Sabtu, 28 Maret 2015

Misteri Bernama Kematian

Kematian

bahwa semua rahasia itu milik Tuhan
tentang kematian pun kita semua awam
misterinya terlampau dalam untuk diselam

bahwa semua kejadian itu otoritas Tuhan
tentang kematian pun kita tak mengerti
misterinya terlampau tinggi untuk dikaji

bisa tidak bisa, harus sanggup menghadapi
begitulah, bila takdir kematian saatnya tiba
tak seorang pun bisa berdamai dengannya

siap tidak siap, harus bersedia menerima
begitulah, bila batas perjalanan segera berakhir
tak seorang pun bisa menunda keberangkatan 

mau tidak mau, harus siap kembali ke Sisi-Nya
begitulah, bila napas kehidupan harus berhenti
tak seorang pun bisa mengelak barang sejenak

”Allahumma’jurni fi mushibati wa ahlif li khairan minha”

musibah dan kematian memang sudah dijanjikan,
kapan akan terjadi kita mesti ikhlas menerima

Sabtu, 28-03-2015


*) mengenang Yoga “Olga” Syahputra bin Nurokhman (8-02-1883 – 27-03-2015) Meninggal di RS Mount Elizabeth Singapura, Jumat, 27-03-2015, pukul 17.17 waktu setempat (16.17 WIB), dan dimakamkan di TPU Pondok Kelapa, Jakarta Timur, Sabtu, 28-03-2015 pukul 12.30 WIB.


Mengenai kematian (maut), bisa diselami pada kutipan Surah dan ayat Alquran berikut ini:

قُلْ إِنَّ الْمَوْتَ الَّذِي تَفِرُّونَ مِنْهُ فَإِنَّهُ مُلاقِيكُمْ ثُمَّ تُرَدُّونَ إِلَى عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ

Katakanlah: ”Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Alloh), yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”. [Q.S. Al-Jumu’ah (62) : 8]

وَمَا جَعَلْنَا لِبَشَرٍ مِنْ قَبْلِكَ الْخُلْدَ أَفَإِنْ مِتَّ فَهُمُ الْخَالِدُونَ

كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَنَبْلُوكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ 

Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seseorang manusia pun sebelum kamu (Muhammad), maka jikalau kamu mati, apakah mereka akan kekal? Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kami lah kamu dikembalikan. [Q.S. Al-Anbiyaa’ (21) : 34-35]


تَبَارَكَ الَّذِي بِيَدِهِ الْمُلْكُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ

Maha suci Alloh yang di Tangan-Nya lah segala Kerajaan, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Mahaperkasa lagi Mahapengampun. [Q.S. Al-Mulk (67) : 1-2]  
*****
Almarhum Yoga Olga Syahputra
Ada beberapa kali mataku tercekat saat menonton acara tv. Terutama yang mempertontonkan derita (kesedihan) orang. Sabtu (28-03-2015) kemarin, untuk kesekian kalinya mataku tercekat. Manakala menonton tayangan live dalam acara ”Mengenang Olga Syahputra. Dan, setelah sepanjang hari tercekat di acara beberapa stasiun tv yang secara bergantian berpindah chanel dan jam tayang, akhirnya air mataku meleleh juga ketika menonton kilas balik acara Kata Hati di Indosiar pada tahun 2013 yang dipresenteri Raffi Ahmad, ditayangkan ulang sore harinya.
Sosok fenomenal di jagad komedi Tanah Air ini lahir pada 8 Februari 1983. Dia meniti karir di panggung hiburan sejak dari NOL banget. Dari sekedar jadi penonton artis beranjak jadi asisten artis. Di antara artis yang biasa dibantunya adalah Rita Sugiarto. Ke mana pun biduanita dangdut era-80-an itu manggung, Olga selalu turut serta. Karena, Olga selalu jadi ”tukang” bawakan tas make up Rita Sugiarto.
Kemudian, foto model Betrand Antolin. Awal perkenalan Betrand dengan sosok Olga bermula di sebuah Mal, saat itu dengan pedenya Olga yang saat itu pakai baju SMA mendekati Bertrand untuk sekedar berkenalan dan meminta tandatangan. Sebuah kebiasaan yang dilakukan Olga saat berjumpa artis adalah minta tandatangan dan foto. Di dekat rumah Olga di Cipinang ada satu rumah besar yang selalu dijadikan tempat shoting film. Olga setiap hari nonton orang yang shoting itu untuk sekedar berkenalan dan minta foto artis.

Karena setiap hari (siang malam) Olga ke situ, Olga sering diminta bantu untuk memebelikan makanan artis-artis yang shoting. Di situlah Olga kenal dengan Tante Yoade, yang kemudian mengenalkan Olga dengan Aditya Gumay, pemilik Sanggar Ananda. Olga diminta Aditya untuk main di acara Lenong Bocah. Sangkaan Olga langsung main sebagai salah satu pemeran dalam acara. Tapi, nggak tahunya disuruh dulu belajar dan latihan di Sanggar Ananda. Betapa menyedihkannya perjalanan Olga untuk bisa ikut latihan di Sanggar yang sejatinya harus bayar iuran itu, padahal Olga adalah orang tak berpunya.

Belajar seni peran di Sanggar Ananda, Olga berempat sekawan dengan Ruben Onsu, Lia Waode dan Chika Waode. Di samping anggota sanggar lainnya seperti Tina Toon, Melissa Grace, Noval, dan lainnya. Ruben dan Olga sering ngojek bareng dari Slipi ke Sanggar Ananda di Pintu Senayan. Menurut Ruben, Olga pernah bilang kalau kita udah terkenal Lu jangan lupa kalau kita pernah ngojek bareng di Slipi.” Bahkan pernah satu kamar kost di rumah susun, saling melengkapi kebutuhan dari duit yang ada. Misal, kalau Olga beli gayung maka Ruben beli sikat dan pasta giginya. Sewaktu casting pun keduanya saling bergantian baju agar tidak terlihat itu-itu saja bajunya. Ditolak ikut casting karena muka penuh jerawat, adalah kenangan yang tak dilupakan Ruben.

