Dalam beberapa postingan Blog ini, penulis beri judul 1000
Fenomena, dari edisi 1 dan terhenti di edisi 6 (posted 15 Januari 2013). Sebenarnya
banyak fenomena yang bisa jadi bahan melanjutkan edisi berikutnya, namun terlewat
begitu saja. Bukan sengaja dilewatkan, tapi postingan berpindah ke topik lain. Karena
sosok Olga Syahputra cukup fenomenal, maka postingan kali ini (sebagai lanjutan
postingan sebelumnya tentang Olga), penulis kembali menyematkan judul 1000
Fenomena Edisi 7.
Pada postingan tgl. 7 Januari 2015 berjudul ”Nafsu dan Akal”,
penulis membahas tentang Alloh Swt menciptakan Nabi Adam beserta pasangannya Siti
Hawa, yang Alloh ciptakan dari seruas tulung rusuk Adam sendiri. Kemudian,
Alloh menciptakan segala sesuatu di muka Bumi ini terdiri atas berpasang-pasangan.
Malam berpasangan dengan siang, gelap dipasangkan dengan terang, panas
berpasangan hujan, lelaki berpasangan dengan perempuan, dan lain sebagainya.
Itu semua Alloh maksudkan agar manusia menemukan
keseimbangannya. Dari keseimbangan itu, diharapkan akan menciptakan
kesempurnaan. Atau paling tidak mendekati kesempurnaan. Untuk itu, Alloh menuntut
manusia untuk hidup berdampingan. Satu sama lain saling melengkapi kekurangan. Mereka
yang merasa berkecukupan atau bahkan berkelebihan, dianjurkan Alloh untuk memberi
kepada yang kekurangan atau membutuhkan.
Filosofi Rezeki
Jumat (3/4) kemarin diperingati 7 hari meninggalnya Olga
Syahputra. Rumah orang tuanya di Duren Sawit Jakarta Timur dipenuhi tetamu yang
ingin ikutan mengumandangkan wirid doa dalam tahlilan nujuh hari itu. Tidak hanya
kalangan selberitis rekan Olga, bukan cuma jiran tetangga, tetapi ada yang datang
dari jauh. Mengapa bisa demikin? Bukan semata-mata karena kemahabintangan Olga
sebagai selebritis paling populer di Tanah Air.
Semua karena kebaikan hati Olga yang tulus dalam berbagi
kepada sesama. Di balik polah Olga yang sering ”nyakit” bagi rekan kerjanya,
yang sering mengundang komen tidak baik, yang sering dicemooh. Ternyata terkandung
kebaikan yang tulus. Dan setiap kali memberi bantuan tanpa pretensi apa-apa. Bukan
bertujuan agar lebih populer atau disanjung orang. Bahkan dalam membantu, Olga sering
meminta agar tidak diketahui parapihak yang dibantunya. Artinya, agar
dirahasiakan.
Itulah falsafah hidup Olga Syahputra, dalam berbagi kepada
sesama bukan bertujuan untuk kian populer, melainkan semata-mata dilandasi
pemahaman terhadap ajaran agama Islam yang mendalam. Olga sepertinya paham
betul filosofi
rezeki. Bahwa rezeki yang diberikan Alloh kepada Olga tidak lain hanyalah
sebagai titipan kepada mereka yang berhak, hanya perantaraannya melalui dirinya.
Dan, Alloh memerintahkan kepada hamba-Nya agar membagi. ”Di dalam rezeki yang
Aku berikan, ada hak anak yatim dan kaum dhuafa,” demikian Alloh berfirman
dalam Al-Quran.
Doa dan
Keluarga
Di samping falsafah hidup berbagi kepada sesama, motivasi
terkuat Olga dalam bekerja adalah ”doa dan keluarga.” Olga sepertinya paham
betul, hanya melalui kekuatan doa, segalanya akan lancar. Apalagi sebagai host program acara TV, Olga dituntut
untuk punya stamina yang prima. Lebih-lebih ritme kerjanya tak ubahnya bagai ”burung”
yang loncat dari pohon ke pohon, dahan ke dahan, ranting ke ranting mengais
makanan. Begitulah Olga, dari acara ini ke acara berikutnya, dari stasiun TV satu
ke stasiun TV lainnya.
Selain doa, keluarga adalam motivator sejati bagi Olga untuk
bekerja keras. Apalagi masa lalu mereka sebagai keluarga tak berpunya,
menguatkan tekatnya untuk maju dan semua dimulainya dari NOL. Dari rumah
kontrakan di Cipinang Besar Selatan RT.10/RW.9 No.22 Jakarta Timur. Setelah punya
sedikit penghasilan, Olga nekat bersama Ruben Onsu dan Chika Waode nyewa Rumah Susun
Harum, di Tebet, Jakarta Selatan.
