Perilaku menyimpang soal seks telah menobatkan seks ibarat
“maharaja yang selalu punya tahta”. Faktanya, meski kerajaan pelacuran ‘Gang
Dolly’ di Surabaya, yang konon disebut sebagai pusat ‘jajan kenikmatan syahwat’
terbesar di Asia Tenggara, berhasil ditutup oleh Pemkot Surabaya, tak
menjadikan eks penghuni Wisma di situ kehilangan akal menjajakan diri, dan para
pencari kenikmatan sesaat itu hilang peluang mendapatkannya.
Sesungguhnya apa yang didapat dari ditutupnya Gang Dolly?
Bagi Pemkot Surabaya mungkin bisa menghilangkan dampak negatif yang mengimbas
kepada anak-anak warga di sekitar tempat prostitusi itu, dan juga hasrat
mengentaskan penghuni Wisma untuk lebih bermartabat bila punya profesi yang
lebih mulia dari menjajakan kenikmatan sesaat itu.
Kehilangan Istana
Wanita penjaja seks, baik yang amatir maupun yang
profesional, kemudian disemati nama keren Wanita Tuna Susila (WTS) atau lebih
kini namanya jadi Pekerja Seks Komersial (PSK). Disebut amatir, mungkin karena
dalam ‘beraksi’ mereka tidak ada yang mengoordinasi, bertindak sendiri-sendiri
dan tidak punya ‘markas’ tertentu. Itulah yang biasa kita jumpai di
pinggir-pinggir jalan, melambaikan tangan kepada kendaraan yang lewat berharap
ada yang mau mengajaknya indehoy di hotel kelas melati. Atau dibawa sopir truk
melanglang buana ke negeri jalanan.
Yang profesional, itulah yang biasa dikoordinasi oleh
mucikari di lokalisasi. Rentang usianya dari 16 tahun sampai di bawah 30 tahun,
dan dipekerjakan sebagai ‘peramunikmat atau peramusyahwat’ profesional. Dalam
arti, melayani dengan baik para tamu yang datang ke lokalisasi. Atau bagi mereka
yang punya rasa malu, dengan suka hati akan dilayani di mana mereka mau. Yang
merasa malu ini biasanya para boss atau pejabat, untuk mereka para PSK bisa dipanggil
ke hotel.
Kerajaan pelacuran tidak harus menetap di lokalisasi. Selama
sang maharaja punya tahta, istana tak penting adanya. Maka, dengan ditutupnya
Gang Dolly, sesungguhnya tidaklah membuat eks penghuni Wisma di sana kehilangan
pekerjaan. Meski mereka kehilangan istana, yang penting tak kehilangan
pekerjaan. Apalagi pekerjaan yang mereka jalankan tak kelihatan wujudnya,
dilakukan di mana pun bisa. Jangankan di kasur empuk kamar hotel, di jok mobil
pun bisa.
PSK Berseragam
Jadi, pernahkah terlintas bahwa untuk bisa terus menjajakan
diri, seorang pelacur tidak harus menetap di pusat prostitusi? Sangat bahaya
bila eks penghuni Wisma Gang Dolly kemudian menjadi penghuni kamar kost di
sekujur kota Surabaya, lalu menjajakan diri di lingkungan itu dengan cara
menerima tamu di kamar kostnya. Tentu akan lebih banyak manusia lelaki yang
terjerat dalam lingkaran nikmatnya seks sesaat. Padahal tadinya bukan orang
yang suka ‘jajan’ dan tidak pernah mengunjungi Gang Dolly. Tapi karena ada yang
menawarkannya di depan mata, olala…
Sang Maharaja yang selalu punya tahta itu, menggunakan kekuasaannya
dengan pendekatan yang sofistis. Kekuasaannya didukung oleh tahta yang dibangun
dari onggokan kultural makhluk manusia lelaki dan perempuan. Karena itu “kerajaan
pelacuran” ada di mana-mana dari dulu sampai sekarang, baik resmi maupun
diam-diam dan rahasia. Bahkan, demi menjaga kerahasiaan identitas diri sebagai
PSK, ada yang sengaja mengenakan seragam SMA dan berkeliaran di pusat
perbelanjaan mencari mangsa.
Atau, yang berseragam bak anak sekolah itu memang benar
statusnya siswi di sebuah SMA, tapi juga menekuni status sebagai “PSK”
terselubung. Dan PSK remaja atau ABG inilah yang cenderung lebih disukai dan
dicari para penikmat seks. Untuk mencarinya, di zaman komunikasi yang sudah
canggih ini bukanlah hal yang sulit. Ada yang terang-terangan menawarkan diri
melalui jejaring sosial lengkap dengan nomor kontak yang bisa dihubungi.