Akhirnya, Olga memang main di acara ”TINA TOON & LENONG BOCAH MOVIE” tahun 2004 bersama Tina Toon dan Melissa disutradarai oleh Aditya Gumay. Akhirnya, Olga dan Ruben memang terkenal. Itu semua berkat kerja keras yang begitu ulet mereka perjuangkan. Sampai suatu hari, tatkala uang iuran sudah menumpuk belum dibayar, Olga minta izin emaknya untuk menjual kulkas agar bisa bayar iuran di Sanggar. Olga berceritera ke Betrand tentang kesulitannya menanggung utang ke sanggar, Bertrand pun melarang Olga menjual kulkas, dan memberikan uang untuk Olga membayar iuran itu. Tapi, itu hanya sesaat.   
Ruben Onsu menangisi kepergian sobat seperjuangannya untuk selama-lamanya
Setelah itu Olga tetap saja dibelit utang. Olga Ngomong ke mbak Ijah (asistennya Aditya Gumay) untuk mundur dari sanggar karena sudah tak kuat untuk membayar iuran. Oleh mbak Ijah disarankan untuk menghadap langsung Aditya, Olga pun masuk ruang kerja Aditya Gumay untuk ngomong, oleh Aditya Olga dibebaskan dari kewajiban membayar iuran. Tidak ahanya itu, perjuangan Olga dari rumah sampai ke Sanggar di Pintu Senayan, harus ditempuhnya naik bus kemudian dilanjutkan jalan kaki. Pokoknya benar-benar dari NOL hingga akhirnya sukses di dunia entertainment. From ZERO To HERO.
Sosok pekerja keras ini, kerja dan terus kerja. Karena sebagai anak sulung dari tujuh bersaudara, praktis dialah tulang punggung keluarga. Sayangnya, dalam kerasnya bekerja, Olga tidak membarenginya dengan pola hidup yang sehat dan teratur. Konon, dalam satu hari Olga bisa lima kali mengonsumsi mie instant, junk food dan makanan berminyak (goreng-gorengan). Mungkin dipicu pola makan yang tidak sehat sementara ritme bekerjanya dari satu program ke progam lainnya pada stasiun televisi berbeda-beda, sehingga secara diam-diam penyakit radang selaput otak (meningitis) bersemayam dalam badannya dan menggerogoti daya tahan tubuhnya. Setelah dirawat satu minggu di RS Pondok Indah Jakarta, sejak 24-4-2014, akhirnya sejak 3-5-2014 Olga dirawat selama 11 bulan di RS Mount Elizabeth Singapura, dengan kondisi sesekali hilang kesadaran 2-3 hari. Hingga akhirnya, pada Jumat, 27-2-2015 Olga harus menyerah pada sandaran takdir, meninggal di usia muda, 32 tahun.
Suhu Naga
Di penghujung tahun, biasa ada paranormal wara-wiri di layar tv meramal nasib seseorang. Kalangan artis yang banyak coba menerawang nasibnya. Setelah Mama Lorent meninggal, Suhu Naga jadi sosok peramal yang meneruskannya. Peramal yang beraliran psycho cybernetics ini telah berhasil memprediksi sejumlah kejadian seperti perceraian artis Jamal Mirdad dengan Lidya Kandouw, sakitnya Olga Syahputra, terancam bubarnya Smash, hingga Fatin menjadi juara X Faxtor.
Mbah Mijan
Awal tahun 2014 lalu, satu peramal yang bernama Mbah Mijan pernah menyebutkan ramalan yang diduga kuat sebagai kematian Olga. Di mana Mbah Mijan menyebutkan jika di tahun 2015 akan ada artis berinisial O meninggalkan panggung hiburan untuk selama-lamanya. Bagaimana kesahihannya? Wallohu ‘alam bish-shawab. Tapi, menurut saya, tentang kematian, telah jelas dalam Alquranul Kariim, seperti yang telah dikutip Surah dan ayatnya di atas.

Yang jelas, seperti pernah saya tulis di postingan lain, pada topik Mengenang Ayah Tercinta, seperti halnya ayahku, Olga meninggal di hari Jumat, hari yang begitu penuh barokah. Di mana salah satu tanda orang yang meninggalnya husnul khotimah adalah meninggal dunia di hari Jumat, ganjarannya dia akan dibebaskan dari azab kubur. Apalagi bila mengingat betapa amal kebaikan Olga pada teman-temannya dan orang-orang di sekitar kehidupannya, yang demikian baik, bahkan seperti diungkapkan rekan kerjanya di dunia entertainment adalah baik banget”.

Di antara kebaikan itu, Olga menyantuni beberapa anak yatim-piatu, membantu orang-orang yang kesusahan, selalu membagi rezeki ke orang sekitarnya. Yang disayangkan, di balik materinya yang melimpah, Olga tak sempat meluangkan waktunya (cuti dari kerja) untuk menunaikan iabadah Umrah apalagi Haji. Namun demikian, atas amal kebaikannya, maka Insya Alloh Olga dapat tempat yang layak di Sisi Rabb yang begitu menyayanginya. Saking sayangnya, sebelum Olga berubah menjadi orang yang tidak baik, akan lebih baik Alloh akhiri saja masa hidupnya, dengan cara memanggilnya ”pulang” ke Haribaan-Nya di Surga Jannatun Na'im. Semoga begitulah keadaan Olga, Aamiin.

