Minggu, 15 Maret 2015

Seks, Maharaja yang Selalu Punya Tahta

Perilaku menyimpang soal seks telah menobatkan seks ibarat “maharaja yang selalu punya tahta”. Faktanya, meski kerajaan pelacuran ‘Gang Dolly’ di Surabaya, yang konon disebut sebagai pusat ‘jajan kenikmatan syahwat’ terbesar di Asia Tenggara, berhasil ditutup oleh Pemkot Surabaya, tak menjadikan eks penghuni Wisma di situ kehilangan akal menjajakan diri, dan para pencari kenikmatan sesaat itu hilang peluang mendapatkannya.
Sesungguhnya apa yang didapat dari ditutupnya Gang Dolly? Bagi Pemkot Surabaya mungkin bisa menghilangkan dampak negatif yang mengimbas kepada anak-anak warga di sekitar tempat prostitusi itu, dan juga hasrat mengentaskan penghuni Wisma untuk lebih bermartabat bila punya profesi yang lebih mulia dari menjajakan kenikmatan sesaat itu.
Kehilangan Istana
Wanita penjaja seks, baik yang amatir maupun yang profesional, kemudian disemati nama keren Wanita Tuna Susila (WTS) atau lebih kini namanya jadi Pekerja Seks Komersial (PSK). Disebut amatir, mungkin karena dalam ‘beraksi’ mereka tidak ada yang mengoordinasi, bertindak sendiri-sendiri dan tidak punya ‘markas’ tertentu. Itulah yang biasa kita jumpai di pinggir-pinggir jalan, melambaikan tangan kepada kendaraan yang lewat berharap ada yang mau mengajaknya indehoy di hotel kelas melati. Atau dibawa sopir truk melanglang buana ke negeri jalanan.
Yang profesional, itulah yang biasa dikoordinasi oleh mucikari di lokalisasi. Rentang usianya dari 16 tahun sampai di bawah 30 tahun, dan dipekerjakan sebagai ‘peramunikmat atau peramusyahwat’ profesional. Dalam arti, melayani dengan baik para tamu yang datang ke lokalisasi. Atau bagi mereka yang punya rasa malu, dengan suka hati akan dilayani di mana mereka mau. Yang merasa malu ini biasanya para boss atau pejabat, untuk mereka para PSK bisa dipanggil ke hotel.
Kerajaan pelacuran tidak harus menetap di lokalisasi. Selama sang maharaja punya tahta, istana tak penting adanya. Maka, dengan ditutupnya Gang Dolly, sesungguhnya tidaklah membuat eks penghuni Wisma di sana kehilangan pekerjaan. Meski mereka kehilangan istana, yang penting tak kehilangan pekerjaan. Apalagi pekerjaan yang mereka jalankan tak kelihatan wujudnya, dilakukan di mana pun bisa. Jangankan di kasur empuk kamar hotel, di jok mobil pun bisa.
PSK Berseragam
Jadi, pernahkah terlintas bahwa untuk bisa terus menjajakan diri, seorang pelacur tidak harus menetap di pusat prostitusi? Sangat bahaya bila eks penghuni Wisma Gang Dolly kemudian menjadi penghuni kamar kost di sekujur kota Surabaya, lalu menjajakan diri di lingkungan itu dengan cara menerima tamu di kamar kostnya. Tentu akan lebih banyak manusia lelaki yang terjerat dalam lingkaran nikmatnya seks sesaat. Padahal tadinya bukan orang yang suka ‘jajan’ dan tidak pernah mengunjungi Gang Dolly. Tapi karena ada yang menawarkannya di depan mata, olala…
Sang Maharaja yang selalu punya tahta itu, menggunakan kekuasaannya dengan pendekatan yang sofistis. Kekuasaannya didukung oleh tahta yang dibangun dari onggokan kultural makhluk manusia lelaki dan perempuan. Karena itu “kerajaan pelacuran” ada di mana-mana dari dulu sampai sekarang, baik resmi maupun diam-diam dan rahasia. Bahkan, demi menjaga kerahasiaan identitas diri sebagai PSK, ada yang sengaja mengenakan seragam SMA dan berkeliaran di pusat perbelanjaan mencari mangsa.
Atau, yang berseragam bak anak sekolah itu memang benar statusnya siswi di sebuah SMA, tapi juga menekuni status sebagai “PSK” terselubung. Dan PSK remaja atau ABG inilah yang cenderung lebih disukai dan dicari para penikmat seks. Untuk mencarinya, di zaman komunikasi yang sudah canggih ini bukanlah hal yang sulit. Ada yang terang-terangan menawarkan diri melalui jejaring sosial lengkap dengan nomor kontak yang bisa dihubungi.    