Pelacuran menyusup pada hampir setiap ruang dan waktu kehidupan
umat manusia. Baik yang ‘legal’ seperti lokalisasi maupun yang ilegal dan
tersembunyi berkedok salon kecantikan dan panti pijat. Mulai yang bersifat
pribadi sampai ke urusan birokrasi. Mungkin sampai hari ini masih berlaku,
bahwa wanita adalah senjata ampuh untuk memperoleh aneka rahasia, baik rahasia
pribadi, rahasia jabatan, rahasia militer, maupun rahasia negara. Di sinilah
letak anehnya manusia. Memperjuangkan segala fasilitas yang didamba terutama
untuk kebaikan dan kebahagiaan, tetapi menggunakan cara yang tidak baik. Dengan
kata lain membiarkan dengan sengaja kerusakan yang disadari.
Ayam Kampus
Ada penjaja seks kelas istimewa, statusnya sih mahasiswi baik PTS maupun PTN. Tapi nyambi jadi pemuas nafsu lelaki dengan
tarif ratusan ribu rupiah sekali kencan untuk short time dan jutaan
untuk long time. Ya, mereka ini biasa dijuluki “ayam kampus”, motifnya
macam-macam, ada yang karena faktor kemiskinan sehingga harus ‘melacurkan diri’
untuk mencari tambahan biaya kuliah. Ada yang sekedar mencari ‘kepuasan plus’
karena sudah biasa melakukannya sejak lama. Mungkin mereka ini korban seks
bebas di masa SMA dan ditinggal kabur sang pacar. Begitu kuliah terus saja
memburu nikmat itu sembari memperoleh ‘nilai plus’ dari kegiatan itu berupa
uang bayaran.
Apalagi kalau yang mengajak kencan adalah para boss
perusahaan multinasional atau anggota dewan, tentu bayarannya dari jutaan
sampai puluhan juta rupiah. Bahkan ada yang jadi ‘peliharaan’ alias ‘istri
simpanan’ yang digelontor fasilitas rumah dan mobil. Tentu saja sangat private
dan rahasia. Umumnya baru ketahuan seiring munculnya kasus yang menjerat orang
yang ‘memeliharanya’ ke ranah hukum. Ingat kasus Presiden Partai Keadilan
Sejahtera (PKS) Lutfi Hasan Ishaq (LHI).
Sama halnya dengan barang konsumsi pada umumnya, masalah seks
juga berlaku hukum permintaan dan penawaran (supply and demand). Apalagi
kalau “ayam kampus” yang menawarkannya tergolong aduhai, niscaya permintaannya
akan sangat tinggi. Dengan tarif berapa pun tak jadi soal, asal bisa
mendatangkan kepuasan bagi penikmatnya. Itulah sebab ada orang yang menghargainya
setara dengan barang mewah.
Sex After Lunch
Yang ini lain lagi kelasnya. Lebih eksklusif dari Ayam Kampus.
Para pelakunya eksekutif muda. Para staf kantoran di kota besar dan (mungkin)
juga kota kecil tertentu. Sex After Lunch (SAL), 100 persen ini
selingkuh gaya boss-boss dengan sekretarisnya atau antarsesama rekan kerja. Di kota metropolitan sekelas
Kuala Lumpur, SAL sudah biasa dilakukan para eksekutif muda. Dan di Jakarta pun
sudah bukan mainan baru, walaupun pada mulanya terkesan malu-malu, tapi pada
akhirnya sungguh terlalu. Ya, seks itu malu tapi perlu.
Para pelakunya bisa jadi yang masih pada single, bisa
juga salah satunya si pria atau wanita sudah punya pasangan (istri atau suami),
atau kedua-duanya sudah sama-sama menikah, namun karena tidak merasakan
kenikmatan seks di rumah dengan pasangannya, lalu memburunya di luar rumah.
Pada mulanya hanya teman kerja atau klien, tapi bermula dari curhat masalah
pekerjaan meningkat masalah kehidupan rumah tangga yang tak bahagia atau di
ambang perpecahan. Karena mendapat respon positif dari lawan bicara, dan
menemukan nuansa menyenangkan, timbullah hasrat ingin selalu dekat.
Dari sekedar dekat sesaat pada jam makan siang, lalu
ditingkatkan dengan dekat agak lama. Dari sekedar lunch lalu ditingkatkan
dengan check in di motel atau hotel melati untuk melakukan seks instan
sesudah makan siang. Dari sekadar mencoba ditingkatkan jadi aktivitas biasa.
Dari sekali dua kali, jadi keterusan bahkan merasa nikmat dan nyandu. Apalagi
kalau kenikmatan itu tak didapat di rumah.
Padahal seks adalah kebutuhan yang harus dipenuhi dan
diupayakan mendatangkan kenikmatan dan kepuasan. Karenanya, bagi mereka yang
tidak mendapatkannya di rumah, akan berusaha mencarinya di luar rumah. Walau pun
alasan ini belum tentu benar. Manusia menyimpangkan kehidupan seksnya, lantaran
persoalan yang bersifat pribadi, yang didorong kebutuhan biologis, walau belum
tentu karena tidak terpuaskan dari miliknya yang sah di rumah.