Kemudian, untuk mengenal lebih jelas profil Olga Syahputra, berkunjunglah ke sini:

http://www.kapanlagi.com/indonesia/o/olga_syahputra/

Aditya Gumay
Tentang Aditya Gumay
Aditya Gumay lahir di Jambi, 1 Oktober 1966. Ia dikenal sebagai pimpinan Teater Kawula Muda dan Sanggar Ananda yang sudah didirikan sejak 1986. Aditya identik dengan Sanggar Ananda yang dikenal sejak tahun 1989 muncul di berbagai tayangan televisi untuk anak-anak dan Berjaya di tahun 1990-an.
Aditya memiliki 4 orang anak. Bungsu dari keempat orang anaknya, Ayu Gumay juga terlibat dalam film arahannya, RUMAH TANPA JENDELA. Film lain hasil karyanya adalah SAYAP KECIL GARUDA. Sebelumnya, Aditya pernah mendapatkan pendidikan Institut Ilmu sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta dan mengenyam ilmu perfilman di Kurus Pendidikan Umum Sinematografi yang diselenggarakan oleh Pusat Perfilman Usmar Ismail.
Setelah 15 tahun malang melintang di dunia broadcast, Aditya memulai debutnya sebagai sutradara untuk TINA TOON & LENONG BOCAH MOVIE muncul tahun 2004. Dan belakangan menjadi juri yang dipilih oleh Didi Petet untuk Indonesia Movie Award yang diselenggarakan bulan Mei 2012.

Bulan Juli 2014, ada rencana Aditya terbang ke Singapura untuk menjenguk Olga. Dan dia telah menyiapkan tiket untuk 8 orang pengurus sanggar. Namun, sayang keluarga dan manjemen Olga belum membolehkan. ”Kata teman-teman juga percuma, karena nggak bisa jenguk,” kata dia menyiratkan sedikit kecewaan. Tapi mau tidak mau dia harus menerima keputusan itu.


Rabu, 25 Maret 2015

Ketenangan yang Terusik

Akhir-akhir ini kita dihadapkan pada gencarnya organisasi Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) melancarkan gerakannya untuk merekrut generasi muda. Pelajar dan mahasiswa jadi sasaran empuk untuk dijadikan relawan ISIS guna menangguk dana segar masyarakat dengan berbagai cara dan iming-iming, serta untuk dijadikan ”pasukan” yang dikirim ke Suriah. Ketenangan warga jadi terusik.   
Diberitakan Okezone (Senin, 11/08/2014), aparat Polres Ambon dan Pulau-Pulau Lease menangkap seorang siswa SMA dan seorang guru mengaji karena diduga pengikut ISIS. Setelah menjalani pemeriksaan, keduanya dibebaskan karena tidak terbukti pengikut ISIS. Namun dikenakan wajib lapor walau tidak dijerat dengan UU Teroris atau pun KUHP.
Diberitakan Kompas.com aparat keamanan Turki telah menahan 16 warga Indonesia yang mencoba menyeberang ke Suriah. Demikian penjelasan juru bicara Kementerian Luar Negeri Turki, Kamis (12/3/2015). Ke-16 warga negara Indonesia (WNI) tersebut terdiri dari tiga keluarga. Rute yang mereka tempuh untuk menuju Suriah biasa digunakan para simpatisan kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Meski demikian, belum dapat dipastikan apakah ke-16 WNI itu hendak bergabung dengan ISIS.
Enam belas warga negara Indonesia dilaporkan menghilang di Turki saat mengikuti paket perjalanan wisata sebuah biro travel. Mereka memisahkan diri dari rombongan selepas pemeriksaan Imigrasi Bandara Internasional Ataturk, Istanbul, Turki. ”Tidak ada kesan aneh terhadap mereka. Biasa saja. Sepanjang perjalanan, mereka malah tanya-tanya kalau beli karpet di Turki di mana karena katanya mereka mau bisnis jual beli karpet,” kata President and CEO Smailing Tour Anthony Akili dalam perbincangan dengan sejumlah wartawan di Jakarta, Kamis (12/3/2015). Anthony didampingi Vice President Marketing and Communication Smailing Tour Putu Ayu Aristyadewi dan Group COO Smailing Tour Davy Batubara.
Menurut Anthony, rombongan ini mengaku sebagai tiga keluarga dari satu rumpun keluarga besar. Mereka terdiri dari 5 lelaki dewasa, 4 perempuan dewasa, 4 anak-anak, dan 3 bayi. Mereka tergabung dalam rombongan wisata berjumlah 24 orang dengan satu tour leader. Anthony menuturkan, 16 WNI ini memesan paket perjalanan wisata ke Turki pada pertengahan Januari 2015. Perjalanan berlangsung pada 24 Februari-4 Maret 2015. ”Mereka pesan tempat untuk16 orang melalui e-mail. Biaya perjalanan dibayar melalui transfer,” kata Anthony.
