Minggu, 05 April 2015

1000 Fenomena Edisi 7

Dalam beberapa postingan Blog ini, penulis beri judul 1000 Fenomena, dari edisi 1 dan terhenti di edisi 6 (posted 15 Januari 2013). Sebenarnya banyak fenomena yang bisa jadi bahan melanjutkan edisi berikutnya, namun terlewat begitu saja. Bukan sengaja dilewatkan, tapi postingan berpindah ke topik lain. Karena sosok Olga Syahputra cukup fenomenal, maka postingan kali ini (sebagai lanjutan postingan sebelumnya tentang Olga), penulis kembali menyematkan judul 1000 Fenomena Edisi 7.

Pada postingan tgl. 7 Januari 2015 berjudul ”Nafsu dan Akal”, penulis membahas tentang Alloh Swt menciptakan Nabi Adam beserta pasangannya Siti Hawa, yang Alloh ciptakan dari seruas tulung rusuk Adam sendiri. Kemudian, Alloh menciptakan segala sesuatu di muka Bumi ini terdiri atas berpasang-pasangan. Malam berpasangan dengan siang, gelap dipasangkan dengan terang, panas berpasangan hujan, lelaki berpasangan dengan perempuan, dan lain sebagainya.

Itu semua Alloh maksudkan agar manusia menemukan keseimbangannya. Dari keseimbangan itu, diharapkan akan menciptakan kesempurnaan. Atau paling tidak mendekati kesempurnaan. Untuk itu, Alloh menuntut manusia untuk hidup berdampingan. Satu sama lain saling melengkapi kekurangan. Mereka yang merasa berkecukupan atau bahkan berkelebihan, dianjurkan Alloh untuk memberi kepada yang kekurangan atau membutuhkan.

Filosofi Rezeki

Jumat (3/4) kemarin diperingati 7 hari meninggalnya Olga Syahputra. Rumah orang tuanya di Duren Sawit Jakarta Timur dipenuhi tetamu yang ingin ikutan mengumandangkan wirid doa dalam tahlilan nujuh hari itu. Tidak hanya kalangan selberitis rekan Olga, bukan cuma jiran tetangga, tetapi ada yang datang dari jauh. Mengapa bisa demikin? Bukan semata-mata karena kemahabintangan Olga sebagai selebritis paling populer di Tanah Air.

Semua karena kebaikan hati Olga yang tulus dalam berbagi kepada sesama. Di balik polah Olga yang sering ”nyakit” bagi rekan kerjanya, yang sering mengundang komen tidak baik, yang sering dicemooh. Ternyata terkandung kebaikan yang tulus. Dan setiap kali memberi bantuan tanpa pretensi apa-apa. Bukan bertujuan agar lebih populer atau disanjung orang. Bahkan dalam membantu, Olga sering meminta agar tidak diketahui parapihak yang dibantunya. Artinya, agar dirahasiakan.

Itulah falsafah hidup Olga Syahputra, dalam berbagi kepada sesama bukan bertujuan untuk kian populer, melainkan semata-mata dilandasi pemahaman terhadap ajaran agama Islam yang mendalam. Olga sepertinya paham betul filosofi rezeki. Bahwa rezeki yang diberikan Alloh kepada Olga tidak lain hanyalah sebagai titipan kepada mereka yang berhak, hanya perantaraannya melalui dirinya. Dan, Alloh memerintahkan kepada hamba-Nya agar membagi. ”Di dalam rezeki yang Aku berikan, ada hak anak yatim dan kaum dhuafa,” demikian Alloh berfirman dalam Al-Quran.

Doa dan Keluarga

Di samping falsafah hidup berbagi kepada sesama, motivasi terkuat Olga dalam bekerja adalah ”doa dan keluarga.” Olga sepertinya paham betul, hanya melalui kekuatan doa, segalanya akan lancar. Apalagi sebagai host program acara TV, Olga dituntut untuk punya stamina yang prima. Lebih-lebih ritme kerjanya tak ubahnya bagai ”burung” yang loncat dari pohon ke pohon, dahan ke dahan, ranting ke ranting mengais makanan. Begitulah Olga, dari acara ini ke acara berikutnya, dari stasiun TV satu ke stasiun TV lainnya.

Selain doa, keluarga adalam motivator sejati bagi Olga untuk bekerja keras. Apalagi masa lalu mereka sebagai keluarga tak berpunya, menguatkan tekatnya untuk maju dan semua dimulainya dari NOL. Dari rumah kontrakan di Cipinang Besar Selatan RT.10/RW.9 No.22 Jakarta Timur. Setelah punya sedikit penghasilan, Olga nekat bersama Ruben Onsu dan Chika Waode nyewa Rumah Susun Harum, di Tebet, Jakarta Selatan.

