mobil dinas milik aparat kepolisian yang dibakar massa, saat kerusuhan lanjutan beberapa warga Desa di Kabupaten Lampung Selatan dengan warga Desa Balinuraga, Kecamatan Way Panji, Kabupaten Lampung Selatan, Senin (29-10). Sepanjang jalan menuju desa Balinuraga, warga setempat banyak menyediakan air minum. Akibat kerusuhan itu, beberapa warga Desa Balinuraga meninggal dunia, dan ratusan rumah dirusak dan dibakar massa.
(Foto Dok: Media Karya Lampung)
Dalam bentrok antarwarga di Desa Balinuraga, Kecamatan Way Panji, Lampung Selatan Senin (29-10).
Selain mengakibatkan korban jiwa diantara kedua belah pihak, juga ratusan rumah rusak dibakar.
(foto dok: MKL = Media Karya Lampung)
Massa yang melintasi jalan perkebunan, ladang dan persawahan. Jalan raya menuju Desa Balinuraga di blokade aparat keamanan, mereka berpencar menerobos areal perkebunan, ladang dan persawahan menuju Desa Balinuraga, Kecamatan Way Panji, Lampung Selatan. Tampak di depan asap mengepul, massa yang telah tiba terlebih dahulu di desa itu melakukan pengrusakan dan pembakaran. Tidak jauh dari jalan raya, diareal persawahan terdapat dua mayat bergelimpangan, diduga mayat tersebut warga Desa Balinuraga. Dalam kerusuhan bentrok antar Warga di Desa Balinuraga, Senin (29-10). (Foto: Dok MKL)
Warga desa Agom dengan menunggang truk akan melakukan penyerangan terhadap warga desa Balinuraga.

Warga desa Balinuraga dengan membawa golok dan senjata lainnya siap menyerang warga desa Agom.


Soempah Batoe

Ampai rani Minggu pagi nambi “Soempah Pemoeda” tibaca luwot
Tengah bingi kaban sanak ngura rik ragah injukni keliwat marah
Derap langkahnya menderu, di genggaman mereka terkepal batu
Wajah memerah memendam amarah, menahan “sumpah serapah”
Di pinggang terselip klewang, parang, pedang, siap ditebaskan
Riuh suara rapal caci maki, di tangan terhunus belati siap melukai
Bambu runcing dan payan-payan teracung siap dihunjamkan

Karom, ribuan jalma jak pekon Agom nyerang pekonni jalma Bali
Andah tesinggung, piil pesenggirini mak dihargai ulun Balinuraga
Way Panji, menjelma ladang persemaian laga mengetam nyawa
Balinuraga, menjelma lautan api, melahap habis apa yang dijilatinya
Luluh-lantah rata, apa daya air mata tak kuasa memadamkannya
Sedu sedan merasa kehilangan, semua hasil usaha menjelma bara
Tak ada yang tersisa, pakaian pun tinggal yang melekat di badan
    
Aguy, alang mahalni rega harus tibayar negakkon piil pesenggiri
Piil, ya piil, apike dilom ngejunjungni kuti harus jadi pembunuh?
Ada kesenjangan tak disadari pemimpin, melahirkan kecemburuan
Ada dendam terperam, terpicu hasutan, lalu pecahlah pertikaian
Konflik yang terakumulasi, coba diselesaikan lewat amuk massa
Nyawa badan, nyawa rohani seperti tak ada harga, mati sia-sia
Amis darah dan bau jasad terbakar menyengat mencekam suasana
 
Ki aga tilapahi, mak pira biak ngejunjung rasasaling ngehargai
Kuncini paham adat ulun, hormati rik pegung jadi adat hurik jejama
Bukankah nenek moyang kita mewariskan jimat dan mewanti-wanti
Agar jimat itu dipakai: “di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”
Hendaklah memahami pentingnya hidup rukun, bersama berdampingan
Saling menghormati, adat istiadat dijaga, jangan sekali dipermainkan
Itulah keniscayaan kalau hendak merasakan nikmatnya kehidupan