Selanjutnya, 16 orang ini langsung bertemu dengan rombongan lain dan tour leader Smailing Tour di Bandara Soekarno-Hatta pada hari keberangkatan. ”Menurut tour leader kami, tidak ada hal yang mencurigakan sepanjang perjalanan di pesawat. Obrolannya juga wajar. Selain bertanya-tanya soal karpet, mereka juga tanya-tanya soal obat herbal karena berniat membuka bisnis soal itu di Indonesia,” ujar Anthony.
Selepas pemeriksaan di Imigrasi Bandara Ataturk, ia melanjutkan, rombongan 16 WNI ini memisahkan diri. Alasannya, mereka ingin bertemu dengan keluarga mereka di Turki selama dua hari. Mereka berjanji akan kembali bergabung dengan rombongan pada 26 Februari. ”Sepanjang dua hari, tour leader kami selalu kontak melalui pesan singkat dan berbalas. Namun, pada 26 Februari, mereka tidak bisa dikontak lagi. Tour leader kami lantas menghubungi KJRI (Konsulat Jenderal Republik Indonesia) di Istanbul untuk membuat laporan,” tutur Anthony.
KJRI dan polisi lokal setempat berupaya melacak sinyal telepon seluler rombongan ini, tetapi sinyal telepon sudah hilang. Hingga kepulangan rombongan ke Tanah Air pada 4 Maret pukul 00.40, ke-16 WNI ini tidak menampakkan diri.
SOLOENSIS Terjerat ISIS
Dekan Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) Azis Saifudin, mengimbau mahasiswanya untuk berhati-hati memahami Islam. Imbauan itu muncul setelah mahasiswi Fakultas Farmasi UMS Siti Lestari (26) hilang, diduga bergabung dengan ISIS. ”Kami prihatin dengan hilangnya anak didiknya kami. Saya berharap yang bersangkutan segera ditemukan dan kembali di pangkuan keluarganya,” katanya, kepada wartawan, Rabu (18/03/2015).
Hilangnya Siti diketahui setelah ada laporan dari ayahnya Sugiran ke Polres Sukoharjo. Awal kecurigaan orang tua Siti, bermula saat Siti mengirimkan sejumlah barang milikinya ke rumahnya di Demak. Sebelumnya, Siti sempat minta uang 3,5 juta untuk biaya kuliah dan kos.
Mahasiswi semester X itu hilang kontak dengan keluargnya sejak Februari lalu. Keluarga Siti di Demak, Jawa Tengah, mengetahuinya setelah menerima paket berisi lima kardus berisi buku-buku kuliah dan pakaian milik Siti. Dia diduga pergi ke Suriah atas ajakan Bahrun Naim.
Bahrun Naim adalah pacar Siti, tak lain adalah mantan terpidana atas kepemilikan senjata api dan amunisi. Pernah dikenalkan Siti ke orang tuanya, namun orang tua Siti menolak karena Bahrun Naim telah memiliki istri dan anak. Keduanya ”hidup bersama” di sebuah rumah kontrakan di daerah Demangan, Kartasura. Berdasar keterangan sejumlah tetangganya, keduanya menutup diri dan jarang bersosialisasi dengan masyarakat sekitar.
”Berdasar penelusuran, Siti dan Bahrun Naim sudah menikah secara siri. Petunjuk mengenai siapa yang berada di balik kepergian Siti memang mengarah kepada Bahrun Naim,” ucap Kapolres Sukoharjo, AKBP Andy Rifai. Kepada wartawan Andy mengklaim telah mengutus anggota melacak keberadaan Siti melalui Kantor Imigrasi Surakarta.
Pihak Imigrasi Solo, mengungkapkan adanya dokumen keimigrasian atas nama Siti Lestari dan Bahrun Naim yang hilang dan diduga pergi ke Suriah untuk bergabung dengan ISIS.  Keduanya sempat mengajukan permohonan paspor dan di akhir Desember 2014, dan kantor Imigrasi telah menerbitkan paspor untuk mereka. kepala KASI dan penindakan dan keimgrasian Solo, Darori menjelaskan, dari data pengajuan paspor semuanya sesuai prosedur, dengan persyaratan lengkap dan dokumen yang benar, dan tidak ada yang penyimpangan.
Aduh, Soloensis, Soloensis... dulu di tahun 80-an bergejolak karena pecahnya kerusuhan bernuansa rasial Anti China” Kini, yang meresahkan adalah terjadinya ”gangguan dari organisasi ISIS yang berupaya menjerat kaum muda (pelajar dan mahasiswa), yang sejatinya dipersiapkan sebagai generasi penerus kepemimpinan Bangsa Indonesia ke depan, dengan cara membentuknya menjadi manusia yang beragama, beriman, berilmu, dan berkarakter (berakhlak mulia).

