Senin, 25 November 2013

Perkembangan TIK Makin tak Terkejar

Perguruan tinggi semakin tidak mampu mengejar perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang sangat pesat, kata Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Komunikasi dan Informatika Aizirman Djusan.
“Sebenarnya 250 program studi di perguruan tinggi di Indonesia meluluskan 300 ribu tenaga TIK per tahun sehingga secara kuantitatif cukup,” kata Aizirman di sela penutupan program Telecom Seeds for the Future di Kantor Pusat pabrik Huawei di Shenzhen, China.
Namun secara kualitatif, menurut dia, kurang, karena perkembangan TIK sangat pesat dan cepat berubah, sementara untuk mengubah dan menambah kurikulum dan program studi dalam rangka mengikuti perkembangan tersebut cukup lamban.
“TIK berkembang makin pesat beberapa tahun terakhir ini dan sulit dikejar oleh perguruan tinggi. Karena itulah program semacam yang dilakukan Huawei ini bisa membantu lulusan dan mahasiswa kita jadi semakin paham perkembangan baru TIK sebelum memasuki dunia kerja,” katanya.
CSR
Program beasiswa  pelatihan di Kantor Pusat Huawei di Shenzhen, China, selama satu minggu yang merupakan CSR (Corporate Social Responsibility = tanggung jawab sosial perusahaan) dari Huawei itu diikuti 15 peserta dari Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Institut Teknologi Telkom (ITT). 
Aizirman berharap, dengan pelatihan semacam ini lulusan universitas akan lebih siap, apalagi pada 2015 Indonesia akan menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN sehingga mereka harus bersaing dengan tenaga kerja dari negara-negara ASEAN lainnya mengisi pasar kerja di dalam negeri dan ditantang untuk juga mengisi pasar ASEAN.
“Saya harap perusahaan-perusahaan TIK lainnya yang berinvestasi di Indonesia mengikuti jejak Huawei yang memiliki fokus program pada pengembangan SDM TIK. Produk peralatan TIK Huawei memang digunakan 50-60 persen operator telepon di Indonesia,” katanya.
Sementara itu, salah seorang peserta dari ITB Satrio Danuasmo mengatakan ilmunya tentang TIK semakin bertambah, khususnya karena di kantor pusat Huawei ia bisa melihat langsung pabriknya dan labnya yang memiliki peralatan lengkap.
“Sebenarnya pelajarannya mirip dengan yang diajarkan di kampus, tapi saya bisa lebih melihat praktek langsung tentang teknologi LTE, networking, optik, dan lain-lain. Sayangnya terlalu singkat sehingga banyak topik yang dilompati,” katanya.
Ia juga menyatakan sangat terkesan dengan budaya China dan iklim kerja di Huawei, seperti prinsip kerja keras, efisien, konsisten dan berorientasi pada kepuasan pelanggan.
“Perusahaan ini baru berdiri pada 1988 oleh enam orang dengan modal 1.500 dolar AS, tapi sekarang pendapatannya sudah 11.000 kalinya, dengan karyawan sekitar 150.000 orang. Ini bisa menjadi bekal semangat bagi saya,” katanya.
Dewanti L | Jumat, 21-11-2013 |

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.