Ana kerusuhan radu terjadi. Biak rik sakik rasa ki haga nyandangni
Kidang payu, ana gawi radu. Kantu dacok jadi pelajaranan introspeksi 
Perdamaian dan islah, itu pilihan jalan yang paling baik untuk ditempuh
Dan, mereka yang bertikailah sesungguhnya paling patut menempuhnya
Bukan tokoh apapun, yang tidak tahu persis apa persoalan sebenarnya
Kalau tokoh yang berdamai, tak akan menyentuh esensi sesungguhnya
Terlihat damai di atas tapi di bawah sana masih setia merawat kesumat

Ganta perdamaian tegakko rik tilapahi. Sapa juga dang mungker lagi
Laju jak seno, dang nihan mudah tikena jama hasutan jak kanan-kiri
Bahwa, “damai itu indah” siapa pun tahu. Tapi, hakikatnya seperti apa
Kita memercayai ajaran Tuhan, menyuruh hamba-Nya saling mengasihi
Tuhan yang kita puja sama, tapi kita namai Dia dengan sebutan berbeda
Kita duduk sama rendah di hadapan-Nya, tapi karena ego yang berbeda
Jadilah ada garis yang hilang di antara kita, memutus rantai persaudaraan

Sai ngerasa salah lapang hati kilu mahap. Bujanji mak ngulang kesalahan
Sai dikilui mahap ikhlas ngemahapko tian, dang ngehambat perdamaian
Saling memaafkan, itulah kunci pembuka pintu utama rumah kedamaian
Tak bisa memaksakan kehendak menjatuhkan tuduh pada satu pihak
Bahwa benar dan salah berbeda tipis, karenanya perlu kacamata tebal
Agar bisa menatap dan menyimpulkannya dengan adil, tanpa prasangka
Ini penting untuk menata kehidupan ke depan, sebab itu yang utama

Saling ngemahapko kesalahan rik tokko jaoh hasut dingki jak lom hati
Kelajuni, lapah beguai jejama ngelanjutko kehurikan sai lebeh betik
Puing-puing kesalahan mari kita singkirkan, jangan lagi dipelihara
Kalau masih bersemayam di hati, tak ubahnya bagai bara dalam sekam   
Suatu waktu bila ditiup provokator akan membesar menyulut prahara
Seperti yang terjadi kemarin, sebenarnya adalah kesalahan bersama
Jadi, tak ada satu pihak pun yang paling berhak menetapkan klaim

Aguy, alang sakikni punyandangan. Seragam sekula rik buku mutung
Padahal seno sarana ngelanggarko martabat. Sanak miwang lom hati 
Kalau otak sudah mampat, siapa yang bisa berhitung secara tepat
Harta atau nyawa, bukan merupakan pilihan berdasar hasil kalkulasi
Apapun jalan hitungannya, tak peduli diutak-atik jalan mencongak
Tabiat congkaklah yang muncul, membuat tatapan nanar segala mata
Lalu terjadilah malapetaka, entah harta entah nyawa tak lagi berharga

Sai haga ratong, mak ngidok cara barehni selain ngenjaga kesepakatan
Sesungguhni ram ji muari, jak sai apak sai kelabai: Adam rik Siti Hawa
Hanya dibedakan suku, itu menyangkut di mana kita dilahirkan belaka
Bukan semata-mata karena berbeda suku, sah bagi kita memusuhinya
Justru berbeda itu membuat makin eratnya jalinan tali persaudaraan
Bukan mengkotak-kotakkan, bukan memicu tercabiknya kerukunan
Di situlah indahnya Indonesia, dianugerahi etnis yang beragam rupa