Jumat, 20 Maret 2015

Budaya Adiluhung yang Ternoda

Dalam tiga tulisan terdahulu, yang penulis beri judul: ”Seks, Maharaja yang Selalu Punya Tahta”, ”Antara Norma dan Kenyataan”, serta ”Toge Aprilianto dan Masyarakat yang Gamang”, menunjukkan realitas persoalan seks di kalangan remaja dan dewasa sejak era ’80-an hingga kini. Tak terbayang rasanya, Yogyakarta yang dijuluki sebagai kota budaya dan kota pelajar, di era ’80-an itu justru menjadi kota yang pelajar dan mahasiswanya melakoni kehidupan seks bebas pranikah. Seks bebas pranikah yang melanda (seakan membudaya) di kalangan pelajar dan mahasiswa itu, seolah ingin menegaskan Yogya sebagai kota budaya, tentu sangat disayangkan.
Ketika masuk Yogya pertengahan ’79, denyut Yogya sebagai kota budaya dan pelajar, penulis rasakan lewat maraknya apresiasi terhadap kehidupan sastra. Di setiap koran khusus pada penerbitan edisi Minggu memuat puisi dan cerpen, dari mereka yang masih berstatus pelajar atau yang sudah duduk di bangku perguruan tinggi, khususnya dari Fakultas Sastra di IKIP Karang Malang, Fakultas Sastra UGM, Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra (FPBS) IKIP Sanata Dharma, dan mahasiswa umum dari perguruan tinggi swasta, seperti Universitas Sarjana Wiyata Taman Siswa, dan lainnya.
Tak hanya koran, beberapa stasiun radio juga menjadikan “pembacaan puisi” sebagai salah satu mata acara tetap, sebagai wadah bagi para pelajar atau mahasiswa yang sedang menempa diri untuk menjadi penyair. Di antaranya Radio Retjo Buntung (RB) di Jalan Jagalan, Radio Angkatan Muda (RAM) di Jalan Dr Wahidin Sudirohusodo (kini telah pindah ke Jalan Puntodewo, Gading Wates, Kulonprogo). Bahkan Radio Prima Unisi (milik UII) juga.
Kehidupan sastra di kalangan pelajar dan mahasiswa bisa bergeliat karena mereka tergabung dalam beberapa komunitas, terutama di lingkungan sekolah dan kampus. Sejak era ’70-an memang ada wadah “pendidikan” para calon sastrawan, yakni Persada Studi Klub (PSK) yang diasuh oleh Umbu Landu Paranggi yang oleh pelukis Hardi dijuluki Presiden Malioboro. Pasalnya, Umbu memang biasa begadang di jalan Malioboro bersama teman-temannya, berdiskusi tentang puisi sambil ngopi.
Saat itu Umbu Landu Paranggi memang mengasuh rubrik sastra di Mingguan Pelopor Yogya yang kantornya di Jl. Malioboro 175A (seberang barat Hotel Garuda). Puisi-puisi yang dikirim ke Mingguan Pelopor Yogya itu, oleh Umbu dimuat di dua “halaman” berbeda. Untuk pemula di “halaman” Persada, sambil digodok sampai karya mereka benar-benar layak untuk dimuat di “halaman” Sabana.
Ketika penulis masuk Yogya, sosok Umbu Landu Paranggi sudah tak ada, karena sejak tahun 1975 beliau pergi meninggalkan Yogya dan bermukim di Bali. Namun demikian, gaung PSK masih sempat penulis rasakan. Di sebuah masjid di daerah Sagan, penulis sempat mengikuti forum diskusi sastra yang pembicaranya menyinggung PSK (sayang penulis lupa namanya, tapi memperkenalkan diri berasal dari Pacitan).
Di radio RB pada tahun ’80-an itu penulis aktif menyimak pembacaan puisi. Penyair yang mengirimkan puisinya untuk dibacakan, antara lain Ahmadun Yosi Herfanda (yang saat itu masih kuliah di IKIP Karang Malang, dan akhirnya menjadi Wartawan hingga Redaktur di Republika, tapi kini sudah keluar), Tuti Nonka, Ragil Suwarna Pragolapati dan Linus Suryadi Agustinus. Ragil dan Linus merupakan pentolan PSK di bawah didikan Umbu.
Hal itu membuat penulis tertarik ikutan “nimbrungkan” puisi untuk dibacakan. Kenapa radio? Karena, rasanya akan ‘lebih bergetar di dada’ saat puisi mendapat giliran dibaca dan nama disebut pembawa acaranya. Saat itu karena sepeda onthel masih jadi kendaraan legendaris bagi pelajar dan mahasiswa, saat mengantarkan naskah puisi ke studio radio RB, ya mengayuh sepeda onthel itulah yang penulis lakukan. Kalau ke radio RAM cukup jalan kaki, karena rumah kost penulis di daerah Klitren Lor, Gondokusuman, tepatnya masuk gang dari samping RAM.
Kehidupan sastra di bawah tempaan Umbu Landu Paranggi, benar-benar menjadi semacam kawah candradimuka. Buktinya, kemudian melahirkan para penyair dan sastrawan besar. Di antaranya Emha Ainun Nadjib (Cak Nun), Teguh Ranusastra Asmara, Budi Sardjono (cerpenis dan novelis yang sering menggunakan nama pena Agnes Yani Sardjono), Linus Suryadi Agustinus (alm), Ragil Suwarna Pragolapati (alm), RS Rudatan, Atas Danusubroto, Deded R Murad, Sutirman Eka Ardhana, Bambang Darto, Yudhistira, Korie Layun Rampan, Arwan Tuti Artha, Miska, Iman, Munief, Jihad, Soeparno S. Adhy, Mustofa W. Hasyim, Suminto A. Sayuti.
Maraknya kehidupan sastra di Yogya, sekilas mencerminkan betapa adiluhungnya budaya di sana. Tidak hanya konflik batin dan pengalaman keseharian, problem hidup kemasyarakatan pun coba ditangkap dan dituangkan dalam puisi, cerpen, esai, novelet atau naskah drama. Semua menegaskan besarnya perhatian pada laku kehidupan yang sia-sia bila tidak dipotret dan dituangkan ke dalam bentuk narasi.

Apalagi, saat itu banyak (sekali) persoalan yang dihadapi/dialami para mahasiswa. Awal ’70-an merupakan masa-masa penuh pergolakan mahasiswa. Demonstrasi terjadi di mana-mana, mahasiswa banyak diciduk aparat berwajib lalu dijebloskan ke dalam penjara tanpa melalui proses persidangan di pengadilan. Ragil Suwarna Pragolapati salah satu contohnya. Dia dijebloskan ke penjara tanpa diadili terlebih dahulu. Sehingga, begitu mudah bagi Ragil mengeksplorasi kreativitasnya dalam menciptakan puisi di dalam penjara itu.   
Maka, perilaku hubungan seks pranikah yang kemudian melanda, tak urung menjadi semacam inspirasi dalam mengekalkan diksi-diksi ke dalam sebuah karya sastra. Contohnya Linus Suryadi Agustinus, murid Umbu satu ini berhasil membuahkan karya prosa liris berjudul “Pengakuan Pariyem” yang begitu fenomenal, karena mengisahkan persoalan seks antara seorang priyayi dengan seorang babu yang bernama Maria Magdalena Pariyem.
Tapi, sejak hubungan seks pranikah di kalangan pelajar dan ‘kumpul kebo’ di kalangan mahasiswa menjadi semacam ‘budaya baru’ lalu di beberapa kampung, terutama yang menjadi pusat kost, diberlakukan semacam peraturan ke-RW-an yang intinya memperketat pengawasan kepada para pelajar dan mahasiswa yang indekost.
Pengawasan itu tidak hanya sebatas penelitian terhadap kelengkapan surat pindah dari tempat asal ke tempat domisili, tapi juga masalah hubungan antara pria dan wanita apakah kakak beradik kandung atau sekadar mengaku-ngaku. Dan juga aturan cowok tidak boleh masuk kamar cewek, dan sebaliknya.  Penerapan peraturan dan pengetatan pengawasan itu sebagai bentuk reaksi terhadap banyaknya kasus kumpul kebo dan persoalan seks yang mengemuka kala itu (tahun ’80-an).
Seiring perkembangan zaman, begitu masuk era ’90-an, kumpul kebo tidak lagi ramai diperbincangkan walaupun (mungkin) terus berlangsung bahkan semakin gencar (?). Masalah kost-kostan seperti masuk babak baru, yaitu babak ‘industri’. Artinya, kamar kost tidak lagi sekadar bagian dari (di dalam) rumah induk semang, melainkan dibangun di areal khusus dengan bangunan bertingkat (terdiri 2 atau 3 lantai) mencapai puluhan kamar dan fasilitas yang disediakan tak ubahnya hotel. Bahkan, ada yang dicampur antara cowok dan cewek. Kalau begini keadaannya, lantas bagaimana dengan aturan “cowok tidak boleh masuk kamar cewek, dan sebaliknya” kalau mereka berada dalam satu “sangkar” yang sama? Ya, inilah realitas kekinian, sebagai ‘buah manis’ dari perkembangan budaya.

