Jumat, 20 Maret 2015

Budaya Adiluhung yang Ternoda

Dalam tiga tulisan terdahulu, yang penulis beri judul: ”Seks, Maharaja yang Selalu Punya Tahta”, ”Antara Norma dan Kenyataan”, serta ”Toge Aprilianto dan Masyarakat yang Gamang”, menunjukkan realitas persoalan seks di kalangan remaja dan dewasa sejak era ’80-an hingga kini. Tak terbayang rasanya, Yogyakarta yang dijuluki sebagai kota budaya dan kota pelajar, di era ’80-an itu justru menjadi kota yang pelajar dan mahasiswanya melakoni kehidupan seks bebas pranikah. Seks bebas pranikah yang melanda (seakan membudaya) di kalangan pelajar dan mahasiswa itu, seolah ingin menegaskan Yogya sebagai kota budaya, tentu sangat disayangkan.
Ketika masuk Yogya pertengahan ’79, denyut Yogya sebagai kota budaya dan pelajar, penulis rasakan lewat maraknya apresiasi terhadap kehidupan sastra. Di setiap koran khusus pada penerbitan edisi Minggu memuat puisi dan cerpen, dari mereka yang masih berstatus pelajar atau yang sudah duduk di bangku perguruan tinggi, khususnya dari Fakultas Sastra di IKIP Karang Malang, Fakultas Sastra UGM, Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra (FPBS) IKIP Sanata Dharma, dan mahasiswa umum dari perguruan tinggi swasta, seperti Universitas Sarjana Wiyata Taman Siswa, dan lainnya.
Tak hanya koran, beberapa stasiun radio juga menjadikan “pembacaan puisi” sebagai salah satu mata acara tetap, sebagai wadah bagi para pelajar atau mahasiswa yang sedang menempa diri untuk menjadi penyair. Di antaranya Radio Retjo Buntung (RB) di Jalan Jagalan, Radio Angkatan Muda (RAM) di Jalan Dr Wahidin Sudirohusodo (kini telah pindah ke Jalan Puntodewo, Gading Wates, Kulonprogo). Bahkan Radio Prima Unisi (milik UII) juga.
Kehidupan sastra di kalangan pelajar dan mahasiswa bisa bergeliat karena mereka tergabung dalam beberapa komunitas, terutama di lingkungan sekolah dan kampus. Sejak era ’70-an memang ada wadah “pendidikan” para calon sastrawan, yakni Persada Studi Klub (PSK) yang diasuh oleh Umbu Landu Paranggi yang oleh pelukis Hardi dijuluki Presiden Malioboro. Pasalnya, Umbu memang biasa begadang di jalan Malioboro bersama teman-temannya, berdiskusi tentang puisi sambil ngopi.
Saat itu Umbu Landu Paranggi memang mengasuh rubrik sastra di Mingguan Pelopor Yogya yang kantornya di Jl. Malioboro 175A (seberang barat Hotel Garuda). Puisi-puisi yang dikirim ke Mingguan Pelopor Yogya itu, oleh Umbu dimuat di dua “halaman” berbeda. Untuk pemula di “halaman” Persada, sambil digodok sampai karya mereka benar-benar layak untuk dimuat di “halaman” Sabana.
Ketika penulis masuk Yogya, sosok Umbu Landu Paranggi sudah tak ada, karena sejak tahun 1975 beliau pergi meninggalkan Yogya dan bermukim di Bali. Namun demikian, gaung PSK masih sempat penulis rasakan. Di sebuah masjid di daerah Sagan, penulis sempat mengikuti forum diskusi sastra yang pembicaranya menyinggung PSK (sayang penulis lupa namanya, tapi memperkenalkan diri berasal dari Pacitan).
Di radio RB pada tahun ’80-an itu penulis aktif menyimak pembacaan puisi. Penyair yang mengirimkan puisinya untuk dibacakan, antara lain Ahmadun Yosi Herfanda (yang saat itu masih kuliah di IKIP Karang Malang, dan akhirnya menjadi Wartawan hingga Redaktur di Republika, tapi kini sudah keluar), Tuti Nonka, Ragil Suwarna Pragolapati dan Linus Suryadi Agustinus. Ragil dan Linus merupakan pentolan PSK di bawah didikan Umbu.
Hal itu membuat penulis tertarik ikutan “nimbrungkan” puisi untuk dibacakan. Kenapa radio? Karena, rasanya akan ‘lebih bergetar di dada’ saat puisi mendapat giliran dibaca dan nama disebut pembawa acaranya. Saat itu karena sepeda onthel masih jadi kendaraan legendaris bagi pelajar dan mahasiswa, saat mengantarkan naskah puisi ke studio radio RB, ya mengayuh sepeda onthel itulah yang penulis lakukan. Kalau ke radio RAM cukup jalan kaki, karena rumah kost penulis di daerah Klitren Lor, Gondokusuman, tepatnya masuk gang dari samping RAM.
Kehidupan sastra di bawah tempaan Umbu Landu Paranggi, benar-benar menjadi semacam kawah candradimuka. Buktinya, kemudian melahirkan para penyair dan sastrawan besar. Di antaranya Emha Ainun Nadjib (Cak Nun), Teguh Ranusastra Asmara, Budi Sardjono (cerpenis dan novelis yang sering menggunakan nama pena Agnes Yani Sardjono), Linus Suryadi Agustinus (alm), Ragil Suwarna Pragolapati (alm), RS Rudatan, Atas Danusubroto, Deded R Murad, Sutirman Eka Ardhana, Bambang Darto, Yudhistira, Korie Layun Rampan, Arwan Tuti Artha, Miska, Iman, Munief, Jihad, Soeparno S. Adhy, Mustofa W. Hasyim, Suminto A. Sayuti.
Maraknya kehidupan sastra di Yogya, sekilas mencerminkan betapa adiluhungnya budaya di sana. Tidak hanya konflik batin dan pengalaman keseharian, problem hidup kemasyarakatan pun coba ditangkap dan dituangkan dalam puisi, cerpen, esai, novelet atau naskah drama. Semua menegaskan besarnya perhatian pada laku kehidupan yang sia-sia bila tidak dipotret dan dituangkan ke dalam bentuk narasi.

