Perguruan tinggi semakin tidak
mampu mengejar perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang
sangat pesat, kata Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia
Kementerian Komunikasi dan Informatika Aizirman Djusan.
“Sebenarnya 250 program studi
di perguruan tinggi di Indonesia meluluskan 300 ribu tenaga TIK per tahun
sehingga secara kuantitatif cukup,” kata Aizirman di sela penutupan program Telecom Seeds for the Future di Kantor
Pusat pabrik Huawei di Shenzhen, China.
Namun secara kualitatif,
menurut dia, kurang, karena perkembangan TIK sangat pesat dan cepat berubah,
sementara untuk mengubah dan menambah kurikulum dan program studi dalam rangka
mengikuti perkembangan tersebut cukup lamban.
“TIK berkembang makin pesat
beberapa tahun terakhir ini dan sulit dikejar oleh perguruan tinggi. Karena
itulah program semacam yang dilakukan Huawei ini bisa membantu lulusan dan
mahasiswa kita jadi semakin paham perkembangan baru TIK sebelum memasuki dunia
kerja,” katanya.
CSR
Program beasiswa pelatihan di Kantor Pusat Huawei di Shenzhen,
China, selama satu minggu yang merupakan CSR (Corporate Social Responsibility = tanggung jawab sosial perusahaan)
dari Huawei itu diikuti 15 peserta dari Institut Teknologi Bandung (ITB) dan
Institut Teknologi Telkom (ITT).
Aizirman berharap, dengan
pelatihan semacam ini lulusan universitas akan lebih siap, apalagi pada 2015
Indonesia akan menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN sehingga mereka harus
bersaing dengan tenaga kerja dari negara-negara ASEAN lainnya mengisi pasar
kerja di dalam negeri dan ditantang untuk juga mengisi pasar ASEAN.
“Saya harap
perusahaan-perusahaan TIK lainnya yang berinvestasi di Indonesia mengikuti
jejak Huawei yang memiliki fokus program pada pengembangan SDM TIK. Produk
peralatan TIK Huawei memang digunakan 50-60 persen operator telepon di
Indonesia,” katanya.
Sementara itu, salah seorang
peserta dari ITB Satrio Danuasmo mengatakan ilmunya tentang TIK semakin
bertambah, khususnya karena di kantor pusat Huawei ia bisa melihat langsung
pabriknya dan labnya yang memiliki peralatan lengkap.
“Sebenarnya pelajarannya mirip
dengan yang diajarkan di kampus, tapi saya bisa lebih melihat praktek langsung
tentang teknologi LTE, networking,
optik, dan lain-lain. Sayangnya terlalu singkat sehingga banyak topik yang
dilompati,” katanya.
Ia juga menyatakan sangat
terkesan dengan budaya China dan iklim kerja di Huawei, seperti prinsip kerja
keras, efisien, konsisten dan berorientasi pada kepuasan pelanggan.
“Perusahaan ini baru berdiri
pada 1988 oleh enam orang dengan modal 1.500 dolar AS, tapi sekarang
pendapatannya sudah 11.000 kalinya, dengan karyawan sekitar 150.000 orang. Ini
bisa menjadi bekal semangat bagi saya,” katanya.
Dewanti L | Jumat, 21-11-2013 |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.