Pelacuran menyusup pada hampir setiap ruang dan waktu kehidupan umat manusia. Baik yang ‘legal’ seperti lokalisasi maupun yang ilegal dan tersembunyi berkedok salon kecantikan dan panti pijat. Mulai yang bersifat pribadi sampai ke urusan birokrasi. Mungkin sampai hari ini masih berlaku, bahwa wanita adalah senjata ampuh untuk memperoleh aneka rahasia, baik rahasia pribadi, rahasia jabatan, rahasia militer, maupun rahasia negara. Di sinilah letak anehnya manusia. Memperjuangkan segala fasilitas yang didamba terutama untuk kebaikan dan kebahagiaan, tetapi menggunakan cara yang tidak baik. Dengan kata lain membiarkan dengan sengaja kerusakan yang disadari.
Ayam Kampus
Ada penjaja seks kelas istimewa, statusnya sih mahasiswi baik PTS maupun PTN. Tapi nyambi jadi pemuas nafsu lelaki dengan tarif ratusan ribu rupiah sekali kencan untuk short time dan jutaan untuk long time. Ya, mereka ini biasa dijuluki “ayam kampus”, motifnya macam-macam, ada yang karena faktor kemiskinan sehingga harus ‘melacurkan diri’ untuk mencari tambahan biaya kuliah. Ada yang sekedar mencari ‘kepuasan plus’ karena sudah biasa melakukannya sejak lama. Mungkin mereka ini korban seks bebas di masa SMA dan ditinggal kabur sang pacar. Begitu kuliah terus saja memburu nikmat itu sembari memperoleh ‘nilai plus’ dari kegiatan itu berupa uang bayaran.
Apalagi kalau yang mengajak kencan adalah para boss perusahaan multinasional atau anggota dewan, tentu bayarannya dari jutaan sampai puluhan juta rupiah. Bahkan ada yang jadi ‘peliharaan’ alias ‘istri simpanan’ yang digelontor fasilitas rumah dan mobil. Tentu saja sangat private dan rahasia. Umumnya baru ketahuan seiring munculnya kasus yang menjerat orang yang ‘memeliharanya’ ke ranah hukum. Ingat kasus Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Lutfi Hasan Ishaq (LHI).
Sama halnya dengan barang konsumsi pada umumnya, masalah seks juga berlaku hukum permintaan dan penawaran (supply and demand). Apalagi kalau “ayam kampus” yang menawarkannya tergolong aduhai, niscaya permintaannya akan sangat tinggi. Dengan tarif berapa pun tak jadi soal, asal bisa mendatangkan kepuasan bagi penikmatnya. Itulah sebab ada orang yang menghargainya setara dengan barang mewah.      
Sex After Lunch
Yang ini lain lagi kelasnya. Lebih eksklusif dari Ayam Kampus. Para pelakunya eksekutif muda. Para staf kantoran di kota besar dan (mungkin) juga kota kecil tertentu. Sex After Lunch (SAL), 100 persen ini selingkuh gaya boss-boss dengan sekretarisnya atau antarsesama rekan kerja. Di kota metropolitan sekelas Kuala Lumpur, SAL sudah biasa dilakukan para eksekutif muda. Dan di Jakarta pun sudah bukan mainan baru, walaupun pada mulanya terkesan malu-malu, tapi pada akhirnya sungguh terlalu. Ya, seks itu malu tapi perlu.
Para pelakunya bisa jadi yang masih pada single, bisa juga salah satunya si pria atau wanita sudah punya pasangan (istri atau suami), atau kedua-duanya sudah sama-sama menikah, namun karena tidak merasakan kenikmatan seks di rumah dengan pasangannya, lalu memburunya di luar rumah. Pada mulanya hanya teman kerja atau klien, tapi bermula dari curhat masalah pekerjaan meningkat masalah kehidupan rumah tangga yang tak bahagia atau di ambang perpecahan. Karena mendapat respon positif dari lawan bicara, dan menemukan nuansa menyenangkan, timbullah hasrat ingin selalu dekat.
Dari sekedar dekat sesaat pada jam makan siang, lalu ditingkatkan dengan dekat agak lama. Dari sekedar lunch lalu ditingkatkan dengan check in di motel atau hotel melati untuk melakukan seks instan sesudah makan siang. Dari sekadar mencoba ditingkatkan jadi aktivitas biasa. Dari sekali dua kali, jadi keterusan bahkan merasa nikmat dan nyandu. Apalagi kalau kenikmatan itu tak didapat di rumah.