Apalagi, saat itu banyak (sekali) persoalan yang dihadapi/dialami para mahasiswa. Awal ’70-an merupakan masa-masa penuh pergolakan mahasiswa. Demonstrasi terjadi di mana-mana, mahasiswa banyak diciduk aparat berwajib lalu dijebloskan ke dalam penjara tanpa melalui proses persidangan di pengadilan. Ragil Suwarna Pragolapati salah satu contohnya. Dia dijebloskan ke penjara tanpa diadili terlebih dahulu. Sehingga, begitu mudah bagi Ragil mengeksplorasi kreativitasnya dalam menciptakan puisi di dalam penjara itu.   
Maka, perilaku hubungan seks pranikah yang kemudian melanda, tak urung menjadi semacam inspirasi dalam mengekalkan diksi-diksi ke dalam sebuah karya sastra. Contohnya Linus Suryadi Agustinus, murid Umbu satu ini berhasil membuahkan karya prosa liris berjudul “Pengakuan Pariyem” yang begitu fenomenal, karena mengisahkan persoalan seks antara seorang priyayi dengan seorang babu yang bernama Maria Magdalena Pariyem.
Tapi, sejak hubungan seks pranikah di kalangan pelajar dan ‘kumpul kebo’ di kalangan mahasiswa menjadi semacam ‘budaya baru’ lalu di beberapa kampung, terutama yang menjadi pusat kost, diberlakukan semacam peraturan ke-RW-an yang intinya memperketat pengawasan kepada para pelajar dan mahasiswa yang indekost.
Pengawasan itu tidak hanya sebatas penelitian terhadap kelengkapan surat pindah dari tempat asal ke tempat domisili, tapi juga masalah hubungan antara pria dan wanita apakah kakak beradik kandung atau sekadar mengaku-ngaku. Dan juga aturan cowok tidak boleh masuk kamar cewek, dan sebaliknya.  Penerapan peraturan dan pengetatan pengawasan itu sebagai bentuk reaksi terhadap banyaknya kasus kumpul kebo dan persoalan seks yang mengemuka kala itu (tahun ’80-an).
Seiring perkembangan zaman, begitu masuk era ’90-an, kumpul kebo tidak lagi ramai diperbincangkan walaupun (mungkin) terus berlangsung bahkan semakin gencar (?). Masalah kost-kostan seperti masuk babak baru, yaitu babak ‘industri’. Artinya, kamar kost tidak lagi sekadar bagian dari (di dalam) rumah induk semang, melainkan dibangun di areal khusus dengan bangunan bertingkat (terdiri 2 atau 3 lantai) mencapai puluhan kamar dan fasilitas yang disediakan tak ubahnya hotel. Bahkan, ada yang dicampur antara cowok dan cewek. Kalau begini keadaannya, lantas bagaimana dengan aturan “cowok tidak boleh masuk kamar cewek, dan sebaliknya” kalau mereka berada dalam satu “sangkar” yang sama? Ya, inilah realitas kekinian, sebagai ‘buah manis’ dari perkembangan budaya.

Untuk melihat perkembangan ”dunia kost” di Yogya kini, silakan singgah di sini: http://www.brilio.net/life/duh-kos-kosan-di-jogja-kok-makin-bebas-150320u.html

Budaya adiluhung yang mewarnai masyarakat lokal, tidak selamanya bisa dijaga kemurniannya manakala tertindih oleh hegemoni kebudayaan baru yang nasionalistik. Di mana pun daerahnya, ada peluang bagi budaya asing untuk masuk dan berkembang bahkan memengaruhi budaya lokal tersebut. Hal ini mungkin terjadi karena secara umum dan faktual didorong oleh sikap toleransi dari masyarakat lokal terhadap tumbuhnya berbagai nilai budaya baru.

Dan, bila menengok Yogya hari ini, penulis masih merasakan adiluhungnya budaya di sana. Hanya, tidak sekental dahulu, saat penulis baru pertama kali menginjakkan kaki. Terutama terasa di pusat perkotaan, mungkin pengaruh heterogenitas. Ya, mungkin itu kekecualian. Bisa dikatakan sebagai ekses budaya adiluhung yang ternoda. Kalau di perdesaan, secara alamiah ada kekuatan moral bagi masyarakatnya untuk menjaga kelestarian budaya leluhur.
Satu hal yang tidak bisa dielakkan, adalah kreativitas kaum muda Yogya, patut diacungi dua jempol tangan. Meski sempat ternoda oleh ’budaya’ seks pranikah dan kumpul kebo, namun sama sekali tidak meruntuhkan simbol adiluhungnya budaya yang melekat di masyarakat. Justru, kreativitas dalam bidang seni, seperti ingin menegaskan bukti kalau Yogyakarta benar sebagai kota budaya dan kota pelajar. Benar-benar Daerah Istimewa. Wujudnya, hasil seni itu menjadi magnet bagi para pelancong untuk datang ke Yogya. Dan, penulis pun merasakan itu. Selalu rindu Yogya, selalu ’ingin pulang ke kotamu’.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.