Melanjutkan
tulisan yang berjudul “Nikah di KUA atau di Rumah” yang telah diposting tanggal
20 Januari 2015, kali ini akan dibahas masalah kehidupan pasangan pengantin
pascapernikahan, yaitu kehidupan berumah tangga. Ke mana bahtera rumah tangga
akan dilayarkan? Jawabannya tergantung masing-masing pasangan pengantin. Ada
yang menjawab, tentu ke arah kehidupan yang bahagia. Ada yang menjawab lebih
spesifik lagi, yaitu membangun keluarga yang samara (sakinah, mawaddah,
warahmah). Lalu, kalau ditanya bagaimana cara mencapai itu semua? Pada umumnya
menjawab, akan menjaga kerukunan agar tidak terjadi konflik yang mengarah
kepada perceraian.
Fungsi Perkawinan
Sebelum
membahas masalah perceraian, ada baiknya dibahas terlebih dahulu mengenai sisi
kehidupan berumah tangga. Rumah tangga yang dibangun berlandaskan perkawinan,
setidaknya harus memenuhi tiga fungsi pokok perkawinan:
1. Mengembangbiakkan jenis manusia, sebagaimana difirmankan Allah
Subhanahu wata’ala: “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu
yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan daripadanya Allah
menciptakan istrinya, dan dari keduanya Allah mengembangbiakkan
laki-laki dan perempuan yang banyak.” (Q.S. An-Nisaa’ [4] : 1)
2. Membentuk kehidupan suami-istri dengan tenteram, lega, selaras,
saling mengasihi dan penuh pengayoman, sebagaimana Allah nyatakan: “Dan di
antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari
jenis kamu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya,
dan dijadikan-Nya di antara kamu rasa kasih dan sayang.” (Q.S. Ar-Ruum
[30] : 21)
3. Memperkuat ikatan keluarga dan memperkokoh hubungan kekeluargaan
dan perbesanan, yang mana hubungan kekeluargaan ini menjadi sendi ikatan
masyarakat yang sehat, sehingga tanggung jawab sosial dapat dilaksanakan dengan
baik, sebagaimana Allah nyatakan: “…..Dan bertakwalah kepada Alloh yang
menjadi tempat kamu saling memohon serta berhati-hatilah terhadap urusan
keluarga.” (Q.S. An-Nisaa’ [4] : 1)
Dengan demikian
perkawinan merupakan fungsi pokok untuk mengatur fitrah manusia yang saling
tertarik antara laki-laki dan perempuan, sebagaimana Allah nyatakan: “Mahasuci
Allah yang telah menciptakan segala-galanya itu berpasangan, baik
tumbuh-tumbuhan maupun manusia dan makhluk-makhluk lain yang tidak kamu ketahui.”
(Q.S. Yaasiin [36] : 36)
Dasar Terjadinya Perkawinan
Kalau sudah
diketahui perihal fungsi pokok perkawinan, maka dalam menyiapkan pernikahan
hendaklah diperhatikan hal-hal berikut:
1. Pernikahan dilakukan atas dasar suka sama suka dan bukan karena
ada paksaan pihak lain. Tidak dibenarkan memaksa seorang laki-laki untuk
menikah dengan seorang perempuan yang tidak disukainya, atau memaksa perempuan
untuk menikah dengan laki-laki yang tidak dicintainya.
Alloh Subhanahu wata’ala
berfirman: “Ya ayyuhalladziina amanuu laayahillu lakum antaritsuun-nisaa-a
karha (wahai orang-orang mukmin, tidak dihalalkan bagimu mewarisi
perempuan secara paksa)” Q.S. An-Nisaa’ [4] : 19)
2. Ada wali nikah. Tidak dinyatakan sah suatu pernikahan tanpa
adanya wali. Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tak ada
nikah tanpa wali.”
Kecocokan Pasangan
Untuk
tercapainya predikat samara (sakinah, mawaddah, warahmah) dalam suatu
perkawinan, tentu harus memenuhi kriteria kecocokan pada pasangan suami-istri.
Kecocokan ini meliputi wujud lahiriah berupa fisik dan batiniah berupa psikis
(cantik lahir batin bagi perempuan). Cantik secara lahiriah bagi seorang
perempuan bermakna: memiliki postur tubuh yang ideal dalam arti tidak terlalu
kurus atau gemuk, sehingga mata suaminya akan senang memandangnya. Bila
bertutur kata lemah lembut, sehingga enak mendengarnya. Keadaan demikian itu
akan mendatangkan kesenangan dan ketentraman. Begitu juga bagi si laki-laki, memiliki wajah yang rupawan meski tidak ganteng-ganteng amat, namun memiliki perilaku santun dan sikap mengayomi. Sehingga cenderung memberi perlindungan bagi pasangannya. Dengan demikian, apa yang digambarkan
dalam firman Allah dalam Q.S. Ar-Ruum [30] : 21) yang telah disebutkan di atas,
benar-benar terwujud.