Lapah ram jejama budu’a bukilu jama Tuhan niakko berkah jama ram
Ram Muslim basuh culuk sai telanjor kamak kena rah, lapah mit masjid
Mari kita tersungkur sujud, akui kesalahan telah menumpahkan darah
Sungguh Allah sangat murka terhadap hamba-Nya yang berbuat dosa
Tapi, atas kemurah-hatian-Nya, ampunan senantiasa Dia hamparkan
Istighosah qubro. Perbanyak istighfar, mohon dibuka pintu ampunan
Bersihkan hati yang dicemari karat hasut dengki dan iri mencemburui

Larunglah kesalahan, ngilu Tuhan nuntun hati dilom hening (embang)
Umat Hindu mit Pura-Pura, tunggai Tuhan Sang Hyang kilu ampunan
Mari pulanglah ke Pura, cari vibrasi kesejatian dari Parama Shanti
Betapapun mereka nyama selam, tak usah membuat sakit dipendam
Nanti mereka kembali lagi pada pemahaman, tak ada guna bertikai
Dan menyadari, sebenarnya banyak berkah dari keberadaan orang Bali

Bagini jalma Bali, kekerasan lain nihan pakaianni tian serani-rani
Cuba luleh wisatawan sai ratong mit Bali, api kidah sai disepok tian?
Betapa Bali dikagumi dunia karena terjaganya kultur kedamaian
Ketika bom teroris meledak, dunia menatap kagum ke Pulau Bali
Bukan karena batu yang dilemparkan ke rumah ibadah orang lain
Tapi, karena keluasan pandangan dan kedalaman sikap orang Bali
Kasih sayang lebih tinggi nilainya dibandingkan dengan hawa nafsu

Ram hurik pagun salah, sebab manusia. Induh ki radu jadi Malaikat
Sungguh mak patut ngaku benor tenggalan, ulun bareh salah unyin
Dualitas: benar-salah, baik-buruk, bersih-kotor, pribumi-pendatang
Janganlah dibuat sebagai pengukur dalam meletakkan landasan moral
Itulah sebab orang mencari pembenaran dalam melakukan kesalahan
Perbedaan itu rahmat Tuhan, maka jadikanlah kekuatan menerangi  
Demikian halnya kejahatan, dia pembanding bagi indahnya kebajikan

Ngapi ngeba kesalahan sepele, sampai ngelebonko harta rik nyawa
Bulajar arif ngeliak persoalan jak hati rik rasa, dang liwat emosi
Tak salah tetua di Jawa sejak ribuan tahun lampau telah meramalkan
Kelak akan datang zaman di mana kekerasan jadi suatu hal yang biasa
Sesungguhnya itu kekhawatiran nenek moyang terhadap keturunannya
Bahwa kekerasan itu begitu menakutkan, akan menghantui siapa saja
Apakah dia miskin atau kaya, apakah dalih kekuasaan ataupun agama


Bandar Lampung, Senin, 29 Oktober 2012  | 20:28

Terpublikasi di LAMPUNG EKSPRES plus | Sabtu, 24 November 2012 |


Semangat yang Tersisa

Kusesui-sesui dipa nihan salahni nunda tian Agom nyerang warga Bali
Rupani anjak laporanni sanak muli Agom diguda meranai Balinuraga
Sanak ngura rik ragah pekon Agom ngatur rencana ngelakukon serangan
Kanjak dibi rencaka tisepakati, “kanah bingi ram bugerak barong bukaban
Usung api ya juga sai wat di lamban, api ke cembatuk, pedang, samurai
Ki mak wat usahako nginjam, pokokni ngusung senjata ngasi kipak batu
“Itulah kisah terjadinya amuk massa, bentrok antardesa Way Panji”