Untuk melihat perkembangan ”dunia kost” di Yogya kini, silakan singgah di sini: http://www.brilio.net/life/duh-kos-kosan-di-jogja-kok-makin-bebas-150320u.html

Budaya adiluhung yang mewarnai masyarakat lokal, tidak selamanya bisa dijaga kemurniannya manakala tertindih oleh hegemoni kebudayaan baru yang nasionalistik. Di mana pun daerahnya, ada peluang bagi budaya asing untuk masuk dan berkembang bahkan memengaruhi budaya lokal tersebut. Hal ini mungkin terjadi karena secara umum dan faktual didorong oleh sikap toleransi dari masyarakat lokal terhadap tumbuhnya berbagai nilai budaya baru.

Dan, bila menengok Yogya hari ini, penulis masih merasakan adiluhungnya budaya di sana. Hanya, tidak sekental dahulu, saat penulis baru pertama kali menginjakkan kaki. Terutama terasa di pusat perkotaan, mungkin pengaruh heterogenitas. Ya, mungkin itu kekecualian. Bisa dikatakan sebagai ekses budaya adiluhung yang ternoda. Kalau di perdesaan, secara alamiah ada kekuatan moral bagi masyarakatnya untuk menjaga kelestarian budaya leluhur.
Satu hal yang tidak bisa dielakkan, adalah kreativitas kaum muda Yogya, patut diacungi dua jempol tangan. Meski sempat ternoda oleh ’budaya’ seks pranikah dan kumpul kebo, namun sama sekali tidak meruntuhkan simbol adiluhungnya budaya yang melekat di masyarakat. Justru, kreativitas dalam bidang seni, seperti ingin menegaskan bukti kalau Yogyakarta benar sebagai kota budaya dan kota pelajar. Benar-benar Daerah Istimewa. Wujudnya, hasil seni itu menjadi magnet bagi para pelancong untuk datang ke Yogya. Dan, penulis pun merasakan itu. Selalu rindu Yogya, selalu ’ingin pulang ke kotamu’.