”Yang saya lakukan, semuanya demi keluarga saya, adik-adik saya,” kata Olga. Dalam setiap salat, doa yang dipanjatkan Olga adalah mohon Alloh menjaga dirinya dari kedzaliman orang lain. Biarlah orang mau dzalim atau mau bagaimana pun, asal Alloh tetap menjaga dan tidak menjatuhkannya. ”Kalau memang Alloh menghendaki menjatuhkan saya, sekalipun mengembalikan ke keadaan miskin, dunia akhirat saya ikhlas menerima. Tapi, kalau orang lain yang mau menjatuhkan saya, mohon Engkau jaga Ya Alloh, Ya Rabb,” demikian lantunan doa Olga di setiap salatnya.

Terbukti, Alloh Swt melindungi dia dari kejatuhan walaupun didera kedzaliman bertubi. Diserang melalui social media seperti Twitter, tapi tak membuat Olga Kehilangan job. Justru namanya kian berkibar, jobnya banyak dan rezekinya berlimpah. Dengan demikian membuat semakin banyak kesempatan Olga mebantu orang lain. Setiap bulan dia mentransfer ke rekening orang yang dibantunya biaya pengobatan, sampai akhirnya terhenti karena Olga jatuh sakit. Di titik ini, sepertinya Alloh benar-benar ”menjatuhkan” Olga. Tapi, seperti yang sering diucapkannya dalam doa, dunia akhirat dia ikhlas menerima.

Nafsu dan Akal

Dalam kaitannya dengan nafsu dan akal, ritme kerja Olga seperti penulis sebutkan di atas. Dari acara satu ke acara lainnya, dari stasiun TV ini ke stasiun TV itu, sepertinya menyiratkan alangkah bernafsunya dalam bekerja. Tapi, kalau dikaitkan dengan berbagi rezeki yang dilakukan Olga, ini menegasi bahwa Olga tetap mengedepankan akal pikiran.

Akal dan pikiran merupakan karunia paling mulia yang diberikan Alloh Swt kepada manusia. Orang-orang yang tidak berpikir dan menolak untuk menghamba kepada Tuhan, dipandang sebagai makhluk yang lebih buruk daripada binatang. Akal dalam pandangan Al-Quran dan riwayat, bukanlah semata-mata akal kalkulatif dan logika Aristotelian. Keduanya meski dapat menjadi media bagi akal namun tidak mencakup semuanya.

Karena itu, berulang kali Al-Quran menyebutkan bahwa kebanyakan orang tidak berpikir, atau tidak menggunakan akalnya; sementara kita tahu bahwa kebanyakan manusia melakukan pekerjaannya dengan berhitung dan kalkulatif pada seluruh urusannya. Memandang sama akal dan berpikir kalkulatif merupakan sebuah kesalahan epistemologis.  Bahkan melakukan komparasi dan memiliki kemampuan berhitung semata-mata merupakan salah satu media permukaan akal yang lebih banyak berurusan pada masalah angka-angka dan kuantitas. Masalah untung dan rugi.

Padahal, dalam realitasnya segala sesuatu, baik dan buruk, diberi petunjuk dan disesatkan, kesempurnaan dan kebahagiaan, dan lain sebagainya diperlukan cahaya yang disebut sebagai sebuah anasir Ilahi yang terpendam dalam diri manusia. Anasir ini adalah akal dan fitrah manusia dalam artian sebenarnya. Sebagaimana sesuai dengan sabda Imam Ali As bahwa nabi-nabi diutus adalah untuk menyemai khazanah akal manusia.

Menghitung Nikmat

Dalam Islam, akal dan agama adalah satu hakikat tunggal dan sesuai dengan sebagian riwayat, di manapun akal berada maka agama akan selalu mendampingi, tidak ada jarak yang terbentang antara iman dan kekufuran kecuali dengan kurangnya akal. Makanya, dalam firman-Nya Alloh mengingatkan manusia untuk menggunakan akal pikirannya. Agar bisa memahami betapa tidak terbatasnya karunia Alloh, mengapa kita harus membatasi penghambaan kepada-Nya.