Sedangkan makna
cantik secara batiniah adalah: perempuan yang memiliki kesempurnaan agama dan
budi pekerti (taat beribadah dan berkarakter). Ketika ada sahabat bertanya
kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, tentang perempuan yang baik, beliau
menjawab: “Yaitu perempuan yang ketika dipandang menyenangkan hati suaminya,
ketika diperintah ia taat kepadanya, dan tidak pernah menyalahi suami
dalam menjaga dirinya sendiri dan harta suami, dengan melakukan sesuatu
yang tidak disukai suaminya.”
Perceraian
Perceraian?
Kata ini senantiasa menjadi momok menakutkan bagi semua pasangan suami-istri
tanpa kecuali. Ya, perceraian yang di dalam hadis Nabi Shallallahu ‘alaihi
wasallam disebutkan: “Bahwa perkara halal yang paling dibenci Allah adalah
talak.”
Walaupun nenurut
hukum talak itu makruh dilakukan namun pada kenyataannya banyak yang
melakukannya. Walaupun menjadi momok yang ditakuti semua pasangan suami-istri
akan tetapi tak ada yang kuasa menghindar darinya. Manakala terjadi perceraian,
maka sirnalah semua tujuan baik tentang dibangunnya mahligai rumah tangga, dan
putuslah tali ikatan keluarga kedua belah pihak suami dan istri, sebagaimana
yang disebutkan dalam Q.S. An-Nisaa’ [4] : 1.
Tak bisa
dipungkiri, kalau ada peristiwa pernikahan, niscaya akan ada peristiwa
perceraian.
Perceraian
biasanya terjadi bila:
1.
Manakala kesakralan
perkawinan tidak lagi dirasakan oleh satu pasangan suami-istri.
2. Bahtera rumah tangga tidak
lagi dipandang pantas untuk dikayuh berdua dalam mengarungi kehidupan.
3.
Ada keinginan kuat dari
salah satunya (suami atau istri) untuk lepas dari ikatan perkawinan.
4.
Tidak ada lagi penghormatan
atau pemuliaan dari salah satunya (suami atau istri).
5.
Terdapat kesenjangan
penghasilan di antara keduanya.
6. Faktor belum mendapatkan keturunan juga sering jadi penyebab
terjadinya perceraian.
Terlepas apa
persoalan pemicunya, kalau tercapai kesepakatan bahwa bahtera rumah tangga
tidak bisa lagi dilarungkan bersama, satu-satunya jalan yang sebaiknya ditempuh
adalah bercerai.
Kuat tidaknya
keputusan cerai diambil, akan dipengaruhi oleh beberapa hal:
1. Kematangan berpikiran
pasangan suami-istri yang dirundung masalah perkawinan. Semakin matang pola
pikir keduanya atau salah satunya dalam mempertimbangkan baik tidak (positif
negatif) melakukan perceraian, maka semakin kecil kemungkinannya bercerai.
2. Ada tidaknya campur tangan pihak ketiga yang memprovokasi atau mempersuasi. Pihak ketiga bisa datang dari lingkungan keluarga keduanya atau dari luar misalnya teman di tempat bekerja atau teman berkencan (selingkuhan). Yang memprovokasi tentu mengarah kepada anjuran untuk memutuskan bercerai, dan yang mempersuasi arahnya pastilah menganjurkan untuk jangan bercerai.
2. Ada tidaknya campur tangan pihak ketiga yang memprovokasi atau mempersuasi. Pihak ketiga bisa datang dari lingkungan keluarga keduanya atau dari luar misalnya teman di tempat bekerja atau teman berkencan (selingkuhan). Yang memprovokasi tentu mengarah kepada anjuran untuk memutuskan bercerai, dan yang mempersuasi arahnya pastilah menganjurkan untuk jangan bercerai.
3. Pertimbangan lain, misalnya
psikologis anak (bagi pasangan yang telah memiliki buah hati). Biasanya,
keberadaan anak akan menciptakan situasi sulit satu pasangan suami-istri untuk
memutuskan bercerai. Dan, demi anak juga kadangkala justru membuat suatu
keputusan bercerai makin bulat diambil. Artinya, tergantung dari sudut mana
kedua pasangan suami-istri memandang baik tidaknya perceraian bagi si buah
hati.
4. Model, yaitu individu atau
pasangan tertentu yang dipandang layak menjadi contoh. Dalam melakukan
perceraian, satu pasangan suami-istri akan
terpengaruh lingkungan di mana mereka lahir dan dibesarkan. Kalau datang dari
keluarga yang utuh akan memberi dampak positif bagi keutuhan rumah tangga
keduanya. Sebaliknya, bila berasal dari keluarga broken home juga bisa
memberi pengaruh kuat menciptakan keluarga yang pecah berantakan.
5. Tim penengah, yaitu pihak ketiga yang memediasi. Dalam hal ini biasanya dilakukan pihak Pengadilan Agama bersama pihak keluarga kedua belah pihak (suami-istri). Biasanya, sebelum perkara perceraian disidangkan, lembaga pengadilan akan melakukan mediasi agar kedua belah pihak mengurungkan niatnya bercerai. Bila usaha mediasi berhasil, perkara perceraian akan berakhir damai atau rujuk kembali.