Repa cerita, angkah tiguda meranai kok muli ruwa sina jadi ngelapor?
Ruwa sanak muli pekon Agom manjau midang mit pekon Balinuraga
Biasalah sanak remaja ganta, kok dibi-dibi tian midor cakak motor
Waktu teliyu di repong meranai, muli ruwano diguda oleh meranai sia
Induh repa, apike gugup sehingga tian ruwa tehumbak tiak jak motor
Sampai lamban tian ruwa cerita bahwa, jeno diguda meranai Balinuraga
“Beranjak dari sini cerita lalu menyebar dengan berbagai versi”

Nyak tanda tanya, sepa cerita sai paling benor. Versini bumacom-macom
Ruwa sanak mulino diguda sehingga gugup motorni oleng tian ruwa tiak
Sanak muli ruwano tehumbak, ratong meranai Balinuraga haga nulung
Halok semula memang temon niat haga nulung, kidang wat kesempatan
Jadi niat tulus berubah jadi kesempatan nyulik rik nowel-nowel cutik
Atau sebenorni angkah kesenggol mak senghaja, dianggap tian pelecehan
“Begitulah kisah yang memicu amuk massa, dan menuai nyawa”

Kusesui-sesui api kelajuanni seradu jak bentrok antardesa di Way Panji
Mati karom, sanak ngura rik ragah Agom nyuwah pekon Balinuraga
Pira lamban hangus jadi hambua, pira jasad tipanggang hurik-hurik
Pira muneh jalma sekadar katan ngutahko rah betebaran di rang laya
Ngerasa rabai bentrok susulan, pekon Balinuraga tikosongko
Sunyin wargani tiatot ngungsi mit Sekula Pelisi Negara di Kemiling
“Dahsyatnya amuk massa, penguasa dibuat tak berdaya”

Kusesui-sesui di Way Panji sai kutunggai mangi injuk pekon mati
Sunyin warga ngungsi ngehindar kantu ratong serangan lebeh parah
Kuliak tian di pengungsian. Aguy, aguy, alang malang nasibni badan
Hilian way mata radu bela, hiwang radu leju, angkah tinggal buatui
Mati sakik ngeliak pekon tibangun butahun-tahun, bela mutung sia-sia
Gara-gara persoalan sepele sampai nelon kurban harta rik nyawa
“Kalau cara pandang dan sikap telah rusak oleh kedunguan”

Ruka sinji alangke mudahni ulun numpokko kemarahan
Bumula anjak cerita sai versini bukembang, nyimpang jak sebenorni
Titambah-tambahi atau tikurangi. Wat nambah, wat muneh lebon
Bahko informasi kung jelas nihan, marah randu mena memuncak
Reno mula marah mak kenyin padom ki makkung tilampiasko
Ngelampiasko marah sai memuncak rupani bumacom muneh carani
“Masihkah ada: hati boleh panas, tapi kepala tetap dingin!?”

Nayah ulun lebon rasa belas kasihni andah ego sai nyadang
Cara ngeliak, cara bupiker rik ngakuk sikap injuk jalma buyan
Ngeba buyan, andah ngerasa benor diwik sai bareh salah unyin
Penyakik ngerasa paling pintor, paling kuasa, paling bijaksana
Sehingga ngeliak persoalan gegoh kuda sai tipakaiyi kacamata 
Alhasil persoalan lunik tibalak-balakko, sai balak tisepeleko
“Sikap menggampangkan jadi budaya baru di masyarakat”

Repa pai cara kenyin ego sai wat lom hati ram dapok tilunikko
Jak awal dang pernah naganko ia tuwoh sampai akhirni mubalak
Lebeh-lebeh tipupuk pakai rasa cemburu, dingki, rik busuk hati
Dang muneh titaganko ke wat ulun bareh aga nyiramko hasutan
Ki rajin ngelunikko ego sampai akhirni lebon jadi rasa balak hati
Ampai ram dapok nuwohko rasa kasih sayang jama ulun sebareh
“Begitulah cara membawa pencerahan yang didambakan”