Karena dalihnya sekedar memuaskan hasrat di bidang seks,
sehingga SAL hanyalah berdasar just for fun, sama sekali tidak ada
keterlibatan emosional yang mendalam di antara para pelakunya. Padahal, jika
mereka menyadari bahwa hubungan seksual seyogianya dilandasi alasan-alasan yang
lebih serius dan mendalam, dorongan seks itu bisa diatasi antara lain dengan
olahraga yang teratur atau kegiatan yang lebih positif lainnya, atau kalau
terpaksa salurkanlah dengan cara melakukan onani.
Pergeseran Budaya
Tapi, terjadinya pergeseran budaya di kalangan anak muda
(remaja usia sekolah sampai orang dewasa kuliahan dan eksekutif muda), bukanlah
hal yang baru. Konon sejak era ’90-an sudah ada budaya seks pranikah di
kalangan pelajar, kumpul kebo di kalangan mahasiswa/i, dan abortus
propocatus di antara mereka. Saat itu justru marak terjadi di Yogyakarta
yang dijuluki sebagai kota pelajar dan kota budaya. Lalu menular ke kota besar lainnya.
Pada mulanya hubungan seksual yang dilakukan sebelum nikah,
mungkin karena ajakan yang gencar si cowok tak kuasa ditampik si cewek, atas
alasan tertentu. Tapi lama-lama ajakan (inisiatif) itu bukan dominasi si cowok,
si cewek pun sudah biasa sebagai pengambil inisiatif berhubungan badan. Kalau
sudah begitu, siapa yang layak dikecam? Perubahan kehidupan sosial dan
peradaban dunia akibat kemajuan teknologi, tak bisa dipungkiri menjadi pemicu
pergeseran budaya.
Semua (pria dan wanita) kalau sudah terpilin gelombang saling
berinisiatif, maka apa yang dinamakan keperawanan bukan lagi sebuah kebanggaan.
Masih adilkah bila si wanita dituntut untuk menjaga keperawanan selama hidup
lajangnya, sementara si pria tidak dituntut untuk menjaga keperjakaannya. Tentu
tidak adil kan. Apa pun bentuk atau masalahnya, ketidakadilan adalah sesuatu
yang tidak layak dilakukan.
Dikaitkan dengan kemanusiaan, kalau inisiatif itu dari siapa
pun datangnya, begitu manusiawi. Masalahanya bagaimana menjaga agar jangan ada
ekses-ekses yang ditimbulkannya. Pendidikan seks, Undang-Undang Anti Pornografi,
Undang-Undang Perlindungan Anak, atau peraturan lainnya, tentu bukanlah rem
yang pakem untuk menahan lajunya perubahan budaya. Apalagi kalau gejalanya
sudah menyeluruh ke lapisan masyarakat paling bawah sekali pun.
Tekanan psikologis (mental) di tempat kerja (memicu stress),
tekanan sosial-material-emosional yang membuat tidak menentu pikiran orang,
baik yang single maupun yang sudah berumah tangga, menjadi pemicu
timbulnya perilaku menyimpang. Bahayanya kalau penyimpangan itu mengarah kepada
masalah seksual, maka semakin suburlah perselingkuhan.
Pesatnya kemajuan teknologi, juga menimbulkan gejala
perubahan arus komunikasi. Tidak semata harus bertemu pace to pace,
cukup dengan media seluler saluran komunikasi tersambung seakan tak berjarak.
Hal ini kemudian bisa menjadi sumber penyebab terjadinya perilaku seks yang
eksesif. Pada dimensi ini, tampak hubungan seks yang tidak dilandasi cinta, di
samping merupakan kegemaran (hobi) juga menjadi manifestasi “pembebasan” beban
mental dan emosional yang dialami.
Agar terhindar dari tekanan psikologis, ada baiknya
diupayakan menciptakan hubungan yang harmonis dengan relasi (bagi yang masih single)
dan dengan pasangan (suami atau istri) bagi yang sudah menikah. Suasana yang
lebih longgar akan mendorong perilaku yang lebih wajar dan bertanggung jawab.
Wilayah persoalan seks yang luas, hanya bisa dipecahkan dengan perbaikan
kondisi sosial dan mental serta spiritual tentunya.
Kondisi sosial yang baik akan memengaruhi mental seseorang. Orang yang bermental baik dengan sendirinya punya kepribadian baik. Kepribadian baik itu dihasilkan oleh pemahaman terhadap ajaran agama (spiritual) yang mendalam. Sehingga bisa menahan ekses negatif yang ditimbulkan pergeseran budaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.