Minggu, 15 Maret 2015

Seks, Maharaja yang Selalu Punya Tahta

Perilaku menyimpang soal seks telah menobatkan seks ibarat “maharaja yang selalu punya tahta”. Faktanya, meski kerajaan pelacuran ‘Gang Dolly’ di Surabaya, yang konon disebut sebagai pusat ‘jajan kenikmatan syahwat’ terbesar di Asia Tenggara, berhasil ditutup oleh Pemkot Surabaya, tak menjadikan eks penghuni Wisma di situ kehilangan akal menjajakan diri, dan para pencari kenikmatan sesaat itu hilang peluang mendapatkannya.
Sesungguhnya apa yang didapat dari ditutupnya Gang Dolly? Bagi Pemkot Surabaya mungkin bisa menghilangkan dampak negatif yang mengimbas kepada anak-anak warga di sekitar tempat prostitusi itu, dan juga hasrat mengentaskan penghuni Wisma untuk lebih bermartabat bila punya profesi yang lebih mulia dari menjajakan kenikmatan sesaat itu.
Kehilangan Istana
Wanita penjaja seks, baik yang amatir maupun yang profesional, kemudian disemati nama keren Wanita Tuna Susila (WTS) atau lebih kini namanya jadi Pekerja Seks Komersial (PSK). Disebut amatir, mungkin karena dalam ‘beraksi’ mereka tidak ada yang mengoordinasi, bertindak sendiri-sendiri dan tidak punya ‘markas’ tertentu. Itulah yang biasa kita jumpai di pinggir-pinggir jalan, melambaikan tangan kepada kendaraan yang lewat berharap ada yang mau mengajaknya indehoy di hotel kelas melati. Atau dibawa sopir truk melanglang buana ke negeri jalanan.
Yang profesional, itulah yang biasa dikoordinasi oleh mucikari di lokalisasi. Rentang usianya dari 16 tahun sampai di bawah 30 tahun, dan dipekerjakan sebagai ‘peramunikmat atau peramusyahwat’ profesional. Dalam arti, melayani dengan baik para tamu yang datang ke lokalisasi. Atau bagi mereka yang punya rasa malu, dengan suka hati akan dilayani di mana mereka mau. Yang merasa malu ini biasanya para boss atau pejabat, untuk mereka para PSK bisa dipanggil ke hotel.
Kerajaan pelacuran tidak harus menetap di lokalisasi. Selama sang maharaja punya tahta, istana tak penting adanya. Maka, dengan ditutupnya Gang Dolly, sesungguhnya tidaklah membuat eks penghuni Wisma di sana kehilangan pekerjaan. Meski mereka kehilangan istana, yang penting tak kehilangan pekerjaan. Apalagi pekerjaan yang mereka jalankan tak kelihatan wujudnya, dilakukan di mana pun bisa. Jangankan di kasur empuk kamar hotel, di jok mobil pun bisa.
PSK Berseragam
Jadi, pernahkah terlintas bahwa untuk bisa terus menjajakan diri, seorang pelacur tidak harus menetap di pusat prostitusi? Sangat bahaya bila eks penghuni Wisma Gang Dolly kemudian menjadi penghuni kamar kost di sekujur kota Surabaya, lalu menjajakan diri di lingkungan itu dengan cara menerima tamu di kamar kostnya. Tentu akan lebih banyak manusia lelaki yang terjerat dalam lingkaran nikmatnya seks sesaat. Padahal tadinya bukan orang yang suka ‘jajan’ dan tidak pernah mengunjungi Gang Dolly. Tapi karena ada yang menawarkannya di depan mata, olala…
Sang Maharaja yang selalu punya tahta itu, menggunakan kekuasaannya dengan pendekatan yang sofistis. Kekuasaannya didukung oleh tahta yang dibangun dari onggokan kultural makhluk manusia lelaki dan perempuan. Karena itu “kerajaan pelacuran” ada di mana-mana dari dulu sampai sekarang, baik resmi maupun diam-diam dan rahasia. Bahkan, demi menjaga kerahasiaan identitas diri sebagai PSK, ada yang sengaja mengenakan seragam SMA dan berkeliaran di pusat perbelanjaan mencari mangsa.
Atau, yang berseragam bak anak sekolah itu memang benar statusnya siswi di sebuah SMA, tapi juga menekuni status sebagai “PSK” terselubung. Dan PSK remaja atau ABG inilah yang cenderung lebih disukai dan dicari para penikmat seks. Untuk mencarinya, di zaman komunikasi yang sudah canggih ini bukanlah hal yang sulit. Ada yang terang-terangan menawarkan diri melalui jejaring sosial lengkap dengan nomor kontak yang bisa dihubungi.    
Pelacuran menyusup pada hampir setiap ruang dan waktu kehidupan umat manusia. Baik yang ‘legal’ seperti lokalisasi maupun yang ilegal dan tersembunyi berkedok salon kecantikan dan panti pijat. Mulai yang bersifat pribadi sampai ke urusan birokrasi. Mungkin sampai hari ini masih berlaku, bahwa wanita adalah senjata ampuh untuk memperoleh aneka rahasia, baik rahasia pribadi, rahasia jabatan, rahasia militer, maupun rahasia negara. Di sinilah letak anehnya manusia. Memperjuangkan segala fasilitas yang didamba terutama untuk kebaikan dan kebahagiaan, tetapi menggunakan cara yang tidak baik. Dengan kata lain membiarkan dengan sengaja kerusakan yang disadari.
Ayam Kampus
Ada penjaja seks kelas istimewa, statusnya sih mahasiswi baik PTS maupun PTN. Tapi nyambi jadi pemuas nafsu lelaki dengan tarif ratusan ribu rupiah sekali kencan untuk short time dan jutaan untuk long time. Ya, mereka ini biasa dijuluki “ayam kampus”, motifnya macam-macam, ada yang karena faktor kemiskinan sehingga harus ‘melacurkan diri’ untuk mencari tambahan biaya kuliah. Ada yang sekedar mencari ‘kepuasan plus’ karena sudah biasa melakukannya sejak lama. Mungkin mereka ini korban seks bebas di masa SMA dan ditinggal kabur sang pacar. Begitu kuliah terus saja memburu nikmat itu sembari memperoleh ‘nilai plus’ dari kegiatan itu berupa uang bayaran.
Apalagi kalau yang mengajak kencan adalah para boss perusahaan multinasional atau anggota dewan, tentu bayarannya dari jutaan sampai puluhan juta rupiah. Bahkan ada yang jadi ‘peliharaan’ alias ‘istri simpanan’ yang digelontor fasilitas rumah dan mobil. Tentu saja sangat private dan rahasia. Umumnya baru ketahuan seiring munculnya kasus yang menjerat orang yang ‘memeliharanya’ ke ranah hukum. Ingat kasus Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Lutfi Hasan Ishaq (LHI).
Sama halnya dengan barang konsumsi pada umumnya, masalah seks juga berlaku hukum permintaan dan penawaran (supply and demand). Apalagi kalau “ayam kampus” yang menawarkannya tergolong aduhai, niscaya permintaannya akan sangat tinggi. Dengan tarif berapa pun tak jadi soal, asal bisa mendatangkan kepuasan bagi penikmatnya. Itulah sebab ada orang yang menghargainya setara dengan barang mewah.      