Ulun sai ngerasa tercerahkan, cutik ia mak ngerasa kalah
Kipak dihantam serangan amuk massa rik tikalahko
Sebab di lom hati lunikni radu saka bersemayam ruh kebajikan
Kipak sakik badan kidang lapang dada nerima api sai dialami
Senolah sai kuliak di pancaran mata jalma Bali di pengungsian
Lalang waya, gurau rik rasa optimis akan kehurikan selanjutni
“Betapa mengagumkan kedalaman sikap yang mereka punya”

Jalma Bali sai ngedok jiwa seni tinggi, panjak nihan di sikapni
Dilom ngukir patung, seolah-olah tian memaksa kayu jadi kalah
Padahal sai diguwaiko tian angkah ngebentuk rik ngehalusko
Akhirni di balik kekalahan kayu, menjelma karya bernilai seni
Renolah, segala gerak hurikni tian mak tilepas jak landasan seni
Dilom nerima kekalahan goh tian mengedepankan kebesaran jiwa
“Memang diperlukan seni dalam menghidangkan kemuliaan”

Falsafah perang bagini jalma Bali, mak lain tekad sampai menang
Pantang mulang ki makkung menang,” patokan kuat dipegung tian
Kidang perang lom reti sesungguhni. Sehadap-hadapan secara bakas
Apilagi ke masalahni mempertahanko harga diri. Tekadni tian bulat
Liak Tari Legong. Sai nyeritako sejarah perang ngelawan penjajah
Saking jiwa senini tian tinggi, perang diekspresiko dilom bentuk tari
“Tapi, kalau diserang secara tiba-tiba. Siapapun pasti akan kalah”

Di jaman ganta ulun hiruk pikuk nyepok cara repa kenyin menang
Mak peduli jalan api ya juga sai ditempuh mencapai kemenangan
Segung kanan, tampar kiri, jujun tiakko, ilik di bah, belak di atas
Mati liyom ki sampai kalah, apilagi ki sampai ngegadaiko harta
Bagini jalma Bali, mak api lamban mutung asal kebun maseh wat
Retini harta benda maseh dapok tisepok, maseh wat peluang pulih
“Namun, selama masih tersisa semangat, kehidupan akan cerah”

Kacah sakik hatini tian, bela harta benda andah lamban kena suwah
Kidang semangat sai maseh tersisa ditambah keguyub-rukunan tian
Warga Balinuraga balak kehaga ngulohko kejayaan ekonomi sai bela
Sarana tisedia: wat kebun rik sabah. Tinggal ngerasko niat rik usaha
Mak ngidok guna tegambuy lom hiwang. Meratapi sakikni penderitaan
Anakni tian butuh biaya untuk sekula, sebab pengetahuan lebeh buguna
“Optimis menatap masa depan. Itulah obat mujarab penyembuh luka”

Balak kehaga rik keras niat buusaha aga ngulohko kejayaan ekonomi
Senolah nunda tian mak aga saka-saka buhinip tinggal di pengungsian
Repa juga pokokni mulang mit pekon. Gageluk aga ngerubah nasib
Kipak pekon porak-poranda, lamban-lamban mutung, barang hancor
Rasa kahut jama anak umpu. Seno jadi pemompa semangat berubah
Kipak sarana belajarni tian bela. Kericop matani tian tajom berbinar
“Bahwa di tatapan mata anak-anak itu mereka melihat sinar kekuatan”


Bandar Lampung, Senin, 29 Oktober 2012  | 21:14

Terpublikasi di LAMPUNG EKSPRES plus | Sabtu, 1 Desember 2012 |


Dalam Keluasan Pandang

Sesungguhnya siapa yang jadi korban amuk massa Way Panji?
Semua korban. Warga Agom korban, warga Balinuraga korban
Begitu. Kalau mau memandang konflik dari sisi kemanusiaan
Tapi, apakah para pejabat dan tokoh yang hilir mudik di sana
Tahu persis tentang ini. Atau sekadar hiruk-pikuk kebingungan
Tak tahu banyak persoalan, tak juga tahu mesti berbuat apa