Coba perhatikan firman Alloh Swt dalam Surah Ibrahim (14) : 34 ini:

وَءَاتَىٰكُم مِّن كُلِّ مَا سَأَلْتُمُوهُ ۚ وَإِن تَعُدُّوا۟ نِعْمَتَ ٱللَّهِ لَا تُحْصُوهَآ ۗ إِنَّ ٱلْإِنسَٰنَ لَظَلُومٌ كَفَّارٌ

”Jika kamu menghitung nikmat Alloh, niscaya kamu tidak dapat menghitungnya.”

Bisakah kita menghitung nikmat Alloh Swt? Lalu, nikmat seperti apa yang coba akan dihitung? Untuk bisa hidup, semua makhluk yang melata di muka Bumi ini perlu bernapas. Berapa volume oksigen yang masuk dan keluar paru-paru kita dalam setiap menit? Bisakah dihitung? Oksigen yang kita hirup melalui hidung itu kemudian mengalir ke seluruh raga untuk membakar energi, sehingga bisa menopang daya aktivitas metabolism tubuh dan gerak anggota badan.

Coba ingat-ingat kapan terakhir kita mengalami sakit flu berat sehingga sebelah lobang hidung kita mampet? Sehingga praktis hanya sebelah lobang hidung yang bekerja menghirup dan mengembuskan udara. Atau justru kedua lobang hidung itu mampet semua, dan kita terpaksa bernapas lewat mulut. Coba juga bayangkan kalau seandainya jantung kita berhenti berdetak lima detik saja. Tentu orang di sekitar kita akan berkesimpulan bahwa kita sudah wafat, dan segera akan diumumkan di pengeras suara merek TOA di menara masjid.

Peringatan yang Diulang-ulang

فَبِأَيِّ آلَاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ

”Fabiayyi âlâ’i Rabbikumâ tukadz-dzibân” (maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?), Q.S. Ar-Rahman (55) : 13 (dan di beberapa ayat berikutnya).

Kalimat tanya ini tidak hanya disebut pada ayat 13 Surah Ar-Rahman, melainkan 31 kali disebutkan di akhir setiap ayat yang menjelaskan nikmat Alloh yang diberikan kepada manusia. Dinamakan Ar-Rahmaan (Yang Mahapemurah) berasal dari kata Ar-Rahman yang terdapat pada ayat pertama surah ini. Ar-Rahman adalah salah satu dari 99 asmaul husna (nama-nama) Alloh.

Tiga Tabiat Buruk

Melalui Surah ini Alloh seolah memberi sinyal kepada kita akan sifat kita yang pelupa, kufur nikmat, dan tidak mau berpikir. Itulah tiga tabiat buruk manusia. Pelupa, adalah hilangnya kemampuan untuk menyebutkan atau mengolah kembali apa yang telah diterima/didengar. Kufur nikmat, adalah mengingkari segala nikmat yang diterima. ”Mereka mengetahui nikmat Alloh (tetapi) kemudian mereka mengingkarinya…” [QS. An-Nahl (16) :  83]. Sedangkan tidak mau berpikir adalah mau simpelnya saja, menggampangkan.

Sebagian besar dari surah Ar-Rahman menerangkan kepemurahan Alloh kepada hamba-hamba-Nya, yaitu dengan memberikan nikmat-nikmat yang tidak terhingga baik di dunia maupun di akhirat nanti. Karenanya, berbahagilah atas segala nikmat yang telah Alloh anugerahkan kepada kita. Semua yang ada pada diri kita, sungguh tak akan sanggup kita menyebutkan satu per satu apalagi mengukur kadar kegunaannya untuk mendukung kehidupan kita.

Melalui peringatan yang diulang-ulang dalam Surah Ar-Rahman di atas, hendaknya menjadikan kita lebih terasah kepekaan untuk menyadari sesadar-sadarnya, bahwa segala nikmat kehidupan ini diberikan Alloh kepada kita karena kemurahan-Nya. Sehingga patut kita syukuri, jangan sekali-kali mengingkarinya.

Barang siapa yang membaca Surah Ar-Rahman, dan ketika membaca kalimat ”Fabiayyi âlâ’i Rabbikumâ tukadz-dzibân”, ia mengucapkan Lâ bisyay-in min âlâika Rabbî akdzibu (tidak ada satu pun nikmat-Mu, duhai Tuhanku, yang aku dustakan), jika saat membacanya itu pada malam hari kemudian ia meninggal, maka meninggalnya seperti orang yang mati syahid; jika membacanya di siang hari kemudian meninggal, maka meninggalnya seperti orang yang mati syahid.” (Tsawabul A’mal, halaman 117).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.