”Yang saya lakukan, semuanya demi keluarga saya, adik-adik
saya,” kata Olga. Dalam setiap salat, doa yang dipanjatkan Olga adalah mohon
Alloh menjaga dirinya dari kedzaliman orang lain. Biarlah orang mau dzalim atau
mau bagaimana pun, asal Alloh tetap menjaga dan tidak menjatuhkannya. ”Kalau
memang Alloh menghendaki menjatuhkan saya, sekalipun mengembalikan ke keadaan
miskin, dunia akhirat saya ikhlas menerima. Tapi, kalau orang lain yang mau
menjatuhkan saya, mohon Engkau jaga Ya Alloh, Ya Rabb,” demikian lantunan doa
Olga di setiap salatnya.
Terbukti, Alloh Swt melindungi dia dari kejatuhan walaupun
didera kedzaliman bertubi. Diserang melalui social media seperti Twitter, tapi
tak membuat Olga Kehilangan job. Justru namanya kian berkibar, jobnya banyak
dan rezekinya berlimpah. Dengan demikian membuat semakin banyak kesempatan Olga
mebantu orang lain. Setiap bulan dia mentransfer ke rekening orang yang
dibantunya biaya pengobatan, sampai akhirnya terhenti karena Olga jatuh sakit. Di
titik ini, sepertinya Alloh benar-benar ”menjatuhkan” Olga. Tapi, seperti yang
sering diucapkannya dalam doa, dunia akhirat dia ikhlas menerima.
Nafsu dan
Akal
Dalam kaitannya dengan nafsu dan akal, ritme kerja Olga
seperti penulis sebutkan di atas. Dari acara satu ke acara lainnya, dari stasiun
TV ini ke stasiun TV itu, sepertinya menyiratkan alangkah bernafsunya dalam
bekerja. Tapi, kalau dikaitkan dengan berbagi rezeki yang dilakukan Olga, ini
menegasi bahwa Olga tetap mengedepankan akal pikiran.
Akal dan pikiran merupakan karunia paling mulia yang
diberikan Alloh Swt kepada manusia. Orang-orang yang tidak berpikir dan menolak
untuk menghamba kepada Tuhan, dipandang sebagai makhluk yang lebih buruk
daripada binatang. Akal dalam pandangan Al-Quran dan riwayat, bukanlah
semata-mata akal kalkulatif dan logika Aristotelian. Keduanya meski dapat
menjadi media bagi akal namun tidak mencakup semuanya.
Karena itu, berulang kali Al-Quran menyebutkan bahwa
kebanyakan orang tidak berpikir, atau tidak menggunakan akalnya; sementara kita
tahu bahwa kebanyakan manusia melakukan pekerjaannya dengan berhitung dan
kalkulatif pada seluruh urusannya. Memandang sama akal dan berpikir kalkulatif
merupakan sebuah kesalahan epistemologis.
Bahkan melakukan komparasi dan memiliki kemampuan berhitung semata-mata
merupakan salah satu media permukaan akal yang lebih banyak berurusan pada
masalah angka-angka dan kuantitas. Masalah untung dan rugi.
Padahal, dalam realitasnya segala sesuatu, baik dan buruk, diberi
petunjuk dan disesatkan, kesempurnaan dan kebahagiaan, dan lain sebagainya
diperlukan cahaya yang disebut sebagai sebuah anasir Ilahi yang terpendam dalam
diri manusia. Anasir ini adalah akal dan fitrah manusia dalam artian
sebenarnya. Sebagaimana sesuai dengan sabda Imam Ali As bahwa nabi-nabi diutus
adalah untuk menyemai khazanah akal manusia.
Menghitung
Nikmat
Dalam Islam, akal dan agama adalah satu hakikat tunggal dan
sesuai dengan sebagian riwayat, di manapun akal berada maka agama akan selalu
mendampingi, tidak ada jarak yang terbentang antara iman dan kekufuran kecuali
dengan kurangnya akal. Makanya, dalam firman-Nya Alloh mengingatkan manusia
untuk menggunakan akal pikirannya. Agar bisa memahami betapa tidak terbatasnya
karunia Alloh, mengapa kita harus membatasi penghambaan kepada-Nya.