Sesungguhnya apa yang jadi pangkal soal terjadinya konflik?
Banyak soal. Bukan hanya kecemburuan sosial, bukan SARA
Begitu. Soal itu terakumulasi dari konflik-konflik sebelumnya
Karena tatanan sosial tidak dikelola menjadi lebih produktif
Membuahkan potensi konflik yang aktual. Siap pecah kapan saja
Bila mengalami eskalasi, terjadilah konflik baru yang lebih seru

Siapa korban. Sesungguhnya, ini yang perlu dilacak ke akarnya
Agar ketemu sumber masalah sebenarnya. Bukan dikaburkan
Bahwa warga Agom korban. Warga Balinuraga juga korban
Tidak bisa dinafikan. Sebab merekalah yang berkonflik
Karena itu, merekalah yang seharusnya menegakkan perdamaian
Penguasa dan tokoh cukup jadi mediator. Harus berlaku adil

Ide besar tentang perdamaian. Ditempuh dengan rekonsiliasi
Warga Agom, warga Balinuraga, keluarga korban, dan uspida
Duduk sama-sama menjalankan proses rekonsiliasi tersebut
Tak ada pilihan jalan lain selain berdamai, dan kembali rukun
Rasa kemanusiaan kedua belah pihak harus dipulihkan segera
Uspida harus menjamin adanya kesamaan di kemudian hari

Mungkin ada rasa “diperlakukan tidak sama” yang mengganjal
Baik dalam perasaan warga Agom, maupun warga Balinuraga
Hendaknya dipunah-habiskan. Agar kecemburuan terhapus
“Jiwa yang terluka” akibat traumatis berat yang mereka alami
Terutama oleh anak-anak dan kaum perempuan. Pulihkan!
Jangan dibiarkan terlalu lama mereka menanggungkannya

Kerugian material yang diakibatkan prahara membabi buta
Baik secara swadana maupun ditanggung renteng bersama
Adalah tugas pemerintah untuk mengupayakan fasilitasinya
Mobilisasi dana dari parapihak hendaknya tersalur seluas-luasnya
Demi kembali tegaknya rumah-rumah yang hangus dibakar
Tak lain tujuannya demi kelangsungan hidup selanjutnya

Dalam keluasan pandang kita melihat konflik dari sudut manapun
Yang terlihat adalah para korban dengan segala penderitaannya
Lalu siapa yang rugi? Semua yang terlibat ternyata mengalaminya
Korban menderita kerugian secara material itu sudah barang tentu
Yang melakukan penyerangan pun tak serta merta merasa menang
Sesungguhnya dalam hati kecilnya terselip “perasaan bersalah”

Perasaan bersalah itu akan jadi kenangan pahit sepanjang hidupnya
Hanya saja, terkadang orang keblinger oleh hiruk-pikuk hasut massa
Sesungguhnya tak tahu persoalan sebenarnya, ikut-ikutan histeria
Dalih piil, kesukuan, agama, kebersamaan, atau entah apa namanya
Padahal semua itu absurd. Tata nilai yang dibuat hilang, itu sejatinya
Karena Pancasila telah dipendam dalam-dalam dan tak lagi diziarahi


Bandar Lampung, Selasa, 30 Oktober 2012  |  08:48

Terpublikasi di LAMPUNG EKSPRES plus | Sabtu, 8 Desember 2012 |


Lubang Hitam Tragedi

Siapa keluar sebagai korban dalam setiap tragedi?
Air mata siapa paling mengalir di barak pengungsi?
Anak-anak dan kaum perempuan, kalian tak sadari!
Karena energi kalian habis mengumbar caci-maki
Akal pikiran waras kalian mampet tersumbat emosi
Hawa nafsu kalian pun silau oleh tajamnya belati
Untuk secepatnya membuat lubang-lubang misteri
Di tubuh-tubuh musuh yang tak satu pun menyadari
Bahwa tubuhnyalah yang kemudian dituju sang belati