Sex After Lunch
Yang ini lain lagi kelasnya. Lebih eksklusif dari Ayam Kampus. Para pelakunya eksekutif muda. Para staf kantoran di kota besar dan (mungkin) juga kota kecil tertentu. Sex After Lunch (SAL), 100 persen ini selingkuh gaya boss-boss dengan sekretarisnya atau antarsesama rekan kerja. Di kota metropolitan sekelas Kuala Lumpur, SAL sudah biasa dilakukan para eksekutif muda. Dan di Jakarta pun sudah bukan mainan baru, walaupun pada mulanya terkesan malu-malu, tapi pada akhirnya sungguh terlalu. Ya, seks itu malu tapi perlu.
Para pelakunya bisa jadi yang masih pada single, bisa juga salah satunya si pria atau wanita sudah punya pasangan (istri atau suami), atau kedua-duanya sudah sama-sama menikah, namun karena tidak merasakan kenikmatan seks di rumah dengan pasangannya, lalu memburunya di luar rumah. Pada mulanya hanya teman kerja atau klien, tapi bermula dari curhat masalah pekerjaan meningkat masalah kehidupan rumah tangga yang tak bahagia atau di ambang perpecahan. Karena mendapat respon positif dari lawan bicara, dan menemukan nuansa menyenangkan, timbullah hasrat ingin selalu dekat.
Dari sekedar dekat sesaat pada jam makan siang, lalu ditingkatkan dengan dekat agak lama. Dari sekedar lunch lalu ditingkatkan dengan check in di motel atau hotel melati untuk melakukan seks instan sesudah makan siang. Dari sekadar mencoba ditingkatkan jadi aktivitas biasa. Dari sekali dua kali, jadi keterusan bahkan merasa nikmat dan nyandu. Apalagi kalau kenikmatan itu tak didapat di rumah.
Padahal seks adalah kebutuhan yang harus dipenuhi dan diupayakan mendatangkan kenikmatan dan kepuasan. Karenanya, bagi mereka yang tidak mendapatkannya di rumah, akan berusaha mencarinya di luar rumah. Walau pun alasan ini belum tentu benar. Manusia menyimpangkan kehidupan seksnya, lantaran persoalan yang bersifat pribadi, yang didorong kebutuhan biologis, walau belum tentu karena tidak terpuaskan dari miliknya yang sah di rumah.
Karena dalihnya sekedar memuaskan hasrat di bidang seks, sehingga SAL hanyalah berdasar just for fun, sama sekali tidak ada keterlibatan emosional yang mendalam di antara para pelakunya. Padahal, jika mereka menyadari bahwa hubungan seksual seyogianya dilandasi alasan-alasan yang lebih serius dan mendalam, dorongan seks itu bisa diatasi antara lain dengan olahraga yang teratur atau kegiatan yang lebih positif lainnya, atau kalau terpaksa salurkanlah dengan cara melakukan onani.
Pergeseran Budaya
Tapi, terjadinya pergeseran budaya di kalangan anak muda (remaja usia sekolah sampai orang dewasa kuliahan dan eksekutif muda), bukanlah hal yang baru. Konon sejak era ’90-an sudah ada budaya seks pranikah di kalangan pelajar, kumpul kebo di kalangan mahasiswa/i, dan abortus propocatus di antara mereka. Saat itu justru marak terjadi di Yogyakarta yang dijuluki sebagai kota pelajar dan kota budaya.  Lalu menular ke kota besar lainnya.
Pada mulanya hubungan seksual yang dilakukan sebelum nikah, mungkin karena ajakan yang gencar si cowok tak kuasa ditampik si cewek, atas alasan tertentu. Tapi lama-lama ajakan (inisiatif) itu bukan dominasi si cowok, si cewek pun sudah biasa sebagai pengambil inisiatif berhubungan badan. Kalau sudah begitu, siapa yang layak dikecam? Perubahan kehidupan sosial dan peradaban dunia akibat kemajuan teknologi, tak bisa dipungkiri menjadi pemicu pergeseran budaya.
Semua (pria dan wanita) kalau sudah terpilin gelombang saling berinisiatif, maka apa yang dinamakan keperawanan bukan lagi sebuah kebanggaan. Masih adilkah bila si wanita dituntut untuk menjaga keperawanan selama hidup lajangnya, sementara si pria tidak dituntut untuk menjaga keperjakaannya. Tentu tidak adil kan. Apa pun bentuk atau masalahnya, ketidakadilan adalah sesuatu yang tidak layak dilakukan.
Dikaitkan dengan kemanusiaan, kalau inisiatif itu dari siapa pun datangnya, begitu manusiawi. Masalahanya bagaimana menjaga agar jangan ada ekses-ekses yang ditimbulkannya. Pendidikan seks, Undang-Undang Anti Pornografi, Undang-Undang Perlindungan Anak, atau peraturan lainnya, tentu bukanlah rem yang pakem untuk menahan lajunya perubahan budaya. Apalagi kalau gejalanya sudah menyeluruh ke lapisan masyarakat paling bawah sekali pun.
Tekanan psikologis (mental) di tempat kerja (memicu stress), tekanan sosial-material-emosional yang membuat tidak menentu pikiran orang, baik yang single maupun yang sudah berumah tangga, menjadi pemicu timbulnya perilaku menyimpang. Bahayanya kalau penyimpangan itu mengarah kepada masalah seksual, maka semakin suburlah perselingkuhan.
Pesatnya kemajuan teknologi, juga menimbulkan gejala perubahan arus komunikasi. Tidak semata harus bertemu pace to pace, cukup dengan media seluler saluran komunikasi tersambung seakan tak berjarak. Hal ini kemudian bisa menjadi sumber penyebab terjadinya perilaku seks yang eksesif. Pada dimensi ini, tampak hubungan seks yang tidak dilandasi cinta, di samping merupakan kegemaran (hobi) juga menjadi manifestasi “pembebasan” beban mental dan emosional yang dialami.
Agar terhindar dari tekanan psikologis, ada baiknya diupayakan menciptakan hubungan yang harmonis dengan relasi (bagi yang masih single) dan dengan pasangan (suami atau istri) bagi yang sudah menikah. Suasana yang lebih longgar akan mendorong perilaku yang lebih wajar dan bertanggung jawab. Wilayah persoalan seks yang luas, hanya bisa dipecahkan dengan perbaikan kondisi sosial dan mental serta spiritual tentunya.
Kondisi sosial yang baik akan memengaruhi mental seseorang. Orang yang bermental baik dengan sendirinya punya kepribadian baik. Kepribadian baik itu dihasilkan oleh pemahaman terhadap ajaran agama (spiritual) yang mendalam. Sehingga bisa menahan ekses negatif yang ditimbulkan pergeseran budaya.