Coba perhatikan firman Alloh Swt dalam Surah Ibrahim (14) : 34 ini:
وَءَاتَىٰكُم مِّن كُلِّ
مَا سَأَلْتُمُوهُ ۚ وَإِن تَعُدُّوا۟ نِعْمَتَ ٱللَّهِ لَا تُحْصُوهَآ ۗ إِنَّ ٱلْإِنسَٰنَ
لَظَلُومٌ كَفَّارٌ
”Jika kamu menghitung nikmat Alloh, niscaya kamu tidak dapat
menghitungnya.”
Bisakah kita menghitung nikmat Alloh Swt? Lalu, nikmat
seperti apa yang coba akan dihitung? Untuk bisa hidup, semua makhluk yang
melata di muka Bumi ini perlu bernapas. Berapa volume oksigen yang masuk dan
keluar paru-paru kita dalam setiap menit? Bisakah dihitung? Oksigen yang kita
hirup melalui hidung itu kemudian mengalir ke seluruh raga untuk membakar energi,
sehingga bisa menopang daya aktivitas metabolism tubuh dan gerak anggota badan.
Coba ingat-ingat kapan terakhir kita mengalami sakit flu
berat sehingga sebelah lobang hidung kita mampet? Sehingga praktis hanya
sebelah lobang hidung yang bekerja menghirup dan mengembuskan udara. Atau justru
kedua lobang hidung itu mampet semua, dan kita terpaksa bernapas lewat mulut. Coba
juga bayangkan kalau seandainya jantung kita berhenti berdetak lima detik saja.
Tentu orang di sekitar kita akan berkesimpulan bahwa kita sudah wafat, dan
segera akan diumumkan di pengeras suara merek TOA di menara masjid.
Peringatan
yang Diulang-ulang
فَبِأَيِّ آلَاءِ رَبِّكُمَا
تُكَذِّبَانِ
”Fabiayyi âlâ’i Rabbikumâ tukadz-dzibân” (maka nikmat
Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?), Q.S. Ar-Rahman (55) : 13 (dan di
beberapa ayat berikutnya).
Kalimat tanya ini tidak hanya disebut pada ayat 13 Surah
Ar-Rahman, melainkan 31 kali disebutkan di akhir setiap ayat yang menjelaskan
nikmat Alloh yang diberikan kepada manusia. Dinamakan Ar-Rahmaan (Yang Mahapemurah)
berasal dari kata Ar-Rahman yang terdapat pada ayat pertama surah ini.
Ar-Rahman adalah salah satu dari 99 asmaul husna (nama-nama) Alloh.
Tiga Tabiat
Buruk
Melalui Surah ini Alloh seolah memberi sinyal kepada kita
akan sifat kita yang pelupa, kufur nikmat,
dan tidak
mau berpikir. Itulah tiga
tabiat buruk manusia. Pelupa, adalah hilangnya kemampuan untuk menyebutkan atau
mengolah kembali apa yang telah diterima/didengar. Kufur nikmat, adalah
mengingkari segala nikmat yang diterima. ”Mereka mengetahui nikmat Alloh
(tetapi) kemudian mereka mengingkarinya…” [QS. An-Nahl (16) : 83]. Sedangkan tidak mau berpikir adalah mau
simpelnya saja, menggampangkan.
Sebagian besar dari surah Ar-Rahman menerangkan kepemurahan
Alloh kepada hamba-hamba-Nya, yaitu dengan memberikan nikmat-nikmat yang tidak
terhingga baik di dunia maupun di akhirat nanti. Karenanya, berbahagilah atas
segala nikmat yang telah Alloh anugerahkan kepada kita. Semua yang ada pada
diri kita, sungguh tak akan sanggup kita menyebutkan satu per satu apalagi
mengukur kadar kegunaannya untuk mendukung kehidupan kita.
Melalui peringatan yang diulang-ulang dalam Surah Ar-Rahman
di atas, hendaknya menjadikan kita lebih terasah kepekaan untuk menyadari
sesadar-sadarnya, bahwa segala nikmat kehidupan ini diberikan Alloh kepada kita
karena kemurahan-Nya. Sehingga patut kita syukuri, jangan sekali-kali
mengingkarinya.
Barang siapa yang membaca Surah Ar-Rahman, dan ketika membaca kalimat ”Fabiayyi âlâ’i Rabbikumâ tukadz-dzibân”, ia mengucapkan Lâ bisyay-in min âlâika Rabbî akdzibu (tidak ada satu pun nikmat-Mu, duhai Tuhanku, yang aku dustakan), jika saat membacanya itu pada malam hari kemudian ia meninggal, maka meninggalnya seperti orang yang mati syahid; jika membacanya di siang hari kemudian meninggal, maka meninggalnya seperti orang yang mati syahid.” (Tsawabul A’mal, halaman 117).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.