Mungkin bayi-bayi masih bisa menghibur diri sendiri
Dengan racau suaranya yang tak seorangpun memahami
Meski di lubang susu ibunya hanya tertinggal ASI basi
Tersebab ransum makan jatah konsumsi hampir basi
Tak lagi memenuhi standar gizi, karena hanya mi
Yang tak mengerti, tak juga menghendaki tragedi
Hanya pasrah menerima apa yang tak bisa dihindari
Sambil mencatat dalam ingatan dan imajinasi
Apa yang kelak akan jadi lubang hitam dalam hati

Lubang hitam di hati, melahirkan perih begitu ngeri
Setiap kali mata melihat lagi bekas hunjaman belati
Ingatan terngiang ulang deru langkah orang berlari  
Mengejar mimpi menjadi seorang paling gagah berani
Bila berhasil menikam musuh dengan sadis tak terperi
Sebab amis darah baginya wangi bagai kembang melati
Itulah sebab jenazah dikalungi dengan roncean melati
Hanya sekedar menyegarkan amis darah tak terciumi
Para pengantar di tempat upacara pemakaman nanti


Bandar Lampung, Selasa, 30 Oktober 2012  |  09:18

Terpublikasi di LAMPUNG EKSPRES plus | Sabtu, 8 Desember 2012 |


Kredibilitas itu Mahal, Coy!

Jangan pernah menduga hanya korban konflik yang paling merugi
Pemimpin Daerah pun merasa rugi. Secara politis dan material
Secara politis, dia dipandang tidak berhasil mengelola hajat hidup
Bahwa keragaman yang ada di lapisan bawah masyarakatnya
Sumber kekuatan bagi kepemimpinannya. Bila tahu tentang itu
Dan penuh kemauan mengelolanya secara sungguh-sungguh
Bisa juga sumber kelemahan. Bila tak tahu, dan tak pula mau tahu
Begitu saja mengabaikannya dengan rasa seperti tak ada beban
Hanya bekerja seperti tanpa program dan skala prioritas yang tepat
Yang terjadi, apa yang dia perbuat seperti tak membawa manfaat
Karena tak terlihat jejaknya secara nyata wujud dan peruntukannya
Tak juga dinikmati masyarakat, sehingga mereka merasa bahagia
Jangan pula menduga rakyat hanya diam menerima apa adanya
Dalam hati mereka menyimpan azimat mantra mandraguna
Lalu memberikan nilai untuknya: “telah gagal dalam memerintah”

Secara material, apapun bentuk kerugian yang diderita korban
Harus diselesaikan dengan ketersediaan anggaran ekstra besar
Artinya harus memperbesar nilai rupiah dalam APBD Perubahan
Harus memancing kebesaran hati mereka yang bersafari dan berdasi
Yang mendakwa dirinya “wakil rakyat” tapi hanya sebutan belaka
Sejatinya hanya mewakili “diri sendiri, anak-istri, dan para kroni”
Dengan mereka harus diperjuangkan posisi tawar yang ruwet
Bargaining mulur mungkeret dalam rapat agar APBD-P disetujui
Baru dana bisa dicairkan untuk kepentingan rekonstruksi kerugian
Harus pula menyentuh keseluruhan korban secara adil dan merata
Demi menghindari peluang timbulnya kecemburuan sosial baru
Yang akan melahirkan sumber konflik berpotensi lebih dahsyat
Karenanya, keniscayaan dalam menegakkan sebuah pemerintahan
Harus pandai-pandai mendudukkan persoalan dan menyikapinya
Memang mahal tarif sebuah “kredibilitas dalam kepemimpinan”


Bandar Lampung, Selasa, 30 Oktober 2012  |  10:22

Terpublikasi di LAMPUNG EKSPRES plus | Sabtu, 8 Desember 2012 |




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.