Padahal seks adalah kebutuhan yang harus dipenuhi dan diupayakan mendatangkan kenikmatan dan kepuasan. Karenanya, bagi mereka yang tidak mendapatkannya di rumah, akan berusaha mencarinya di luar rumah. Walau pun alasan ini belum tentu benar. Manusia menyimpangkan kehidupan seksnya, lantaran persoalan yang bersifat pribadi, yang didorong kebutuhan biologis, walau belum tentu karena tidak terpuaskan dari miliknya yang sah di rumah.
Karena dalihnya sekedar memuaskan hasrat di bidang seks, sehingga SAL hanyalah berdasar just for fun, sama sekali tidak ada keterlibatan emosional yang mendalam di antara para pelakunya. Padahal, jika mereka menyadari bahwa hubungan seksual seyogianya dilandasi alasan-alasan yang lebih serius dan mendalam, dorongan seks itu bisa diatasi antara lain dengan olahraga yang teratur atau kegiatan yang lebih positif lainnya, atau kalau terpaksa salurkanlah dengan cara melakukan onani.
Pergeseran Budaya
Tapi, terjadinya pergeseran budaya di kalangan anak muda (remaja usia sekolah sampai orang dewasa kuliahan dan eksekutif muda), bukanlah hal yang baru. Konon sejak era ’90-an sudah ada budaya seks pranikah di kalangan pelajar, kumpul kebo di kalangan mahasiswa/i, dan abortus propocatus di antara mereka. Saat itu justru marak terjadi di Yogyakarta yang dijuluki sebagai kota pelajar dan kota budaya.  Lalu menular ke kota besar lainnya.
Pada mulanya hubungan seksual yang dilakukan sebelum nikah, mungkin karena ajakan yang gencar si cowok tak kuasa ditampik si cewek, atas alasan tertentu. Tapi lama-lama ajakan (inisiatif) itu bukan dominasi si cowok, si cewek pun sudah biasa sebagai pengambil inisiatif berhubungan badan. Kalau sudah begitu, siapa yang layak dikecam? Perubahan kehidupan sosial dan peradaban dunia akibat kemajuan teknologi, tak bisa dipungkiri menjadi pemicu pergeseran budaya.
Semua (pria dan wanita) kalau sudah terpilin gelombang saling berinisiatif, maka apa yang dinamakan keperawanan bukan lagi sebuah kebanggaan. Masih adilkah bila si wanita dituntut untuk menjaga keperawanan selama hidup lajangnya, sementara si pria tidak dituntut untuk menjaga keperjakaannya. Tentu tidak adil kan. Apa pun bentuk atau masalahnya, ketidakadilan adalah sesuatu yang tidak layak dilakukan.
Dikaitkan dengan kemanusiaan, kalau inisiatif itu dari siapa pun datangnya, begitu manusiawi. Masalahanya bagaimana menjaga agar jangan ada ekses-ekses yang ditimbulkannya. Pendidikan seks, Undang-Undang Anti Pornografi, Undang-Undang Perlindungan Anak, atau peraturan lainnya, tentu bukanlah rem yang pakem untuk menahan lajunya perubahan budaya. Apalagi kalau gejalanya sudah menyeluruh ke lapisan masyarakat paling bawah sekali pun.
Tekanan psikologis (mental) di tempat kerja (memicu stress), tekanan sosial-material-emosional yang membuat tidak menentu pikiran orang, baik yang single maupun yang sudah berumah tangga, menjadi pemicu timbulnya perilaku menyimpang. Bahayanya kalau penyimpangan itu mengarah kepada masalah seksual, maka semakin suburlah perselingkuhan.
Pesatnya kemajuan teknologi, juga menimbulkan gejala perubahan arus komunikasi. Tidak semata harus bertemu pace to pace, cukup dengan media seluler saluran komunikasi tersambung seakan tak berjarak. Hal ini kemudian bisa menjadi sumber penyebab terjadinya perilaku seks yang eksesif. Pada dimensi ini, tampak hubungan seks yang tidak dilandasi cinta, di samping merupakan kegemaran (hobi) juga menjadi manifestasi “pembebasan” beban mental dan emosional yang dialami.
Agar terhindar dari tekanan psikologis, ada baiknya diupayakan menciptakan hubungan yang harmonis dengan relasi (bagi yang masih single) dan dengan pasangan (suami atau istri) bagi yang sudah menikah. Suasana yang lebih longgar akan mendorong perilaku yang lebih wajar dan bertanggung jawab. Wilayah persoalan seks yang luas, hanya bisa dipecahkan dengan perbaikan kondisi sosial dan mental serta spiritual tentunya.
Kondisi sosial yang baik akan memengaruhi mental seseorang. Orang yang bermental baik dengan sendirinya punya kepribadian baik. Kepribadian baik itu dihasilkan oleh pemahaman terhadap ajaran agama (spiritual) yang mendalam. Sehingga bisa menahan ekses negatif yang ditimbulkan pergeseran budaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.